You are on page 1of 11

BAB I :PENDAHULUAN Konteks Penelitian.

1 Tafsir adalah pengetahuan yang sangat penting bagi manusia dalam mempelajari islam dari sumber utamanya (al-Qur'an).tafsir merupakan salah satu sarana yang sangat membantu dalam memahami al-Qur'an adalah al-kitab al-mubin (kitab yang memberi penerangan) yang ,berisikan dasar-dasar akidah Pemikiran ibnu asyur dan as stibi tentang at tafsir ilmi karna mereka menijau tafsir ilmi .sangat bertentangan oleh karna itu penulis ingin mengkomparatifkan pemikiranya Tafsir ilmi secara sederhana dipahami sebagai tafsir yang di dalamnya dilibatkan teori-teori ilmu pengetahuan, baik dari sisi hakikat maupun teori-teorinya untuk menjelaskan tujuantujuan serta makna-makna lafal-lafal al-Qur'an. Ilmu pengetahuan yang di gunakan seperti ilmu fisika, astronomi, geologi, kimia, biologi yang menyangkut hewan, ilmu medis, anatomi, fisiologi, ilmu matematika dan sejenisnya. Selain itu ada juga ulama yang memasukkan ilmu humanisme dan sosial, seperti ilmu psikologi, ekonomi, geografi dan lain-lain. Biasanya, yang semangat melaksanakan dan mempunyai kepedulian tinggi terhadap pola tafsir ini adalah pakar-pakar ilmu-ilmu alam (fisika dan biologi), karna mereka ingin mengaplikasikan ilmu ilmu yang telah di pelajarinya. Sedangkan dari kalangan ulama, mereka masih berbeda pendapat tentang kebolehan melakukan penafsiran ilmiah. 3 Fokus Penelitian.2 Bedasarkan konteks penelitian yang telah di paparkan sebelumnya, maka yang menjadi fokus penelitian ialah: bagaimana pandangan muhammad al-thahir ibnu asyur dan as satibi tentang tafsir ilmi dalam karya-karya nya beliau Supaya penelitian ini lebih terarah dan fokus, maka pembahasan di batasi dengan hal-hal :sebagai berikut bagaimana sikap ibnu asyur dan as satibi terhadap tafsir ilmi.1 pengertian tafsir ilmi menurut ibnu asyur dan imam as satibi.2 bagaimana corak tafsir Ilmiah menurut ibnu asyur dan as satibi.3 Tujuan Penelitian.3 Tujuan umum penelitian adalah untuk mengungkap dan menjelaskan pandangan muhammad al-thahir ibn asyur dan imam as satibi tentang tafsir ilmi dalam kitab tafsir altahrir wa al-tanwir dan al-muwafaqat Adapun tujuan khusus penelitian adalah menganalisa pandangan ibnu asyur dan imam as satibi tentang boleh atau tidaknya tafsir ilmi, kriteria tafsir ilmi menurut ibnu asyur dan imam al satibi

Manfaat Penelitian.4 Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat diterima sebagai kontribusi ilmiah, .menambah wawasan dan referensi kajian bagian peminat ilmu tafsir al-Qurn Di samping itu, secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat berfungsi sebagai rujukan atau bahan pertimbangan dalam usaha mengetahui kriteria dalam menafsirkan al.Qurn dengan corak ilmiah Metode Penelitian.5 Pendekatan dan Jenis Penelitian.1 (Kualitatif (kajian tokoh Sumber Data.2 Tafsir ibnu asyur dan al muafakat karya imam al satibi Koleksi dan Analisis Data.3 Membumikan al-qur'an BAB II : PERSPEKTIF TEORITIK pandangan ibnu asyur terhadap tafsir ilmiah.1 Dalam tafir nya ibnu asyur sangat pro tentang tafsir ilmiah pandangan imam as satibi.2 BAB III BIOGRAFI TOKOH biografi ibnu asyur.1 Ibnu asyur nama lengkapnya muhammad thahir (thahir II) bin muhammad bin muhammad thahir (thahir I) bin muhammad bin muhammad syazili bin abdul al-Qadir bin muhammad bin asyur. Lahir dari sebuah keluarga terhormat yang berasal dari andalusia pada tahun 1296 H atau 1879 M dan wapfat pada tahun 1393 H atau 1973 M.tempat lahir dan wafatnya sama yaitu di tunis.kakek jauhnya yaitu muhammad bin asyur mendatangi tunisia dan kemudian menetap di sana pada tahun 1060 H Keluarga asyur terkenal sebagai keluarga religius sekaligus pemikir. Kakek ibnu asyur, yaitu muhammad thahir bin muhammad bin muhammad syazili adalah seorang ahli nahwu, ahli fikih, dan pada tahun 1851 menjabat sebagai ketua qadli di tunisia. Bahkan pada tahun 1860 ia di percaya menjadi mufti di .dinegaranya Ibunya benama fatimah, anak perempuan dari perdana menteri muhammad al- aziz bu attar. Ia menikah

