You are on page 1of 21

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Senyawa calkon merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder golongan flavonoid yang dapat diperoleh dengan cara isolasi dari tumbuhan. Senyawa ini sangat menarik karena dapat digunakan sebagai material awal dalam sintesis berbagai jenis senyawa heterosiklik. Calkon juga memiliki berbagai jenis aktivitas biologi yang berbeda-beda. Beberapa jenis calkon memperlihatkan aktivitas antimikroba, antimalaria, antioksidan, antitumor, dan anti-inflamasi (Prasad et al, 2006). Namun untuk memperolehnya, terdapat beberapa kelemahan antara lain jumlahnya yang terbatas dibanding dengan senyawa flavonoid lain dan persentasenya dalam tumbuhan juga kecil, variasi strukturnya relatif sedikit, serta membutuhkan biaya yang cukup banyak. Bertolak dari hal tersebut, maka didapatkan suatu solusi yang dapat meminimalisir segala kekurangan dalam proses isolasi yaitu dengan cara sintesis kimia. Melalui analisis retrosintesis, senyawa calkon dapat disintesis dengan menggunakan starting material berupa senyawa-senyawa yang mempunyai karbonil aromatik. Suatu keton aromatik dan aldehid aromatik merupakan senyawa yang cocok digunakan sebagai starting material. Reaksi tersebut nantinya dapat dikatalis oleh suatu asam atau basa, yang biasa dikenal dengan kondensasi aldol (kondensasi Claisen-Schmidt). Kondensasi aldol merupakan salah satu metode pembentukan karbon-karbon (reaksi perpanjangan rantai karbon). Dalam hal ini, dua molekul atau lebih bergabung menjadi suatu molekul yang lebih besar dengan atau tanpa hilangnya suatu molekul kecil seperti air (Riawan, 1990). Reaksi ini dikenal ramah lingkungan karena tidak banyak menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya dan prosesnya juga sangat sederhana. Hal ini tentunya sangat baik karena mendukung Green Chemistry. Penelitian ini menjadi penting artinya karena masih sedikit senyawa bahan alam yang belum dapat disintesis dan berakibat mahalnya senyawa 1

tersebut di pasaran. Hal ini dapat kita lihat dari obat-obatan atau yang lainnnya yang harus diisolasi dari bahan alam pasti akan mahal harganya, berbeda dengan obat-obatan yang bahan bakunya adalah hasil sintesis, akan lebih murah harganya. Oleh karena itu, sintesis merupakan jalan keluar yang paling tepat bagi pemecahan masalah tersebut. Dalam penelitian ini bahan baku keton aromatik yang digunakan adalah 4 metoksi asetofenon, dan sebagai aldehid aromatik adalah 4 metoksi benzaldehid, 2,3 dimetoksi benzaldehid dan 2,4,5 trimetoksi benzaldehid. Ini bertujuan agar dapat diperoleh suatu produk calkon yang lebih variatif, sehingga lebih menarik untuk menggali potensi calkon tersebut bagi berbagai kepentingan yang dapat menambah nilai tambah produk bahan alam.

1.2

Perumusan Masalah Senyawa calkon merupakan metabolit sekunder yang ditemukan di alam dalam jumlah yang relatif kecil. Namun demikian, senyawa ini mempunyai peran biologis yang cukup penting. Untuk menggali potensi calkon bagi kepentingan terapeutik diperlukan calkon dalam jumlah yang cukup dengan variasi struktur yang beragam. Hal tersebut sulit diperoleh melalui isolasi dari bahan alam karena selain membutuhkan biaya yang lebih mahal,

pengerjaannya juga lebih rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, sintesis diharapkan dapat mengatasi masalah ini dengan menghasilkan berbagai analog calkon yang strukturnya lebih bervariasi.

