You are on page 1of 5

STIKIP Kie Raha Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia

Perkembangan Dialektologi
Dialektologi mendapat perhatian dari para ahli bahasa pada akhir abad ke-19. Penelitian yang dilakukan oleh Gustaf Wengker pada tahun 1875 dengan mengirimkan daftar tanyaan (Kuesioner) kepada guru di daerah Renia (Jerman) dan oleh Jules Louis Gillieron pada tahun 1880 di daerah Fionas (Swis) dengan metode pupuan (Angket) lapangan untuk pembuatan atlas bahasa, membuka babak baru dalam penelitian dialektologi. Berdasarkan penelitian tersebut sehingga mereka berdua dianggap sebagai Bapak ilmu geografi dialek dinegaranya masing-masing, yang di dalam

perkembangannya mempengaruhi penelitian Geografi dialek negara-negara lain. 1. Masa sebelum 1875 Pada masa sebelum tahun 1875, tulisan-tulisan mengenai dialek boleh dikatakan hampir selalu dikaitkan dengan tulisan dalam bidang ilmu bahasa bandingan dan fisiologi, teruatam bahasa-bahasa indo-Eropa. Sejak Zaman Kebangkitan kembali (Renaissance), para ahli bahasa mulai merasa mampu untuk dapat mengikuti dan mengamati perkembangan bahasa, semantara Negara politik juga tidak jarang turut mencampuri masalah kebahasaan. Pemakaian dialek mulai ditentang pada paro-awal abad ke-16. Di Wales pada tahun 535, di Perancis pada tahun 1539, tetapi pada tahun 1584, penerjemahan naskah Decamerone ke dalam 12 dialek Italia yang dilakukan dengan mempergunakan metode pupuan sinurat (angket koresponden) ternyata berpengaruh besar terhadap karya-karya sejenisnya yang terbit kemudian. Metode pupuan lapangan untuk pertama kalinya dilakukan oleh seseorang Spanyol bernama Martin Sarmiento pada tahun 1730. Mulai tahun 1751, para ahli botani mempergunakan metode pupuan sinurat untuk dapat mengenal nama-nama tanaman yang beredar di kalangan rakyat (XXVIII). Gagasan itu berasal dari seorang ahli botani Swedia bernama Charles de Linne. Pada tahun 1790, pendeta Jean Baptise di Prancis melakukan pupuan sinurat untuk mengetahui pandangan orang dan dialek masing-masing dan sebagai hasilnya ia mengusulkan kepada Dewan Nasional untuk melanyapkan dialek, lengkap

STIKIP Kie Raha Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia dengan cara tekniknya. Namun hal itu mendapat tantangan dari ahli sastra Carles Nodier, J.F. Schnakenburg dan Pierquin de Gembloux. Pupuan sinurat yang dilakukan oleh Kementrian Dalam Negeri Perancis untuk mengetahui batas-batas bahasa yang memisahkan bahasa Perancis dari bahasa lainnya pada tahun 1806. Baron Coquebert de Monbret, penanggung jawab penelitian itu

mengemukakan bahwa batas bahasa tidak mempunyai garis. Kemungkinan untuk membuat peta bahasa untuk pertama kalinya oleh Baron Claude Francois Etienne Dupin pada tahun 1845. Sementara itu, Dessire Monnier melihat adanya kemungkinan untuk membuat peta fonetik. Unsur Folklore untuk pertama kalinya memperoleh perhatian N.Zt. Des Etangs pada tahun 1945, yang oleh penulisnya diharapkan dapat menjadi jembatan antara para pekerja ilmiah dan orang awam di pedalaman, antara teori dan penerapannya.

2. Masa sesudah 1875 a. Aliran Jerman Pada tahun 1876, seorang filsuf Jerman Gustaf Wengker mengirimkan daftar tanyaan yang berisi 40 kalimat sederhana kepada para guru sekolah di daerah Renia. Pertanyaannya itu dibuatnya di dalam bahasa sastra Jerman dengan permintaan agar diterjemahkan kedalam dialek setempat. Jawaban yang masuk kemudian dipetakan, dan dimuat dalam karyanya Das Rheinischen Platt (Diisselforf, 1877) kemudian disunting lagi dalam Duetschen Dialektographie VIII (1915) dengan sebuah peta. Dengan cara yang sama diterapkan untuk daerah yang lebih luas, yaitu diantaranya Jerman Tengah dan Utara (1881) dan Jerman Selatan (1887). Di dalam kegiatan ini, ia dibantu oleh beberapa ahli fiologi Jerman, yaitu Otto Behagel, W. Braune, F. Kluge, dan H. Paul, dan sejak 1887, turut membantu dua orang lagi, C. Norrenberg dan Ferdinand Wrede (Pop, 1950). Kesamaan mengenai metode yang dipergun akan Wenker dilancarkan oleh Karl Haah, yang menganggap bahwa metode pupuan lapangan secara ilmiah jauh lebih bernilai dari pada pupuan sinurat, asal dilakukan oleh orang yang berwenang dibidangnya. Namun sedemikian jauh, metode wenker masih dipergunakan oleh Herman Fischer untuk memperlajari dialek Suabia, yang menampilkan 28 buah peta.
2