.dengan patimah binti muhammad bin mustofa muhsin

Ibunya bernama Fatimah, anak perempuan dari Perdana Menteri Muhammad Al- Aziz bu Attar. Ia menikah dengan Fatimah binti Muhamad bin Mushthafa Muhsin. Dari hasil perkawinan itu ia mempunyai 3 orang anak laki-laki dan dua orang anak peremuan. Pertama, al Fadlil menikah dengan Sabia binti Muhammad al-Aziz Jait. Kedua, Abd al-Malik menikah dengan Radliya binti al-Habib al-Jluli. Ketiga, Zain al-Abidin menikah dengan Fatimah binti Shalih ad-Din bin Munshif Bey. Keempat, Umm Hani menikah dengan Ahmad bin Muhammad bin al-Bashir Ibn al-Khuja dan Syafiya menikah dengan Syazili .al-Asram Ibn Asyur dibesarkan dalam lingkungan kondusif bagi seorang yang cinta ilmu. Ia belajar al-Quran, baik hafalan, tajwid, maupun qiraatnya di sekitar tempat tinggalnya. Setelah hafal al-Quran, ia belajar di Mesjid Zaitunah sampai ia ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Dia belajar kepada ayahnya Syaikh Muhammad bin Asyur, Syaikh Ibrahim ar-Riyahi, Syaikh muhammad bin al-Khaujah, Syaikh Asyur asSahili, dan Syaikh Muhammad al-Khadlar. Zaitunah adalah sebuah mesjid yang dalam perjalanan sejarah menjadi pusat kegiatan keagamaan yang berafiliasi kepada mazhab Maliki dan ada sebagian yang .menganut mazhab Hanafi Kitab yang terdiri dari tiga puluh juz dan terbagi kepada dua belas jilid ini merupakan sebuah tafsir kontemporer. Tampilan unik dan berbeda dengan kitab lain secara kasat mata Hidayatullah.com--Dari sederetan buku tafsir yang ada dalam khazanah penafsiran Al-Quran, termasuk dalam daftar tafsir terkemuka adalah karangan Ibnu 'Asyur yang satu ini. Muhammad at-Thahir ibn 'Asyur adalah seorang ulama kontemporer, wafat pada sepuluh tahun terakhir ini tepatnya sekitar tahun 2001. Memulai petualangannya menuntut ilmu pengetahuan Islam dengan bergabung dalam lembaga pendidikan az-Zaitunah, Tunis. Azzaitunah ini setaraf dengan al-Azhar di Mesir, dari model pendidikannya yang berpusat pada sebuah masjid dan begitu pula usia berdiri atau eksisnya lembaga .pendidikan tersebut Beliau hidup sezaman dengan ulama ternama di Mesir, Muhammad al-Khadhar Husain at-Tunisy. Keduanya adalah teman seperjuangan, ulama yang sangat luar biasa, memiliki tingkat keimanan yang tinggi, sama-sama pernah dijobloskan ke dalam bui lantaran mempertahankan pemahaman dan ideologinya serta menanggung penderitaan yang sangat berat demi memperjuangkan negara dan agama. Pada akhirnya Muhammad al-Khadhar ditakdirkan oleh Allah menjadi mufti Mesir, beliau pun mendapat kepercayaan menjadi Qadhi di Tunis yang kemudian diangkat menjadi seorang penentu fatwa keagamaan di Tunis Dalam muqaddimah tafsir "at-Tahrir wat-Tanwir" beliau menuturkan, satu angan-angan terbesar dalam hidup beliau yang ingin dicapai adalah menafsirkan kitab Allah Swt. sebagai mu'jizat terbesar Nabi Muhammad Saw. Bercita-cita membuat sebuah tafsir yang lengkap dari segi kebahasaan dan maknanya, yang belum pernah ada sebelumnya. Tafsir yang mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat. Bukan hanya sekedar mengumpulkan perkataan ulama sebelumnya, melainkan memiliki penjelasan-penjelasan yang berasal dari hasil pengetahuan sendiri yang lebih detail dan menyeluruh dalam penafsiran ayat-ayat AlQuran. Beliau melihat beberapa tafsir yang ada hanya mengambil pendapat ulama sebelumnya. Seakanakan sang pengarang tidak memiliki kontribusi pendapat sedikit pun kecuali hanya merunut pendapat ulama lain. Cuma berbeda dari porsi yang diambil, ada yang memaparkannya secara singkat sebaliknya ada yang panjang lebar. Berkat rahmat Allah Swt., angan-angan ini bisa tercapai. Karya beliau bisa .rampung tersusun dan ikut meramaikan khazanah ilmu pengetahuan Islam