1.3

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan tiga analog calkon dari 4-metoksi calkon yaitu 1-3-bis-(4-metoksifenil)-2-propen-1-on, 1-(4-

metoksifenil)-3-(2,3-dimetoksifenil)-2-propen-1-on, dan 1-(4-metoksifenil)3-(2,4,5-trimetoksifenil)-2-propen-1-on. Kemudian dilanjutkan dengan

karakterisasi senyawa yang diperoleh dengan spektroskopi UV, IR dan NMR, dan uji toksisitas. 2

1.4

Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Sintesis, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau dan penelitian dilakukan selama 6 (enam) bulan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Calkon Calkon adalah salah satu tipe metabolit sekunder yang termasuk dalam golongan flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar dan terdapat dalam semua tumbuhan hijau. Semua varian flavonoid saling berkaitan karena alur biosintesis yang sama, yaitu dari alur sikimat dan alur asetat malonat yang segera terbentuk setelah kedua alur tersebut bertemu. Flavonoid yang dianggap pertama kali terbentuk pada

biosintesis ialah calkon, dan semua bentuk lain dari flavonoid diturunkan dari calkon melalui beberapa alur (Markham, 1988).
O
2' 3' 4' 5' 6'

2 3 4 5

Gambar 1. Rumus umum senyawa calkon Senyawa calkon terdapat pada berbagai jenis tumbuhan di alam yang berperan sebagai senyawa perkursor untuk biosintesis flavonoid dan isoflavonoid (Patil et al, 2009). Senyawa calkon juga berguna dalam sintesis berbagai macam senyawa heterosiklik seperti isoksazol, kuinolinon, tiadiazin, benzofuranon, benzodiazepin dan lain sebagainya (Jayapal et al, 2010). Senyawa calkon mengandung gugus etilen keto (-CO-CH=CH-) yang reaktif. Adanya gugus tersebut menyebabkan molekul calkon mempunyai berbagai macam aktivitas biologi (Jayapal dan Sreedhar, 2010). Beberapa jenis calkon memperlihatkan aktivitas, misalnya sebagai antibakteri seperti 2,4-dihidroksi-3,6-dimetoksicalkon yang diisolasi dari kulit batang tumbuhan Cryptocarya costata (Lauraceae) (Usman et al, 2005), sebagai antitumor seperti 2,4-dihidroksi-3,5,6-trimetoksicalkon yang

diisolasi dari daun kulit batang tumbuhan Cryptocarya costata (Lauraceae) 4

(Usman

dkk,

2005),

sebagai

antiinflamasi

misalnya

3,4-dikloro-6-

metoksicalkon dan 2-hidroksi-6-metoksicalkon (Kim et al, 2007), dan sebagai antioksidan 2,4-dihidroksi-4-kloro calkon (2a) dan 2,4-dihidroksi-2-kloro calkon (2b) (Sandhya et al, 2011).
O O

HO

OH

Cl

HO

OH Cl

2a

2b

Gambar 2. Calkon sebagai antioksidan Disamping itu, menurut hipotesis Pelter calkon merupakan senyawa intermediet untuk pembentukan senyawa flavonoid lainnya seperti flavon, isoflavon, auron, flavanonol dan sebagainya.
OH HO OH FLAVANON

OH O HO OH HO

O -eOOH HO OH O

OH

O-

OH

O - [H]

OH

O + OHO

OH HO O HO O H O OH O- [H] - [H] HO O H O OH FLAVON O H ISOFLAVON AURON FLAVANONOL OKS FLAVONOL OH O HO OH OH OH O

Gambar 3. Hubungan biogenetik berbagai jenis flavonoid (Manitto, 1992).

2.2

Reaksi Kondensasi Aldol Reaksi kondensasi adalah reaksi penggabungan dari dua atau lebih molekul yang sama atau berlainan dengan atau tanpa hilangnya suatu molekul kecil seperti air (Riawan, 1990). Sedangkan kata aldol diturunkan dari aldehid dan alkohol, menghasilkan produk berupa aldehid -hidroksi yang merupakan hasil reaksi antara alkil keton dan alkil aldehid (Hart, 1983). Kondensasi aldol merupakan suatu reaksi organik yang dalam hal ini ion enolat bereaksi dengan senyawa karbonil membentuk hidroksi aldehida atau

