You are on page 1of 12

Tragedi Kemanusiaan Etnis Tionghoa (13-15 Mei 1998 )

Oleh : Hiqma Widya Isnandza D (110210103025) Abstrak


Sebelas tahun sudah tragedi (13-15) Mei 1998 berlalu. Tragedi kemanusiaan ini menyisakan banyak keprihatinan dan tanya bagi banyak orang, khususnya bagi para keluarga korban yang harus kehilangan keluarga dengan cara paksa, perempuan yang menjadi korban pemerkosaan dan etnis Tionghoa yang dijadikan korban kekejaman para pihak yang tidak bertanggung jawab. Metode penulisan yang di gunakan adalah metode deskripsi, yaitu dengan penjabaran atau pemaparan topik yang ada secara lengkap dan jelas. Hasil dan pembahasan menunjukkan bahwa sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia. Kesimpulan penyebab tragedi kemanusiaan ini adalah karena terjadinya persilangan ganda antara dua proses pokok yakni proses pergumulan elit politik yang berkaitan dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional dan proses pemburukan ekonomi moneter yang cepat.

Kata Kunci
Tragedi Kemanusiaan, Penyiksaan dan Pemerkosaan Perempuan etnis Tionghoa

Pendahuluan
Ratusan manusia menjadi korban, dengan amat mengenaskan mereka terpanggang kobaran api di dalam Yogya Plaza, Kleder, Jakarta Timur. Tragedi ini tidak hanya terjadi di Jakarta, namun terjadi juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Tragedi ini merupakan rentetan kejadian yang memilukan, dimana sehari sebelumnya (12 Mei 1998) empat mahasiswa Universitas Trisakti menjadi korban penembakan oleh aparat TNI pada saat menggelar aksi menuntut Reformasi. Kejadian 11 tahun silam tersebut adalah sejarah kelam

bangsa ini. Namun sampai dengan saat ini tak juga ada pertanggungjawaban pemerintah atas terjadinya tragedi Mei 1998. Sekitar jam 11.30, saya melihat beberapa orang di antara massa mencegat sebuah mobil dan memaksa penumpang turun, kemudian menarik dua orang gadis keluar. Mereka mulai melucuti pakaian kedua gadis itu dan memperkosanya beramai-ramai. Kedua gadis itu coba melawan sambil menjerit ketakutan, namun sia-sia," tutur seorang saksi mata di Muara Angke, Jakarta pada tanggal 14 Mei 1998. Hampir ada sekelompok provokator dan jurang perbedaan sosial ekonomi yang menyebabkan terjadinya Tragedi Mei 1998 yang memakan 1.339 jiwa warga Indonesia, termasuk hampir seratus perempuan Indonesia etnis Tionghoa yang mengalami kekerasan seksual dan diperkosa, lebih dari 5.723 bangunan, 1948 kendaraan dan 516 fasilitas umum dibakar di beberapa kota besar di Indonesia.1 ( 1. Menurut Ester Jusuf, et. al. dalam bukunya yang berjudul Kerusuhan Mei 1998, Fakta, Data & Analisa )

Metode Penulisan
Dalam penulisan artikel ini, metode penulisan yang digunakan adalah metode deskripsi. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti setatus sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistempeikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskipsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajarai masalah-masalah dalam masyarakat serta tatacara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatankegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.

Hasil dan Pembahasan


Sampai bertahun tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan fakta dengan mengatakan sama sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut. Sebab-Sebab Kerusuhan Mei 1998 Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai sekarang. Namun demikian umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian orang-orang tersebut.Tragedi Mei 1998 sudah 11 tahun lebih berlangsung akan tetapi pengungkapan pelaku belum juga tuntas, bahkan proses hukum yang mengungkap tragedi ini tidak akan berhenti tanpa ada keterangan dari pihak berwajib Susah dan Berat begitulah ungkapan untuk penyelesaian Tragedi yang menewaskan beberapa Orang Mahasiswa ini sampai sekarang belum juga terungkap.

Puncak Masalah
Kasus ini meledak, pada tanggal 14 Mei 1998. Jakarta seperti membara semua orang tumpah di jalanan. Mereka merusak dan menjarah toko dan gedung milik swasta maupun pemerintah. Masa pada saat itu sudah kehilangan kendali dan brutal akibat kondisi yang terjadi di tnah air pada saat itu. Tidak hanya itu, massa juga memburu warga keturunan Cina. Akhirnya, banyak warga keturunan Cina mengungsi ke luar negeri. Sebagian lainnya bertahan dalam ketakutan. dan munculah isu isu yang tidak jelas bahwa pada hari itu terjadi perkosaan masal warga keturunan Tiong Hoa. Sepuluh tahun pasca-tragedi Mei 1998, kita mendengar ratapan keluarga korban, "Hati saya masih sangat perih. Hidup saya tak berarti, hampa. Sampai

kapan pun saya tidak akan dapat melupakan peristiwa biadab yang merengut nyawa anak saya dalam tragedi Mei 1998. Dia dituduh penjarah, padahal ia korban. Saya hendak mencari keadilan, tetapi kepada siapa? Mengapa ini harus terjadi?"