Menilik tafsir karangan Ibnu 'Asyur dari segi materi, kitab ini terdiri dari tiga puluh juz dan terbagi kepada dua belas jilid. Masih diterbitkan oleh penerbit tunggal yang masih cukup sulit kita dapati. Sebuah tafsir kontemporer yang memiliki ciri khas tersendiri dalam paparannya menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Memiliki tampilan unik dan berbeda dengan kitab lain secara kasat mata. Memiliki metode penyusunan unik, yang tidak menghususkan satu jilid untuk satu juz saja melainkan secara acak. Kadang memuat dua .juz bahkan sampai lima juz perjilidnya Beliau memulai tafsirnya dengan sekelumit materi tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan dasar memahami seluk beluk gaya bahasa Al-Quran secara singkat. Memaparkan muqaddimahnya sampai kepada sepuluh bagian pembukaan, mulai dari penjelasan tafsir dan ta'wil, penjelasan fenomena tafsir bil ma'tsur dan bir-ra'yi, asbbunnuzl, sampai kepada i'jzuI Qurn. Itupun sampai menghabiskan seratus halaman pertama untuk penjelasan sesingkat ini. Mirip dengan uraian singkat Ulumul Quran yang sudah mencapai tingkat yang cukup rumi Mendeskripsikan cakupan bahasan dalam tafsir ini, beliau mengungkapkan dalam pendahuluan tafsirnya, Saya benar-benar berusaha menampilkan dalam tafsir Al-Quran hal-hal langka yang belum digarap oleh ulama tafsir sebelumnya. Menempatkan diri sebagai penengah perbedaan pendapat ulama yang pada satu waktu sepaham dengan salah satunya dan pada waktu lain berseberangan pendapat dengan alasan tersendiri. Dalam tafsir ini, saya berusaha mengungkap setiap i'jazul Quran, nilai-nilai balaghah yang .terkandung dalam sebuah kalimat Al-Quran serta menjelaskan uslub-uslub penggunaannya Menjelaskan hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya, terutama antara satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Al-Quran telah didesain dengan sangat luar biasa, memiliki susunan yang unik namun tetap memiliki ketersambungan antara satu ayat dengan ayat lain. Tidak melewatkan satu surat pun dalam Al-Quran kecuali berusaha menjelaskan secara lengkap setiap maksud yang terkandung di dalamnya secara utuh. Tidak sebatas menjelaskan makna setiap kata dan kalimatnya saja secara parsial, melainkan merangkai kembali makna tiap kata dan kalimat yang telah diurai terpisah menjadi satu tujuan .atau maksud yang diusung oleh setiap ayat maupun surah Al-Quran Dalam metode pemaparan tafsir ini, tidak terlewatkan penjelasan secara gamblang tinjauan bahasa setiap kata dalam Al-Quran, menyimak hikmah dari pemilihan kata yang digunakan sampai kepada sisi gramatikal setiap kalimat. Secara spesifik menilik setiap Al-Quran dari kacamata ilmu nahwu dan tashrif, .turut melengkapi posisi i'rab dari penggalan kata-kata Al-Quran Ibn Asyur menjadi salah satu ulama besar di Tunisia. Karirnya sebagai pengajar bermula pada tahun 1930 menjadi mudarris (pengajar) tingkat kedua bagi mazhab Maliki di Mesjid Zaitunah. Menjadi mudarris tingkat pertama pada tahun 1905. Pada tahun 1905 sampai 1913 ia mengajar di Perguruan Shadiqi. Dia terpilih menjadi wakil inspektur pengajaran di Mesjid Zaitunah pada tahun 1908. Pada tahun .berikutnya ia menjadi anggota dewan pengelola perguruan Shadiqi Ia diangkat menjadi qadli (hakim) mazhab Maliki pada tahun 1913 dan diangkat menjadi pemimpin mufti (Basy Mufti) mazhab Maliki di negara itu pada tahun 1927. ia juga seorang mufassir, ahli bahasa, ahli nahwu dan ahli sastra. Ia terpilih menjadi anggota Majma al-Lugah al-Arabiyyah di Mesir pada tahun 1950 dan anggota majma ai-Ilmi al-Arabi di Damaskus pada tahun 1955. Ia banyak menulis buku dan .menulis berbagai majalah dan koran di Tunisia B. biografi imam as satibi