hidroksi keton yang diikuti dengan dehidrasi membentuk enon terkonjugasi. Tahap pertama dari reaksi ini adalah reaksi aldol dan tahap kedua yaitu reaksi eliminasi, hilangnya molekul kecil seperti air (dehidrasi) yang diikuti dengan dekarboksilasi ketika gugus karbonil aktif ditambahkan (Fessenden dan Fessenden, 1994). Dalam kondensasi aldol, suatu ikatan karbon-karban baru yang terbentuk antara atom karbon dari satu senyawa karbonil dan atom karbon karbonil yang lainnya. Karena keasaman atom hidrogen dari senyawa kabonil membuatnya memungkinkan senyawa karbonil tersebut untuk beraksi dengan yang lainnya sehingga menghasilkan suatu produk gabungan keduanya adalah suatu aldehid dan suatu alkohol. Reaksi ini sering disebut dengan kondensasi aldol. Reaksi kondensasi hampir mirip dengan reaksi polimerisasi.

Perbedaannya pada reaksi kondensasi, bergabung melibatkan 2 atau 3 molekul yang berkondensasi, sedangkan pada polimerisasi dapat sampai ratusan atau jutaan molekul (Fessenden dan Fessenden, 1994). Hal yang terpenting dalam kondensasi aldol adalah pembentukan ikatan karbon-karbon terjadi antara atom karbon dari satu gugus aldehid dengan gugus karbonil yang lainnya.

2.2.1

Reaksi kondensasi aldol dengan katalis basa Hidrogen yang terletak pada atom karbon yang berdekatan dengan ikatan rangkap karbon-oksigen bersifat asam dan dapat dengan mudah 6

dipindahkan oleh basa. Bila suatu aldehid diolah dengan basa seperti NaOH akan membentuk ion enolat yang dapat bereaksi dengan gugus karbonil dari molekul aldehid yang lain. Reaksi ini disebut dengan reaksi kondensasi aldol. Kata aldol diturunkan dari kata aldehid dan alkohol. Kondensasi aldol merupakan suatu reaksi adisi dimana tidak dilepaskan suatu molekul kecil. Misalnya, jika suatu asetaldehid diolah dengan larutan natrium hidroksida berair, terbentuklah ion enolat dalam konsentrasi rendah (Fessenden dan Fessenden, 1994). Mekanisme reaksi pembentukan calkon dengan katalis basa adalah sebagai berikut:
O CH3 OH O CH2 O H

H H

OH O O

OH2 -H2O

Gambar 4. Mekanisme reaksi pembentukan calkon dengan katalis basa

2.2.2

Reaksi kondensasi aldol dengan katalis asam Kondensasi aldol dengan katalis asam ini memiliki perbedaan mekanisme reaksi dengen katalis basa. Pada katalis asam ion H+ akan terikat secara parsial dengan atom O yang terdapat karbonil pada suatu aldehid. Ikatang rangkap pada karbonil akan menetralkan muatan atom O, sehingga atom C pada karbonil akan bermuatan positif. Kemudian suatu pelarut yang mempunyai molekul OH (umumnya air atau etanol) akan mengambil suatu 7

hidrogen (H) yang terletak pada atom karbon yang bertetangga dengan ikatan karbonil pada keton dan C pada karbonil akan bermuatan negatif dan dengan mudah menyerang C yang bermuatan positif tadi membentuk suatu senyawa karbonil -hidroksi. Senyawa karbonil -hidroksi yang terbentuk dari reaksi tadi akan mudah mengalami dehidrasi dan membentuk ikatan rangkap yang berkonjugasi dengan gugus karbonilnya dan diperoleh hasil reaksi suatu calkon. Katalis asam yang umum digunakan yaitu H2SO4 dan SOCl2 (Jayapal dan Sreedhar, 2010), serta lainnya. Kondensasi aldol dengan menggunakan katalis asam dengan mekanisme reaksi sebagai berikut:
H O H O CH3 H-OH
O H H OH O OH

