You are on page 1of 16

BAB I PENDAHULUAN

Penikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pernikahan dan perwujudannya merupakan hasrat alami manusia yang terbaik dengan naluri. Hal ini merupakan salah satu berkah terbesar dari Allah. Pernikahan dapat membuat mereka menemukan pasangan yang baik dan serta yang mau berbagi rasa dalam masa-masa susah dan bahagia. Namun, tidak sedikit ternyata harapan dan cita-cita perkawinan kandas ditengah jalan. Padahal Perkara halal sangat dibenci oleh Allah adalah talaq . Begitulah hadist rasul. Kendati demikian walau ada ungkapan seperti itu ternyata banyak juga kehidupan berkeluarga yang mengalami perceraian. Suami yang menjatuhkan talaq pada istrinya berarti telah melakukan perkara yang sangat dibenci Allah Swt, meskipun hal itu boleh dilakukan karena alasan tertentu. Sebaliknya, seorang istri yang minta talaq kepada suaminya sangat dikecam oleh islam. Rosululloh bersabda Siapa saja perempuan yang minta ditalaq oleh suaminya tanpa sebab maka haramlah perempuan itu mencium wewangian surga. Ketika perceraian terjadi dalam sebuah hubungan pernikahan, yang sebenarnya terjadi adalah perceraian tersebut tidak akan menyelesaikan segala bentuk masalah yang terjadi, akan tetapi dengan perceraian itu akan lahir masalahmasalah baru, diantaranya hak asuh anak ( hadhanah), iddah, pembagian harta gono gini, putusnya hubungan silaturahmi dan sebagainya. Untuk itu kami mengangkat tema dengan bahasan Hadhanah akibat perceraian yang mana seorang isteri maupun suami masih mempunyai kewajiban untuk mengasuh anak dari buah pernikahan mereka sehingga anak hasil perkawinan mereka terpelihara dengan baik. Hadhanah yaitu melakukan

pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan ataupun sudah besar namun belum mumayyiz, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya sehingga mampu berdiri sendirib menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. Selain hadhanah masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah tentang Iddah. Iddah ialah satu masa dimana

perempuan yang telah di ceraikan, baik cerai hidup maupun cerai mati, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya kosong atau berisi kandungan.

BAB II PEMBAHASAN A. HADHANAH 1. Pengertian Hadhanah Hadhanah berasal dari kata Hidhan yang berarti lambang. Seperti kata Hadhanah atl-thaairu baidhahu burung itu mengapit telur di bawah sayapnya. Begitu pula seorang perempuan (ibu) yang mengapit anaknya. karma ibu menyusukan anaknya dipangkuanya, seakan-akan ibu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga hadhanah di jadikan istilah yang dimaksud. Dalam bukunya Abd. Rahman Ghazaly. M.A. Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga Hadhanah dijadikan istilah yang maksudnya: pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.1 Para ulama fiqih mendefinisikan hadhanah, yaitu melakukan

pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki ataupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.2

Ghazaly Rahman. Fikih Munakahat. Jakarta: Kencana. Hal. 175 Aminuddin, Slamet Abidin. Fikih Munakahat 2. Bandung: cv Pustaka Setia. Hal. 17

Dengan demikian, mengasuh artinya memelihara dan mendidik. Maksudnya adalah mendidik dan mengasuh anak-anak yang belum mumayyiz atau belum dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, belum pandai menggunakan pakaian dan bersuci dan sebagainya. 2. Status Hukum Dan Dasar Hadhanah Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah (2) ayat 233: }322{

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara maruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah: 233). Begitu juga dalam Al-Quran yang lain yaitu: Surat At-Tahrim ayat 06: )6 ( Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terkait dalam tali perkawinan saja, akan tetapi juga berlanjut setelah terjadinya perceraian dalam perkawinan.3 Nabi Muhammad bersabda: ) ( Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dia dan keaksih-kekasihnya pada hari kiamat. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh disebut mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas mengasuh itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendirisendiiri. Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-hal sebagai berikut: 1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum diketahui kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan. 2. Berpikir sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaanya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.

Syarifiddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh Munakahat Dan

Undang-undang Perkawinan. Jakarta: hal. 328

3. Beragama islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya. 4. Adil dalam arti menjalankan secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjahui dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil. Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah: 1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri. 2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapapun. 3. Hadhanah Menurut Pandangan Fuqaha. Para fuqaha sepakat bahwa hak pemeliharaan anak (hadhanah) ada pada ibu selama ia belum bersuami lagi. Apabila ia telah bersuami lagi dan sudah disetubuhi oleh suami yang baru maka gugurlah pemeliharaannya. Sedangkan para Imam Mazhab berbeda pendapat tentang suami istri yang bercerai, adapun mereka mempunyai seorang anak atau lebih. Siapakah yang berhak memelihara anaknya? a. Imam Hanafi dalam salah satu riwayatnya: Ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan dapat berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari seperti makan, minum, pakaian, beristinjak, dan berwudhu. Setelah itu, bapaknya lebih berhak memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa, dan tidak diberi pilihan.

b. Imam Miliki berkata: ibu lebih berhak memelihara anak perempuan hingga ia menikah dengan orang laki-laki dan disetubuhinya. Untuk anak laki-laki juga seperti itu, menurut pendapat Maliki yang masyhur, adalah hingga anak itu dewasa. c. Imam Syafii berkata: Ibu lebih berhak memeliharanya, baik anak itu lakilaki maupun perempuan, hingga ia berusia tujuh tahun. Apabila anak tersebut telah mencapai usia tujuh tahun maka anak tersebut diberi hak pilih untuk ikut diantara ayah atau ibunya. d. Imam Hambali dalam hal ini mempunyai dua riwayat: Pertama, ibu lebih berhak atas anak laki-laki sampai ia berumur tujuh tahun. Setelah itu, ia boleh memilih ikut bapaknya atau masih tetap bersama ibunya. Sedangkan untuk anak perempuan, setelah ia berumur tujuh tahun, ia terus tetap bersama ibunya, tidak boleh diberi pilihan. Kedua, seperti pendapatnya Imam Hanafi, yaitu ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan berdiri sendiri dalam memenuhi keperluan sehari-hari sepeti makan, minum, pakaian, beristinjak, dan berwuduk. Setelah itu, bapak lebih berhak memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu yang lebih berhak memeliharanya hingga ia dewasa dan tidak diberi pilihan.4

4. Masa Hadhanah Didalam Al-quran serta hadist secara tegas tidaklah terdapat tentang masa hadhanah, hanya saja terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan ayat tersebut. Oleh karena itu hanya saja para ulama berijtihad sendiri-sendiri, seperti halnya mazhab Hanafi berpendapat bahwa hadhanah anak laki-laki habis pada waktu dia tidak memerlukan penjagaan serta dapat mengurus kepentingan pribadinya, sedangkan wanita habis pada saat haid pertamanya. Sedangkan pendapat para mazhab Imam Syafii, hadhanah itu berkhir ketika sianak telah mumayyiz atau berumur lima ataupun enam tahun, dengan dasar hadits sbb :

Muhammad bin Abdurrahman. 2004. Fikih Empat Mazhab. Bandung: hal. 416

Rasulullah SAW bersabda: anak ditetapkan antara bapak dan ibunya sebagaimana anak (anak yang belum mumayyiz) perempuan di tetapkan antara bapak dan ibunya5. Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa ditanya kepada siapa dan akan terus ikut. Batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum melakukan pernikahan (pasal 98 KHI). Kalau anak tersebut memilih ibunya maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, kalau anak itu memilih ikut bapaknya maka hak mengasuh pindah pada bapak. 5. Upah Hadhanah Ibu tidak berhak atas upah hadhanah seperti menyusui, selama ia masih menjadi istri dari anak itu, atau masih dalam masa iddahnya. Karena dalam keadaan tersebut ia masih dalam keadaan dinafkahi, firman Allah S.W.T. yang artinnya : Para ibu hendaklah menyusukan anak-anak selam dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya, dan kewajiban ayah memberikan nafkah lahir bathin kepada ibu dengan cara yang makruf. 6. Hadhanah Dalam Perspektif KHI Kompilasi Hukum Islam kaitannya dengan masalah ini membagi ada dua periode bagi anak yang perlu dikemukakan yaitu: a. Periode Sebelum Mummayiz Apabila terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu dan pada masa tersebut seorang anak belum lagi mumayyiz atau belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, maka anak tersebut dikatakan belum mummayiz.

Abdurahman Ghodzali Fiqih munhakat, hal 186

KHI menyebutkan pada bab 14 masalah pemeliharaan anak pasal 98 menjelaskan bahwa batas usia anak dalam pengawasan orang tuanya adalah sampai usia anak 21 tahun selama belum melakukan pernikahan . Pada pasal 105 ayat (a) bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Kemudian KHI lebih memperjelas lagi dalam pasal 156. 6 b. Periode Mummayiz Pada masa ini seorang anak secara sederhana telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana yang bemanfaat bagi dirinya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap dapat menjatuhkan pilihannya sendiri apakah ikut ibunya atau ikut ayahnya. Dengan demikan ia diberi hak pilih menentukan sikapnya. Hal ini telah diatur dalam KHI pasal 105 ayat (b) bahwa Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya, dan juga terdapat dalam pasal 156 ayat (b) yang menyebutkan bahwa anak diberi pilihan untuk ikut dalam asuhan ibu atau ayat.7

B. IDDAH 1. Pengertian Iddah Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh atau masa suci. Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.