Kehidupan dan Pendidikan al-Syatibi

Al-Syatibi adalah filosof hukum Islam dari Spanyol yang bermazhab Maliki. Nama lengkapnya, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi. Tempat dan tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti, namun nama al-Syatibi sering dihubungkan dengan nama sebuah tempat di Spanyol bagian timur, yaitu Sativa atau Syatiba (Arab), yang asumsinya al-Syatibi lahir atau paling tidak pernah tinggal di sana. Dia meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Syaban tahun 790H atau 1388 M dan dimakamkan di Gharnata.

Al-Syatibi tumbuh dewasa di Granada dan sejarah intelektualitasnya terbentuk di kota yang menjadi ibu kota kerajaan Banu Nasr ini. Masa mudanya bertepatan dengan pemerintahan Sultan Muhammad V alGani Billah yang merupakan masa keemasan bagi Granada. Kota ini menjadi pusat perhatian para sarjana dari semua bagian Afrika Utara. Waktu itu, banyak ilmuwan yang mengunjungi Granada, atau berada di Istana Banu Nasr, di antaranya seperti Ibn Khaldun dan Ibn al-Khatib.

Al-Syatibi hidup di masa banyak terjadi perubahan penting. Granada pada abad ke-14 mengalami berbagai perubahan dan perkembangan politik, sosio-religius, ekonomi dan hukum yang nantinya akan berpengaruh terhadap pola pikir dan produk pemikiran hukum al-Syatibi.

Dari aspek politik, perubahan sosial yang terjadi pada abad ke-14 disebabkan berkhirnya masa chaos pada abad ke-13 ketika terjadi invasi Mongol ke wilayah Timur Muslim dan pesatnya perkembangan Kristen di Barat Muslim. Dari penelitian Muhammad Khalid Masud, keberhasilan Sultan Muhammad V dalam menciptakan stabilitas politik dapat dipahami dari dua faktor. Pertama, keberhasilannya menjaga stabilitas politik luar negerinya, sejumlah kerajaan Kristen di utara dan rival sesama kekuasaan Muslim di Afrika Utara, dengan cara selalu mengganti perjanjian-perjanjian damai dan intrik-intrik dalam istana, friksifriksi yang berlomba-lomba mencuri kekuasaan. Kedua, selalu memegang kendali kekuatan militer di internal kerajaan.

Stabilitas politik ini menghasilkan situasi yang damai dan salah satu manfaatnya dalam dunia keilmuan adalah terkondisikannya kesempatan yang lebih luas untuk melakukan evaluasi dan produksi pemikiran. Hal ini terlihat dengan lahirnya karya-karya masterpiece para intelektual muslim. Di Afrika Utara, Ibnu Khaldun (784 H/ 1382 M) menulis filsafat sejarah, di Syiria, Ibnu Taimiyah (728 H/ 1328 M) mengkaji ilmu politik dan teori hukum, di Persia, al-Iji (754 H/ 1355 M) meresistematisir teologi Sunni, dan di Spanyol, al-Syatibi memproduksi filsafat hukum Islam.