OH H O CH2

OH H

OH2 -H2O

Gambar 5. Mekanisme pembentukan calkon dengan katalis asam 2.3 Rekristalisasi Senyawa yang didapat baik melalui isolasi senyawa bahan alam maupun melalui sintesis tidak langsung murni sehingga senyawa yang didapat tersebut harus dimurnikan terlebih dahulu. Salah satu cara pemurniannya yaitu dengan rekristalisasi. Rekristalisasi merupakan salah satu metode yang paling

umum untuk memperoleh senyawa yang relatif murni dan homogen dari senyawa yang tidak murni. Teknik yang digunakan untuk rekristalisasi bergantung pada peningkatan daya larut zat terlarut dalam suatu pelarut ketika temperatur dinaikkan. Kebanyakan padatan larut dalam pelarut dengan menyerap panas. Pada temperatur tinggi, larutan tersebut akan jenuh dan ketika pelarut dingin zat terlarut akan mengendap dalam larutan. Jadi, rekristalisasi merupakan proses pembentukan kembali suatu padatan melalui pengendapan (Mohrig et al, 1979). Rekristalisasi menyangkut beberapa langkah antara lain : 1. Pemilihan pelarut yang baik 2. Pelarutan sampel 3. Penyaringan larutan untuk mendapatkan pengotor yang tidak larut (hot filtration) 4. Pendinginan larutan hingga terbentuk kristal 5. Pemisahan padatan dari larutan dengan penyaring vakum (cold filtration) 6. Pencucian padatan dalam penyaring dengan sejumlah pelarut dingin 7. Pengeringan padatan (Palleros, 2000).

2.4

Kromatografi Lapis Tipis Kormatografi Lapis Tipis (KLT) sangat umum digunakan dalam teknik analisis kimia, antara lain yaitu (Pavia et-al, 1995): 1. 2. Untuk identifikasi suatu senyawa. Untuk mengetahui berapa banyak jenis senyawa dalam suatu campuran (kemurnian). 3. Untuk mengetahui pelarut/perbandingan pelarut yang cocok untuk pemisahan pada kromatografi kolom. 4. 5. Untuk memonitor pemisahan pada kromatografi kolom. Untuk mengecek keefektifan pemisahan dengan ekstraksi maupun rekristalisasi. 6. Untuk mengetahui sejauhmana reaksi telah berlangsung. 9

Pemisahan pada kromatografi lapis tipis ini terjadi karena adanya perbedaan kecepatan migrasi yang didasarkan pada perbedaan koefisien distribusi masing-masing komponen yang dipisahkan. Cara kerja KLT adalah sebagai berikut: larutan sampel ditotolkan pada plat yang sudah diberi tanda. Bila noda sudah kering plat dimasukkan ke dalam bak eluen yang telah jenuh dengan eluen yang dipilih sebagai fase gerak. Eluen tidak boleh menyentuh noda pada plat, karena memungkinkan senyawa yang dipisahkan larut. Eluen bergerak dengan gaya kapiler dan menggerakkan komponen-kompoen dari campuran cuplikan pada perbedaan jarak dalam arah aliran eluen. Jarak tempuh noda dapat dihitung dengan mengetahui lokasi noda pada plat. Jika senyawasenyawa yang dipisahkan berwarna akan terlihat sebagai pita-pita atau nodanoda yang terpisah. Tetapi untuk senyawa tertentu yang tidak berwarna dapat diamati dengan lampu ultraviolet, uap yodium atau dengan pereaksi penampak noda. Noda yang didapat ditandai dengan pensil untuk menentukan harga Rf yang berkisar 0-1. Harga Rf dapat dihitung dengan membandingkan jarak yang ditempuh komponen dengan jarak yang ditempuh eluen (Sastroamidjojo, 2001).

