You are on page 1of 16

UNIVERSITAS PADJADJARAN

Peranan Hukum Administrasi Negara Serta Fungsinya Dalam Sistem Hukum Di Indonesia

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

AINI NURUL IMAN [110111090068]

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wataala, karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini diajukan guna memenuhi komponen tugas akhir mata kuliah Hukum Administrasi Negara.

Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen bersangkutan yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pembelajaran mata kuliah ini bagi kita semua.

Bandung, Agustus 2010

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintah yang baik, sebenarnya sudah ada sejak zaman Plato, jika dilihat dari aspek historis maka di dalamnya terdapat dua pendekatan ( secara personal dan secara sistem ). Pendekatan secara personal telah dimulai pada masa Plato. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan yang ideal dilakukan secara paternalistik, Pada bagian lain, Plato mengusulkan agar negara menjadi baik, harus dipimpin oleh seorang filosof yang arif bijaksana, menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi. Dan pendekatan yang ke dua yakni pendekatan secara sistem, disini Plato sendiri merubah gagasannya yang semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Karena menurut Plato, penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik. Namun dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah berbagai bidang kehidupan dan pemerintahan ke arah yang dicita-citakan. Akibat kemajuan tersebut, globalisasi telah melanda di berbagai penjuru dunia, yang membawa implikasi pada pemilihan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan, yang pada akhirnya menimbulkan pergeseran pada sejumlah paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pertama, terjadinya perubahan paradigma dari government ke governance, dan good governance. Kedua, terjadinya pergeseran paradigma tentang peran pemerintah dari rowing the boat ke steering the boat. Dan pergeseran peran administrasi negara dari service provider menjadi service enabler. Ketiga, perubahan paradigma birokrasi dari weberian paradigm of bureaucracy, yang sangat hirarkhis dan rules driven, menjadi flat organization dan mission driven.

Dalam era globalisasi juga telah memudarkan batas-batas yang jelas antara hukum publik dan hokum privat. Sementara itu terjadi perubahan teori Hukum Administrasi Negara dari red light theory menjadi green light theory dan kearah reinvented theory. Dengan demikian perlu dilakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian penyesuaian kebijakan di berbagai bidang Pemerintahan, dalam mengantisipasi pergeseran-pergeseran paradigma tersebut di atas, untuk menghadapi era globalisasi yang melanda berbagai penjuru dunia. Sehingga dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintah yang baik dapat tercapai dengan lancar. Dengan latar belakang pemikiran-pemikiran itulah, maka kiranya perlu dibentuk suatu pusat kajian yang dapat memberikan kontribusinya bagi berlangsungnya pergeseran-pergeseran paradigma tersebut, ke arah yang mendukung bagi

berlangsungnya pembangunan nasional kita. Untuk itulah, maka dibentuk Pusat Kajian Hukum dan Kepemerintahan yang Baik. Secara teoretis, presiden atau Pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara. Sebagai organ negara pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik dilapangan pengaturan (regelen) maupun dalam lapangan pelayanan (bestuuren). Administrasi(Negara) adalah badan atau jabatan dalam lapangan kekuasaan eksekutif yang mempunyai kekuasaan mandiri berdasarkan hukum untuk melakukan tindakan-tindakan pemerintahan baik di lapangan pengaturan, maupun penyelenggaraan administrasi negara.

B. Tujuan
Tujuan-tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Meneliti dan mempelajari Peranan Hukum Administrasi Negara Serta Fungsinya Dalam Sistem Hukum Di Indonesia. 2. Meneliti dan mempelajari Kebutuhan dan keadilan yang mendekati kesempurnaan untuk dapat memenuhi sistem hukum yang ada di Indonesia. 3. Menelaah lebih jauh mata kuliah Hukum Administrasi Negara.

BAB II PERMASALAHAN
Dengan adanya kekuasaan yang digunakan untuk membimbing suatu negara tersebut maka akan timbul keinginan untuk menyalahgunakan kekuasaan bagi si pemilik kekuasaan tersebut untuk memenuhi kepentingan pribadi, seperti yang telah terjadi di Indonesia ini. Korupsi, kolusi maupun nepotisme seperti sudah mendarah daging di dalam bangsa kita.