Tragedi Kerusuhan Mei 1998 Pada Zaman Pemerintah kolonial Belanda


Kekerasan dan diskriminasi seperti Tragedi Kemanusiaan Mei 1998 telah berlangsung di pertiwi Indonesia lebih dari tiga ratus tahun. Pada tahun 1740, Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier membantai lebih dari 10.000 warga Nusantara di Batavia. 2 ( 2. Setiono, 2003). Pada tanggal 31 Oktober 1918, sebagai akibat politik adu domba pemerintah kolonial Belanda, rumah-rumah dan toko-toko di kota Kudus dijarah dan dibakar habis oleh ribuan massa yang datang dari Mayong, Jepara, Pati, Demak dan daerah sekitarnya. Ratusan warga Nusantara menderita luka-luka dan enam belas meninggal dunia secara dini. Ketika kalah perang dan menarik diri pada Perang Dunia II, tentara Belanda mendobrak, menjarah, dan menghancurkan banyak rumah, toko dan ratusan pabrik milik penduduk Indonesia. Sebagian rakyat Indonesia meniru perbuatan yang merendahkan kemanusiaan ini. Jepang menggantikan Belanda sebagai penjajah Indonesia. Mereka juga menggelar kekerasan dan diskriminasi. Mereka memutus ikatan komunitas antara warga minoritas dan mayoritas Indonesia. Salah satu pembantaian terjadi pada akhir Oktober 1943, yang dikenal dengan "Pontianak Affair" dimana sebanyak 1.500 jiwa melayang, 854 di antaranya minoritas. Dengan mundurnya Jepang dari bumi Indonesia, Belanda ingin kembali lagi melalui tentara NICA (Nederlandsch Indie Civil Administration) . Mereka berhasil mengadu domba rakyat Indonesia. Pada Mei 1946, sebanyak 635 orang, termasuk 136 perempuan dan anak-anak di daerah Tangerang dan sekitarnya menjadi korban pembunuhan. 1.268 rumah dibakar dan 236 juga mengalami kerusakan.3 (3. Setiono, 2006 ). Kemudian berlangsung rangkaian pembantaian, penjarahan dan pembakaran atas rumah-rumah, tokoh-tokoh, pabrik-pabrik dan kendaraan-kendaraan di Bagan Siapi-Api, Kuningan, Majelengka, Indramayu, Pekalongan, tegal, Purwokerto,

Purbalingga,

Bobotsari,

Gombong,

Lumajang,

Jember,

Malang,

Lawang,

Singosari, dan sebagainya. Kekerasan dan diskriminasi belum usai pasca-kemerdekaan. Pada 10 Mei 1963, tindakan anarkis kembali terjadi. Akibat senggolan motor terhadap seorang mahasiswa, massa yang mengalami provokasi melakukan aksi penjarahan, perusakan, dan pembakaran di Bandung, dan kemudian meluas ke kota-kota sekitarnya, seperti Tasikmalaya, Garut, Cianjur dan Sukabumi. Operasi militer terhadap mereka yang didakwa terlibat dalam G30S (Gerakan 30 September) yang dimulai pada tahun 1965 mengakibatkan jatuhnya korban jiwa laki-laki dan perempuan, minoritas dan mayoritas, Muslim dan non-Muslim dalam jumlah jutaan. Pada tahun 1967, dengan alasan menumpas Pasukan Gerilyawan Rakyat Serawak (PGRS) kembali lagi tebukti betapa rapuhnya persaudaran kita sebagai rakyat Indonesia - kita berhasil diprovokasi sehingga terjadi aksi pembantaian di desa-desa pedalaman Kalimantan Barat yang mengakibatkan puluhan ribu orang mengungsi ke Singkawang dan Pontianak. Pada tanggal 15 Januari 1974 protes yang kemudian dikenal dengan peristiwa Malari meluas menjadi aksi penjarahan, pembakaran dan serangan terhadap pertokoan dan penghuninya di Glodok, pasar Senen dan Blok M, Jakarta. Kita masih mencatat saudara-saudari kita yang menjadi korban kekerasan, seperti dalam peristiwa Penembakan Misterius, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, dan Penculikan Aktivis 1997-1998. Menjelang penarikan Tentara nasional Indonesia (TNI) di Timor Leste pada akhir tahun 1999, berlangsung pembunuhan, pembakaran, pengrusakan dan penjarahan massal. Selama konflik dan pendudukan TNI, sebanyak 125.000 warga Timor Leste diperkirakan meninggal secara dini.4 (4. Vickers, 2007)

