Professional Documents
Culture Documents
Manajemen Suku
DITERBITKAN BERSAMA
Solok Saiyo Sakato (S3) Jakarta & sekitarnya
Pemerintah Kabupaten Solok
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM)
Kabupaten Solok
Dicetak Oleh:
Penerbit dan Percetakan Lubuk Agung, Bandung
i
Tim penulis
Bustanul Arifin Dt Bandaro Kayo. Syahrial Chan BA Dt
Bandaro Hitam, Nasfi, SH Dt Mudo Nan Hitam, Drs. Elfi
Yandri, Bagindo Suarman, SH., MM, Maifil Eka Putra
S.Ag., Khatib Batuah, Marwan S.Ag Kari Mangkuto, Drs
Hamdullah Salim dan Muchlis Hamid, SE., MBA.
Tim pendukung
Irjen Pol (P) Drs Marwan Paris, MBA Dt Maruhun
Saripado (sebelumnya bergelar Dt Tan Langik), Firdaus
Oemar Dt Marajo, Drs Hasan Basri Dt. Maharajo Indo,
Upi Tuti Sundari, Dr. Mafri Amir, MA, Zulfison, SAg,
Malin Bandaro Kayo, Prof Dr Buchari Alma Dt Rajolelo
dan Chaidir Nin Latif, SH Dt Bandaro, M.Si.
ii
Untuk Anak Kemenakan
iii
SAMBUTAN
GUBERNUR SUMATERA BARAT
v
SEKAPUR SIRIH
Tim Penulis
x
xi
DAFTAR ISI
xiv
xv
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Buku yang ada di hadapan pembaca sekarang ini,
bertujuan agar adat dan budaya yang mempunyai nila-
nilai sosial yang tinggi itu, dapat disampaikan kepada
angkatan sekarang dan dapat diwariskan kepada generasi
yang akan datang. Selain itu untuk mengisi era Otonomi
Daerah, dengan sistem Pemerintahan Nagari yang
menjadi pemerintahan terdepan di Sumatera Barat.
Peluang untuk dapat mempertahankan dan mengem-
bangkan adat itu terbuka lebar, dengan keluarnya
Undang-undang Nomor 22 Th. 1999 tentang Pemerin-
tahan Daerah dan diperkuat dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Th. 2000,
tentang Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, dalam
Konsiderannya huruf (b) “bahwa dalam penyelengaraan
Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih
Bab 1: Pendahuluan 1
menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi
dan keanekaragaman daerah” 1 Otonomi daerah yang
dimaksud, seperti dalam pasal I huruf (h) adalah:
“kewenangan Daerah Otonomi untuk mengatur dan
mengurus kepentingan menurut prakarsa sendiri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”. 2 Sedangkan
Daerah Otonomi sebagaimana dalam pasal I huruf (i)
“Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas
daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
Negara Kesatuan Repulik Indonesia. 3
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah telah berlaku selama + 5 tahun,
sejak diundangkan tanggal 4 Mei 1999. Dan dinyatakan
tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelengaraan otonomi
daerah sehingga perlu diganti.
Untuk itu telah ditetapkan Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di Jakarta pada
tanggal 15 Oktober 2004, sebagai pengganti UU No: 22
tahun 1999. Perbedaan yang mendasar antara kedua UU
itu adalah; Undang-undang Nomor 22/1999 tentang
pemerintahan daerah, yang dimaksud dengan pemerin-
tahan daerah adalah kepala daerah atau Gubernur sebagai
Executive dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Daerah
adalah sebagai Legislatif. Sedangkan Undang-undang No
32/2004 tentang pemerintahan Daerah yang dimasud
1
Undang-undang No. 22 Tahun 1999, Tentang Pemerintahan Daerah,
(Jakarta, Restu Agung, 2000) , hal 11
2
Ibid, hal 13
3
Ibid
2 Manajemen Suku
dengan Pemerintahan daerah adalah kepala Daerah
Gubernur dan DPRD.
Kedua Undang-Undang tersebut di atas tetap berada
dalam kebijakan Otonomi Daerah. Dengan terang dan
tegas bahwa Desa atau nama lain dalam negara kesatuan
Republik Indonesia, merupakan kekayaan dan keragaman
nilai-nilai adat dan budaya yang berlaku dan yang diakui
oleh Undang-undang. Dalam penjelasan tentang pasal 202
UU No 32/2004 ayat (1); Desa yang dimaksud dalam
ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera
Barat, Gopang di Nangro Aceh Darussalam (NAD),
Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan
Selatan dan Papua, Negeri di Maluku 4
Dalam era Otonomi Daerah, pemerintah Sumatera Barat
mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2000
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari intinya adalah
sistim pemerintahan terdepan dalam pemerintahan
Sumatera Barat adalah Nagari, tidak desa lagi seperti
diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979, yang
berlaku efektif di Sumatera Barat berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera
Barat Nomor 162/GSB/1983. Kedudukan Nagari hanyalah
sebagai kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi
daerah Tingkat I Sumatera Barat, dalam rangka
memelihara dan melestarikan hukum adat serta tradisi
yang hidup dan berakar di tengah masyarakat
Minangkabau, hal ini diatur dengan Peraturan Daerah No
13 tahun 1983.
Penyesuaian/pergantian kembali Desa kepada Nagari,
pada masa otonomi sekarang ini, tidak hanya diartikan
4
Ibid… hal 197
Bab 1: Pendahuluan 3
sekedar pergantian istilah semata, melainkan didalamnya
terdapat perubahan filosofi dari pemerintahan Nagari.
Pemerintahan Nagari adalah kegiatan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan, yang dilaksanakan oleh
organisasi pemerintahan yang terdepan, tetapi tidak lagi
berada di bawah camat, karena Nagari merupakan
kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai
susunan asli, berdasarkan hak asal-usul yang bersifat
istimewa. Oleh sebab itu, Pemerintahan Nagari berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangga Nagari
berdasarkan otonomi asli yang dimilikinya5. Untuk itu,
sedang ditumbuhkan kembali Pemerintahan Nagarii
dengan segala esensinya, mengingat semakin renggangnya
hubungan kekerabatan, toleransi, dan kepedulian dalam
kehidupan masyarakat.6
Usaha untuk kembali kepada sistem pemerintahan Nagari
bukan juga hanya sekedar wilayah administrasi, tetapi
sekaligus sebagai satu kesatuan hukum adat, diharapkan
tumbuhnya kembali nilai-nilai yang positif. Dan sekarang
adalah momentum yang tepat kearah yang demikian 7.
Nagari di Sumatera Barat mencapai 543 dan di Kabupaten
Solok berjumlah 74 Nagari. Setiap anak nagari,
mempunyai kewajiban untuk mengetahui, mengenal akan
adat dan budaya yang berlaku di nagarinya sendiri, karena
adat itu dilengkapi dengan tata aturan adat. Adat itu
adalah tingkah laku yang oleh dan dalam masyarakat
sudah, sedang dan akan diadatkan. Adat itu ada yang tebal
5
Penjelasan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2000, dikutip dari Efi
Yandri, hal 190 Nagari dalam Perspektif sejarah, (Lantera 21, 2003)
6
Fakhri Ahmad, Paradigma Baru Hubungan Kampung dengan Rantau,
Makalah, hal 3
7
Gamawan Fauzi, Nagari di Persimpangan Jalan, dalam Efi Yandri
(Nagari …) hal 96-97
4 Manajemen Suku
dan ada yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis”8.
Pengertian yang disampaikan oleh Anas, tersebut lebih
mengadakan pendekatan kepada pengertian Adat nan
Diadatkan, yaitu kebisaan setempat yang telah diambil
dalam kesepakatan terlebih dahulu, boleh dikurangi, boleh
ditambah dan boleh dihilangkan. Dari kesepakatan
tersebut, perlu ditetapkan aturan pelaksanaannya. Hal
inilah yang disebut dengan Adat istiadat yaitu kelaziman
disatu-satu nagari, pada satu keadaan yang diperturun–
naikkan dalam pergaulan sesama.
B. Penjelasan Judul
Menajemen suku dimaksud disini adalah sangat erat
hubungannya dengan peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan Adat nan Taradat dan Adat Istiadat, yaitu
peraturan yang telah disepakati, disebut buek. Buek itu
menjadi aturan yang mengikat bagi anak nagari, sesuai
dengan kesepakatan dalam Nagari itu sendiri.
Permasalahan paling utama dalam Manajemen suku
adalah, sejauh mana pemangku adat dapat
menjalankan tugas-tugas kepemimpinan terhadap
anak kemenakannya dalam suku?, Permasalahan
akan bertambah sulit dan kompleks, karena perubahan
yang telah merambah tatanan masyarakat. Apakah benar
pemangku adat tidak dihormati lagi oleh Anak
Kemenakan dalam kepemimpinannya?, “kato mamak”,
badanga, harus diikuti, dipatuhi. Ataukah Pemangku adat
itu yang harus menyesuaikan dengan perkembangan dan
kemajuan yang ada, sehingga mereka tidak lagi menjadi –
8
Anas, Masalah Hukum Waris Menurut Adat Miangkabau, dalam Mukhtar
Naim (Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau), hal
101
Bab 1: Pendahuluan 5
dikatakan- “Mamak Kolot”?. Permasalah lain yang
mungkin sangat mentukan kepemimpinan dalam suku
adalah penampilan seorang panghulu, baik dari segi
ekonomi, sosial dan integritasnya mulai diperdebatkan?.
Untuk semua itu buku ini memberikan solusi terhadap
permasalahan tersebut.
Buku ini adalah hasil diskusi intensif yang digagas oleh
Solok Saiyo Sakato (S3) Jakarta dengan pemangku-
pemangku Adat baik yang berada dikampung halaman,
maupun yang di perantauan. Sebagai puncak dari diskusi
tersebut adalah musyawarah masyarakat adat Solok pada
tanggal 18-19 Januari 2004 di Koto Baru Solok.
Bab 1: Pendahuluan 7
8 Manajemen Suku
BAB 2
MINANGKABAU DALAM LINTASAN
SEJARAH
A. Nama Minangkabau
Asal mula dari nama daerah ini, yaitu Minangkabau
berada dalam kegelapan 9 . Terdapat beberapa asal kata
dari Minangkabau yang dikemukakan para ahli, baik yang
berbentuk klasik, dalam bentuk tambo dan cerita rakyat,
maupun kalangan intelektual, dalam bentuk telaah ilmiah
secara akademisi.
Minangkabau berasal dari “Binanga Kanvar”, artinya
Muara Kampar. Chan Ju Kua yang dalam abad ke-13
pernah berkunjung ke Muara Kampar, menemui di sana
9
M. Nasrun, Dasar-dasar Falsafah Adat Minangkabau, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1971) hal 19
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 9
(Muara Kampar) bandar yang satu-satunya paling ramai
di pusat Sumatera10.
Keterangan lain adalah bahwa Minangkabau itu berasal
dari Minanga Kabwa (Minanga Tamwan) artinya “perte-
muan dua muara sungai” dalam keterangannya ditemui
bahwa Minangkabau terletak mula-mula pada pertemuan
dua sungai besar. 11
Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai bagian akhir, tersebut
Raja Majapahit menyuruh Patih Gajah Mada pergi
menaklukkan Raja Perca dengan membawa seekor kerbau,
hikmat yang akan diadu dengan kerbau Patih Sewatang,
Perdana Menteri kerajaan Minangkabau. Armada Gajah
mada masuk dari Jambi dan sampai keperbatasan
Minangkabau. Patih Sewatang mendapat akal, yang
dikemukannya bukan kerbau yang sebanding dengan
kerbau Gajah Mada, melainkan seekor anak kerbau yang
telah beberapa hari tiada dibiarkan menyusu pada
induknya. Ketika anak kerbau itu dilepas akan segera
mengejar kerbau Gajah Mada yang besar itu, yang telah di
lepas terlebih dahulu dan segera menyeruduk kebawah ke-
rampang kerbau itu dan tak dilepaskannya lagi. Karena
kesakitan kerbau Majapahit lari kian kemari, dan akhirnya
rebah dan lalu mati 12.
Keterangan tentang asal kata Minangkabau dari Manang
Kabau seperti di atas, hanyalah cerita orang banyak saja 13
dan berbau dongeng. Dongeng tersebut dibuat
sedemikian rupa, tulisan inilah yang dipopulerkan
10
Sutan Muhammad Zain, dalam Rasjid Manggis Minangkabau dan Sejarah
Ringkasnya, (Padang, Sri Darma, 1971), hal 40
11
Ibid
12
Ibid
13
Op cit, hal 19
10 Manajemen Suku
sewaktu penjajahan Belanda. Sehingga menghilangkan
data-data sejarah, tentang adanya hubungan antara
keluarga Majapahit dengan Minangkabau 14.
Kesuksesan “Manang Kabau” dalam adu kerbau orang
Minang dapat mengalahkan legiun asing. Kemenangan
tidak terlepas dari mendahulukan penggunaan raso jo
pereso dalam menghadapi masalah yang tidak mudah
untuk dipecahkan. Dalam bentuk inilah “Manang-kabau”
itu dapat diterjemahkan, terbukti dengan “kepiawaian”
mengunakan raso jo pareso itulah tokoh-tokoh Minang
telah berada dalam catatan-catatan sejarah nasional
maupun dalam catatan global. 15
Dari keterangan di atas, yang paling banyak kemungkinan
mengandung kebenaran, tentang asal nama Minang-
kabau adalah Pinang Khabu artinya “tanah asal” 16 dan
keterangan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Prof. Dr. Muhammad Hussein Naimar, Guru besar pada
Universitas Madras. Asal kata Minangkabau itu “menon
khabu” yang bermakna “tanah pangkal, tanah mulia”.
Walaupun asal nama Minangkabau masih dalam
perdebatan, para pemuka adat dan kaum intelektual, di
abad ke 20 dan 21 sekarang, telah banyak memahami
Minangkabau, menurut disiplin ilmu masing-masing.
Sepertinya, telah menanggalkan pembenaran akan
legenda “Adu Kabau”. Pada hakekatnya Minangkabau itu
sebagai salah satu etnik masyarakat yang berada dalam
14
MID Jamal, Menyigi Tambo Alam Minangkabau, (Bukittinggi,
Tropic, 1985), hal 16, menggenai hubungan keluarga Majapahit
dengan Minangkabau dapat di baca dalam MD. Mansur , Sejarah
Minangkabau, hal, 56-57
15
Safri Sairin, Minangkabau yang Gelisah, (Bandung, Lubuk Agung,
2004), hal 51-52
16
M. Narsun, Daras-dasar… hal 19
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 11
“alam” budaya. Kecendrungan untuk melihat
Minangkabau, sebagai suatu budaya cukup beralasan.