Rf = Jarak yang ditempuh sample (A) Jarak yang ditempuh eluen (B)

Batas atas B

Batas bawah

Gambar 6. Penentuan Harga Rf

10

2.5

Penentuan Titik Leleh Titik leleh merupakan temperatur keadaan suatu kristal mulai meleleh sampai meleleh seluruhnya. Pemeriksaan titik leleh suatu senyawa yang tidak dikenal dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang sederhana, misalnya Ordinary, Thiele, Fisher-Jonhs. Pengamatan titik leleh dilakukan secermat mungkin, terutama bila telah mendekati titik lelehnya. Jadi titik leleh sebenarnya merupakan harga antara yang dimaksud tidak boleh lebih dari 2oC (Mayo, D.W., et al, 1994). Penetuan titik leleh diperlukan dua hal yaitu: 1. Penentuan kemurnian Pada penetuan titik leleh suatu senyawa, bila harga yang diperoleh memiliki selisih angka yang lebih kecil dari 2oC, maka senyawa itu dikatakan sudah murni. Bila selisihnya lebih besar dari 2oC dikatakan belum murni. 2. Identifikasi senyawa tak dikenal Dalam hal ini, data titik leleh yang diperoleh dicocokkan dengan data standar (hand book). Jika titik leleh senyawa tak dikenal tersebut sesuai dengan data dari hand book, maka senyawa tersebut dapat diketahui.

2.6

Metode Karakterisasi Dalam penentuan karakterisasi suatu senyawa kimia ada beberapa metode yang digunakan. Secara umum metode yang biasa digunakan adalah teknik spektroskopi. Diantaranya adalah spektroskopi ultraviolet (UV), inframerah (IR), spektroskopi massa (MS) dan resonansi magnetik inti (NMR). Semua metode ini menghasilkan data spektroskopi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa bahan alam.

2.6.1

Spektroskopi ultraviolet Spektoskopi ultraviolet dari suatu senyawa organik berhubungan dengan transisi elektron dari satu tingkat energi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi ultraviolet berguna untuk mengetahui ikatan rangkap 11

terkonjugasi dalam suatu molekul kimia (Sudjadi, 1983). Senyawa organik yang dikarakterisasi dengan UV harus dalam keadaan murni dan berbentuk larutan. Senyawa yang akan dianalisis dilarutkan dalam pelarut organik yang sesuai. Spektrum UV senyawa golongan flavonoid biasanya ditentukan dalam etanol atau metanol dan khas terdiri dari dua absorbsi maksimum pada range 240-285 nm (pita II, terutama disebabkan absorbsi cincin A), dan 300-550 nm (pita I, disebabkan cincin B). Absorbsi UV pada calkon terlihat pada panjang gelombang 230-270 nm pada pita II dan 340-270 nm pada pita I dengan intensitas yang rendah.

2.6.2

Spektroskopi inframerah Spektroskopi IR digunakan untuk menentukan gugus fungsi

(Silverstain, 1986). Hal ini mungkin disebabkan spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas, artinya senyawa yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula (Noedin, 1986). Penggunaan spektrum inframerah dalam kimia organik menggunakan daerah yang berkisar pada bilangan gelombang 666-4000 cm-1. Bila sinar inframerah dilewatkan melalui senyawa organik, maka beberapa frekuensi akan diserap dan lainnya diteruskan. Spektroskopi inframerah digunakan untuk menentukan informasi-informasi secara struktural dari senyawa-senyawa organik (Wingrove and Caret, 1981).

2.6.3

Spektroskopi resonansi magnetik inti (NMR) Spektroskopi NMR merupakan teknik yang sangat baik di dalam menentukan struktur senyawa organik. Spektroskopi NMR berhubungan dengan sifat magnetik inti. Penentuan senyawa dengan menggunakan NMR akan diperoleh gambaran perbedaan sifat dari berbagai inti yang ada untuk menduga letak inti tersebut dalam molekul (Sudjadi, 1983).

12

2.6.4

Spektroskopi massa (MS) Spektrofotometer massa adalah alur kelimpahan (jumlah relatif fragmen bermuatan positif yang berlainan) versus nisbah massa/muatan (m/e atau m/z) dari fragmen-fragmen tersebut. Muatan ion dari kebanyakan partikel yang dideteksi dalam suatu spektrometer massa adalah +1, nilai m/e untuk suatu ion semacam ini sama dengan massanya. Oleh karena itu spektrum massa merupakan suatu rekaman dari massa partikel versus kelimpahan relatif partikel tersebut (Sastrohamidjojo, 2001).