Beberapa tahun sebelumnya, jatuhnya kekuasaan dinasti Muwahhidun menyebabkan chaos politik di Spanyol. Dalam kondisi krisis ini ada dua tokoh yang mucul ke panggung politik, Ibn Hud di Marcia dan Ibn al-Ahmar di Arjona. Ibn Hud adalah rival politik Ibn Ahmar setelah runtuhnya dinasti Muwahhidun. Setelah sempat menguasai sejumlah kota seperti Almeria, Malaga, Granada, Seville dan sebagian besar Spanyol, Ibn Hud dilantik oleh penguasa dinasti Abasiyyah yaitu al-Muntasir Billah. Namun selang beberapa tahun, Ibn Ahmar berhasil merebut tampuk kepemimpinan Ibn Hud kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 634 H dan menyatakan diri sebagai Sultan Andalusia dengan menyandang gelar al-Galib Billah. Al-Galib Billah yang menjadi cikal Bani Nasr atau Bani

Ahmar, menjadikan Granada sebagai pusat pemerintahan. Bani Nasr membangun pondasi politiknya dengan cukup kuat, terbukti bertahan sampai dua abad. Hubungan diplomatik dengan luar negeri yang Kristen, Ferdinand III penguasa Castille, ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian atau genjatan senjata pada tahun 643 H. Namun di sisi lain, dia juga menyerukan jihad kepada suku-suku Afrika dan meminta back up kekuatan Bani Marin di Maroko, sebagai dinasti terkuat pasca dinasti Muwahidun. Kondisi strategis ini bertahan hingga kekuasaan beralih ke putra mahkota yaitu al-Gani Billah atau Sultan Muhammad V.

Di masa Gani Billah, fuqaha memiliki posisi kuat dalam konstelasi perpolitikan. Hal ini merupakan ciri khas dalam sejarah Islam di Spanyol. Kondisi ini merupakan salah satu sebab mengapa mazhab Maliki menjadi mazhab negara waktu itu. Meskipun demikian, kehidupan masyarakat Granada tidaklah sekonservatif para elit ulamanya di strukutur politik. Masyarakat cukup inklusif dan fleksibel dalam relasi sosialnya, mengingat interaksinya dengan orang-orang Kristen cukup intens baik dalam relasi sosial maupun bisnis.

Status quo para fuqaha dengan otoritas syariahnya ini mendapat perlawanan dengan bermunculannya gerakan-gerakan tasawuf, filsafat dan teologi. Tiga orang dari gerakan tasawuf, Abu Bakar Muhammad dari Cordova, Ibn al-Arif dari Almeria dan Ibn Barrajan dari Seville berhasil ditumpas. Ibn Barrajan mengkritik fuqaha Maliki yang sangat mengabaikan hadis. Gerakan-gerakan ini juga kelak mempengaruhi kedinamisan pemikiran al-Syatibi. Terlihat ketika al-Syatibi, meskipun Muhammad Makhluf menjadikannya sebagai ulama Maliki tingkatan ke-16 cabang Andalus, tetap menghargai ulama-ulama madzhab lainnya termasuk madzhab Hanafi yang saat itu selalu menjadi sasaran tembak nomor satu. Bahkan, dalam berbagai kesempatan ia sering memuji Abu Hanifah dan ulama lainnya. Kitab alMuwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Syari>ah sendiri disusun oleh al-Syatibi dalam rangka menjembatani ketegangan yang terjadi saat itu antara Madzhab Maliki dan Hanafi.

Al-Syatibi pernah menentang para ulama Granada saat itu. Ia mencoba meluruskan dan mengembalikan bidah ke sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Perseteruan sengit antara al-Syatibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat terelakkan. Setiap kali dia berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu kepada nas}. Karena itulah, dia dilecehkan, dicerca, dikucilkan dan dianggap keluar dari agama. Tidak terjebak pada oposisi biner dengan kekuasaan, ia juga mengkritik gerakan tasawuf para ulama yang menyimpang saat itu. Fatwa al-Syatibi tentang praktek tasawuf yang menyimpang ini juga dikuatkan oleh seorang ulama ahli tasawuf saat itu Abu alHasan al-Nawawi.

Al-Syatibi juga menyoroti taa>s}ub berlebihan yang dipraktekan para ulama Granada dan masyarakat Andalusia terhadap madzhab Maliki. Mereka memandang setiap orang yang bukan madzhab Maliki adalah sesat. Sebagaimana diketahui bersama bahwa masyarakat Andalus memegang erat madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman al-Dakhil yang memerintah pada tahun 173-180H menjadikan madzhab ini sebagai madzhab negara.