Karena pengertian dari Minangkabau, juga mengandung
arti kebudayaan disamping makna geografis. Kebiasaan
turun-temurun sekelompok masyarakat, berdasarkan
nilai-nilai budaya masyarakat bersangkutan, dalam bentuk
tradisional lebih identik dengan adat, yang merupakan
perwujudan ideal dari kebudayaan yang disebut sebagai
tatakelakuan (tingkah laku) 17 . Untuk itu, ada suku
Minangkabau, ada kebudayaan Minangkabau, ada adat
Minangkabau, tetapi tidak ada Suku Sumatera Barat.
Walaupun Minangkabau sebagiannya, secara gegorafis
berada dalam lingkungan administratif Sumatera Barat.
Tapi Sumatera Barat adalah Minangkabau diluar
kepulauan Mentawai.
17
Md. Mansur, Sejarah…, (Jakarta, Brata, 1970), hal 2. baca juga
Mursal Esten, Mingkabau Tradisi dan Perubahan (Padang, Angkasa
Raya: 1993), hal 11. Keteragan lain baca Azmi, Pelastarian Adat dan
Budaya Minangkabau (Bandung, Lubuk Agung, 2004), hal 81
18
MD. Mansur, sejarah… hal 2, baca juga Mursal Esten, Minnagkabau
Tradisi dan Perubahan (Padang; Angkasa Raya; 1993), hal 11,
Keterangan lain baca Azmi, Pelastarian Adaat daan Budaaya
Minangkabau, (Bandung; Lubuk Agung; 2004), hal 81
12 Manajemen Suku
Untuk mengetahui Alam Minangkabau secara keseluruhan
dari sudut sejarah, terdapat kesulitan, karena tidak adanya
bukti-bukti sejarah. Hanya ada sedikit harapan bahwa
Minangkabau meninggalkan Tambo 19 . Tambo yang
disusun melalui pantun, pepatah-petitih, gurindam, yang
setiap kata dan kalimatnya mengandung nilai-nilai
filosofis.
Edwar Jamaris, telah melakukan penelitian terhadap
empat puluh tujuh buah tambo, baik yang berada di
Museum Nasional Jakarta, Leiden Belanda, dan London.
Dalam tambo Minangkabau terdapat tokoh-tokoh sentral
seperti Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk
Katumangungan, serta tokoh penunjang seperti Srii
Maharajo Dirajo, Cati Bilang Pandai, Indo Jati dan Datuk
Suri Dirajo.
Tokoh-tokoh mitologi (tokoh penunjang) seperti Sri
Maharajo Dirajo ayah dari Datuk Katumanggungan, Cati
Bilang Pandai ayah dari Datuk Parpatih Nan Sabatang,
Indo Jati yang Ibu dari kedua tokoh sentral, dan Datuk
Suri Dirajo mamak kedua Datuk. Semua tokoh penunjang
yang terdapat dalam tambo adalah mengandung makna
simbolik dan angan-angan penulis tambo terhadap
keluarga ideal Minangkabau, selanjutnya dapat
diperhatikan kutipan berikut:
Nama-nama keempat tokoh penunjang mengandung
makna simbolik, melambangkan perwatakan tokoh itu.
Bapak Dt Katumanggungan adalah raja, Sultan Sri
Maharajo Dirajo, keturunan Raja Iskandar Zulkarnain,
sekaligus berfungsi legitimasi adanya kerajaan
Minangkabau; Bapak Datuk Parpatih Nan Sabatang ialah
Cati Bilang Pandai, cendikiawan dan terampil; Ibu kedua
datuk ini Indo Jati, putri sejati, lambang atas hak tanah
19
Terhadap isi tambo, kaba dan cerita hanya 2% fakta sejarah dan 98 %
mytology, MD. Mansur , Sejarah…., hal 37
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 13
asal “earth goddess”; dan mamak mereka adalah Datuk
Suri Dirajo, orang Bijaksana. Bapak, ibu dan mamak
kedua tokoh sentral yaitu bangsawan, cendikiawan dan
arif bijaksana. Hal ini sejalan dengan pandangan
masyarakat Minangkabau sekarang yang tergambar
dalam sebuah ungkapan “Bapak kayo, mande
barameh, mamak disambah urang pulo” 20
20
Edwar Jamaris, Tambo Minangkabau, (Jakarta, Balai Pustaka, 1991) ,hal
77
14 Manajemen Suku
(pergi) nak haji ke Mekkah dan Medinah segala hamba
Allah rakyat Daulat yang dipertuan. Itulah amanat aku
21
M. Nasrun, Dasar-dasar…, hal 21-22
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 15
Dari Sirangkak nan badangkang, siluluak punai mati,
hinggo buayo putiah daguak, sampai ka pintu rajo ilia,
taruih kadurian ditakuak rajo. Hinggo aia babaliak
mudiak, sampai ka ombak nan badabua, sailiran
Batang Sikilang, hinggo lauik nan sadidiah. Sampai ka
timua ranah alam Aie Bangih, taruih ka Rao jo Guguak
Malintang, Pasisie Banda Sapuluah, hinggo taratak Aia
Hitam, sampai ka Tanjuang Simalidu, pucuak Jambi
Sambilan Lurah.
22
Gusti Asnan, Kamus Sejarah…., hak 19, juga baca Mochtar Naim,
Merantau…, hal 60
16 Manajemen Suku
daerah Darek 23 . Wilayah Rantau tersebut meliput: Air
Bangis di utara sampai ke Sasak. Tiku, Pariaman, Painan
Balai Salasa, Air Haji dan Indrapura. Daerah rantau
sistemnya lebih dekat kepada kalarasaan Koto Piliang,
karena daerah hukum dari rantau adalah Rantau Barajo
dengan menjunjung tinggi “Daulat Tuanku” 24.
Dataran rendah disebelah Barat Bukit Barisan dan
berbatasan dengan Samudra Indonesia, biasa disebut
dengan “Pesisir”. Daerah Pesisir ini terbagi pula atas
kesatuan-kesatuan Politik-Ekonomi, daerah seperti Tiku-
Pariaman, disebelah Utara, Banda-X dan Indrapura
disebelah Selatan 25. Kubuang XIII meliputi Solok, Salayo,
Saok Laweh, Guguak. Gantuang Ciri, Panjakalan, Sirukam
dan Supayang, terus sampai ke Sariak Alahan III.
Sariak Alahan III kemudian menjadi Ranah Alahan
Panjang yang terdiri dari Talaok, Koto Tuo, Sariak Alahan
III, Taratak Talang, Sianggai-anggai (Sungai Anggai),
Talang Babunggo, Salimpek, Aia Dingin dan Sungai Abu.
Dari Kinari terus ke Muaro Paneh, Koto Anau, Batu
Banyak dan Pancuang Taba.
Banda X yang terdiri dari Batang Kapeh, Taluak,
Surantiah, Ampiang Perak, Kambang, Lakitan, Pangai,
Sungai Tunu, Punggasan dan Aia Haji yang Kemudian
bergabung dengan Sungai Pagu, menjadi kerajaan dengan
sebutan “Sungai Pagu Surambi Alam Minangkabau”.
Dari perspektif manajemen, sistem pemerintahan yang
berlaku di Alam Minangkabau itu terbagi kepada beberapa
bentuk diantaranya , Lareh nan Duo sebagai bentuk
pemerintahan. Dan Luhak Nan Tigo, Rantau dan Pasisie
23
MD Mansur, Sejarah….., hal 3
24
Darwis Thaib Dt. Sidi Bandaro, Seluk Beluk Adat Minangkabau, hal 87
25
MD. Mansur, Sejarah …hal 2
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 17
adalah bentuk dasar dari wilayah (teritorial). Pelaksanaan
dari manajemen akan kelihatan secara keseluruhan di
nagari-nagari, yaitu Nagari Baampek Suku, dan suku
adalah ujung tombak dari pengelolaan anak
kamanakan di Minangkabau.
26
Mid Jamal, Menyigi Tambo Alam Minangkabau, Bukittinggi, Tropic,
1985. hal 67. Baca juga Hamka, Islam dan Adat Minangkabau,
(Jakarta, Panji Mas, 1984), hal 93.
18 Manajemen Suku
Pada zaman Belanda, istilah luhak mereka samakan
dengan Regentschap, pada saat pemerintah Indonesia,
luhak ini diidentikan dengan Kabupaten 27
Kapan lahirnya alam Minangkabau, dalam sejarah
terdapat suatu masa yang sesungguhnya tidak dapat
ditentukan dengan pasti, tidak ada informasi dan
pembuktian secara empiris mengenai alam Minangkabau
yang sesungguhnya. Dari segi topografi, Negeri
Minangkabau dilintasi oleh Bukit Barisan yang merupakan
tulang punggung bagi pulau ini memanjang dari ujuang
Utara sampai ke ujung Selatan 28.
Dapat diduga, bahwa alam Minangkabau pada abad ke 14
dan 15, dalam masa telah bernama kerajaan Minangkabau,
meliputi seluruh wilayah-wilayah Sumatera Tengah, yaitu
wilayah yang terletak antara kerajaan Palembang dan
Sungai Siak sebelah timur dan antara kerajaan Manjuto
dengan Sungai Singkel pada sebelah Barat. Teras dari
kerajaan yang besar itu menjadi kerajaan Minangkabau
yang asli (Alam Minangkabau), kira-kira meliputi daerah
Padang Darat sekarang, dan raja-raja dari kerajaan inilah
yang memperbesar pengaruhnya dari pantai Barat sampai
ke pantai Timur, yaitu kerajaan Indrapura, Indragiri dan
Jambi. Tetapi menurut dugaan pengaruh Minangkabau di
daerah perbatasan tidaklah begitu besar, dan kesatuan
kerajaan itu tidaklah lama bertahan 29.
Dugaan yang dikemukakan di atas cukup beralasan,
karena tidak didapatkan data yang pasti kapan wilayah ini
terjadi. Walaupun dalam perkembangannya bahwa ranah
27
Gusti Asnan, Kamus Sejarah Minangkabau, (PPIM, 2003), hal 162
28
Mochtar Naim, Merantau Pola migrasi Suku Minangkabau (UGM
Press,1979), hal 14
29
M. Nasrun, Dasar-dasar, hal 17
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 19
alam Minangkabau itu terdiri dari luhak dan rantau 30 ,
rantaupun terbagi kepada beberapa bentuk yaitu rantau
Pesisir dan rantau Hilir demikian istilah yang pergunakan
oleh Gusti Asnan.
Masing-masing luhak menyebar ke wilayah rantau 31 .
Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Limo Puluah,
masing-masing Luhak mempunyai koloni (rantau). Untuk
lebih jelas akan dikemukakan secara ringkas.
Luhak Tanah Datar yang berpusat di Batusangar.
Batusangkar menjadi pusat kerajaan Minangakabau
sewaktu Raja Adityawarman berkuasa sebagai rajo alam.
Kemudian setelah Belanda memasuki Batusangkar, maka
mulailah dibangun pada tahun 1822. Setelah adanya
perjanjian pada tanggal 10 Januari 1821, antara beberapa
kerajaan di sekitar Batusangakar dan Saruaso dengan
Belanda, karena mereka terdesak oleh kaum Paderi.
Pembangunan Batusangkar juga dilanjutkan dengan
pembangunan benteng Fort Van Der Capellen yang
pembangunan dimulai pada tahun 1823, Batusangkar
pernah menjadi tempat kedudukan Hoofdreggent van
30
MD. Mansur Dkk Sejarah…. hal 2 . Menggunakan istilah Pesisir,
Darek dan Rantau,
31
Mochtar Naim, Ibid, hal 2, mengutip pengertian rantau dari tiga
kamus yang berbeda 1. Kamus Bahasa Melayu (Singapura), 2. Kamus
Bahasa Dewan (Kuala Lumpur), dan 3 Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Bhg II hal 125 yaitu Rantau ialah kata benda yang berarti
dataran rendah atau daerah aliran sungai, jadi biasanya terletak dekat
ke- atau bagian dari daerah pesisir.
Sedangkan rantau dalam arti yang dikehendaki disini adalah daerah
otonom penuh, mempunyai peraturan-peraturn pemerintahan sendiri,
yang secara emosional terikat dengan “tanah pangkal”. Jadi perbedaan
antara Luhak dengan rantau dari segi teritoriumnya, sedangkan untuk
mengelola diserahkan kepada anak nagari masing-masing, yaitu
Luhak bapanghulu, rantau barajo
20 Manajemen Suku
Minangkabau, Asisiten Residen Padang Darat
(Padangsche Bovenlanden), Sekarang Batusangkar
menjadi pusat ibukota kabupaten Tanah Datar.
Wilayah rantau dari luhak Tanah Datar meliputi;
Langgam nan Tujuah, terdiri dari; Singkarak-Saniang
Baka, Camin Taruih Koto Piliang. Sulik Aia-Tanjuang
Balik CuManti Koto Piliang. Saruaso-Limo Kaum CuManti
Koto Piliang. Simawang-Bukik Kanduang Padamaian Koto
Piliang. Batipuah, Harimau Campo Pasak Kungkuang
Koto Piliang. Silungkang-Padang Sibusuak Gajah Tongga
Koto Piliang 32 . Kubuang XIII meliputi; Solok, Salayo,
Saok Laweh, Guguak, Gantuang Ciri, Cupak, Koto Anau,
Kinari, Muaro Paneh, Gauang, Panjakalan, Sirukam dan
Supayang. 33 Arah Selatan ke Sungai Pagu, bahkan
menjadi kerajaan dengan sebutan “ Sungai Pagu Surambi
Alam Minangkabau” dengan raja pertama adalah
Syamsuddin Siduano gelar Yang di Pertuan Bagindo Sutan
Basa 34. Pengaruh kerajaan Sungai Pagu sampai ke Banda
X, yang dipimpin oleh Inyiak Alang Palabah.
Luhak Agam, salah satu luhak di Minangkabau. Terletak di
kaki gunung Merapi dan Singgalang dan dipercaya yang
didominasi oleh ajaran Dt Parapatiah Nan Sabatang
dengan sosial politiknya Bodi Chaniago.