STIKIP Kie Raha Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia Masalah Fonetik yang sebelumnya tidak demikian diperhatikan sedikit demi sedikit diperluas, dan di dalam hal itu murid-murid Wrede sangat memperhatikannya. Mereka mencari hubungan yang terjalin antara batas dialek dengan perian-perian kesejarahan antara kenyataan kebahasaan dengan batas-batas kuno kegerejaan. Tahun 1926, Wrede memberikan buku pertama atas bahasa Jerman, dan sejak 1931, penelitian atlas-atlas tersebut dibantu oleh Bernhard Martin dan kemudian bersama dengan Welther Mitzka meneruskan pengarahannya setelah Wrede meninggal pada tahun 1934. Sementara itu Walther Mitzka sendiri dari tahun 1939 melakukan pengumpulan bahan dengan metode pupuan sinurat melalui daftar tanyaan yang berisi 180 peta kata dan 12 buah kalimat. Dengan metode kerja yang baru itu, Dialektologi di Jerman lebih mengarahka dirinya kepada pendokumentasian kata-kata yang masih dipergunakan pada waktu penelitian dilakukan di dalam bahasa Jerman. Arah lain perkembangan gepgrafi dialek yang dikembangkan Wenker ialah atlas etnografi Jerman, yang prakarsanya berasal dari Wilhem Pessier. Pengumpulan bahannya yang sudah dimulai pada tahun 1927 baru dapat diselesaikan pada tahun 1938, dan ternyata menarik para sarjana Jerman untuk membantunya. Selain di Jerman geografi dialek dengan metode ini juga yang berkembang di beberapa negara lain. Atlas Folklore Swis, misalnya, merupakan perkembangan yang lebih lanjut dari atlas etnografi Jerman disamping itu juga merupakan perkembangan atlas bahasa dan etnografi Swia-Roman yang dikerjakan oleh Karl Jaberg dan Jacob Jud. Metode pupuan sinurat itu juga dilakukan oleh Gesimus Gerhardus Kloeke dan kawankawannya di Belanda oleh Vaclav Vazny di Negara bagian Slouwakia (Cekoslowakia), untuk penyusunan atlas bahasa dan kamus dialek di Finlandia, Estonia, bahasa Saskia di Hungaria. b. Aliran Perancis Pada tahun 1885, seorang ahli kelahiran Swis bernama Jules Louis Gillioeron melakukan latihan lapangan di Vionnas (Swis), hasilnya yang tebit pada tahun itu juga, kemudian dijadikan landasan untuk melakukan di daerah yang lebih luas. Sasaran utama penelitiannya ketika itu ialah gejala-gejala fonetik yang antara lain memuat 30 buah peta.