2.7

Tinjauan Umum Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Untuk mengetahui aktivitas dari suatu bahan alam dapat dilakukan uji pendahuluan dengan metode yang sederhana, yang umumnya disebut dengan uji aktivitas biologi utama (Primary Screening Bioassay), metode yang digunakan harus cepat, murah, sensitif, membutuhkan sedikit material, serta bisa mengidentifikasi aktivitas secara luas. Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu penapisan primer tersebut, dimana metode ini merupakan salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat toksik, dengan menggunakan larva udang Artemia salina Leach sebagai hewan percobaan. Metode ini pertama kali dilakukan oleh Meyer et al (1982). Uji pendahuluan untuk senyawa sitotoksik dengan metode BSLT ini memiliki beberapa keuntungan, antara lain mudah, cepat, murah, dan hasilnya dapat dipercaya.

2.7.1. Larva Artemia salina leach Artemia salina adalah udang-udangan tingkat rendah yang hidup sebagai zooplankton, dan menghuni perairan yang berkadar garam tinggi. Apabila kadar garam kurang dari 6% telur Artemia salina akan tenggelam sehingga telur tidak bisa menetas. Sedangkan apabila kadar garam lebih dari

13

25% telur akan tetap berada dalam kondisi tersuspensi, sehingga dapat menetas dengan normal (Fox, 2004 dan Harefa, 1997).

Gambar 7. Siklus hidup Artemia salina (www.o-fish.com) Siklus hidup Artemia salina dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setelah 15-20 jam pada suhu 25C kista akan menetas menjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupli yang sudah akan bisa berenang bebas. Artemia salina yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk sempurna. Pada awalnya naupli akan berwarna orange kecoklatan akibat masih mengandung kuning telur dalam tubuhnya, yang akan bertahan selama 72 jam. Sehingga naupli tidak membutuhkan makanan untuk selang waktu 72 jam tersebut. Untuk kultur pertumbuhan selanjutnya, larva membutuhkan makanan berupa mikro alga, bakteri dan dentritus organik lainnya. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari (Harefa, 1997; Fox, 2004). Variabel yang penting dalam membiakkan udang Artemia salina ini adalah pH, temperatur, cahaya dan oksigen. pH 8-9 merupakan yang paling baik, sedangkan pH dibawah 5 atau lebih besar dari 10 dapat membunuh Artemia salina. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan

14

sangat menguntungkan bagi pertumbuhan mereka. Lampu standar grow-lite sudah cukup untuk keperluan hidup Artemia salina (Harefa, 1997; Fox, 2004). 2.7.2. Konsentrasi letal 50 (LC50) LC50 (Lethal Concentration 50%) adalah konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian 50% hewan percobaan selama waktu tertentu. Pada metode BSLT, suatu tanaman atau hasil isolasi dianggap menunjukkan aktivitas sitotoksik bila mempunyai nilai LC50 kecil dari 1000 ppm, sedangkan untuk senyawa murni dianggap menunjukkan aktivitas sitotoksik bila mempunyai nilai LC50 kecil dari 200 ppm (Anderson, 1991). Sejauh ini metoda penentuan LC50 ada 3 macam, yaitu Metoda Kurva, Metoda Farmakope Indonesia dan Metoda Finney. Ketiga metoda ini berdasarkan pengukuran persentase individu yang responsif pada kisaran dosis atau konsentrasi tertentu (Meyer et al, 1982).