Luhak Agam yang sebagiannya disebut dengan Cancang
Anam Baleh yaitu Sianok-Koto Gadang, Guguak-Tabek
Sarojo, Sariak-Sungai Pua. Batagak-Batu Palano, Lambah-
Panampuang, Biaro-Balai Gurah, Kamang-Salo, Magek-
32
Rasjid Manggis Tidak memasukkan Silingkang-Padang Sibusuak
kedalam langgam nan 7 dan merupakan kebesaran dari lareh Koto
Piliang,, Minangkabau… hal 114-115.
33
Darwis Thaib Dt. Sidi Bandaro, hal 116
34
Ibid
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 21
Tilatang, 35 perjalanan terus bergerak ke arah Utara
melalui Tabek Patah, Tanjuang Alam, Ampek Angkek, ke
arah Barat, Padang Gaduik, Koto Rantang, kemudian
terus ke rantau Pasaman, Kumpulan, Bonjol, Malampah
sampai Sikilang Aia Bangih.
Lama sebelum kedatangan Belanda, daerah Agam telah
berhubungan dengan pantai barat, terutama daerah
sekitar Pariaman untuk mengambil garam dan
mendapatkan ikan kering. Semenjak Belanda
memperkenalkan sistem pemerintahannya, luhak Agam
senantiasa memperoleh kedudukan sebagai daerah
administrasi setingkat Residentie, Afdeeling, Bun atau
Kebupaten dengan ibu Kotanya Bukittinggi. Namun
semenjak tahun 1985 ibukota Agam dipindahkan ke
Lubuak Basuang.
Luhak Agam juga pernah menjadi pusat pendidikan Islam,
terutama pada saat Islam mulai masuk ke daerah
pedalaman, yakni Koto Tuo, begitu juga saat terjadinya
Gerakan dan Perang Paderi banyak Ulama yang terlibat.
35
Dt. Toeah, ed, Damanhoeri, Tambo Alam Minangkabau, hal 56. Dt.
Toeah menuliskan sampai no 15 yang no 16 adalah terdapat beberapa
pendapat diantaranya, Idrus Hakimi Dt. Rajo Panghulu,dalam
bukunya Pokok-pokok Pangangan Panghulu dan Bundokanduang,
memasukan Kamang Mudiak, Kamang Hilia secara terpisah ke dalam
Cancang Anam Baleh, menurut penulis itu sangat tidak masuk akal,
karena nama Kamang Mudiak-Kamang Hilia nama itu baru tahun
1949 yang sebelumnya bernama Surau Koto Samiak untuk Kamang
Mudiak dan Aua Parumahan untuk Kamang Hilia, Dizaman Paderi
masih bernama Kamang (saja), Pedapat lain mengemukakan bahwa
Koto Rantang adalah salah satu dari Cancang Anam Baleh tersebut
alasannya adalah karena Koto Rantang itu pintu gerbang ke arah
Bonjol dan Malamah sampai ke Air Bagih daan Rao Mapattunggul ,
(wawancara bulan Pebruari tahun 1995, dengan Dt. Tumbijo Dirajo
asal Koto Rantang), Namun penulis cendrung bahwa Tilatang adalah
salah saatu dari Cancang Anam Baleh tersebut
22 Manajemen Suku
Daerah ini juga pernah memegang peranan penting dalam
dunia pendidikan barat, dan itu ditandai dengan hadirnya
Sekolah Raja di Bukit Tinggi dan banyaklah warga Koto
Gadang yang berpendidikan barat serta menduduki
jabatan penting pada birokrasi kolonial dan nasional.
Luhak Limo Puluah yang mulanya terdiri dari 50 orang
Niniak dari kaki Gunuang Sago, mereka memulai
penyebaran daerah melalui Koto Tinggi, Baboi, Situjuah
Batua, Ladang Laweh, Banda Dalam, Situjuah Gadang
terus ke Mungka dan berdirilah nagari-nagari Koto Nan
Gadang, Koto Nan Ampek, Tiakar, Mungka, Simalanggang
sampai ke Pangkalan terus ke rantau Kampar Kiri-
Kampar Kanan, Siak Indragiri.
Luhak Limo Puluah yang berpusat di Payokumbuah,
sekarang menjadi Kotamadya, cikal bakal kota ini mulai
dibangun dengan sungguh-sungguh sejak tahun 1832.
Tahun itu sebuah pos militer dibangun dan sejumlah
serdadu ditempatkan di sana. Status kota yang semula
sebagai pusat perekonomian ditandai dengan
dibangunnya keagenan Nederlandsch Handel
Maatschappij (NHM) 1836. Keberadaan pos militer dan
NHM inilah yang menjadikan Payokumbuah menjadi
sangat penting, dan dengan latar belakang itulah
Payokumbuah sebagai pusat pemerintahan di masa
Belanda terutama setelah dibentuknya Afdeeling
Limopuluah Kota. Kota Payokumbuah juga menjadi kota
pendidikan, kota ini tercatat sebagai kota di mana
Universitas Andalas pertama kali membuka kelas 36
Secara etnis, daerah-daerah yang berada di rantau itu
tetap menganggap dirinya sebagai orang Minangkabau 37,
36
Gusti Asnan, Kamus… hal 227
37
Mochtar Naim, Merantau ….., hal 14. Gusti Asnan, Kamus… hal 20.
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 23
karena alam Minangkabau itu jauh lebih luas dari daerah
administratif Sumatera Barat dewasa ini, dan sebagian
besar penduduk yang mendiami daerah Muko-Muko
(Bengkulu), Kuantan dan Kampar serta Rokan
mengatakan berasal dari Minangkabau. Akhirnya luhak
dan rantau berada dalam beberapa Kabupaten dan
Kotamadya, bahkan tersebar di beberapa kabupaten di
luar propinsi Sumatera Barat. Penyebaran etnis
Minangkabau, dengan “meninggalkan kampung halaman
untuk pergi merantau” 38 telah memberi ruang dan gerak
mereka berkembang tidak hanya sebatas Luhak Nan Tigo
dan Pulau Sumatera saja, bahkan sampai ke Negeri
Sembilan. Di negeri Sembilan berkembang dan menyebar
sehingga dikenal dengan Adat Parpatih yang telah menjadi
“identitas’ bagi masyarakat Minang disana.
39
Hamka, Islam… hal 93 dan dalam MD. Mansur , Sejarah… hal 3
40
Kato (kata-kata) seperti yang terkandung dan terungkap dalam
prinsip-prinsip dasar atau rumusan-rumusan kebenran, pepatah-petitih,
patuah, mamangan…dalam memahami nilai-nilaiyang dominan dianut
oleh mereka. Azmi, Pelestarian ….dalam Minangkabau yang Gelisah,
hal 84.
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 25
dalam bahasa Melayu Minangkabau; karta menjadi koto,
sebagai akibat adaptasi berdasarkan stuktur morfologis,
yakni kerta menjadi kerto sampai menjadi “koto”.
Filhyang, terus huruf F disebut P. Menjadi Piliang.
Akhirnya sampai kepada Koto Piliang.
Bodi Caniago berasal dari kata Bhudi Catriarga, Buddhi
Catniarga artinya: Bhudi = pikiran (asal nama sejenis
pohon yang rindang daunnya, di sini asal turunannya
ilham sebagai hasil tapa, Shidarta Gautama, dalam bahasa
melayu disebut pohon Bodi, yang maksudnya sama
dengan musyawarah. Perkataan Catriarga ditinjau dari
sudut morfologi mengalami adaptasi stuktur bentuk kata
ke dalam bahasa Melayu Minangkabau Caniago. Dalam
perkembangannya Caniago= Catni dan Arga; Catni
mengalami matatesis menjadi canti. Canti mengalami
sinkop yakni hilangnya satu fonem di tengah kata,
sehingga menjadi “cani”. Begitu juga Arga atau aga berarti
puncak (gunung) seperti tri arga =tiga gunung). Perkataan
Buddhi Catniarga (dialek Minangkabau: Bodi Caniago),
dimaksudkan “pikiran puncak yang baik” atau dengan
kata lain: pikiran atau budi yang menjadi kebaikan. 41
Terlepas dari perbedaan nama dan pengertian tentang
Koto Piliang dan Budi Chaniago, kita lihat kembali dari
sistem pemerintahan, sistim pemerintahan yang disusun
oleh Dt. Katumanggungan dengan semboyan “Titiak dari
ateh”, sedangkan sistem yang disusun oleh Dt. Parpatiah
Nan Sabatang bersemboyan “mambusek dari bumi”,
berdasarkan kedaulatan rakyat.
Kedua sistem tersebut sampai sekarang berkembang
sepanjang gunung Marapi, sajajaran gunung Singalang,
41
Mid Jamal, Menyigi… hal 7i. Baca juga H. Bagindo Suarman Dkk,
Adat Minangkabau: Nan Salingka Hhiduik, hal hal 35.
26 Manajemen Suku
saedaran gunung Pasaman, salilik gunung Sago, yang
berawal di “sawah satampang baniah, makanan urang
Tigo Luhak” di Pariangan Padang Panjang. Dibawah ini
dapat dilihat perbedaan yang mendasar antara sistem
Koto Piliang dan Budi Chaniago.
42
Dr. Alis Marajo Dt. Sori Dirajo, Pemakalah pada Seminar tentang
Budaya Minangkabau di Era Globalisasi dengan judul Peranan Niniak
Mamak dan Pemerintahan Daerah dalam Upaya Kembali ke Nagari,
disajikan pada tanggal 22 Oktober 2000 seperti yang penulis kutip
pada halaman 3 dan 6 makalah tersebut.
Bab 2: Minangkabau dalam Lintasan Sejarah 27
3. Sistem Lareh nan Panjang (Pariangan) dengan
kepemimpinan bernama “Lantak Nagari”
4. Sistem Kerajaan Pagaruyang” dengan kepemimpinan
Basa Ampek Balai
28 Manajemen Suku
BAB 3
NAGARI PEMERINTAHAN TERDEPAN DI
SUMATERA BARAT
A. Pengertian Nagari
Nagari dalam tradisi masyarakat Minangkabau adalah
identitas (icon) kultural dari sebuah tatanan masyarakat
yang demokratis. Di dalam Nagari, terkandung sistem
yang memenuhi persyaratan embrional dari sebuah sistem
negara. Nagari yang terdiri dari suku-suku dalam artian
miniatur, dan merupakan republik kecil yang sifatnya self
contined, otonom dan mampu membenahi diri sendiri.
Sebagai suatu lembaga, nagari bukan saja dipahami
sebagai kualitas teritorial, akan tetapi juga merupakan
kualitas genelogis. Nagari merupakan lembaga
pemerintahan dan sekaligus merupakan lembaga kesatuan
sosial utama yang dominan. Sebagai kesatuan masyarakat
otonom, nagari merupakan republik mini dengan teritorial
yang jelas. Ia mempunyai pemerintahan sendiri, punya
43
Gusti Asnan, Nagari pada masa Kolonial. Lentera 21 hal 33
44
Imran Manan, Nagari Pra Kolonial … lentera hati hal 22
32 Manajemen Suku
bersama dalam kehidupan yang dapat dilalui secara
bersama-sama pula.
Atas dasar kebersamaan, yang dimulai dari beberapa
keluarga, antara keluarga dengan keluarga yang lain
akhirnya bersatu, kemudian berkembangan dalam
komunitas dalam kelompok tertentu. Komunitas itu
akhirnya berinteraksi dan bekerja sama dalam komunitas
lain, yang akhirnya terbentuklah taratak yang berawal
dari :
Singok nan bagisia
halaman nan salalu
batunggua bapanabangan
bapandam bapakuburan
1. Periode Pra-Kolonial
Dimasa pra-kolonial, kehidupan nagari dikendalikan oleh
adat 45. Teritorial nagari yang biasanya terdiri dari hutan
tinggi dan hutan rendah. Hutan tinggi adalah wilayah
nagari yang terdiri dari hutan rimba yang belum terbuka,
termasuk rawa-rawa. Sedangkan hutan rendah adalah
sawah, ladang, kebun dan tanah perumahan serta
pekarangan, semua tanah yang telah diolah 46 dan
berfungsi sebagai dana cadangan, baik bagi nagari
ataupun bagi anak kamanakan dalam suku.
Stuktur masyarakat nagari di Minangkabau disusun
berdasarkan prinsip-prinsip matrilinial, dari tinjauan
antropologi, maka kelompok kekerabatan yang mendiami
nagari-nagari di Minangkabau itu akan terdiri dari suku
(scan), kaum (lineage), paruik (sub-lineage) 47
45
Keebet Von Benda-Beckman, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat
(Jakarta, Grasindo, 2000), hal 67
46
Bandingkan dengan pendapat Soewardi Idris Dt. Bandaro Panjang,
2004) Hal 62
47
Imaran Manan, nagari pro kolonial…, hal 7 dan bandingkan dengan
Mochtar Naim Merantau…18-19 juga baca A. Rivai Yogi, Sastra
Minang (Jakarta Mutiara Sumber Widya), hal 23-24
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 35
Setiap orang dalam sebuah nagari adalah anggota dari
salah satu kelompok matrilinial dalam nagari tersebut,
artinya harus menjadi kemenakan dari seorang panghulu
yang bersangkutan. Kondisi seperti ini memudahkan
dalam memenej anak kemenakan, karena telah berada
pada sebuah komunitas kecil dalam wilayah ketetanggaan.
Wilayah ketetanggaan ini mempunyai aturan sendiri yaitu
sebuah kesepakatan, yang dalam sistem musyawarah adat
disebut dengan buek. Tentang perkembangan nagari akan
dibahas lebih jauh pada Sub C dalam bab ini.
2. Periode Kolonial
Sebelum pecahnya Perang Paderi 1821, Sumatera Barat
berada dalam kesatuan Luhak dan Rantau, yang terdiri
dari nagari-nagari. Dan nagari diberi kebebasan secara
adat, namun setelah pemerintahan kolonial Belanda,
secara berangsur-angsur dan sistimatik mengadakan
pendekatan, dengan berpedoman kepada Regering
Reglement (RR) tahun 1854 (Stbl nomor 129 tahun 1854),
semacam undang-undang dasar untuk negeri jajahan
Hindia Belanda yang pelaksanaannya diatur dalam
ordonansi.