Kekersan dan Diskriminasi


Kekerasan dan diskriminasi baik dalam skala besar dan kecil, lokal dan nasional, masih besifat para ras dan agama, di berhala politik dan non-politik jika dan kita, seperti bangsa di atas mungkin berlangsung pemeluk masa depan Indonesia, menjalankan

membiarkan

kekerasan

diskriminasi

aksinya. Kekerasan dan diskriminasi berlangsung karena individu atau kelompok orang

yang memperebutkan dan mempertahankan kekuasanaan mereka secara rakus. Untuk tujuan Indonesia politik baru ini, tanpa mereka mengadu kita domba harus warga Indonesia tindakan dengan yang mengeksploitasi sentimen suku, agama, ras, dan antarbudaya. Sebagai pencinta kekerasan, menghentikan melanggar kemanusiaan ini. Selain warna kehidupan yang penuh dengan kekerasan dan diskriminasi, kita tahu bahwa nenek moyang kita pernah hidup dengan rukun dengan bangsa lain yang menetap dan menjadi penduduk Nusantara. Kita merindukan dan menyerukan untuk hidup bersama secara damai demi kesatuan bangsa. Hampir ribuan tahun silam penduduk Nusantara membuahkan karya pembuatan batu bata dan genting guna membangun rumah. Kehidupan bersama yang damai juga menelurkan penggunaan jarum untuk membuat pakaian dan menghasilkan cocok tanam dan pengelolaan padi secara lebih efisien untuk kelangsungan hidup.5 (5. Adam, 2002). Kita juga menjalin kerja sama dengan para pendatang dari luar untuk membangun galangan kapal perang dan merakit teknologi mesiu dan meriam secara bersama. Karena itulah, nenek moyong kita berhasil mempersatukan Nusantara di bawah Kerajaan Majapahit. Melalui kerja sama dengan Laksaman Cheng Ho dan para Wali Songo, Islam merasuki bumi Nusantara. Pada kesempatan itu pula, para wali, diantaranya Sunan Bonang (Bong Ang), Sunan Kalijaga (Gan Si Cang), Sunan Ampel (Bong Swi Hoo) dan Sunan Jati (Toh A Bo), mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak. Sultan pertama kerajaan Islam Demak, Raden Patah juga dikenal sebagai Jin Bun atau Cek Ko Po.6 (Qurtuby, 2003). Kerja sama yang harmonis untuk mengusir penjajah dari muka bumi Nusantara juga terlihat dalam Perang Jawa (1825-1830). Dalam perang ini, Tan Djin Sing secara aktif membantu Pangeran Diponegoro antara lain dengan memberikan sumbangan dana, kuda kesayangannya para pemimpin untuk pasukannya Pangeran dengan ilmu Diponegoro bela diri.
6

dan (6. Setiono,

melatih 2006)

Para pendahulu kita telah bekerja sama secara harmonis untuk menyatukan Indonesia modern di bawah Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928. Harian Sin Po untuk pertama kalinya

menerbitkan lirik lagu Indonesia Raya dan mempropagandakan penggunaan nama "Indonesia" untuk menggantikan "Hindia Belanda". Kwee Thiam Hong (Daud Budiman), Ong Khai Siang, Jong Liaw Thoan Hok, Thio Jin Kwee dan Muhammad Chai terlibat dalam Sumpah Pemuda.7 (7. Wijayakusuma, 1999). Liem Koen Hian, Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei dan Tan Eng Hoa juga terlibat aktif dalam merumuskan Undang-Undang Dasar Negara RI pada tahun 1945 8 (8. Suryadinata, 2005). Perjuangan panjang Republik Indonesia hingga saat ini adalah hasil kerja sama yang harmonis dari para pendahulu kita. Oleh karena itu, siapa saja yang tinggal di Indonesia atau menjadi warga negara Indonesia berhak menerima perlakuan yang berperikemanusiaan, tanpa kekerasan dan diskriminasi. Memang sejak Tragedi Mei 1998 kedudukan Tionghoa di Indonesia telah mengalami kemajuan, seperti media, pendidikan, dan budaya Tionghoa diperbolehkan untuk ditampilkan di publik. Selain itu, status Tionghoa secara hukum telah disetarakan dengan bangsa Indonesia asli. Walaupun demikian, bukan berarti pengusutan dan penyelesaian Tragedi Kemanusiaan Mey 1998 telah selesai dilakukan oleh pemerintah. Tetapi, sebagai suatu negara hukum, sudah selayaknyalah pemerintah menindaklanjuti setiap pembuat kejahatan, apalagi kejahatan yang diperbuat menyebabkan ribuan nyawa manusia Indonesia melayang dengan cuma-cuma. Untuk menghindari supaya Tragedi May 1998 tidak terulang lembali, para peserta dialog, pertama, kembali mengacu pada perbedaan sosial ekonomi. Beberapa dari mereka beranggapan bahwa jika jurang perbedaan ini diperkecil maka tragedi seperti ini mungkin bisa dihindari. Kedua, ada juga dari mereka yang melihat perlunya menerapkan dan mengembangkan pendidikan yang intinya supaya dengan pengetahuan yang diperoleh peserta pendidikan tersebut bisa mengambil keputusan yang bijaksana dan tidak berbuat kekerasan.