Secara konseptual, pada negara berkembang, pemikiran bahwa korupsi merupakan bagian dari kekuasaan, bahkan bagian dari sistem itu sendiri, menjadi tidak diragukan. Karena itu, ada yang berpendapat, penanggulangan yang terpadu adalah dengan memperbaiki sistem yang ada. Artikulasi sistem ini bermakna komprehensif, bahkan dapat dikatakan sebagai proses signifikan. Korupsi sudah menjadi bagian dari sistem yang ada. Karena itu, usaha maksimal penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, harus dilakukan dengan pendekatan sistem atau systemic approach, apalagi bila pendekatan sistem ini dikaitkan dengan peran institusi peradilan yang amat menentukan sebagai sebuah institusi penegakan hukum dalam proses akhir pemberantasan korupsi. Sangat sulit menentukan awal dimulainya antisipasi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Sistem harus ditelaah sebagai kesatuan yang meliputi tindakan re-evaluasi, reposisi, dan pembaruan (reformasi) terhadap struktur, substansi hukum, khususnya budaya hukum (legal culture) sebagai cermin etika dan integritas penegakan hukum. Systemic approach sebagai bahan untuk memecahkan persoalan hukum (legal issue) atau penyelesaian hukum (legal solution) maupun pendapat hukum (legal opinion). Legal culture (budaya hukum) merupakan aspek penting yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan sebagai civic-minded sehingga masyarakat selalu taat dan menyadari pentingnya hukum sebagai regulasi umum. Masalah korupsi sebagai budaya hukum ini terkait dengan etika, moral masyarakat, khususnya penegak hukum. Pendekatan struktur dan substantif tidak akan berhasil jika tidak diikuti pendekatan budaya dan etika dari penegak hukum itu sendiri yang sering terkontaminasi suap.

Dari semua persoalan itu, amat berarti peran kebijakan kriminal (criminal policy) melalui pendekatan non-penal, yaitu dengan meningkatkan langkah kampanye antikorupsi misalnya. Kampanye semacam ini diperlukan dengan pendekatan antara masyarakat, pers (sebagai social power), dan institusi kenegaraan (sebagai political power). Apalagi, masalah korupsi di Indonesia kini tidak lagi dapat dikatakan sebagai masalah eksekutif saja, tetapi juga sudah terkontaminasi institusi kenegaraan lainnya, entah itu legislatif, yudikatif, maupun institusi negara nondepartemen.
Namun selain KKN ada juga masalah lain seperti masalah tentang alat-alat perlengkapan negara, masalah Negara dan hukum, masalah kedaulatan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang akan dibahas pada bab Pembahasan.

BAB III PEMBAHASAN


Kekokohan suatu bangsa tergantung dari keyakinan bangsa tersebut terhadap nilai-nilai luhur bangsanya. Bagi Indonesia nilai-nilai luhur tersebut terkristalisasi dan terakumulasi dalam filasafat Pancasila. Berdasarkan sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Sila ke-5 tersebut sebagai unsur hakiki dari adil, memiliki pengertian penghormatan terhadap hak ynag bersangkutan. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa dalam negara manapun semuanya mengakui adanya suatu asas persamaan didepan hukum atau Equality Before The Law, seperti asas hukum Rule Of Law yang dipakai dalam negara Anglo Saxon bahwa Rule Of law melingkupi: 1. 2. 3. Supremacy Of Law Equality before the law Constitrution based on human rights.

Hal seperti inilah yang seharusnya menjadi pedoman bagi penegakan supremasi hukum di Indonesia. Dan hal ini sebenarnya telah tercantum dalam Undang Undang Dasar tahun 1945 tepatnya pasal 27. yang berbunyi 1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Sehingga jelas dalam negara republik Indonesia tidak ada perbedaan dalam perlakuan hukum bagi seluruh warga negara.

Adapun yang perlu dipahami sebelum mengenal lebih lanjut mengenai sistem Administrasi kita yaitu, Diskresi (pouvoir discretionnaire, Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman) merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur, jadi merupakan kekecualian dari asas legalitas. Ada berbagai definisi yang diberikan oleh para pakar mengenai diskresi diantaranya: Sjachran Basah berpendapat bahwa: ..., tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai..., melibatkan administrasi negara di dalam melaksanakan tugas-tugas servis publiknya yang sangat

kompleks, luas lingkupnya, dan memasuki semua sektor kehidupan. Dalam hal administrasi negara memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakankebijakan walaupun demikian sikap tindaknya itu haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum. Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Syachran Basah tersebut, tersimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu diskresi adalah: 1. ada karena adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh administratur negara; 2. dalam menjalankan tugas tersebut, para administratur negara diberikan keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan; 3. kebijakan-kebijakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum.