Pada Plakat Panjang tahun 1833, Belanda mengakui
keberadaan nagari dengan sikap tidak akan mencampuri
urusan nagari (otonomi), secara politik kekuasaan
pemerintahan Belanda membiarkan pemerintahan nagari
diatur menurut adat yang berlaku, dan dipertegas lagi
dalam ordonansi 27 September 1918
Pada tahun 1848, Belanda mengatur pemerintahan nagari
yang disesuaikan dengan kepentingan pemerintahan
penjajahan 48. Insitusi baru didirikan yaitu Tuanku Laras
48
Soewardi Idris, hal 86, 2004
36 Manajemen Suku
merupakan koordinator beberapa nagari menyangkut
pengumpulan pajak, pelaksanaan tanaman paksa
terutama kopi untuk diekspor ke Belanda. Pejabat pribumi
yang melaksanakan kebijakan Belanda di Minangkabau ini
cukup ditakuti, gajinya besar dan tumbuh menjadi feodalis
baru.
Pemerintahan keselarasan ini berakhir tahun 1917 diganti
dengan peraturan pemerintah Belanda tanggal 27
Septembar 1918 yang dimuat dalam Lembaran Negara No.
667, yang isinya tentang pemerintahan baru paska
pemerintahan Tuanku Laras, setelah dilakukan perubahan
dan penambahan dikeluarkan Inlandsche Gemeente
Ordonantie Buitengewesten (IGOB) tahun 1938
(Lembaran Negara 490).
Menurut IGOB, nagari berkedudukan sebagai Badan
Hukum Bumi Putra yang diberi hak mengatur urusan
rumah tangga sendiri yang sama maksudnya dengan
otonomi. Sebelum IGOB diberlakukan, Belanda
mengangkat Penghulu-Penghulu baru diluar adat seperti
Penghulu pasar, Penghulu nikah dan di Nagari diangkat
Penghulu Kepala (Angku Kapalo=Kapalo Nagari) 49. Jadi
otonomi yang diberikan pada hakekatnya membiarkan
rakyat sendiri menolong nasibnya, tanpa bantuan
anggaran belanja dari pemerintah jajahan.
Sebagai tindak lanjut dari RR 1854 Nomor 129, maka pada
tahun 1903 pemeintahan Hindia Belanda mengeluarkan
Inlandsche Gemente Ordonantie Stbl Nomor 321, dan
tahun 1918 mengeluarkan Stbl Nomor 667. dengan kedua
ordonansi ini, maka tertatalah kembali susunan tingkat
pemerintahan sebagai berikut:
49
Ibid, hal 87
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 37
1. Provinsi, misalnya provinsi Sumatera dipimpin oleh
Gubernur. Beberapa gewest (misalnya gewest
Sumatera Barat Tapanuli) dihapus dan digabungkan
menjadi provinsi
2. Residentie atau keresidenan, misalnya Keresidenan
Sumatera Barat dipimpin oleh Residen. Keresidenan
Padang Darat (Padangsche Bovenlanden) dan
Padang Benedenlanden (Padang Laut), yang ada
selama ini dihapus dan digabungkan menjadi satu
keresidenan, yakni Keresidenan Sumatera Barat
3. Afdeling, dipimpin oleh Asisten Residen alias tuan
Luhak ala Minang.
4. Onder Afdeling, dipimpin oleh kontolir alias Tuan
Kumandua ala Minang
5. District, dipimpin oleh Demang alias Wedana yang
mempin wilayah kewedanaan.
6. Onder District, dipimpinan oleh Asisiten Demang
alias Asisten Wedana atau Camat yang dipimpin
wilayah kecamatan
7. Nagari, dipimpin oleh Kepala Nagari atau Angku
Palo.
3. Periode Kemerdekaan
Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan oleh Dwi
Tunggal (Soekarno –Hatta), jelas membawa makna
penting dalam nilai-nilai dasar budaya, politik bangsa
Indonesia Pada awal kemerdekaan, namun tidak serta
38 Manajemen Suku
merta merubah susunan pemerintahan nagari di
Minangkabau.
Perubahan sedikit terjadi, setelah dikeluarkannya
Maklumat Residen Sumatera Barat Nomor 20 dan 21
tanggal 21 Mei 1946 yang menetapkan Perubahan
dalam Susunan Kelambagaan Nagari, perobahan itu
setelah mendengarkan Rapat Pleno Komite Nasional
Keresidenan Sumatera barat pada tanggal 18 Maret 1946,
dengan pertimbangan untuk menegakkan demokrasi serta
memperlancar pemerintahan dan pembangunan nagari-
nagari. Unsur-unsur dari pemerintahan nagari adalah
Wali Nagari, Dewan Perwakilan Nagari (DPN) dan Dewan
Harian Nagari (DHN), dengan demikian posisi wali nagari
menjadi sangat kuat, karena sekaligus merupakan ketua
DPN dan DHN 50 yang berlaku umum di Sumatera Barat
Tanggal 15 Januari 1954, Presiden Soekarno menerbitkan
keputusan No. 1 yang isinya antara lain menghapuskan
daerah otonomi, menghidupkan kembali wilayah
pemerintahan sesuai dengan ordinasi tahun 1938 (IGOB).
Dengan penjelasan sistem demokrasi yang berlaku di
nagari adalah demokrasi modern tidak dengan demokrasi
adat.
Penjabaran keputusan No. 1 ini ditindaklanjuti oleh
pemerintah Propinsi Sumatera Tengah dengan
mengeluarkan ketetapan No. 2/6/55 yang memberi
petunjuk tentang cara pembentukan DPR Nagari.
Secara administrasi yang berlaku umum di Sumatera
Barat, pemerintahan berada dibawah jorong, berpedoman
kepada surat Keputusan Mendagri No 17/1977 tanggal 25
Januari, pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I
Sumatera Barat mengeluarkan Surat Keputusan No
50
Efi Yandri, Nagari dalam Perspektif Sejarah, (Lentara 21,2003), Hal, 61
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 39
259/GSB/1977 tentang Penetapan Jorong disamakan
denan Desa. Keadaan ini terus berlangsung sampai
berakhirnya jorong ditetapkan menjadi desa pada 1
Agustus 1983.
Dengan berlakunya UU No 5 tahun 1979, nagari dipecah
menjadi 3500 desa, jo Perda No 8 tahun 1981, dan berlaku
efektif di Sumatera Barat berdasarkan Keputusan
Gubernur kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat Nomor
162/GSB/1983, nagari lenyap dalam bentuk pemerintahan
jorong yang ada dikembangkan menjadi desa yang berhak
mengatur urusannya sendiri.
40 Manajemen Suku
Walaupun nagari melalui Perda no 13/1983 secara akal-
akalan sempat dialihkan dengan menjadikan unit
kesatuan adat dan ekonomi, pada saat itu kepala desa:-
wajib mempedomani keputusan KAN (Karapatan Adat
Nagari), tetapi itu hanya macan kertas yang tidak punya
gigi. Dalam kenyataanya, desa-lah yang lebih kuat, karena
menjadi ujung tombak pemerintahan pusat. Dengan
demikian reduplah demokrassi asli yang selama ini hidup
dan berkembang di nagari 51
Reformasi telah bergulir pada tahun 1988, angin segarpun
telah berhembus, walaupun tidak secara spontan respon
timbul dari masyarakat untuk kembali kepada sistem
pemerintahan nagari . Hal ini dapat dipahami, secara
psikologis masyarakat masih “gamang” terhadap
perubahan yang ada, dan belum terhapusnya jejak-jejak
masa lalu (Orde Baru). Selama ini suara dari bawah
kurang didengar, dan tidak dibiarkan adanya perbedaan
pendapat, apalagi yang bertentangan dengan kehendak
pemerintahan. Sehingga berakibat pada kecendrungan
cuek, takut, masa bodoh terhadap datangnya perubahan
Dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, telah membuka peluang bagi
Pemerintahan Daerah Sumatera Barat untuk
membangkitkan kembali Pemerintahan Nagari, dalam
rangka menyesuaikan sebutan lain dari desa yaitu Nagari
seperti yang dikehendaki oleh undang-undang nomor 22
tahun 1999 pasal 1 huruf (o).
Undang-undang nomor 22/1999 oleh pemerintahan
Sumatera Barat, telah dijabarkan dalam bentuk Peraturan
Daerah nomor 9 tahun 2000, tentang Pokok
Pemerintahan Nagari
51
Mochtar Naim, Perspektif Nagari ke Depan, hal xi
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 41
Nagari adalah satu kesatuan hukum adat dalam daerah
Propinsi Sumatera Barat, yang terdiri dari himpunan
beberapa suku yang mempunyai wilayah yang tertentu
batas-batasnya, mempunyai harta kekayaan sendiri,
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya dan
memilih pimpinan pemerintahannya.
Dari penjelasan tentang maksud dari pemerintahan nagari
seperti dalam konsideran dari Perda No. 9 tahun 2000,
adalah: Pemerintahan Nagari yaitu kegiatan dalam rangka
penyelengaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
organisasi pemerintahan terdepan tetapi tidak lagi berada
di bawah Camat, karena Nagari merupakan kesatuan
berasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Dan
kedudukan Nagari merupakan sub sistem dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan Negara, sehingga nagari
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat. Wali Nagari bertangung jawab
kepada Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN) dan
menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada
Bupati 52
Nagari menjadi pemerintahan terdepan, dalam era
Otonomi Daerah sekarang, yang dapat mengatur dan
mengurus serta menjalankan pemerintahan sendiri.
Berbeda dengan Nagari dalam masa Perda nomor 13/1983,
Nagari hanyalah mengatur dan mengurus hal-hal yang
berkaitan dengan adat istiadat saja, sedangkan urusan
administrasi pemerintahan dilaksanakan oleh Desa yang
berada langsung dibawah Camat.
Pemerintahan Kabupaten Solok telah mencanangkan
berlakunya Otonomi Daerah sejak 1 Januari 2001, yaitu
dengan lahirnya Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2001.
52
Peraturan daerah Sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000, pasal 1 huruf (g)
42 Manajemen Suku
Desa dihapus, pemerintahan terdepan adalah nagari,
sedangkan Camat berfungsi sebagai fasilitator mewakili
Bupati dalam pembinaan nagari.
Pertama-tama yang dibentuk adalah wakil rakyat yang
disebut Badan Musyawarah Nagari (BMN) terdiri dari
unsur Ninik Mamak. Cerdik Pandai, Alim Ulama, Bundo
Kanduang dan Pemuda serta perwakilan masyarakat di
perantauan. Penunjukkan anggota BMN secara
musyawarah dan perwakilan golongan. BMN dilantik oleh
Bupati
Tujuan membuat peraturan dan tata tertib membentuk
panitia pemilihan Wali Nagari dan melaksanakan
pemilihan Wali Nagari dan dilantik oleh Bupati. Sampai
naskah ini ditulis terdapat 74 nagari yang telah selesai
melaksanakan pemilihan dan pelantikan wali nagari.
Dengan kerja sama yang baik antara wali nagari dan
perangkatnya berjuang dengan keras untuk merebut 105
wewenang nagari, melaksanakan pemerintahan nagari
dengan dana DAUN dan Pendapatan Asli Nagari untuk
melaksanakan pembangunan demi kesejahteraan rakyat
nagari
Tujuan membuat peraturan daerah dan tata tertib BPAN
(BMN) membentuk panitia pemilihan Wali Nagari dan
melaksanakan pemilihan Wali Nagari dan dilantik oleh
Bupati. Sampai naskah ini ditulis terdapat 74 nagari yang
telah selesai melaksanakan pemilihan dan pelantikan wali
nagari. Dengan kerjasama yang baik antara wali nagari
dan perangkatnya berjuang dengan keras untuk merebut
105 wewenang tersebut dalam melaksanakan
pemerintahan nagari dan dana DAUN daan Pendapatan
Asli Nagari untuk melaksanakan pembangunan demi
kesejahteraan rakyat nagari.
44 Manajemen Suku
Dampak dari demokratisasi yang sedang berkembang,
seolah-olah Nagari telah menjadi “Negara” dalam Negara
kesatuan Republik ini, hal tersebut merupakan evoria dari
perobahan tatanan sosial, politik yang digulirkan dalam
gelombang reformasi, karena selama dalam era Perda
13/1983, nagari terkungkung dalam “Belenggu Desa”.
46 Manajemen Suku
Adat nan sabana adat adalah tetap, kekal, tidak
terpengaruh oleh tempat, waktu dan keadaan, indak
lapuek dek ujan, indak lakang dek paneh, dianjak indak
layua, di bubuik indak mati.
Adat nan diadatkan adalah hukum-hukum adat yang
diterima dari niniek mamak urang Minang Datuak
Katumanggungan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang,
yang pada pokoknya cupak nan duo, kato nan ampek,
undang-undang nan ampek dan nagari yang ampek
Adat nan teradat merupakan kebiasaan masyarakat
setempat yang telah diambil melalui kesepakatan terlebih
dahulu, boleh dikurangi, ditambahi atau dihilangkan.
Adat istiadat yaitu kelaziman disatu-satu nagari pada
suatu keadaan yang dipaturunkan-dipanaikan dalam
pergaulan sesama
Manusia menurut sifatnya tidaklah dapat hidup sendiri,
dia membutuhkan pertolongan dan bantuan, sejak kecil si
anak membutuhkan bantuan dari orang tuanya setelah
uzur pun juga membutuhkan bantuan baik dari anak
sendiri maupun dari orang lain. Adanya hubungan tolong
menolong antara sesama merupakan dasar pergaulan
hidup sesama makhluk Tuhan
Dalam kehidupan bermasyarakat, timbulnya istilah barek
samo dipikua, ringan samo dijinjiang merupakan
cerminan dari pola kehidupan bermasyarakat, Dalam
pergaulan tidak mungkin terlepas dari rasa kebersamaan,
dengan demikian rasa kebersamaan itu merupakan
kepentingan bersama dalam kehdupan yang dapat dilalui
bersama
Atas dasar kebersamaan itulah orang-orang Minang
menyusun Taratak yang dimulai dari beberapa keluarga,
keluarga lain dengan keluarga lainnya dan akhirnya
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 47
bersatu dan berkembang dalam komunitas lainnya dan
berada dalam kelompok baru yaitu dusun. Dusun
merupakan tempat menyusun kekuatan bersama untuk
mancancang latieh jo manaruko. Mengerjakan tanah
tempat mereka dalam kampuang sesuai dengan pepatah
adat yang mengajarkan:
Singok nan bagisia
Halaman nan salalu
Batunggua bapanabangan
Bapandam-bakuburan
50 Manajemen Suku
masyarakat tersebut. Secara tegas dapat dinyatakan bahwa
karakteristik budaya lokal yang spesifik dari setiap nagari,
pengolahan dan pengorganisasian diserahkan sepenuhnya
kepada masing-masing nagari, dalam bidang adat berada
dibawah Karapatan Adat Nagari (KAN)
Keputusan yang diambil KAN yang terdiri dari Penghulu
suku, Penghulu kaum, Penghulu tungganai berdasarkan
kebersamaan melalui musyawarah dan mufakat. Sistem
pengambilan keputusan dalam lembaga ini tidak dikenal
adanya suara voting atau perhitungan suara setuju dan
tidak sutuju. Semua keputusan mengedepankan azas
musyawarah untuk mufakat. Apabila suatu keputusan
belum mencapai kata sepakat, maka pengambilan
keputusan ditunda dulu atau dengan istilah
diperambunkan menjelang didapatnya kata sepakat
Hal ini dimaksudkan, agar peserta rapat dalam pengambil
keputusan dapat menimbang kembali atau menungkuik
manilantangkan terhadap dampak dari keputusan yang
akan ditetapkan itu nantinya. Jadi di sini berlaku sistem
demokrasi, duduak samo randah tagak samo tinggi,
semua peserta rapat mempunyai hak suara yang sama,
dan keputusan diambil secara aklamasi
Adat, Agama dan Cendikiawan dalam suku atau kaum
yang dikenal dengan tali tigo sapilin dan tungku tigo
sajarangan. Ketiga unsur tersebut bersinergi dalam
menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan,
menjadi sesuatu kekuatan dalam memberdayakan
masyarakat. Kehidupan bernagari di Ranah Minang
terdapat prinsip-prinsip yang bernilai substantif seperti
otonomi, demokrasi, egaliter, parsitipatif, dan
kebersamaan
Dengan memanfaatkan setiap potensi nagari, jengkal
tanah dengan pengelolaan lumbung nagari, yang
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 51
bersumber dari rangkiang di setiap kaum dan suku.