Al-Syatibi mengawali pendidikannya dengan belajar tata bahasa dan sastra Arab kepada Abu Abd Allah Muhammad bin Ali al-Fakhkhar, seorang pakar tata bahasa di Andalusia. Pengalaman tinggal bersama gurunya sampai dengan tahun 754 H/ 1353 M dan tentang pelajaran-pelajaran yang didapatnya terrekam dalam kitab yang disusunya yang berjudul al-Ifa>da>t wa al-Irsya>da>t atau Insya>at. Dari kitabnya ini

dapat dilihat bahwa al-Syatibi mengusai ilmu bahasa dan sastra dengan cukup qualified. Guru bahasanya yang kedua adalah Abu al-Qasim al-Syarif al-Sabti (760 H/ 1358 M), ketua hakim di Granada yang dikenal dengan sebutan sembawa Pedoman Berpidato.

Mulai belajar fikih pada tahun 754 H/ 1353 M, al-Syatibi berguru kepada Abu Saadah Ibn Lubb yang kepada orang inilah hampir seluruh pendidikan ke-fikih-annya diselesaikan. Ibn Lubb adalah fakih yang terkenal di Andalusia dengan tingkat ikhtiya>r, atau keputusan melalui pilihan dalam fatwa.

Sejarah pendidikan al-Syatibi banyak diwarnai oleh sarjana-sarjana terkemuka di Granada dan para diplomat yang mengunjungi Granada. Di antara sarjana tersebut yang perlu disebutkan adalah Abu Abd Allah al-Maqqari yang datang ke Granada pada tahun 757 H/ 1356 M karena diutus oleh Sultan Banu Marin sebagai diplomat. Ia adalah penulis sebuah buku tata bahasa Arab. Ia dikenal sebagai mah}aqqiq atau pakar dalam bidang aplikasi prinsip-prinsip umum aliran Maliki untuk kasus-kasus khusus. Interaksi intelektualitasnya dengan Maqqari diawali dengan diskursus Razisme dalam ushul fikih Maliki.

Maqqari juga orang yang mempengaruhinya dalam tasawuf.

Dua guru al-Syatibi yang memperkenalkannya kepada filsafat, ilmu kalam dan ilmu-ilmu lain yang dikenal dalam klasifikasi ilmu pengetahuan Islam yakni ilmu pengetahuan tradisional, al-Ulu>m alNaqliyyah adalah Abu Ali Mansur al-Zawawi dan al-Sharif al-Tilimsani (W 771 H/ 1369M). Abu Ali Mansur al-Zawawi datang ke Granada pada tahun 753 H/ 1352 M. Namun, karena sering berdebat dengan ahli-ahli hukum di Granada, akhirnya pada tahun 765 H/1363 M, ia dideportasi dari Andalusia. Al-Sharif al-Tilimsani adalah ilmuwan yang kritis terhadap faham Razi. Ia belajar bersama Abili dan mengambil konsentrasi studi ilmu pengetahuan rasional.

Motifasi Al-Syatibi mempelajari ushul fikih berawal dari kegelisahannya yang menganggap kelemahan fikih dalam menjawab tantangan perubahan sosial terutama dikarenakan oleh metodologi dan filsafatnya yang kurang memadai. Salah satu masalah yang paling membuatnya gelisah adalah keragaman pendapat di kalangan ilmuwan tentang berbagai persoalan. Penggunaan prinsip mura>ah al-khila>f atau inklusifitas perbedaan pemikiran yang digunakan sebagai wujud penghargaan atas perbedaan pendapat dengan cara perlakuan yang sama justru membuat masalah menjadi semakin kompleks.

Al-Syatibi mengangap dengan mura>ah al-khila>f, badan hukum seperti tanpa jiwa, formalismenya akan tetap tanpa realitas jika sifat riil teori hukum tidak diselidiki. Hukum akhirnya menjadi realitas tersendiri yang terlepas dari realitas kebutuhan akan aturan main dalam rangka mendapatkan kemaslahatan dan kemudahan hidup. Karya-karyanya merupakan hasil refleksi kegelisahannya ini.