Dengan demikian diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiaban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya. Hal tersebut

mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-undangan (rechtsvacuum). Bila berbicara mengenai pertanggungjawaban maka diskresi akan terkait dengan permasalahan subyek yang memiliki kewenangan membuat diskresi. Menurut para pakar sebagaimana tersimpulkan dalam buku Pokok-pokok Pemikiran Hukum Administrasi Negara, maka subyek yang berwenang untuk membuat suatu diskresi adalah administrasi negara dalam pengertian sempit, yaitu eksekutif. Argumentum yang dikedepankan sehubungan dengan hal ini

adalah bahwa eksekutiflah yang lebih banyak bersentuhan dengan masalah pelayanan publik oleh karena itu diskresi hanya ada di lingkungan pemerintahan (eksekutif). Bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat, pengumuman, surat keputusan (SK), surat penetapan, dll. Inilah yang sangat diawasi perlu pandangan yang mengatakan bahwa diskresi diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum, ada pandangan lain yang berpendapat bahwa diskresi menimbulkan suatu kekacauan politik yang berbuntut pada lahirnya korupsi. Kekacauan politik dalam hal ini adalah konflik yang timbul akibat dikeluarkannya suatu diskresi. Konfllik tersebut umumnya terkait dengan adanya wewenang pembuatan diskresi oleh Aparatur Pejabat Pemerintahan yang rawan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Melihat rawannya potensi kekacauan hukum dan administrasi yang ditimbulkan, maka diskresi harus dapat dipertanggungjawabkan (resposibility) sekaligus dipertanggunggugatkan (accountability). Fesler and Kettl sebagaimana dikutip oleh Raymond Cox, menyatakan bahwa tanggung gugat (accountability) merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah (responsibility) hal ini dapat dilihat dalam pendefinisian yang mereka berikan mengenai tanggung jawab pemerintah sebagai berikut: Bureaucratic responsibility has two elements. One is accountability: faithful

obedience to the law, to higher officials' directions, and to standards of efficiency and economy. The other is ethical behavior: adherence to moral standards and

avoidance even of the appearance of unethical actions. The two elements overlap and are generally compatible, but not always. Morality may call for disobedience to supervisors or reporting of supervisors' unethical behavior to their superiors, to legislators, or to the public

Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Fesler and Kettl tersebut maka responsibility terdiri atas: 1. kepatuhan terhadap hukum, perintah atasan, dan standar akan efesiensi dan ekonomi

2. batasan-batasan etika, mengacu pada standar moral guna menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak beretika. USINFO.GOV mendefinisikan akuntabilitas pemerintah sebagai berikut: Government accountability means that public officials -- elected and un-elected -have an obligation to explain their decisions and actions to the citizens. Government accountability is achieved through the use of a variety of mechanisms -- political, legal, and administrative -- designed to prevent corruption and ensure that public officials remain answerable and accessible to the people they serve. In the absence of such mechanisms, corruption may thrive. Definisi yang diberikan oleh USINFO.GOV tersebut setidaknya memberikan cakupancakupan yang harus dipenuhi dalam akuntabilitas pemerintahan, yaitu setidaknya mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. kewajiban dari pejabat publik baik pejabat politik maupun karier terhadap keputusan maupun tindakan yang telah mereka ambil. Kewajiban untuk menjelaskan ini dilakukan melalui mekanisme; 2. mekanime akuntabilitas dapat ditempuh secara politik, legal, ataupun administratif. Dengan demikian, pejabat public memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala keputusan dan tindakan mereka melalui mekanisme akuntabilitas baik itu secara politik, legal maupun administrative. Lebih lanjut dijelaskan dalam web yang sama bahwa yang termasuk dalam mekanisme akuntabilitas hukum meliputi: Ethics statutes and codes of conduct for public officials, outlining unacceptable practices; Conflict of interest and financial disclosure laws, requiring public officials to divulge the source of their income and assets so that citizens may judge whether the actions of those officials are likely to be influenced improperly by financial interests; "Sunshine" laws, providing the press and the public access to government records and meetings;

Citizen participation requirements, dictating that certain government decisions must include input from the public; and Judicial review, providing courts the power to review the decisions and actions of public officials and agencies. Mekanisme akuntabilitas administratif berupaya untuk menjamin pejabat publik baik

yang berada dalam lingkungan kementerian ataupun instansi pemerintahan lain tetap berada dalam proses administrasi yang telah ditetapkan daan memastikan bahwa segala tindakan dan keputusan yang diambil memberikan kemanfaatan bagi masyarakat. Mekanisme administratif ini dapat dilakukan melalui: Institusi ombudsman, dalam hal ini ombudsman lebih berperan sebagai institusi yang mendengarkan dan menyampaikan keluhan masyarakat kepada institusi atau pejabat publik atas tindakan ataupun dikeluarkannya suatu keputusan administrasi yang dirasakan telah menimbulkan kerugian kepada masyarakat (Agency ombudsmen, responsible for hearing and addressing citizen complaints); Badan auditor independent yang mengawasi akan penggunaan dana public dari tanda-tanda penyalahgunaan (Independent auditors who scrutinize the use of public funds for signs of misuse); Pengadilan administrasi sebagai institusi judisial yang menyelesaikan sengketa atas