Sejengkal tanah tersebut akan menjadi kekuatan
fundamental ekonomi berbasis rakyat yang siap untuk
berkompetitif.
Adanya pemerintahan yang kokoh dibawah
kepemimpinan wali nagari, dan lembaga Karapatan Adat
Nagari (KAN), diperkuat lagi dengan Alim Ulama dan
Cadiak Pandai serta Bundokanduang. Adanya kekuatan
ekonomi yang berbasis dana kaum dalam bentuk fisikal,
berupa pusako tinggi sebagai milik kaum dan suku. Luas
wilayah yang mencukupi berdirinya nagari. Hal tersebut
adalah strutur dan unsur-unsur yang menjadi kekuatan
dalam pemerintahan nagari di Sumatera Barat.
52 Manajemen Suku
Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999, maka
pelaksanaan otonomi daerah yang dicirikan dengan asas
desentralisasi, memposisikan Pemerintah Daerah menjadi
penanggung jawab utama atas kebijakan penyelenggaraan
pemerintah sesuai dengan kewenangan yang diberikan,
dan tetap berada dalam koridor Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pemberian kewenangan yang besar kepada daerah
dimaksudkan agar penyelenggaraan pemerintahan
berjalan lebih efektif dan efisien, sesuai dengan kondisi riil
yang dibutuhkan oleh masyarakat daerah yang
bersangkutan, sehingga pelayanan kepada masyarakat
terselenggara lebih baik dan dengan memenuhi harapan
masyarakat.
Perubahan paradigma pemerintahan dari asas sentralistik
ke asas desentralisasi, menuntut kemampuan Pemerintah
Daerah untuk dapat merumuskan kebijakan sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan potensi daerah serta dapat
dimanfaatkan secara optimal
Pemerintah Propinsi Sumatera Barat telah menyikapinya
secara arif UU No 22 tahun 1999 tersebut dengan
mengeluarkan Perda No. 9 Tahun 2000, tentang
Ketentuan Pokok Pemerintah Nagari. Dalam perda
tersebut dinyatakan bahwa nagari adalah kesatuan
masyarakat hukum adat yang terdiri dari beberapa suku,
yang mempunyai wilayah dan batas-batas tertentu serta
mempunyai harta kekayaan sendiri dan berwenang
mengurus rumah tangganya sendiri serta memilih
pimpinan pemerintahannya
Berdasarkan otonomi yang dimiliki nagari, maka
pemerintahan nagari dapat mengembangkan peran serta
seluruh masyarakat yang terorganisir secara baik di dalam
suku-suku secara demokratis dengan memanfaatkan nilai-
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 53
nilai budaya Minangkabau serta peranan Kerapatan Adat
Nagari atau lembaga lainnya di nagari sebagai mitra kerja
dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan
inilah Pemerintah Propinsi Sumatera Barat menetapkan
nagari sebagai basis dalam penyelenggaraan otonomi
daerah, artinya otonomi daerah dibangun berdasarkan
kemandirian pada level penyelengagaraan Pemerintahan
Nagari
Otonomi yang dijembatani oleh nagari di Sumatera Barat
tidak bernasib mujur, seperti pengalaman Kanada dalam
menjalankan Otonomi. Nasib sebagai pemerintahan
terdepan mengalami pasang surut seiring dengan sistem
pemerintahan Republik Indonesia.
Pada saat pemerintahan orde lama, nagari mendapat
tempat dalam sistem pemerintahan yang ada, tetapi pada
saat pemerintahan orde baru yang bersifat monolistik
sentralistik, terjadi pendesa-isasian seluruh sistem
terendah yang ada di republik ini, sehingga UU No.5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah menaklukan
kekuatan tradisi masyarakat Minangkabau dibawah
kekuasaan negara. Kondisi tersebut telah membelenggu
semangat kegotongroyongan dan partsipasi masyarakat
dalam membangun nagarinya
Antara pemerintahan nagari dan pemerintahan daerah
merupakan bentuk sistem pemerintahan otonomi, karena
nagari adalah kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam
wilayah Propinsi Sumatera Barat, yang terdiri dari
himpunan suku-suku yang mempunyai wilayah tertentu,
harta kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri dan memilih pimpinan
pemerintahannya sendiri
Sedangkan daerah otonom yang disebut daerah, adalah
suatu kesatuan hukum yang mempunyai batas daerah
54 Manajemen Suku
tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
bedasarkan aspirasimasyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia
Dengan demikian, nagari mempunyai kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Sehingga nagari merupakan suatu bentuk
pemerintahan terdepan, yang otonom di Sumatera Barat,
bahkan Otonomi Nagari bukan saja pada aspek
pengeluaran tetapi juga pada aspek penerimaan, jadi
keleluasaan Nagari dalam mengatur rumah tangganya
sendiri jauh lebih luas dari pada Pemerintahan Daerah.
Pemerintahan Nagari yang memiliki tanggung jawab
dalam hal pemerintahan dan pembangunan yang mengacu
kepada kepentingan Nagari, Daerah dan Nasional, sesuai
dengan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Disamping itu nagari sebagai institusi lokal merupakan
instrumen dalam membangun demokrasi yang
sesungguhnya.
Otonomi Daerah di Sumatera Barat sepenuhnya tidak
hanya bertumpu pada sistem Pemerintahan Nagari yang
ada, lebih jauh Otonomi Daerah juga mengandalkan
adanya faktor relasi nagari sebagai institusi lokal, dengan
kekuatan yang berada diluar dirinya sendiri. Betapapun
dan apapun usaha mewujudkan Otonomi Daerah,
bilamana institusi lokal masih menjadi subordinasi dari
kekuatan diatasnya, maka perubahan kearah kehidupan
yang elegan dan demokratis tidak akan pernah dapat
direalisasikan
Sebaliknya institusi lokal sebagai basis masyarakat
mayoritas, jika tidak bisa ditransformasikan menjadi
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 55
kekuatan yang demokratis, maka sangat sulit untuk
membangun otonomi daerah yang sesungguhnya. Dari
sini terlihat kaitan yang erat antara otonomi daerah dalam
nagari di Sumatera Barat dalam proses demokratisasi.
Dalam melaksanakan pemerintahan nagari juga
mengalami perubahan-perubahan penggunaan sebutan
istilah untuk pemimpin nagari, yaitu:
1. Penghulu Kepala di Zaman Perang Paderi sampai
berakhirnya Plakat Panjang tahun 1833 dan 1908-
1914
2. Kepala Nagari (Nagari Hoofd) than 1914-1942
sampai masuknya Jepang
3. Di zaman Jepang disebut dengan kocu
4. Di zaman Kemerdekaan sampai sekarang disebut
Wali Nagari
58 Manajemen Suku
soal lanjut adalah bagaimana institusi sosial itu bisa lebih
efektif mengelola pembangunan nagari
Agenda besar selanjutnya, bagai mana membiayai sarana
dan prasarana publik dan infrastruktur nagari, dan
bagaimana nagari bisa memiliki sumber pembiayaan
sendiri dan mandiri mengingat DAUN jelas tidak akan
pernah cukup. Kemandirian nagari secara sosial dan
ekonomi adalah wujud ‘otonomi berbasis nagari”
Untuk mewujudkan visi Pemerintah Daerah Propinsi
Sumatera Barat menjadikan nagari sebagai basis otonomi
daerah, dibutuhkan beberapa prasyarat yang harus
dipenuhi dalam tataran implementasinya, antara lain:
Pertama: Tersedianya kualitas sumberdaya manusia
(Human Resauces) dalam sektor politik di nagari, yaitu
para profesianalia yang memiliki kemampuan teknis dan
non teknis. Harapan ini dapat dicapai dengan
keikutsertaan perangkat pemerintah nagari dalam
mengikuti pelatihan, tingkat gaji yang memadai, kondisi
kerja yang nyaman dan proses perekrutan yang baik. Hal
ini dimaksudkan dalam kerangka penyelenggaraan
pemerintah formal dan informal di nagari dapat tertata
dengan baik karena konsep dalam nagari terhimpun
semua kekuatan otoritas, tidak hanya kesatuan teritorial
saja tapi juga kesatuan adat (ninik mamak pemangku adat
sangat berperan sekali).
Kedua: Dilakukan reformasi pada tingkat organisasi
masyarakat adat. Ini menekankan pada struktur mikro
yang memfokuskan diri pada sistem manajemen modern
untuk memperbaiki kinerja dan pelaksanaan fungsi-fungsi
dan tugas yang spesifik dalam menunjang
penyelenggaraan Pemerintahan Nagari selaku
Pemerintahan Formal yang sekaligus bercirikan dukungan
lokal (anak nagari yang berada dalam kesatuan suku) atau
Bab 3: Nagari Pemerintahan Terdepan Di Sumatera Barat 59
setidak-tidaknya dalam penerapan kebijakan manajemen
modern ditingkat nagari, tidak mengabaikan kearifan,
keunikan dan tradisi lokal yang spesifik.
Dalam konteks ini, dipandang perlu penyamaan visi dan
persepsi anak nagari baik yang ada di kampuang maupun
di perantauan, bahwa dalam kerangka penerapan
kebijakan manajemen modern, tidak dengan
menghancurkan semua yang berbau lokal. Oleh sebab itu,
harus dikembangkan perspektif baru dalam tatanan
penyelenggaraan Pemerintahan Nagari, yakni
menyandingkan majemen modern dengan nilai-
nilai atau tradisi lokal yang dapat diterima oleh
semua pihak.
Dalam pengembangan Pemerintahan Nagari perlu di up to
date persoalan berikut:
- Reformasi Institusional: penerapan rule of the
game yang jelas bagi anak nagari, artinya perubahan
kebijakan dan hukum yang dimainkan Kerapatan
Adat Nagari (KAN) dan suku-suku dalam
menyelesaikan sengketa sako dan pusako bercirikan
dan berlandaskan ketentuan hukum sepanjang adat
yang berlaku di nagari masing-masing.
- Adanya ruang publik (publik space) bagi
masyarakat atau anak nagari (dikampung dan
perantauan) untuk mengetahui persoalan dan
pelayanan publik (publik services) yang diberikan
oleh Pemerintahan Nagari.
- Kelompok-kelompok civil society yang aktif
dan independen dalam memperjuangkan
kepentingan publik, melakukan kontrol atas
penyelenggaraan pemerintahan dan memperjuang-
kan domokrasi.
60 Manajemen Suku
Selanjutnya berbagai agenda aksi sebagai implikasi
dari skenario percepatan pemberdayaan nagari ke
depan dapat dirancang dan diselenggarakan, antara
lain:
- Memetakan potensi dan kondisi masyarakat
di nagari-nagari berkepentingan dalam suatu forum
untuk merancang agenda aksi strategis nagari paska
reformasi dengan menghadirkan seluruh stakeholder
yang dibutuhkan
- Pemberdayaan disektor pelayanan publik,
apabila dinilai sudah memadai, maka bisa
diharapkan pelayanan publik oleh Pemerintahan
Nagari bisa menjawab tantangan pembangunan
nagari. Pelayanan publik harus didukung oleh
perangkat nagari yang berorientasi kedepan sehingga
handal mengelola berbagai kebutuhan.
Pendelegasian pelayanan publik ke nagari-nagari
oleh Pemerintahan Kabupaten berimplikasi pada
pembagian retribusi antara Pemerintahan Nagari
dan Pemerintahan Kabupaten
- Pemberdayaan di sektor hukum, sangat
diperlukan untuk mendukung nagari agar mampu
mandiri mengembangkan produk hukum sesuai
dengan kebutuhannya. Misalnya untuk menyusun
peraturan nagari diperlukan pengetahuan dan
kemampuan menyusun legal draft dan naskah
akademis
62 Manajemen Suku
Otonomi Daerah Berbasis Nagari, maka tataran
implementasikanya akan sangat tergantung pada visi kita
mengenai pentingnya kembali pemerintah nagari dalam
konteks kekinian dan pengembangan nagari itu sendiri
Kabupaten Solok tercatat sebagai daerah yang paling siap
melaksanakan program kembali ke sistem Otonomi
Daerah Berbasis Nagari, karena merupakan daerah yang
pertama melahirkan perda tentang Pemerintahan Nagari
yaitu Perda nomor 4 tahun 2001.
Satu hal yang penting dalam sistem Pemerintahan Nagari,
adalah bagaimana menumbuhkan kembali rasa sahino
samalu, saciok bak ayam, sadanciang bak basi di tengah-
tengah masyarakat. Ketika kemiskinan dan
keterbelakangan terjadi pada anak kemenakan, maka hal
tersebut akan menjadi tanggung jawab dan perhatian
bersama dari keluarga tersebut, dan Pemerintahan Nagari
yang bersentuhan dengan masyarakat dan dapat
melakukan kontrol sosial.