6 7

Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Kesindo Utama. ibid.

2. Dasar Hukum Iddah Seluruh kaum muslimin sepakat atas wajibnya iddah, pada sebagian landasan pokoknya diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. Firman allah SWT :

Artinya : Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suamisuaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ( Q:S Albaqarah 228) 8

Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.

Al-Quran dan terjemahan Depag RI, 2005 QS. (al-Baqoroh [2]: 228

10

Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Q:S al baqarah 234). 9 NAbi Muhammad bersabda kepada Fatimah binti Qais:


Artinya: Beriddahlah kamu di rumah Ibnu ummi maktum 3. Macam Macam Iddah a. Iddah Talak Iddah talak adalah terjadi karena perceraian, perempuan yang berada dalam iddah talak antara lain: 1) Perempuan yang telah di campuri dan ia belum putus dalam masa haid. Iddahnya 3 kali suci (3 kali haid atau 3 kali Quru). (Q:S al baqarah 228). 2) Perempuan yang dicampuri dan tidak haid baik ia perempuan belum balig atau perempuan tua yang tidak haid, maka iddahnya untuk 3 bulan menurut penggalan, jika tertalak dapat bertemu pada permulaan bulan. (Q:S At talak 4). 3) Perempuan-perempuan yang tertalak dan belum di setubuhi, perempuan ini, tidak ada iddahnya. (Q:S al ahzab 49). b. Iddah Hamil Yaitu iddah yang terjadi apabila perempuan-perempuan yang diceraikan itu sedang hamil, iddahnya samapai melahirkan.(Q:S At talak4) c. Iddah Mati Adalah: Iddah yang terjadi apabila seseorang (perempuan) di tinggal mati suaminya.iddahnya selama 4 bulan 10 hari. (Q:S Al Baqarah 234) d. Iddah wanita yang kehilangan suami. Seseorang perempuan yang kehilangan suaminya (tidak di ketahui keberadaan suami, apakah dia telah mati atau hidup) maka wajiblah di

Al-Quran dan terjemahan Depag RI, 2005 QS(Q.S. Al-Baqoroh 2 : 234)

11

menunggu selama 4 tahun lamanya sesudah itu hendaknya dia beriddah bulan 10 hari. e. Iddah perempuan yang di Ila Bagi perempuan yang di ila timbul perbedaan pendapat apakah ia harus menjalani iddah atau tidak. Bagi fuqoha yang lebih memperhatikan segi kemaslahatan, mereka tidak memandang perlu adanya iddah, sedangkan fuqoha yang lebih memperhatikan segi ibadah maka mereka mewajibkan iddah atasnya.

4. Tujuan Disyariatkan 'Iddah a. Tujuan Islam mensyariatkan 'iddah ke atas kaum wanita ialah untuk memastikan rahim wanita tersebut suci dari air mani suaminya pada saat ia diceraikan dan juga memastikan ia tidak hamil daripada lelaki yang menyetubuhinya sebagai langkah mencegah percampuran nasab dan keturunan. b. Bagi wanita yang diceraikan dengan talak yang boleh dirujuk, ini memberikan peluang kepada suaminya untuk memikirkan kembali saatsaat manis ketika mereka bersama dan kembali rujuk kepada isterinya setelah fikirannya kembali tenang. c. Masa menunggu yang agak panjang ini memberikan peluang kepada pasangan suami isteri untuk menginsafi kembali kesalahan masing-masing dan mencari punca perselisihan antara mereka dan semoga itu mereka dapat bersatu semula. d. Tujuan 'iddah juga supaya ikatan sesuatu perkahwinan itu dapatlah dipanjangkan waktunya dan pada tempoh itu adalah diharapkan kewarasan dan kematangan fikiran pasangan suami isteri yang berselisih dapat dipulihkan dan menghubungkan kembali persefahaman dan kasih sayang mereka. e. Sewaktu melalui proses 'iddah banyak peluang yang boleh direbut oleh wakil dari kedua-dua belah pihak suami isteri bagi mencari jalan keluar dan perdamaian antara mereka dari perselisihan dan semoga dengan cara