keputusan-keputusan administrasi yang dikeluarkan oleh pejabat public (Administrative courts, that hear citizens' complaints about agency decisions); Perangakat peraturan mengenai etika yang berfungsi sebagai pelindung/whisleblowers (Ethics rules protecting so-called whistleblowers -- those within government who speak out about corruption or abuse of official authority -- from reprisals). Berkaca pada mekanisme akuntabilitas administatif yang ada di Amerika yang melibatkan institusi ombudsman, badan auditor independent, pengadilan administrasi serta seperangkat pengaturan mengenai etika, maka Indonesia-pun sebenarnya telah memiliki kelengkapan mekanisme akuntabilitas administrasi sebagaimana halnya mekanisme akuntabilitas di Amerika. Eksistensi ombudsman di Indonesia hadir melalui Komisi Ombudsman Nasional yang telah terbentuk sejak tahun 2000, keberadaan badan auditor independent diwakili oleh Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang lebih dikenal dengan KPK, demikian pula halnya dengan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai institusi penyelesaian sengketa antara pemerintah dan masyarakat yang merasa dirugikan dengan dikeluarkannya ataupun tidak dikeluarkannya suatu keputusan publik serta perangkat peraturan mengenai whistle blower yang telah dimiliki oleh Negara kita. Namun demikian kelengkapan perangkat mekanisme akuntabilitas administrasi ini pada dasarnya belum bekerja secara optimal. Mekanisme akuntabilitas administrasi di Amerika memang telah menyentuh ranah diskresi namun di Indonesia pengawasan atas keputusan administratif pemerintahan selama ini berada dalam pengaturan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) dan peraturan-peraturan yang sifatnya internal. Pengaturan terhadap diskresi selama ini belum diatur secara tegas, padahal potensi permasalahan hukum dan administrasi yang ditimbulkan cukup besar. Oleh sebab itu, sistem Pengawasan Akuntabilitas yang telah ada perlu dilengkapi dengan sistem yang dapat mengawasi dan menilai akuntabilitas penetapan Keputusan-keputusan Administrasi Pejabat Pemerintahan termasuk diskresi dari sudut hukum dan administrasi negara. Untuk mengakomodir hal tersebut, sebenarnya perihal pengaturan diskresi (dan juga keputusan administrasi pemerintahan) telah dicoba dituangkan dalam Rancangan Undangundang Administrasi Pemerintahan (RUU AP). Melalui Pasal 1 ayat (5) RUU AP tersebut, diskresi didefinisikan sebagai kewenangan Pejabat Administrasi Pemerintahan yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah dengan memperhatikan batas-batas hukum yang berlaku, asas-asas umum pemerintahan yang baik dan norma-norma yang berkembang di masyarakat. Definisi tersebut diperjelas kembali melalui pengaturan yang terdapat dalam Pasal 25 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut: (1) Pejabat Administrasi Pemerintahan diberikan kewenangan untuk mengambil keputusan yang bersifat diskretif dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Batas toleransi dari diskresi-pun diatur secara tegas dalam ayat (2), yaitu: 1. tidak bertentangan dengan hukum dan HAM; 2. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

3. wajib menerapkan asas-asas pemerintahan yang baik; 4. tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

RUU AP ini pun memperjelas penyelesaian sengketa yang ditimbulkan oleh diskresi yang sebelumnya belum terakomodir dalam UU PTUN. Mekanisme pertanggungjawaban menurut RUU AP ini adalah mekanisme pertanggungjawaban administrasi terkait dengan keputusan ataupun tindakan yang telah diambil oleh pejabat administrasi pemerintahan. Menurut RUU AP Pasal 25 ayat (3) dinyatakan: Pejabat Administrasi Pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil. Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi. Sedangkan pertanggungjawaban kepada masyarakat diselesaikan melalui proses

peradilan. Keputusan dan/atau tindakan diskresi Pejabat Administrasi Pemerintahan dapat diuji melalui upaya Administratif atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.