Satu pertanyaan yang perlu dijawab saat sekarang adalah
bagaimana perspektif nagari ke depan? Nagari yang
bagaimana yang ingin diwujudkan? Perpektif nagari ke
depan ini sangat ditentukan oleh kondisi objektif yang ada
sekarang, dengan segala kelebihan dan kekuranganya,
dengan segala kelemahan dan kekuatannya serta visi dan
misi yang diemban oleh anak nagari yang dikampung dan
di rantau.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan
penilaian yang objektif, dan transaparan dengan
menggunakan berbagai indikator terhadap perkembangan
dari pemerintahan desa ke Pemerintahan Nagari saat ini,
dan dengan meminimalisir masalah-masalah dalam
penyelenggaraan pemerintahan nagari.
66 Manajemen Suku
BAB 4
SUKU, SEJARAH DAN
PERKEMBANGANNYA
A. Pengertian Suku
Kata suku artinya golongan orang-orang (keluarga) yang
seketurunan atau lebih tepatnya golongan orang-orang
sekaum yang seketurunan (matrilineal=menurut garis ibu).
Pada awalnya setiap orang Minang hidup berdasarkan
kelompok sukunya, yang merupakan seperempat bagian
dari suku induk: Koto, Piliang, Bodi dan Caniago.
Pada awalnya suku-suku ini terbentuk menurut
keselarasan yang diletakkan oleh Datuak
Katumanggungan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang,
seperti yang tertuang dalam mamang berikut:
Umpuak partamo koto piliang
sikumbang, jambak, tanjung malayu
Payobada, salo galumpang, banuhampu
Ditambah paga cancang, damo jo tobo
mandahiliang, bendang, kampai, patapang
53
I. D. Dt. Tumangung, 1998
68 Manajemen Suku
didasarkan pada musyarawah dan mufakat dalam
dewan suku
3. Masyarakat dengan pimpinan tunggal (chiefdoms):
Bentuk ini muncul ketika masyarakat tribal yang
bersifat egaliterien itu salah satu suku yang
membentuk komunitas memperoleh kedudukan
lebih tinggi diantara suku-suku yang ada, yang
disebabkan oleh keistimewaan yang dimiliki, antara
lain kesaktian atau kemampuan istimewa dalam
bidang keagamaan. Dengan demikian suku atau
kepala suku tersebut menjadi kepala dari semua suku
yang membentuk komunitas nagari yang otonom
5. Masyarakat yang diorganisasi sebagai negara setiap
nagari merupakan federasi suku. Karena itu,
menurut ketentuan adat Minangkabau, setiap nagari
mesti memiliki minimal empat suku, sesuai dengan
ungkapan ‘nagari baampek suku’. Pemuka setiap
suku di Minangkabau disebut Penghulu, ia diberi
gelar datuak dan pengangkatannya berdasarkan atas
mufakat kerabatnya.
Penghulu ini bertugas menyelesaikan persoalan yang
tumbuh dalam sukunya dan memperjuangkan
kepentingan kerabatnya ditingkat nagari. Kekuasaan
politik secara praktis di setiap nagari dijalankan
secara kolegial oleh para pemuka suku yang
tergabung dalam Kerapatan adat Nagari (KAN).
Kalaupun KAN ada salah satu Penghulu yang
dituakan, namun posisinya tidak bersifat ‘kepala’.
Kehadirannya hanya untuk keperluan praktis
semata-mata, sehingga mekanisme pemerintahan
dapat berjalan efektif
B. Komponen-komponen Suku
Masyarakat hukum adat secara perorangan merupakan
anggota komponen suku dalam tatanan pergaulan
bermasyarakat, dalam kelembagaan dan hierarki
komponen-komponen suku itu adalah:
1. Pariuak/tungku merupakan keluarga batih
(keluarga inti) dalam rumah tangga, yang bertindak
sebagai kepala keluarga adalah bapak, sedangkan
anggota dari pariuak itu adalah ibu dan anak-
anaknya, sebutan ini tidak populer di ditengah-
tengah masyarakat karena bercorak parental,
sedangkan unsur ini teramat penting dalam lahirnya
sebuah suku.
Dalam keluarga batih bapak berkuasa penuh, seperti
mamang adat berikut; ketek babaduang jo kain,
gadang babaduang jo adat artinya bahwa bapak
sepenuhnya bertanggungjawab terhadap
kelangsungan hidup anggota keluarganya, sejak
lahirnya (dalam bedung) hingga dewasa
(gadang=mau dan akan berkeluarga=kawin)
menurut adat, dan mamak tidak dapat terlalu jauh
ikut campur urusan rumah tangga batih tersebut.
Hal ini dipertegas lagi dengan empiris (fakta
dilapangan), apabila mamak melibatkan diri terlalu
jauh, maka bapak akan mengatakan pariuak bareh
den jan digaduah artinya mamak hanyalah
mancaliak-calaik dari jauh dan manjagokan jikok
talalok, selama si bapak paja masih tetap
menjalankan kewajibannya sebagai kepala keluarga.
70 Manajemen Suku
Si mamak akan turun tangan membantu anggota
sukunya (yang ada dalam pariuak tersebut) sesuai
dengan kapasitasnya sebagai mamak kepala waris,
jika kondisi telah menghendaki.
2. Paruik merupakan susunan yang diambil dari satu
nenek, Paruik-Paruik itulah yang membentuk
masyarakat matrilineal. Anggota dari kesatuan
paruik itu terdiri dari keluarga yang ditarik dari
keturunan ibu, terdiri dari mamak (kaum laki-laki)
sebagai kepala keluarga, sedangkan anggotanya
adalah kesatuan dari paruik tersebut (anak
perempauan dan anak laki-laki saudara perempuan,
saudara perempuan dan saudara laki-laki sampai
seterusnya ke bawah dari nenek dan seterusnya
keatas)
3. Jurai merupakan kumpulan dari beberapa paruik
yang berasal dari satu nenek, kemudian nenek
mempunyai keturunan yang diambil dari garis
keturunan perempuan, ringkasnya jurai adalah
kumpulan dari satu niniak (nenek) sehingga disebut
orang yang satu jurai adalah dunsanak niniak
4. Kaum merupakan kumpulan dari jurai-jurai,
diambil menurut garis keturunan ibu. Kaum
dipimpin oleh mamak kapalo kaum atau mamak
kapalo waris dengan gelar datuak. Datuak atau
mamak kapalo waris disebut juga dengan Penghulu
Andiko. Dalam keselarasan Bodi Caniago, Penghulu
Andiko merupakan pimpinan tertinggi dalam kaum
5. Suku merupakan susunan masyarakat Minangkabau
yang terpenting, seperti yang tertuang dalam
ungkapan adat berikut nagari baampek suku artinya
bahwa suku merupakan komponen penting dalam
nagari yang tidak dapat dipisahkan dalam susunan
masyarakat.
Bab 4: Suku, Sejarah dan Perkembangannya 71
Masyarakat yang bercorak Koto Piliang dikenal adanya
Penghulu Suku. Penghulu Suku ini menaungi anak
kamanakan yang terdiri dari beberapa kaum, dan dalam
kaum tersebut ada Penghulu Andiko yang berkuasa
didalamnya. Suku adalah naungan dari seluruh anggota
kaum, bagi nagari yang menganut kalarasan Koto Piliang,
dikenal ada Panghulu pucuak di setiap suku, dan
Penghulu pucuak merupakan pimpinan tertinggi dalam
sukunya.
72 Manajemen Suku
- Mengaburkan pertalian darah yang pada
akhirnya akan menimbulkan pertentangan
dalam suatu nagari
- Suatu suku akan menjadi kuat dan tidak
membutuhkan kehadiran suku lain
- Terjadi fanatisme antara suku
Kata suku merupakan golongan keluarga yang
seketurunan atau lebih tepatnya golongan orang
yang sekaum yang seketurunan (matrilineal) yaitu
orang sasuku.
Suku yang berada dalam kalarasan Koto Piliang dan
Kalarasan Bodi Chaniago yang masing-masing
dipimpin oleh Datuk Katumanggungan dan Datuk
Parpatih Nan Sababatang, dan kemudian terjadi
gesekan antara kedua Datuk tersebut yang terkenal
dengan Peristiwa Batu Batikam. Kemudian atas
inisiatif Dt Sri Maharajo Nan Banego-nego yang
berkedudukan di Pariangan Padang Panjang, beliau
menentukan sikap sendiri dalam arti tidak mau
memilih salah satu, tapi memadu sendiri sistem
pemerintahan itu dengan nama Lareh Nan
Panjang. Sikapnya seperti itu dinyatakan dalam
mamang sebagai berikut:
Pisang sikalek-kalek hutan
Pisang timatu nan bagatah
Bodi Caniago inyo bukan
Koto Piliang inyo antah
54
A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru (jakarta, garfiti pers, 1982) h. 130
74 Manajemen Suku
ii. Tiok suku ado panghulu
iii. Marantau dakek mancari induak
iv. Marantau jauh mancari suku
2) Faktor-faktor lainnya adalah:
v. Berdasarkan Niniak yang sama.
Contoh Caniago Tigo Niniak dan
Piliang Ampek Niniak
vi. Berdasarkan Korong yang sama.
Contoh Tigo Korong, Ampek Korong
dan Sambilan Korong
vii. Membentuk suku baru. Seperti
Padang Laweh, Padang Data,
Gudam, Pinawan dan Sebagianya
76 Manajemen Suku
Mengikuti perkembangan musim baganti, maso barubah
alam bakalebaran, kamanakan bapakambangan, maka
perkembangan suku sampai sekarang telah menjadi 96
suku yang mendiami luhak, rantau dan pasisia 55.
Permasalahan yang sering muncul biasanya berkaitan
dengan perkawinan sesuku dan pengaruh perkembangan
suku terhadap pola kekerabatan Minangkabau (Mochtar
Naim; 13).
Apabila suku dipahami dengan artian harfiah bahwa
antara satu suku dengan yang lainnya adalah bertalian
darah yang ditarik dari satu garis keturunan ibu, sehingga
orang yang satu suku disebut badunsanak. Berkaitan
dengan permasalahan ini, sebagian daerah kawin sesuku
bukan permasalahan dan dibolehkan dalam satu nagari.
Pada nagari lain kawin sasuku ini tidak dibenarkan apalagi
dilakukan dalam satu payuang, karena tempat
perlindungannya suatu kaum di bawah pimpinan satu
orang Penghulu, hal ini jelas diakui mereka adalah
badunsanak meskipun tidak dunsanak sakanduang.
55
Selanjutnya dapat di baca. AA Navis, Alam…. Hal, 129
Bab 4: Suku, Sejarah dan Perkembangannya 77
4) Mamak Payuang: kepala kelompok kaum yang
disebut ayam gadang sikue salasuang, balam mau
sikue saguguak.
5) Pembantu Penghulu: Malin, Manti, Dubalang
6) Penghulu Suku: kepala suku bersam-sama
pembantunya yang disebut Urang Ampek Jinih.
7) Urang Tuo Adat dalam suku adalah sebagai
penasehat dalam setiap suku
8) Kerapatan Suku
Setiap nagari merupakan himpunan beberapa buah
suku. Setiap suku terdiri dari beberapa buah paruik.
Setiap kaum saparuik terdiri atas beberapa kaum
sapayuang, saniniek, saibu
78 Manajemen Suku
e) Adat bajikok bajikalau
f) Adat bapikia
g) Adat banazar
h) Adat nan bakahandak sesuatu atas sifatnyo nan
nyato
1. Hierarki Kepemimpinan
Angiarih mangarek kuku
Dikarek jo batuang tuo
Batuang tuanyo elok ka lantai
Nagari baampek suku
Kampung banantuo
Tiok rumah batungganai
Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka panghulu
Panghulu barajo ka bana
Bana badiri sandirinyo
80 Manajemen Suku
dikenal dengan istilah panghulu pucuak. Bagi sistem Bodi
Caniago kepemimpinan panghulu ada dalam kaum.
Kekuasaan mutlak bukanlah berada ditangan pemegang
kekuasan, tetapi pada lembaga musyawarah, yang disebut
dengan karapatan suku, maka kerapatan suku sebagai
lembaga banding dalam sebuah keputusan harus
dihormati, sebab keputusan karapatan suku tersebut telah
diambil melalui mufakat dalam mencari kebenaran.
Kebenaran (bana) akan berdiri dengan sendirinya yaitu
kebenaran itu yang akan menjadi ukuran untuk
menjalankan keputusan.
2. Pencatatan
Titik paling lemah manajemen suku pada masa lalu adalah
dalam bidang pencatatan, kerena nenek moyang kita pada
masa itu belum bisa menulis dan membaca. Mereka
mengenal tulis baca yang agak luas setelah agama Islam
mesuk ke Minangkabau. Penelitian terhadap 47 buah
tambo oleh Edwar Jamaris, membuktikan bahwa sebagian
besar tambo ditulis dengan huruf Arab-Melayu, dan
sebagian kecil ditulis dengan huruf latin 56 . Pengalaman
terhadap baca tulis itupun pada kalangan terbatas pula.
Pesan-pesan adat disampaikan dari mulut ke mulut.
Dalam masyarakat tradisional, apa-apa hanya diucapkan
dan diingat saja secara turun-temurun. Karenanya untuk
ujud dari cerrita yang sama bisa terjadi distorsi dengan
versi dan interprestasi yang berbeda-beda, tergantung
kepada siapa yang menceritakan dan kapan atau dalam
suasana apa diceritakan peristiwa itu 57.
56
Edwar jamaris, Tambo Minangkabau …hal 1
57
Mochtar Naim, Sambutan; dalam Marwan Kari Mangkuto (Adat
Salingka Nagari Minagkabau) (Jakarta, Hayfa Press, 2005), hal vi
Bab 4: Suku, Sejarah dan Perkembangannya 81
Fenomena oral ini berkembang sampai diperkenankannya
sistem pendidikan medern kepada penduduk pribumi,
pada awal abad ke 20, namun sampai berakhirnya
penjajahan Belanda dan masuknya Jepang pada tahun
1942, diawal Perang dunia ke dua, jumlah rakyat
Indonesia yang tahu baca tulis tidak lebih dari 6 %
sementara selebihnya (94%) masih buta huruf 58.