Pola pikir radikal dan fatwa-fatwa kontroversial al-Syatibi membuatnya diposisikan sebagai oposisi kekuasaan oleh para fuqaha yang mayoritas pro kekuasaan. Sejumlah persoalan yang menjadi kontroversial di antaranya tentang tasawuf dan fikih. Al-Syatibi menentang praktek tasawuf yang ekstrim sampai dicampuradukkan dengan fikih, misalnya pewajiban melakukan ritual tasawuf tertentu dalam shalat sedangkan pewajibannya punya pengertian wajib secara syari, pewajiban zuhud secara umum atau

kepada semua muslim, kepercayaan akan superioritas seorang Syaikh atas semua pemimpin aliran lain. Al-Syatibi juga menentang praktek penyebutan nama sultan tertentu dalam doa-doa. Al-Syatibi menganggap bahwa praktek tersebut lebih bernuansa politis daripada ibadah. Al-Syatibi merupakan ilmuwan yang mampu menguasai berbagai disiplin ilmu dan menguasainya secara komprehensif. Menurut Abu al-Ajfan, ini disebabkan al-Syatibi telah menguasai metode ulu>m al-wasa>il wa ulu>m al-maqa>s}id atau metode esensi dan hakikat.

Dari sedikit review latar belakang kehidupan dan profil al-Syatibi di atas dapat dipahami bahwa al-Syatibi memiliki bangunan keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan dan telah teruji melalui perjalanan sejarah yang melatarbelakanginya. Tidak mengherankan jika al-Muwa>faqat menjadi referensi di sebagian besar kalangan ilmuwan modern.

2. Karya-karya al-Syatibi

Berikut adalah daftar karya al-Syatibi yang dapat dilacak dalam beberapa literature klasik. Karyanya itu mencakup dua bidang: sastra arab dan jurisprudensi.

(a) Syarh} Jali>l ala> al-Khulas}a fi> al-Nah}w.

(b) Unwa>n al-Ittifa>q fiIlm al-Isytiqa>q.

(c) Kita>b Us}u>l al-Nah}w.

(d) Al-Ifa>da>t wa al-Irsya>da>t/ Insyaa>t.

(e) Kita>b al-Majlis.

(f) Kita>b al-Itisam.

(g) Al-Muwa>faqa>t.

(h) Fata>wa>.

B. Kemaslahatan sebagai Maqa>s}id al-Syari>ah

1. Definisi Maqa>s}id al-Syari>ah

Dalam studi Filsafat Hukum Islam, tema kajian aksiologi hukum Islam menyangkut tujuan hukum yang disebut dengan maqa>s}id al-syari>ah. Terdiri dari dua kata bahasa arab, maqa>s}id ( )dan syari>ah ( .)Maqa>s}id adalah bentuk jamak dari kata maqs}u>d ( ,)artinya kesengajaan atau tujuan. Sedangkan syariah berarti jalan menuju sumber air atau dapat dikatakan jalan menuju sumber kehidupan. Sedangkan menurut istilah disebutkan artinya kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Jadi, maqa>s}id asy-syari>ah artinya tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum. Dalam kitab al-Muwa>faqa>t, maqa>s}id al-syari>ah bermakna tujuan hukum yang diturunkan Allah.

Seperti disebutkan:

, . ...

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa kandungan maqa>s}id asy-syari>ah menurut al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Menurut Muhammad Abi al-Ajfan dalam bukunya yang berjudul Min A>s\a>r Fuqaha> al-Andalu>s Fata>wa> al-Ima>m al-Syati>bi> sebagaimana dikutip Asafri Jaya Bakri, dijelaskan bahwa maqa>s}id asy-syari>ah digunakan untuk menganalisis permasalahan hukum yang tidak ditemukan secara jelas dimensi kemaslahatannya.

2. Konsep al-Syatibi tentang Maqa>s}id al-Syari>ah

Diskurus maqa>s}id al-syari>ah sebelum al-Syatibi banyak berkutat pada persoalan illah hukum dan mas}lah}ah sebagai landasan perumusan hukum. Karena waktu itu para ulama us}u>l banyak yang merangkap sebagai teolog atau ulama kalam, maka banyak wacana di bidang ushul fikih juga dieksplorasi oleh para teolog termasuk diskursus maqa>s}id al-syari>ah. Salah satu hasilnya adalah diskursus mengenai hukum kausalitas yang sebenarnya ada perbedaan paradigma yang tidak bisa dicampuradukkan antara kausalitas dalam kerangka filsafat hukum dan kausalitas dalam kerangka teologi.