15

BAB III BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Sintesis senyawa calkon akan dilakukan di laboratorium kimia organik sintesis Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau. Analisis produk melalui spektroskopi IR dan NMR akan dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Serpong, Tanggerang. Penelitian ini diperkirakan akan berlangsung selama lebih kurang 6 bulan.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat yang digunakan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : mortar dan lumpang , pompa vakum, corong buchner, 1 set alat destilasi, labu bulat, pengaduk magnet, hot plate, plat KLT GF254, alat penentu titik leleh Fisher Johns, lampu UV (254 nm), alat pembiakan telur udang Artemia salina (wadah gelap, aerasi, lampu dengan intensitas cahaya rendah), vial, pipet mikro, timbangan analitik, pipet tetes, spektrofotometer inframerah, spektorofotometer NMR proton serta alat gelas yang umum digunakan di laboratorium kimia. 3.2.2 Bahan yang digunakan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 4-metoksi asetofenon , 4- metoksi benzaldehid, 2,3-dimetoksi benzaldehid, 2,4,5-trimetoksi benzaldehid, metanol, n-heksan, etil asetat, NaOH, HCl, etanol absolut. Bahan yang digunakan untuk pengujian Brine Shrimp Lethality Test adalah Air Laut, Dimetilsulfoksida (DMSO), larva uji yang digunakan adalah Artemia salina Leach. 3.3 Rancangan Penelitian Pembentukan senyawa analog calkon dalam penelitian ini dapat

dijelaskan dengan skema retrosintesis di bawah ini :

16

O H

+
R1 R2 R1 R2

Gambar 8. Skema pendekatan retrosintesis senyawa calkon

Sintesis senyawa turunan calkon didapatkan melalui kondensasi aldol dengan menggunakan senyawa awal turunan benzaldehid 2 dan turunan asetofenon 3 dengan menggunakan katalis basa (NaOH) seperti terlihat pada skema reaksi berikut:
O H + R1 R2 O NaOH -H2O R1 R2 O

Gambar 9. Skema reaksi kondensasi aldol untuk mendapatkan calkon

3.4

Prosedur Kerja

3.4.1 Sintesis calkon Ke dalam lumpang dimasukkan senyawa 4-metoksi asetofenon (5 mmol) dan NaOH (7 mmol), dan kemudian ditambahkan aldehid aromatik (5 mmol) Campuran digerus hingga diperoleh padatan berbentuk bubuk, lalu ditambahkan 10 mL air es hingga terbentuk karamel dan karamel disaring dengan corong buchner. Karamel tersebut kemudian dikeringkan hingga terbentuk padatan dan direkristalisasi dengan pelarut yang sesuai. Selanjutnya produk yang diperoleh diuji kemurniannya dengan KLT dan pengukuran titik leleh.

17

Tabel I. Senyawa asal dan molekul target calkon Keton Aldehid Calkon

O CH H3CO

O H H3CO

H3CO

OC

4-metoksi 4-metoksi asetofenon (Z)


O
O

Benzaldehid (1)

(Z1)

H
CH H3CO

OCH3 OCH3
H3CO H3CO OCH3

4-metoksi asetofenon (Z)

2,3-dimetoksi benzaldehid (2) (Z2)

O CH H3CO

O H3CO H3CO H OCH3


H3CO

O OC H3CO OC

4-metoksi asetofenon (Z)

2,4,5-trimetoksi benzaldehid (3)

(Z3)

Keterangan : (Z1). 1-3-bis-(4-metoksifenil)-2-propen-1-on (Z2). 1-(4-metoksifenil)-3-(2,3-dimetoksifenil)-2-propen-1-on (Z3). 1-(4-metoksifenil)-3-(2,4,5-trimetoksifenil)-2-propen-1-on

18

3.4.2 Rekristalisasi Pelarut yang sesuai dipanaskan kemudian dimasukkan padatan

sampai semua larut. Saring dalam keadaan panas dan filtrat yang diperoleh didinginkan sampai terbentuk kristal. Kristal yang terbentuk disaring dengan menggunakan corong buchner. Kristal dikeringkan lalu diuji kemurniannya melalui KLT dan penentuan titik leleh.

3.4.3 Uji kemurnian dengan KLT Eluen disiapkan dengan perbandingan tertentu dan dibiarkan menguap pada chamber tertutup agar uapnya menjadi jenuh. Sampel dilarutkan pada pelarut yang sesuai dan ditotolkan dengan menggunakan pipa kapiler pada jarak 1 cm dari tepi bawah plat KLT. Plat dimasukkan ke dalam chamber dan dibiarkan eluen naik sampai garis akhir. Setelah itu plat diangkat dan dikeringkan dan noda dilihat dengan bantuan lampu UV. Jika nodanya hanya satu maka dapat disimpulkan senyawa tersebut sudah murni. Untuk memastikannya dapat dilakukan kembali analisis KLT dengan perbandingan eluen yang berbeda.

