You are on page 1of 6

Light Travel Effect

Oleh : Dr. Chatief Kunjaya Kita tentu sudah sering mendengar tentang efek dopler, yaitu perubahan panjang gelombang atau frekuensi gelombang karena sumber dan pengamat bergerak saling menjauhi atau saling mendekati. Tapi pernahkah kita berfikir bahwa gerak relatif antara sumber informasi dan pengamat bisa juga mengubah skala waktu relatif antara sumber dan pengamat? Kasus semacam ini antara lain yang direnungkan oleh fisikawan terbesar abad 20, Albert Einstein hingga berkembanglah pemikiran yang akhirnya lahir teori relativitas khusus. Seorang pengamat bisa melihat suatu peristiwa karena ada foton yang berasal dari peristiwa itu yang diterima oleh mata kita. Andaikan jarak antara pengamat dan sumber peristiwa adalah x, maka pengamat tidak langsung mengetahui terjadinya peristiwa itu karena cahaya dari peristiwa baru sampai ke mata pengamat t detik setelah terjadi, dengan t = x/c dan c adalah kecepatan cahaya. Jika jarak x tidak besar, waktu t sangat kecil sehingga pengamat tidak merasakan beda waktu antara terjadinya peristiwa dan teramatinya peristiwa itu. Akan tetapi kalau jarak x sangat besar, maka perbedaan waktu itu menjadi berarti. Hal ini dirasakan misalnya oleh para ilmuwan yang mengendalikan pesawat antariksa yang menjelajahi planet-planet di Tata Surya. Semakin jauh posisi pesawat semakin lama jeda waktu sejak perintah dikirimkan hingga hasil perintah itu diterima di Bumi. Misalkan pada saat pesawat Voyager mendekati planet Saturnus, operator di Bumi mengirimkan perintah pemotretan cincin Saturnus, foto cincin Saturnus baru diterima 3-4 jam kemudian. Bagaimana jika dilakukan pengamatan terhadap suatu sumber cahaya yang berupa suatu peristiwa yang berlangsung selama T detik ? Jika sumber cahaya diam relatif terhadap pengamat, maka pengamat akan mengamati perubahan itu selama T detik juga. Tidak demikian halnya jika sumber bergerak menjauhi pengamat dengan kecepatan tinggi, karena jarak pengamat dan sumber lebih jauh pada saat peristiwa berakhir dibandingkan dengan saat peritiwa dimulai. Cahaya, yang membawa informasi akhir dari peristiwa, menempuh jarak yang lebih jauh dibandingkan dengan cahaya yang membawa informasi dimulainya peristiwa. Sebagai contoh, sebuah bintang meledak sebagai nova, kecerlangannya tiba-tiba berubah dari keadaan redup menjadi terang lalu perlahan meredup lagi. Andaikan jangka waktu sejak mulai meledak hingga mencapai tahap paling terang menurut kerangka acuan bintang itu adalah 2 hari 10 jam 20 menit. Jika kebetulan nova itu bergerak menjauhi Matahari dengan kecepatan konstan 1800 km/detik, maka pengamat di Bumi akan mengamati bahwa jangka waktu sejak mulai meledak sampai paling terang itu lebih dari 2 hari 10 jam 20 menit. Mengapa? Karena selama proses ledakan yang berlangsung 2 hari 10 jam 20 menit itu, jarak bintang ke Matahari telah bertambah sebanyak 378 juta km, sehingga cahaya yang membawa informasi puncak kecerlangan nova datang 21 menit lebih lambat daripada seharusnya. Sehingga manusia di Bumi mengamati seolah-olah jangka waktu nova mencapai puncak kecerlangannya itu 2 hari 10 jam 41 menit. Angka 21 menit ini diperoleh dari 378 juta km dibagi kecepatan cahaya.

Fenomena ini disebut light travel effect yang membuat periode orbit sebuah bintang ganda yang bergerak menjauhi Bumi menjadi nampak lebih panjang dari yang sebenarnya. Demikian pula sebaliknya, periode orbit bintang ganda yang bergerak mendekati Bumi akan tampak lebih singkat dari yang sebenarnya. Oleh karena itu umumnya periode orbit bintang yang diamati harus dikoreksi terhadap light travel effect ini. Fenomena ini juga yang membuat penurunan kecerlangan supernova yang terjadi di galaksigalaksi yang jauh nampak lebih lambat dari sebenarnya karena galaksi-galaksi jauh itu bergerak menjauhi Bumi. Karena pengembangan alam semesta, semakin jauh galaksi semakin cepat gerak menjauhnya dari Bumi, maka semakin jauh letak galaksi tempat supernova terjadi, semakin lambat penurunan kecerlangan supernova, dan kurva cahaya nampak semakin lebar. Pada gambar a di bawah ini ditampilkan kurva cahaya berbagai supernova tipe Ia, kurva paling bawah adalah supernova yang paling dekat, yang paling atas yang paling jauh, nampak paling lebar. Jika semua kurva cahaya itu dikoreksi berdasarkan jaraknya, maka akan di dapatkan kurva yang seragam seperti pada gambar b.