Untuk zaman sekarang komunikasi yang sedang sehebat-
hebatnya dalam hal tulis baca, dengan segala macam
sarana dan perangkatnya. Namun kelebihan itu yang ada
ternyata belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk
keperluan adat, dalam pembenahan perkauman/
persukuan. Maka seharusnya Penghulu harus segera
mengambil langkah-langkah yang besar untuk menutupi
kelamahan-kelemahan masa lalu, misalnya:
Mempersiapkan buku sebagai bahan inventaris dalam
suku/kaum, yang memuat antara lain; nama-nama
seluruh kemenakannya, baik yang berdiam dikampung
halaman, maupun yang berdomisil di perantauan, hingga
diketahui secara tepat dan akurat, berapa sesungguhnya
jumlah anggota persukuannya.
Setiap Penghulu harus mengetahui berapa luas tanah
ulayat, batas-batas supadan tanah, serta aset-aset lain
yang dimiliki oleh suku. Dan peruntukan bagi masing-
mnasing anak kemenakan. Hal ini akan semakin terasa,
mengingat para anak kemenakan sekarang tidak lagi
menempati harta pusaka yang telah diwariskan secara
turun temurun, mungkin banyak yang berada di
perantauan atau telah menjadi Sumando di wilayah yang
tidak mengunakan sistim pusako tinggi, sehingga tidak
diketahui lagi kondisi pusako tinggi tersebut.
58
Ibid, hal, vii
82 Manajemen Suku
Penghulu dan unit-unit kesatuan kemenakannya dapat
mengusahakan ranji, salah satu kebesaran dan
kebanggaan keluarga, kaum dan suku.
Setiap kesepakatan dan keputusan yang diambil dalam
musyawarah kaum/suku, seharusnya menjadi sebuah
catatan yang disepakati bersama dan dikukuhkan. Bagitu
juga halnya yang berbentuk pemasukan/sumbangan yang
diperoleh, baik bantuan yang diberikan untuk kegiatan-
kegiatan kaum/suku ataupun dana-dana yang dikeluarkan
oleh kaum/suku, menyangkut jumlah dan angka-angka,
semuanya harus ditulis serta terarsip atau
terdokumentasi dengan baik dan rapi.
Apabila langkah-langkah tersebut dapat diambil oleh
kesepakatan kaum/suku, berarti dikotomi antara
masyarakat tradisional (oral) dengan masyarakat Moderen
(administrasi), telah semakin dekat dan mungkin telah
satu dalam bentuk manajemen.
Hal yang sangat penting dalam pencatatan adalah,
pemaparan (pelaporan), walaupun pengunaan bahasa
pelaporan adalah sangat riskan dalam lembaga
kepemimpinan kaum/suku. Siapakah yang harus
membuat laporan. Untuk hal ini sangat perlu dipahami
ajaran adat; nan pai tampak muko, kok pulang tampak
punguang adalah kemanakan. Dalam adat disebutkan
bahwa, mamak/panghulu adalah kapai tampek batanyo,
kapulang tampek babarito. Supaya tidak terjadi kesan
merendahkan posisi panghulu yang harus melapor kepada
kemenakan di rantau, maka mekanisme harus tepat dan
terukur menurut alua jo patuik.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa kepemimpinan
dalam kaum/suku bukanlah kepemimpinan tunggal
(panghulu segala-galanya), tetapi ada struktur yang lain.
3. Pengawasan
Seorang Penghulu menurut adat, jelas mempunyai fungsi
pengawasan dan monitoring, sebagaimana diungkapkan
dalam fatwa adat sebagai berikut:
Hanyuik bapinteh, hilang bacari, tapauang bakaik,
tabanam basilami, tingga dijapuik, jauh diulangi, dakek
dikunjungi.
Kusuik manyalasai, jikok karuah dijaniahkan, kusuik
bulu paruh manyalasaikan, kusuik banang cari ujuang
jo pangkanyo.
84 Manajemen Suku
pengenaan sanksi atau hukuman terhadap anak
kamanakannya.
Dalam manajemen moderen, yang dikatakan pengawasan
adalah melakukan pemeriksaan, apakah pelaksanaan
kegiatan atau program sudah sesuai denan perencanaan
yang digariskan (termasuk perencanaan dan rincian
anggaran) bila tidak sesuai, baik pengurangan ataupun
penambahan berarti terjadi penyimpangan, untuk itu
perlu di analisa apa penyebabnya, bagaimana solusi dan
tindakan apa yang perlu diambil, untuk penyusun
perencanaan berikutnya.
4. Pendanaan
Ranah Alam Minangkabau terkenal sebagai tanah yang
subur, sebagai sumber pendanaan oleh kaum/suku
sehingga menjadi primadona oleh rakyatnya sendiri,
sebagai contoh dapat dilihat dalam mamang adat berikut:
Sawah ladang banda buatan
sawah bapiring dinan data
ladang babidang dinan lereng
banda baliku turuik bukik.
Rangkiang baririk dihalaman
sebuah banamo sibajau-bayau
panjago cemo jo malu
Birauari rangkiang nan banyak
pambari makan anak kamanakan
sebuah banamo sitinjau lauik
panyapo dagang nan lalu
nan katigo si dagang lapa
makanan anak patang pagi.
Mamang pertama melambangkan indahnya alam
Minangkabau, sebagai tanah pertanian dan lahan yang
cukup terbentang untuk memenuhi kebutuhan. Kabupaten
Solok, sebagai penghasil palawija dan rempah-rempah
lainnya seperti cabe, bawang daan buah-buahan yang
Bab 4: Suku, Sejarah dan Perkembangannya 85
terkenal seperti Markisa daan lain sebagiannya, Seluruh
kekayaan dan hasil alam tersebut menjadi sumber
pendanaan oleh masyarakat.
Mamang kedua, dalam kehidupan sosial dan
bermasyarakat sangat berpotensi sekali untuk dapat hidup
layak, dari semua hasil alam dapat disimpan dan
disisihkan oleh masing-masing kaum/suku dalam
rangkiang, akan terasa sangat lucu, karena beberapa tahun
yang lalu kita mendengar terdapat busung lapar di daerah
yang kaya akan hasil pertanian, karena terdapat tiga buah
rangkiang sepert digambarkan dalam mamang di atas
yaitu:
1] Sibayau-bayau
Rangkiang sibayau-bayau adalah tempat
penyimpanan Dana Alokasi Umum (DAU) oleh
kaum/suku. Fungsi dari dana ini adalah pendinding
malu jo cemo, artinya bahwa kaum harus
bermartabat, supaya malu jangan teserak ka nan
banyak, misalnya ada kemanakan perempuan yang
terlambat mendapat jodoh, dan jika ini terjadi,
kaum/suku akan merasa malu walaupun itu bukan
aib keluarga, maka dana yang tersimpan dapat
dipergunakan sebagai; kain pandinding miang,
ameh pandindiang malu.
2] Biruari
Biruari adalah rangkiang nan banyak tempat
menyimpan dan operasional kaum/suku. Seluruh
keperluan makan anak-kamankan, uang sekolah dan
lain sebagianya disimpan dalam rangkiang tersebut.
Dan akan sangat ironis apabila di daerah lambuang
padi seperti Sumatera Barat umumnya, dan
86 Manajemen Suku
kabupaten Solok, terdapat kasus rendahnya mutu
pendidikan, seperti beberapa tahun yang lalu. Pada
hal adat Minangkabau telah memberikan solusi
tentang itu, dengan mendirikan rangkiang Biruari
Rangkiang Biruari adalah rangkiang nan banyak,
artinya bahwa dari hasil sawah-ladang porsi yang
terbanyak dialokasikan untuk kepentingan anak
kamanakan, jika diprosentase labih dari 2/3 hasil
bumi adalah untuk kepentingan operasioanl
kaum/suku, didalamnya adalah keperluan harian
dari seluruh anggota kaum, apabila hal ini dapat
dilaksanakan maka: hilang rono dek panyakik,
hilang bangso karano tak barameh.
3] Sitinjau Lauik
Sitinjau lauik adalah dana sosial yang disebut dengan
panyapo dagang nan lalu. Pada prinsipnya bahwa
manusia adalah makhluk sosial, yang punya rasa
kebersamaan, apabila ada salah seorang warga atau
anggota masyarakat yang mengalami kesusahan,
haruslah dibantu dan ditanggulangi secara bersama-
sama sesuai dengan kemampuan masing-masing.
90 Manajemen Suku
Jumlah suku dalam setiap nagari pada dasarnya empat
buah, tapi antara nagari yang satu dengan yang lain
jumlah sukunya tidak sama, ada 9,7,6,5, dan ada yang 4
suku. Menurut aturan, kalau Sukunya 9 buah maka
Penghulunya juga ada 9 orang dan orang Ampek Jinihnya,
menjadi 9X4 orang = 36 orang. Pimpinan Ampek Jinih
dalam nagari tersebut, terdiri dari 9 orang Penghulu, 9
orang Manti, 9 orang Malin, 9 orang Dubalang, kecuali
unsur perhbantu Penghulu ini menumpang pada suku lain.
Namun ada disebagian nagari, baik di Luhak Tanah Datar,
Agam maupun Lima Puluh Kota, pada Penghulu sebuah
suku itu sampai 60 orang banyaknya. Sudan tentu
kedudukannya masing-masing tidak sama sebagian ada
Penghulu Pucuk, Penghulu Andiko, Penghulu Kaum, dsb.
Jumlah Penghulu yang demikian mungkin juga
disebabkan oleh. kebijakan pemerintahan jajahan Belanda
tempo dulu , di mana ada Penghulu Nan Basurek. Lalu
Penghulu yang ditunjuk oleh kaumnya menyebut bahwa
mereka juga Penghulunya sehingga lahirlah Penghulu yang
banyak dalam sebuah suku pada sebuah nagari.
a. Penghulu Adat
Merupakan pimpinan yang tertinggi dalam sebuah
suku. Kepemimpinannya komplek, di samping
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 91
pimpinan anak dan kemenakan juga pemimpin dalam
kaumnya, kepemimpinan sukunya serta pemimpin
dalam nagari yang berarti juga pemimpin masyarakat.
Perhatikan mamang berikut:
Manuruik warih nan bajawek
Sarato pusako nan batolong
b. Manti Adat
Asal katanya menteri, dalam adat kedudukannya
sebagai pembantu Penghulu dalam bidang
pemerintahan adat. Maksudnya melaksanakan dan
mengawasi orang atau keluarga dalam suku yang
memakai adat, baik adat nan teradat, adat nan
diadatkan maupun adat istiadat. Sesuai dengan
mamang berikut :
92 Manajemen Suku
Adat salingka nagari
Pusako salingka kaum suku
c. Malin Adat
Adalah pembantu Penghulu dalam bidang agama.
Membimbing masyarakat dan menjadi ikutan
masyarakat dalam beribadat. Tugasnya mulai dari
pengajaran mengaji, menunaikan rukun Islam, juga
menunjuk ajari masyarakat ke jalan yang diridhai
oleh Tuhan. Oleh sebab itu sebagai teladan orang
banyak, seorang Malin itu seperti kata mamangan
berikut:
Suluah bendang dalam nagari
Nan tahu di halal haram
Nan tahu di syah batal
Nan tahu di syareat dan hakekat
d. Dubalang Adat
Kata Dubalang Adat berasal dari kata Hulubalang
Adat. Pembantu Penghulu dalam bidang keamanan,
baik dalam urusan kaum, suku ataupun nagari.
Adapun Dubalang itu menuait mamang berikut .
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 93
Nan Bamato sabana nyalang
Nan batalingo sabana nyariang
Tahu disumbang dengan salah
Parik paga dindiang nan kokoh
Maampang lalu kasubarang
Mandindieng sampai kalangik
Manjago cabue koknyo tumbuah
Sia baka maliang jo cilok
Manjago barih kok talampau
96 Manajemen Suku
Dengan stuktur kepemimpinan dalam suku dan kaum itu
adalah pembagian kerja yang jelas dan punya tugas serta
tanggung jawab masing-masing, untuk itu adalah tugas
seorang panghulu, menempatkan seseorang pembantu adat
dan bertugas secara proporsional dalam bidangnya,
seseorang diberi gelar Tuanku adalah sebagai orang yang
faham tentang hukum-hukum agama, begitu juga gelar
Sutan, sebagai orang yang tahu dima cakak tak salasai,
dimakoh gajah manyubarang, mangko aia karuh sampai di
hilia.
Panghulu sebagai pemimpin gadangnyo digadangan
yaitu tumbuah ditanam, tingginyo ba anjuang,
gadangnya ba amba. Maka panghulu sebagai pemimpin
adalah aia nan janiah sayak nan landai, bak kayu
ditangah padang, ureknyo tampek baselo, batangnya
tarnpak basanda, dahannya tampek bagantuang,
buahnyo ka dimakan, aia ka diminum, daun tampek
balinduang.
Seorang pemimpin dalam adat Minang harus mengikuti
alua jo patuik, nan barajo ka bana yaitu kamanakan
barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu
barajo ka alua, alua barajo ka bana, bana bandiri sandirinyo,
artinya adalah rajo (pemimpin) adil di sambah, rajo zalim
di sangah, panghulu hanyo didahulukan salangkah di
tinggikan sapucuak, bukan dahulu salengkok jalan, tinggi
dibaliak-baliak awan, tapi hanyo jauh sapaimbauan, datang
sakali panggia.
Lebih lanjut M. Nasrun menjelaskan. Malin tagak di pintu
agamo nan mabesohkan halal nan haram, kato malim
bakato hakikat, Panghulu tagak di pintu adat, nan
bakato manyalasai, Dubalang tagak dipintu mati,
tumbuah batuhuak, jo baparang, Dubalang bakato
C. Kepemimpinan Penghulu
Sebenarnya sejak adat ini dipatok oleh nenek moyang
orang Minangkabau yaitu Dt Katumanggungan dan Dt.
Parpatih Nan Sabatang, pengangkatan pemimpin yang lebih
tinggi dari tungganai itu dilakukan dengan pembentukan
koto dan suku. Pada waktu peresmian pembentukan koto
dan suku juga langsung diangkat Penghulunya. Pelantikan
itu dilakukan oleh Penghulu Utama dengan sumpah jabatan.
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 99
Dalam tahap pembangunan Nagari, sekurang-kurangnya
terdiri dari 3 atau 4 koto. Kalau setiap koto terdiri dari
sebuah suku yang dipimpin oleh seorang Penghulu, tentu
sebuah nagari ada 4 orang Penghulu. Inilah yang disebut
Penghulu suku yaitu himpunan Penghulu suku yang
berempat.
Menurut sistem koto piliang, untuk mengetuai Penghulu
yang berempat itu dilantik dan disumpah Penghulu kepala
yang lebih dikenal dengan sebutan Penghulu pucuk.