STIKIP Kie Raha Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia Pada tahun 1887, pendeta P. J. Rousselot untuk pertama kalinya menunjukkan sebuah metode ilmiah untuk mempelajari metode dialek, mengatakan bahwa dialek memantulkan masa lampau manusia. Untuk memperoleh hasil yang memuaskan, ia mengemukakan persyaratan penelitian, yaitu (1) kemampuan peneliti, (2) cara memberikan keterangan, dan (3) masalahnya yang diteliti, mengenai pembahan pun ia menghendaki hal-hal yang bertalian dengan asal-usul (tempat lahir) pembahan, usianya, kedudukannya, kemampuan berbahasanya. Setahun kemudian, di dalam karyanya Lesparles de France, Gaston Paris menyerahkan hal-hal penting yang harus dilakukan di dalam melakukan penelitian dialek. Ia menganjurkan agar melakukan penelitian mengenai nama-nama tempat di Perancis, mengenai dialek, pembuatan atlas fonetik untuk seluruh Perancis, dan monografimonografi untuk setiap lingkungan masyarakat Perancis. Seluruh Gaston Paris itulah yang kemudian mendasari penelitian geografi dialek Perancis selanjutnya, yang mulamula dilakukan oleh Gillieron dengan bantuan Edmond Etmont. Pengumpulan bahan untuk pembuatan atlas Linguitique de France (ALF) baru dimulai pada tahun 1897 oleh Edmond, yang melaksanakannya selama empat tahun, sedangkan hasilnya yang terdiri dari fascicule, terbit dalam waktu delapan tahun (Paris, 1902-1910: 134). Daftar tanyaan disusun oleh Gillieron, berdasarkan kata-kata yang mandiri secara sistakis. Jawaban yang masuk dimuat pada setiap peta dengan empergunakan ahli tulis fonetik, yang terdiri dari tiga rangkaian. Yang pertama berisi peta-peta yang disusun menurut abjad, yang kedua khusus yang bertalian dengan daerah Perancis Tengah, dan yang ketiga juga disusun menurut abjad. Mulai tahun 1939, dengan prakarsa Albert Dauzat di dalam karyanya Nauval atlas linguistique de france par regions (Lucons, 1942), perkembangan geografi dialek di Perancis menjadi lebih terarah. Selain di Perancis sendiri, pupuan lapangan yang diarahkan kepada pembuatan peta bahasa, juga dipergunakan di negara-negara atau daerah-daerah lain. Daerah bahasa roman pada umumnya mempergunakan bahasa metode itu. Untuk daerah bahasa Katalan, penelitian yang dilakukan oleh Antoni Griera I Gaja dilaksanakan di tempat-tempat terpilih didasarkan peranannya masing-masing.
4

STIKIP Kie Raha Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia Pemilihan itu didasarkan kepada peranannya sebagai (1) pusat-pusat sebaran bahasa, baik yang kuno maupun modern, (2) pusat-pusat kegiatan ekonomi modern, yang nmungkin bertepatan dan mungkin pula tidak dan (3) desa-desa serta dusun-dusun yang memperlihatkan ciri-ciri kepurbaan yang saling menarik. Untuk daerah bahasa Italua, telah berhasil diterbitkan beberapa atlas bahasa sejak tahun 1914-1915. Yang paling penting untuk dicatat ialah daftar tanyaan yang dipergunakan untuk pembuatan atlas bahasa Italia yang dipergunakan di Italia dan Swis Selatan, mulai 1919. Atlas lain yang dibuat berdasarkan bahan lain yang dikumpulkan dengan metode pupuan lapangan, antara lain atlas bahasa Rumania yang mulai terbit pada tahun 1938 (Pop, 1950:709-711), atlas bahasa Jerman-Swis yang mulai direncanakan pada tahun 1927 oleh Heinrich Baugarner dan Rudolf Hotzenkocheror, rangkaian atlas dialek Belanda yang dikerjakan oleh Edgard Blandquart dan kawan-kawannya (mulai terbit 1926). Atlas bahasa Yunani yang untuk pertama kalinya diterbitkan bersama-sama dengan ulasannya ialah atlas bahasa Denmark yang disunting oleh Valdemar Bennike dan Marius Kristensen (Kopenhagen, 1898-1912). Amerika Serikat memulai pemetaan bahasanya agak terlambat. Prakarsanya berasal dari para anggota Modern language Association of America dan Linguistique Society of America pada tahun 1921 pelaksanaannya diserahkan kepada Hans Kuart dan kawan-kawan, dan hasilnya yang pertama kali terbit pada tahun 1939. Atlas-atlas lain yang pengumpulan bahasanya dilakukan dengan mempergunakan metode pupuan lapangan ialah atlas bahasa Breton (Rennes-paris, 1924-1943), atlas bahasa Polandia (Krakow, 1934), atlas bahasa Slavia (Berlin-Leipzig, 1933: 1980-1981). Atlas bahasa-bahasa bantu di Afrika (Brusels, 1924) memuat 76 buah peta sebagai hasil pupuan yang didasarkan kepada 60 peta kata dari setiap pembahan di tiap tempat. Untuk daerah Arab telah terbit dua buah atlas. Yang pertama pengumpulan bahannya didasarkan kepada teks cerita Petani, Sapi, dan Keledai yang diterjemahkan ke dalam dialek setempat di daerah Siria dan Palestina, sedangkan yang ke dua berasal dari daerah Horan (Paris, 1940, 1946) dengan bahan yang selalu ditanyakan dalam bahasa Arab.

You might also like