3.4.4 Penentuan titik leleh Kristal dari senyawa calkon ditentukan titik lelehnya dengan menggunakan alat pengukur titik leleh Fisher-Jones. Sedikit padatan kristal diletakkan pada kaca objek dan diukur temperaturnya mulai dari kristal meleleh sampai meleleh seluruhnya. Jika selisih temperatur dari kristal meleleh hingga meleleh seluruhnya kurang dari dua maka dapat disimpulkan senyawa tersebut sudah murni.

3.4.5 Analisis produk Produk murni yang diperoleh kemudian dilakukan uji HPLC untuk memastikan senyawa sudah benar-benar murni yang ditandakan dengan 19

kromatogram yang memiliki 1 puncak yang tajam kemudian ditentukan strukturnya dengan spektrofotometer inframerah dan NMR Proton. Pengukuran spektrum ini akan dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Serpong, Tanggerang. 3.4.6 Uji toksisitas metode brine shrimp lethality test (BSLT) Benur Artemia salina dimasukkan dalam wadah pembiakan yang berisi air laut dan telah dilengkapi dengan aerasi dan lampu, dibiarkan selama 48 jam sampai membentuk larva. Masing-masing vial uji di kalibrasi sebanyak 5 mL. Pengujian dilakukan dengan konsentrasi 1000, 100, 10 g/mL dengan pengulangan masing-masing tiga kali. Timbang 40 mg sampel dan dilarutkan dalam 4 mL metanol. Maka didapat larutan induk dengan konsentrasi 10000 g/mL, kemudian larutan induk dengan konsentrasi 10000 g/mL tersebut dipipet sebanyak 0,5 mL kedalam vial uji hingga nantinya didapat konsentrasi 1000 g/mL setelah penambahan metanol hingga 5 mL. Pembuatan konsentrasi 100 g/mL dengan cara pengenceran larutan induk 1000 g/mL sebanyak 0,5 mL ditambahkan metanol hingga 5 mL. Kemudian di pipet sebanyak 0,5 mL larutan tersebut ke dalam vial uji hingga nantinya didapat konsentrasi 10 g/mL setelah penambahan metanol hingga 5 mL. Masing-masing vial uji dibiarkan menguap metanolnya. Kemudian larutkan kembali senyawa uji dengan 50 L DMSO, selanjutnya ditambahkan air laut hampir mencapai batas kalibrasi, selanjutnya masing-masing ditambahkan larva udang Arthemia salina Leach sebanyak 10 ekor dan ditambahkan air laut beberapa tetes sampai batas kalibrasi. Kematian larva udang diamati setelah 24 jam. Dari data yang dihasilkan dihitung nilai LC50 dengan metode kurva menggunakan tabel analisa probit (Mayer et al., 1982; Harefa, 1987). Untuk kontrol, 50 L DMSO di pipet dengan pipet mikro dimasukkan ke dalam vial uji, ditambahkan air laut hampir mencapai batas kalibrasi.

20

Kemudian masukkan larva Artemia salina 10 ekor. Di tambahkan lagi air laut beberapa tetes hingga batas kalibrasi. Masing-masing 3 kali pengulangan. 3.4.7 Analisa Data Untuk melihat pengaruh pemberian senyawa calkon terhadap larva Artemia salina dilakukan perhitungan statistik dengan analisa probit. Perhitungan ini dilakukan dengan membandingkan antara larva yang mati terhadap jumlah larva keseluruhan, sehingga diperoleh persen kematian. Kemudian dilihat dalam tabel nilai probit. Dari nilai tersebut diketahui nilai probit kemudian dimasukkan dalam persamaan regresi, sehingga dapat nilai LC50. Persamaan regresi: y = a + bx konsentrasi dibuat

LC50 = anti log x Keterangan: x : Log Konsentrasi a : Intercept (garis potong) y : Nilai Probit b : Slope (kemiringan dari garis regresi linear)

21

You might also like