12

ini diharapkan dapatlah mempersatukan mereka semula serta menjauhi dari berlakunya perceraian. f. Agama Islam meletakkan institusi kekeluargaan adalah sesuatu yang tinggi dan mulia terutama bagi pasangan suami isteri dimana hubungan kelamin bagi pasangan suami isteri tetap mendapat ganjaran pahala yang besar di sisi Tuhan. Agama Islam amat benci kepada perceraian dan keruntuhan institusi kekeluargaan di mana ia boleh membawa kepada lebih banyak lagi permasalahan sosial. g. Bagi perceraian yang berlaku kerana kematian suami, tujuan 'iddah ialah untuk isteri menjaga hak-hak suaminya, kaum kerabat, menzahirkan perasaan sedih dan dukacita, membuktikan kesetiannya kepada bekas suami serta menjaga ama baik dan maruah diri dan keluarga agar tidak diperkatakan oleh orang lain. h. 'Iddah adalah anugerah dari Allah untuk hamba-Nya yang membuktikan kasih sayang dan kesungguhan bagi memelihara dan menjaga keutuhan institusi kekeluargaan dalam Islam.

5. Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Masa Iddah Fuqoha telah sepakat dalam masa iddah tala rojI berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. Istri-istri yang di talak dalam keadaan hamil masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. Firman Allah SWT:

)6 : (
Artinya : Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin (Q.S. At-Thalaq :6)

13

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN Hadhanah adalah memelihara atau merawat dan membekali anak secara material maupun spritual, mental maupun fisik agar anak mampu berdiri sendiri dalam mengahadapi kehidupannya sebagai seorang muslim yang dewasa. Hadahanah mencakup aspek pendidikan, penncukupan kebutuhan, usia. Untuk menjadi seorang hadhanah harus mempunyai syarat-syarat yakni : 1. Berakal 2. Merdeka 3. Menjalankan Agama 4. Dapat menjaga Kehormatan dirinya 5. Orang yang dipercaya 6. Orang yang menetap didalam negri anak yang di didiknya 7. Keadaan perempuan tidak bersuami, kecuali bersuami denga keluarga dari anak yang memang berhak pula yang untuk mendidik anak itu, maka haknya tetap Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah: 1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri. 2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot.

Iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan. Seluruh kaum muslimin sepakat atas wajibnya iddah, pada sebagian landasan pokoknya diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul.

14

Ada beberapa macam iddah, yaitu : 1. Perempuan yang telah di campuri dan ia belum putus dalam masa haid. Iddahnya 3 kali suci (3 kali haid atau 3 kali Quru). 2. Perempuan yang dicampuri dan tidak haid baik ia perempuan belum balig atau perempuan tua yang tidak haid, maka iddahnya untuk 3 bulan menurut penggalan, jika tertalak dapat bertemu pada permulaan bulan. 3. Perempuan-perempuan yang tertalak dan belum di setubuhi, perempuan ini, tidak ada iddahnya. 4. Iddah wanita hamil Yaitu iddah yang terjadi apabila perempuanperempuan yang diceraikan itu sedang hamil, iddahnya samapai melahirkan. 5. Iddah wanita yang ditinggal mati Adalah: Iddah yang terjadi apabila seseorang (perempuan) di tinggal mati suaminya.iddahnya selama 4 bulan 10 hari. (Q:S Al Baqarah 234) 6. Iddah wanita yang kehilangan suami. Seseorang perempuan yang kehilangan suaminya (tidak di ketahui keberadaan suami, apakah dia telah mati atau hidup) maka wajiblah di 7. Iddah wanita yang di ila.

Salah satu tujuan disyareatkannya iddah dalam islam yaitu ,'Iddah merupakan anugerah dari Allah untuk hamba-Nya yang membuktikan kasih sayang dan kesungguhan bagi memelihara dan menjaga keutuhan institusi kekeluargaan dalam Islam. Agama Islam amat benci kepada perceraian dan keruntuhan institusi kekeluargaan di mana ia boleh membawa kepada lebih banyak lagi permasalahan sosial. Kemudian bagi perceraian yang berlaku karena kematian suami, tujuan 'iddah ialah untuk isteri menjaga hak-hak suaminya, kaum kerabat, menzahirkan perasaan sedih dan dukacita, membuktikan kesetiannya kepada bekas suami.

15

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, Slamet Abidin. Fikih Munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia. Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Kesindo Utama. Muhammad , Abdurrahman. 2004. Fikih Empat Mazhab. Bandung. Nienda. 2011.Hak Asuh Anak Akibat Perceraian.(online)( http:// nindyaprisca. wordpress.com/) diakses pada 31 desember 2011. Rahman Ghozali Abdul,MA .2008. Fiqih Munhakhat. Jakarta: Kencana. Rasyd Sulaiman, H, .1994. Fiqih Islam. Bandung: Sinar baru Algensindo. Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.

16

You might also like