BAB IV HASIL PEMBAHASAN


Batasan toleransi dari diskresi ini dapat disimpulkan dari pemahaman yang diberikan oleh Sjahran Basah sebelumnya, yaitu adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral. Adapun untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara

(pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis). Kebebasan bertindak ini sudah tentu menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya menyimpangi asas legalitas dalam arti. Sifat pengecualian jenis ini berpeluang lebih besar untuk menimbulkan kerugian kepada warga masyarakat. Oleh karena itu terhadap diskresi perlu ditetapkan adanya batas toleransi. Pembatasan dalam permasalahan hukum dalam penyalahgunaan kekuasaan (legal issue of power abuse) harus diperkuat. agar penyalahgunaan dalam Hukum Administrasi Negara tidak lagi dipermasalahkan. yaitu dengan cara menggunakan berbagai instrument yuridis dalam menjalankan urusan pemerintahan dan kemasyarakatan, seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan, peraturan kebijaksanaan, perizinan, instrument hukum keperdataan, dsb. Menurut Indroharto, dalam suasana hukum tata usaha Negara kita ini menghadapi bertingkat-tingkatnya norma-norma hukum yang harus kita perhatikan. Artinya, peraturan

hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja kita temukan dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan tata usaha Negara yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Lebih lanjut Indroharto menyebutkan sebagai berikut: 1. keseluruhan norma hukum tata usaha Negara dalam masyarakat itu memiliki struktur bertingkatdari yang sangat umum yang terkandung dalam TAP MPR, UU dst pada norma yang paling individual dan kongkret yang terkadung dalam penetapan tertulis (beschikking); jadi suatu penetapan tertulis itu juga dapat

mengandung suatu norma hukum seperti halnya pada suatu peraturan yang bersifat umum. 2. pembentukan norma-norma hukum tata usaha Negara dalam masyarakat itu tidak hanya dilakukan oleh pembuatan undang-undang (kekuasaan legislative) dan badan-badan peradilan saja, tetapi juga oleh aparat pemerintahan dalam hal ini badan atau jabatan tata usaha Negara. Fungsi hukum administrasi Negara harus dipahami dalam menjalankan nya, antara lain: 1. Menjamin kepastian hukum Prof. Van Apeldoorn dalam bukunya berikut pengertian kepastian hukum mempunyai 2 segi yaitu soal dapat ditentukannya (bepaaldbaarheid) hokum dalam hal-hal yang kongkret. pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui, apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum ia memulai dengan perkara; kepastian hokum berarti keamanan hukum, artinya perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenang-wenangan hakim. 2. Menjamin keadilan hukum keadilan yang telah di tentukan oleh undang-undang dan peraturan tertulis, seperti misalnya, keadilan dalam bidang pertanahan yang tercantum dalam pasal 18 undang-undang pokok agraria no. 5 tahun 1960 tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum oleh pemerintah. maka masalah tidak adanya ukuran kelayakan inilah yang menimbulkan sengketa tanah antara pemerintah dengan masyarakat eks-pemegang hak atas tanah. 3. Hukum administrasi Negara berfungsi ganda, sebagai pedoman dan ukuran sebagai pedoman maksudnya sebagai petunjuk arah bagi perilaku manusia kearah perilaku yang baik dan benar. sebagai ukuran maksud nya untuk menilai apakah pelaksanaan itu dilakukan secara benar atau salah.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan Dalam perspektif hukum public, Tindakan hukum pemerintahan itu dituangkan dalam dan dipergunakan dalam beberapa instrument hukum dan kebijakan seperti peraturan (regeling), keputusan (besluit), peraturan kebijaksanaan (beleidsregel), dan ketetapan (beschiking). Disamping itu, pemerintah juga menggunakan instrument hukum keperdataan seperti perjajian dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Sehingga setiap hubungan pejabat pemerintahan diberikan mandat untuk mempertanggungjawabkan berdasakan hukum. B. Saran Hingga saat ini suatu kekuasaan dibutuhkaan suatu prinsip hukum yang kuat, dimana setiap tindakan hukum yang dilakukan pemerintahan harus berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku. Karena pada setiap tindakan hukum itu mengandung makna penggunaan kekuasaan, maka di dalamnya tersirat adanya kewajiban pertanggungjawaban. Maka dari itu berdasakan Undang-Undang No 28 Tahun 1999 mengenai penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang dapat merusak dan merugikan Negara dibutuhkan aparat pemerintah yang adil, bersih, bermoral, dan disiplin diri. Pergerakan aparat pemerintahan Negara yang baik akan menciptakan Negara yang baik pula. Sehingga dibutuhkan perubahan dari aparat pemerintah itu sendiri agar sadar akan tanggungjawab dalam mengemban jabatan nya. Hal ini memberikan contoh yang baik pada masyarakat sehingga memberikan pesan moral secara tidak langsung yang akan berakibat baik pada Negara itu sendiri.

You might also like