Kesimpulan
92 perempuan Indonesia etnis Tionghoa menderita kekerasan seksual, 1.338 warga Indonesia menderita kematian dini di pusat-pusat perbelanjaan umum, dan tak terhitung fasilitas pribadi dan umum rusak dalam tragedi Mei 1998 yang berlangsung di Jakarta, Surabaya, Palembang, Solo, dan Lampung. Kekerasan dan diskriminasi, seperti Tragedi Mei 1998, telah berlangsung di pertiwi Indonesia lebih dari tiga ratus tahun. Pada tahun 1740, lebih dari 10.000 warga Nusantara etnis Tionghoa menderita kematian dini karena pembantaian dan karena kekerasan seksual terhadap para perempuannya oleh Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atas perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier. Pada tanggal 31 Oktober 1918, sebagai akibat politik adu domba rezim kolonial Belanda, ribuan massa dari Mayong, Jepara, Pati, Demak, dan sekitarnya merusak kawasan pertokoan dan pemukiman warga Nusantara etnis Tionghoa di Kudus. Ratusan warga Nusantara etnis Tionghoa menderita luka dan enam belas dari mereka menderita kematian dini. Praktek rezim kolonial Belanda yang melibatkan massa untuk melangsungkan kekerasan terhadap kelompok masyarakat yang dikambinghitamkan sebagai ancaman diadopsi oleh rezim penguasa Indonesia pascakemerdekaan. Politik kambing hitam terhadap G30S (Gerakan 30 September), misalnya, menelan dalam dalam berlangsung rentang ratusan skala karena isu-isu suku, ribu hingga jutaan yang agama, ras, korban laki-laki beragam dan antarbudaya. dan korban perempuan, telah Ledakan

minoritas dan mayoritas, Muslim dan non-Muslim. Kekerasan dan diskriminasi lainnya

kekerasan masih berpotensi berlangsung di masa depan jika kita membiarkan para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan lolos dari tuntutan hukum dan jika kita menolak berbela rasa dengan para korban. Para pendahulu bangsa Indonesia telah mengawali terciptanya Nusantara-Indonesia yang menghargai pluralitas suku, agama, ras, dan antar budaya. Mereka bahu-membahu melawan setiap bentuk perendahan kemanusiaan dalam wujud kolonialisme, kekerasan, diskriminasi rasial, dan sebagainya. Mereka mengikrarkan satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia. Pada peringatan 10 tahun tragedi kemanusiaan Mei 1998, kami mendorong pemerintah Republik Indonesia untuk mengusut tuntas tragedi kemanusiaan Mei 1998, dan mengadili para pelakunya. Kami mendorong pemerintah Republik Indonesia untuk

menindak secara hukum individu atau kelompok yang mengeksploitasi suku, agama, ras, dan antarbudaya untuk kekerasan dan diskriminasi terhadap target korbannya.

Saran
Dengan adanya artikel ini, sebaiknya para pembaca lebih memperhatikan atau menghormati akan adanya HAM yang di miliki oleh orang lain. Kita sebaiknya sebagi makhluk yang taat hukum hendaknya tidak mendahulukan hak dii kita sendiri. Kita hidup berbangsa dan bernegara dengan serangkaian macam ras dan suku bangsa, dengan adanya perbedaan tersebut, kita dituntut untuk saling menghargai dan menghormati pada hal perbedaan tersebut Semoga artikel ini bermanfaat bagi para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.google.com/penyimpangan pancasila http://www.google.com/ Tragedi Kemanusiaan Etnis Tionghoa (13-15 Mei 1998)

http://www.overseas thinktankforindo nesia.com/2008/03/25/ roposal- renungan kemanusiaan-sedunia- dalam-memperinga ti-10-tahun- tragedi-kemanusi aan-mei 1998/ Setiono, G.2003.Tionghoa dalam Pusaran Politik.Jakarta:ELKASA Wijayakusuma, H.1999. Warga Tionghoa Juga Anak Bangsa.Jakarta:Tabloid Suar168

INSKONTITUSI PANCASILA SILA KE 2


TRAGEDI KEMANUSIAAN ETNIS TIONGHOA(13-15 MEI 1998 )

ARTIKEL

Oleh :

Hiqma Widya Isnandza Damayanti NIM 110210103025

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN MIPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JEMBER 2011

You might also like