Hukum-Hukum Kepler
Oleh : Dr. Chatief Kunjaya Hukum-hukum Kepler yang nampak begitu sederhana, ternyata tidak dihasilkan dengan mudah bahkan melalui kerja puluhan tahun. Prosesnya diawali dengan perancangan dan pembangunan fasilitas pengukuran koordinat benda langit raksasa yang disebut quadrant oleh Tycho Brahe. Dengan alat itu Tycho Brahe dapat melakukan pengukuran posisi benda langit dengan kecermatan melebihi alat lain di zamannya. Johannes Kepler (1571 1630) dapat menyusun hukumnya berdasarkan tumpukan data catatan hasil pengamatan Tycho Brahe yang memiliki kecermatan yang tinggi. Selama 25 tahun data dikumpulkan oleh Tycho Brahe yaitu data tinggi dan azimuth enam planet dari Merkurius hingga Saturnus. Data yang dikumpulkan oleh Tycho kemudian diolah, dianalisis dan diinterpretasikan oleh asistennya seorang ahli matematika Jerman yaitu Kepler setelah ia meninggal.
Hasil analisis Kepler terhadap data Tycho Brahe menunjukkan adanya perbedaan kecil tapi jelas dan mengandung keteraturan tertentu antara posisi planet yang diamati dengan yang dihitung dengan teori Ptolemeus atau Copernicus. Mengapa perbedaan ini tidak diketahui pada pengamatan sebelum zaman Tycho Brahe? Karena pengukuran sebelumnya tidak menggunakan alat yang akurat, sedangkan Tycho Brahe menggunakan quadrant alat ukur koordinat benda langit yang paling teliti saat itu. Sebelumnya, untuk mensinkronkan agar hasil pengamatan itu bisa cocok dengan teori heliosentris Copernicus, diperlukan epicycle yaitu lingkaran-lingkaran kecil yang merupakan komponen kedua lintasan orbit planet selain orbit utamanya yang

berupa lingkaran yang berpusat di Matahari. Mengapa planet bisa bergerak dalam lingkaran kecil epicycle ? Tidak ada penjelasan.

Kepler menemukan kenyataan bahwa data posisi planet-planet yang dikumpulkan oleh Tycho Brahe itu lebih cocok jika orbit planet diperkenankan berbentuk elips dengan Matahari sebagai pusatnya. Dengan cara demikian, gerak planet-planet dapat dipahami dengan lebih sederhana, tidak diperlukan lagi epicycle-epicycle. Temuan ini kemudian diformulasikan oleh Kepler sebagai : Planet-planet mengelilingi Matahari dalam orbit elips, dengan Matahari berada pada salah satu titik apinya. Pernyataan ini kemudian terkenal sebagai Hukum Kepler I. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa kecepatan anguler sebuah planet mengelilingi matahari juga berubah menurut waktu. Pada saat planet lebih jauh dari Matahari gerak orbitnya lebih lambat, dan pada saat planet lebih dekat kecepatannya lebih tinggi. Hal ini kemudian dirumuskan dalam bentuk lebih kuantitatatif sebagai Hukum Kepler II yaitu : Garis hubung Matahari Planet menyapu daerah yang sama untuk selang waktu yang sama. Luas seluruh elips adalah ab, yang ditempuh dalam waktu P, sehingga luas daerah yang disapu persatuan waktu adalah L = ab/P dengan a setengah sumbu panjang, b setengah sumbu pendek dan P periode. Sumbu a dan b berhubungan dengan eksentrisitas sebagai berikut : b2 = a2(1-e2) Berdasarkan pengamatan bahwa semakin jauh planet dari Matahari periode orbitnya semakin panjang, dan didukung dengan data pengamatan yang sangat banyak, diperolehlah hubungan antara sumbu panjang orbit planet dan periodenya sebagai berikut : Setengah sumbu panjang orbit pangkat tiga berbanding lurus dengan periode pangkat dua