Menurut al-Syatibi, dalam merumuskan hukum, motif Allah adalah kemaslahatan manusia dan dari premis awal inilah perdebatan tentang hukum kuasalitas dimulai. Namun, pengertian sebab, kausa atau motif dalam ilmu kalam tidak bisa disamakan dengan pengertian illah dalam ushul fikih. Ada peralihan makna atau perubahan semantik illah dari studi teologi menuju studi filsafat hukum.

Ketika mayoritas ulama menyepakati pendapat tentang motif Allah dalam tasyri> ini, maka dapat dilogikakan bahwa dalam studi ushul fikih, motif hukum secara khusus dapat ditelusuri, misalnya dengan metode istiqra>:

, , ...

Al-Syatibi berpendapat bahwa mas}lah}ah sebagai motif syariah diketahui melalui metode induktif, baik sebagai grand theme syariah secara umum maupun sebagai penjelasan atas alasan-alasan sebuah hukum atau perintah secara rinci. Al-Syatibi memberikan contoh yang telah dijelaskan alasan-alasannya dalam al-Quran. Misalnya, perintah wudlu yang motifnya adalah kesucian, perintah berpuasa yang motifnya adalah ketaqwaan dan kesalehan dan perintah berjihad yang motifnya adalah kemerdekaan.

, : ) : ( ): 6( : ) ( ) 39 :)381(... : ) ( )

Doktrin maqa>s}id al-syari>ah merupakan suatu usaha penegakkan mas}lah}ah sebagai unsur esensial dalam tujuan-tujuan hukum. Al-Syatibi memfalsifikasi studi maqa>s}id al-syari>ah menjadi dua tingkatan, dari sudut maqa>s}id al-sya>ri atau tujuan Allah sebagai pembuat hukum dan dari sudut pandang maqa>s}id al-mukallaf atau subjek hukum.

Kemaslahatan sebagai maqa>s}id al-sya>ri mempunyai arti bahwa Allahlah yang memutuskan sebuah kemaslahatan. Meskipun demikian, al-Syatibi menyadari bahwa kondisi ini tidak bersifat final. Al-Syatibi mengakui bahwa kemaslahatan versi Allah ini masih bisa dipahami dan dibuka ruang-ruang diskursifnya. Maqa>s}id al-syari>ah versi Allah ini mencakup empat aspek pengertian, yaitu:

1. Kemaslahatan sebagai dasar tujuan syariat. Aspek ini membicarakan tentang pengertian, tingkatan, karakteristik dan relatifitas atau keabsolutan mas}lah}ah.

2. Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami. Aspek ini mendiskusikan dimensi linguistik dalam persoalan takli>f. Perintah yang merupakan bentuk takli>f harus bisa dipahami oleh semua mukallaf baik pemahaman kata dan kalimatnya maupun pemahaman linguistik dan kulturalnya. Dalam aspek ini alSyatibi menggunakan dua istilah, al-dala>lah al-as}liyyah atau pengertian esensial dan al-dala>lah alummu>miyyah atau common sense.

3. Syariat semata-mata sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan. Aspek ini menganalisa pengertian taklif dalam kaitannya dengan kemampuan manusia, kesulitan yang dihadapi dan lain-lain.

4. Tujuan syariat membawa mukallaf ke bawah naungan hukum. Aspek ini bermakna mewujudkan kepatuhan manusia di bawah hukum Allah. Manusia harus dibebaskan dari belenggu hawa nafsu. Dari sudut maqa>s}id al-mukallaf, al-Syatibi mengangkat pembahasan tentang kehendak dan perbuatanperbuatan manusia. Dalam hal ini al-Syatibi membahas beberapa konsep yang berkaitan dengan tujuan versi mukallaf yaitu tentang konsep mas}lah}ah, dala>lah, takli>f, taabbud dan niat. Penelitian ini hanya

.akan membahas konsep mas}lah}ahnya saja

DAFTAR PUSTAKA al-syatibi al-muwafaqat vol. 1-4.1 Darraz, Abdullah. Muqaddimah, dalam al-Syatibi. al-Muwafaqat fi Usul al-Syariah. Beirut: Dar al- .2 .Kutub al-Ilmiyyah, tt Ysuf al-Qardhawiy, op. cit., h. 431 .3 .4

You might also like