a3 = kT2 Pernyataan ini terkenal dengan sebutan hukum Kepler III Harga k ini, pada awalnya belum diketahui tapi nilainya sama untuk keenam planet yang diamati. Hukum-hukum Kepler ini diperoleh secara empirik dari sifat keteraturan data posisi planet. Dapat dibayangkan sulitnya memperoleh kesimpulan seperti itu dengan cara coba-coba dari data. Tetapi menurunkan rumus hukum-hukum ini menjadi mudah setelah Newton menemukan hukum atau teori tentang gerak, gravitasi dan kalkulus jauh setelah Kepler meninggal dunia. Bahkan kemudian konstanta-konstanta yang ada pada hukum Kepler dapat diperjelas sebagai berikut : Luas daerah yang disapu oleh garis hubung matahari-planet tiap satuan waktu : r2 d dt ( GMo a(1-e)), Mo adalah massa Matahari Dengan r dan d /dt berturut-turut adalah jarak Matahari-Planet dan kecepatan sudut orbit pada suatu saat tertentu. Harga k pada hukum Kepler di atas adalah : k = G Mo / 4 2 Pertanyaan berikut ini adalah pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang pembaca 1. Jarak Planet Merkurius pada titik perihelionnya adalah 0,341 SA dari Matahari dan setengah sumbu panjangnya adalah 0,387 SA. Luas daerah yang disapunya dalam satu periode adalah : a. b. c. d. e. 0,467 SA2 0,312 SA2 0,104 SA2 0,213 SA2 0,621 SA2

Jawab: Pada Majalah Astronomi Vol 1 no 3 hal 25, telah dijelaskan tentang rumus jarak perihelion : a(1e), dengan demikian dapat diperoleh eksentrisitas orbit Merkurius : 0,119. Dengan rumus b2=a2(1-e2) Dapat diperoleh b = 0,384 Luas elips : ab = 0,467 SA2

2. Callisto merupakan bulannya planet Jupiter, mengedari planet Jupiter pada jarak 1,88 juta km dan dengan periode 16,7 hari. Apabila massa Callisto diabaikan karena jauh lebih kecil daripada massa Jupiter, maka massa planet Jupiter adalah a. b. c. d. e. 10,35 10-4 massa Matahari 9,35 10-4 massa Matahari 8,35 10-4 massa Matahari 7,35 10-4 massa Matahari 6,35 10-4 massa Matahari

Jawab: Jika massa Jupiter dinyatakan dalam massa Matahari, jarak dalam SA, 1,88 juta km = 0.0125 SA waktu dalam tahun, 16,7 hari = 0.0457 tahun, hukum Kepler untuk satelit-satelit Jupiter dapat dinyatakan sebagai : a3/T2 = Mj/Mo, Mj adalah massa Jupiter dan Mo massa Matahari dan T adalah periode satelit Jupiter. Dengan demikian diperoleh Mj = 9,35 10-4 massa Matahari 3. Jika jarak terdekat komet Halley ke Matahari adalah 8,9 x 1010 meter, dan periodenya 76 tahun, maka eksentrisitasnya adalah : a. 0,567 b. 0,667 c. 0,767 d. 0,867 e. 0,967 Jawab: Dengan Hukum Kepler III dapat diperoleh setengah sumbu panjang orbit komet Halley: a3=762 Maka a = 17,94 SA Jarak perihelion : 8,9 x 1010 meter = 0,593 SA = a(1-e) Maka e = 0.967 4. Sebuah pesawat ruang angkasa mengelilingi Bulan dengan orbit yang berupa lingkaran dengan radius orbit 1737 km dan dengan periode orbit sebesar 2 jam. Apabila gaya gravitasi yang disebabkan Bulan pada pesawat ruang angkasa ini sama dengan gaya sentrifugalnya, maka

massa Bulan yang ditentukan berdasarkan kedua gaya ini adalah ..... (G = 6,67 x 10-11 m3 kg-1 s-2) a. 5,98 x 1026 kg b. 5,98 x 1024 kg c. 5,98 x 1022 kg d. 5,98 x 1020 kg e. Masa bulan tidak bisa ditentukan dengan cara ini Jawab: Radius orbit : 1737 km = 1737000 m (mengorbit dekat dengan permukaan bulan) Periode orbit 2 jam = 7200 detik Gaya sentrifugal (=sentripetal) = gaya gravitasi bulan 2r = GMbln/r2 , Mbln adalah massa bulan Mbln = 4 2 r 3 /GT2 = 5,98 x 1022 kg Soal ini bisa juga dijawab dengan hukum Kepler III. ***

You might also like