Begitu juga untuk mengepalai tungganai yang seperut
ditunjuk pula Penghulu andiko, yang kedudukannya sama
dengan pembantu Penghulu.
Dalam masyarakat, pemimpin memegang peranan yang
sangat menentukan dan pemimpin itu ada pada setiap
daerah, kawasan seperti kata mamang:
Sabuang bajuaro
Halek ba rajo janang
Kapa ba nahkodah
Rumah ba tungganai
Darek ba panghulu
Rantau barajo
3. Pakaian Penghulu
Seorang Penghulu/ninik mamak dibedakan secara lahir
dari pakaian yang dipakainya dan dihubungkan dengan
perilaku yang menjadi kepribadiannya. Kebanggaan di
Minangkabau ialah pakaian kebesaran Penghulu ini
mempunyai arti dan makna tersendiri yang mengandung
sikap dan tingkah laku yang dituntut adat terhadap seorang
Penghulu, seperti kata mamangan berikut:
Rupo manunjuakkan harago
Kurenah manunjuakan laku
Walau lahie nampak dek mato
Nan bathin tasimpan dalam itu
e. Ikat Pinggang
Disebut cawek atau kabek pinggang, artinya:
melambangkan anak dan kemenakan karib bait yang
perlu mendapatkan perlidungan. Penghulu:
selanjutnya perhatian mamang berikut:
- Cawek bajumbai alui
- Saeto pucuak rabauangyo
- Kapalilik anak kamanakan
- Kapanjarek pusako datuak
- Nan jinak nak ma kin tanang
- Nan lia nakjan tabangjauh
- Kabek sabalik buhue sintak
- Kokoh tak dapek kilo ungkai
- Lungga bak dukuah lapeh
- Kato mufakat paungkai
f. Salempang ka Bahu
Disandang ke bahu kanan artinya mampu memikul
tanggung jawab terhadap anak kemenakannya.
g. Keris
Disisipkan di pinggang, hulunya arah kekiri artinya:
Penghulu itu dipakai senjata yang melembangkan
keuasaan. Hulunya kekiri itu artinya senjata yang
dimiliki tidak digunakan untuk membunuh, tetapi
untuk melindungi anak kemenakan.
Lebih jauh tentang keris adalah sebagai berikut:
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 111
- Ganjo iran ganjo manumpuh
- Sumarak minang pado zatnyo
- Pameran aka jo Bodi dek panghulu
- Lahie jo batin bapaliharo
Adapun falsafah keris di Minangkabau
- Sanjato kerih kabasaran
- Sampiang cawek nan tampeknyo
- Sisiknyo condong ka kida
- Dikesong mako di cabuik
- Gemboknyo tumpue punting
- Tunangan ulla kayu kamat
- Kokoh tak rago baambauan
- Goyah bapantang tangga
- Bengkoknyo tangah duo heto
- Tapo luruih makanan banting
- Bantuak dimakan siku-siku
- Bamato baliak batimba
- Sanyawa pulo jo ganjonyo
- Tajam tak rago dek baasah
- Tapi bapantang malukoi
- Kapanarah nan bungkuak saruweh
- Ipuahnyo turun dari langik
- Biso bapantang batawakan
- Jajak ditikam mati juo
- Kapalawan dayo rang aluih
- Kupanulak musuah di badan
h. Tongkat
Tongkat yang disebut tungkek kayu yag kuat lagi lurus
melambang bahwa Penghulu itu mampu menompang
dirinya disamping kewajibannya menopang adat dan
pusako, anak dan kemenakan.
Falsafah tongkat adalah sebagai berikut:
- Pamenannya tungkat kayu kamat
- Ujuang tanduak kapalo perak
112 Manajemen Suku
- Panungkek adat jo pusako
- Bati batagak nan jan condong
- Sako naknyo tatap di inggiran
- Ingek samantaro belum kanai
- Kulimek samantaro balun abih
- Nak taguah gantang jo anjuanyo
- Adat nak tagak jo limbago
- Sumpik nak tagak jo isinyo.
5. Fungsi Penghulu
Sesuai dengan jabatannya, seorang Penghulu itu
mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Manuruik jalan nan luruih
2. Yaitu jalan siratalmustaqim, jalan menuju
kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat, jalan
menurut alur dan patut. Fenomena di lapangan ada
ninik mamak main domino di warung waktu shalat,
berjudi, mabuk-mabukan. Semua itu adalah jalan
yang sesat, sudah keluar dan ketentuan adat dan
agama dan sudah melanggar moral
3. Manuruik kato nan bana. Dalam menyelesaikan
masalah sako jo pusako, Penghulu/ niniak mamak
yang berwenang harus bermusyawarah dalam
mengambil keputusan. Menegakkan kebenaran agar
pihak yang tepat menerima keadilan adat.
Tahan lukah didalam banda
Ditahan jan diinjak
Dianjak ka tanah bato
Kalau bana jan dituka
Dituka jan dirombak
Kok diubah jadi sangsaro
6. Martabat Penghulu
Penghulu itu adalah seorang tokoh pimpinan tertinggi
dalam suku di nagari-nagari di Minangkabau. Sebagai
seorang pimpinan, Penghulu itu mempunyai martabat,
yang diperolehnya sesuai menurut fatwa:
Tinggi dek dianjuang
Gadang dek diamba
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 117
Tadinyo dek mufakat
Tinggi karena dianjung
Besar karena dibesarkan
Terjadinya karena mufakat.
c. Hidup Berkerelaan
Bila Penghulu lama itu sudah tua, artinya gunung
sudah tinggi, lurah sudah dalam maka karena uzur
itu menyerahkan gelar dan jabatannya kepada
kemenakannya yang bertali darah dengan sepakat
kaum.
d. Mambangun sako
Artinya membangkit batang tarandam, Penghulu
yang sebenarnya masih kecil sementara
kedudukannya digantikan oleh orang dewasa dalam
sukunya menurut sepakat kaum. Setelah yang
bersangkutan dewasa maka gelar dan jabatan
Penghulu itu diserahkan dengan melalui pelantikan,
yaitu kepada yang berhak memegangnya.
9. Macam-Macam Penghulu
Menurut sifat dan perangainya Penghulu itu banyak pula
jenis dan ragamnya. Berdasarkan istilah: Penghulu,
pangaluah, panyalah, pengelak yang artinya' sebagai
berikut:
i. Penghulu, yang benar-benar seorang Penghulu,
sempurna dalam melaksanakan tugas dan kewajiban.
ii. Pangaluah (pengeluh), yaitu Penghulu yang suka
mengeluh adalah gambaran Penghulu yang tidak bisa
Bab 5: Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 123
menyelesaikan masalah dirinya dan anak
kemenakannya. Berartinya tidak mampu menjadi
Penghulu yang baik.
iii. Panyalah (penyalah), Penghulu yang suka
menyalahkan orang lain, berarti dia yang selalu
benar. Ini Penghulu yang parasit yang maunya
menang sendiri.
iv. Pengelah (pengelah), artinya Penghulu yang selalu
menghindar dan mengelak dari kewajibannya dan
tanggungjawabnya.
d. Penghulu Katuk-Katuk
Iolah tontong rang diladang
Kalau diguguah inyo babuni
Kalau tak urang nan bakambang
Ladanga suaronyo
Kabarunduang awak tak pandai
Mangecek itu nan japek
Menjadi damuik barek biebie
Itu nan disabuik katuak-katuak
Maksudnya, Penghulu yang tidak pandai bicara
karena wawasannya rendah
2. Mental Spritual
Tidak jarang ditemukan pemimpin yang kurang memiliki
kemampuan dalam bilang keagamaan. Bahkan meski
pemimpin lembaga suku tersebut memegang jabatan
Malin yang nota benenya bertanggungjawab tentang
persoalan keagamaan anak kemenakan.
Adakala pemimpin suku lupa dengan nan kuriak adolah
kundi, nan merah adaloh sago, nan baik Bodi dan indah
baso. Dengan artikata ada pula diantaranya pejabat adat
dalam suku yang tidak memberikan teladan yang baik
kepada kemanakannya. Seperti ikut berjudi dan
bermaksiat.
Seorang pemimpin di dalam suku juga kerap mengabaikan
sumpah ketika awal diangkat menjadi pemimpin suku.
Meski ia berjanji kalau mengabaikan amanah akan
dimakan sumpah, indak baurek kabawah, indak bapucuak
kaateh, di tangah digiriak kumbang.
4. Sosial Ekonomi
Pokok utama di tengah-tengah beranjaknya paham dunia
ke arah kapitalistik ini adalah dari segi kemampuan sosial
dan ekonomi. Bila kemampuan ekonomi pemimpin
lembaga suku kurang di bandingkan oleh anak
kemanakannya. Hal ini akan membuat pemimpin suku
tersebut tidak tegak kepalanya di hadapan kemanakannya.
Bahkan akan merepotkan lagi ketika ia harus melakukan
perjalanan dinas mengunjungi anak kemanakannya, tanpa
didukung dana yang memadai acap kali urusan akan
terbengkalai. Apalagi kalau pemimpin suku itu tidak
berada di kampung halamannya, seperti menikah dengan
orang yang berlainan kampung dan jarak yang berjauhan.
Disebabkan rendahnya ekonomi pemimpin suku, bisa
dibeli dengan uang. Sehingga apapun yang diminta oleh
orang yang notabenenya telah memberi uang, maka
pemimpin suku tersebut akan menurut saja. Seperti
contoh dalam hal menjual harta pusaka yang seharusnya
tidak boleh dijual. Akan tetapi karena pemimpin suku
sudah diberi uang komisi yang besar , tanah pusaka suku
terjual kepada orang lain. Begitu juga dalam hal gadai
menggadai, karena pengaruh ekonomi tergadai kepada
orang lain dalam jangka waktu yang lama. Karena
lamanya jangka waktu gadai tersebut, sepeninggal
pemimpin suku itu pusaka itu sudah berpindah tangan
kepada orang lain. Sementara itu, anak kemenakannya
sangat membutuhkan untuk kelangsungan hidup dan
pendidikannya.
1. Perencanaan
Di samping perencanaan atau program suku, aspek
pendanaannya juga tidak diperhatikan, menyebabkan
program tidak berjalan dengan baik.
Selain itu dalam proses perencanaan program di suku
selama ini, kebanyakan tidak teradministrasi dengan baik.
Di mana tidak beberapa suku yang memiliki ranji atau
data kemanakan yang lengkap dengan kondisi potensi
yang ada di kemanakan itu. Begitu juga tidak ada data
secara tertulis tentang jumlah pusako, apalagi sejarah
suku. Serta inventarisir permasalahan suku dan notulen
rapat-rapat suku.
Kalau kita lihat pada zaman dahulu, pada waktu ketentuan
adat masih dipatuhi benar oleh masyarakat kita dan pada
waktu nenek moyang masih berdiam di rumah-rumah
gadang, sebeium Belanda menjajah ranah Minang
(sebelum Perang Padri 1821-1837), kekuasaan seorang
Penghulu selaku Penghulu/kepala sukunya sungguh
demikian luas dan luar biasa. Pemerintahan suku tidak
membedakan pembagian kekuasaan "Trias Politica"
sebagaimana diajarkan Montesqieu dan dianut
pemerintahan modern sekarang.
2. Pelaksanaan
Setelah perencanaan, yang tak kalah penting adalah
pelaksanaanya. Program yang direncanakan secara
sporadis tentu pelaksanaan juga akan cenderung tidak
terarah. Tentu dalam pelaksanaan program yang telah
ditetapkan suku melalui rapat suku, pelaksanaananya jelas
dilakukan secara bersama-sama dari komponen suku
sampai pada indvidu di dalam suku.
Persoalan sekarang, perencanaan itu tidak semua dapat
dijalankan, disebabkan faktor-faktor yang telah
disebutkan sebelumnya. Seperti kharismatik pemimpin
suku dan tatacara pengambilan keputusan atau menyusun
program dengan tidak melibatkan komponen yang
seharusnya dibawa berurung rembuk di dalam suku itu.
Bahkan adakala dalam melaksanakan prosesi adat
misalnya, perkawinan, dikarenakan tidak adanya aturan
suku yang jelas dan wibawa pemangku adat di dalam suku
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 149
yang kurang bagus sehingga kecenderungan anak
kemanakan melaksanakan sesuai caranya sendiri, tanpa
harus melalui prosesi adat yang dinilai tidak efisien dan
efektif.
Begitu juga dalam pelaksanaan penurunan gelar, acap kali
terjadi pelanggaran terhadap sistem kelarasan yang dianut
yang tidak jelas dan sering juga terjadi sengketa, karena
beberapa anak kemanakan merasa sama-sama berhak
menyandang gelar adat itu. Apalagi ketika penyandang
gelar sebelumnya tidak memberikan wasiat atau tidak
melakukan pengkaderan sebagai penggantinya. Atau lebih
parah tidak pemah disinggung di dalam rapat-rapat suku.
Untuk itu pelaksanaan ini dimulai dari pengorganisasian,
penempatan orang, pengaturan dan kebijakan serta
pendanaannya.
a. Pengorganisasian
Sesuai dengan fatwa adat yang berbunyi :
Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka panghulu
Penghulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo ka nan bana
b. Penempatan Orang
Penempatan orang adalah terjemahan bebas dari
"staffing", "manning", atau penempatan personalia
yang banyak disebut sebagai salah satu fungsi
manajemen. Bila pada organisasi modern
penempatan orang tersebut adalah menyangkut staf
atau anak buah sang manajer, maka pada organisasi
suku namanya anak buah juga, yakni seluruh anak
kemenakannya. Kembali kita melihat manajemen
suku di masa lalu juga mempunyai filosofi yang
cukup bagus, menggunakan prinsip efisien (tepat
guna), efisiensi (berdaya guna) dan efektif
(berhasil guna), baik terhadap sumber daya
manusianya, maupun terhadap sumber daya
alamnya. Tidak percaya, cobalah perhatikan dan
resapkan makna dua gurindam adat berikut ini:
162 Manajemen Suku
Dalam sumber daya manusia, bunyinya begini:
Nan buto pahambuih lasuang
Nan pakak palapeh badia
Nan patah manjago jamua, panyajuik ayam
Nan lumpuah paunyi rumah
Nan binguang kadisuruah-suruah
Nan rancak panarimo tamu
Nan buruak ka pangubak pisang di dapua
Nan cadiak bakeh baiyo, palawan dunie
Nan tuo tampek batanyo
Nan bagak palawan musuah
Nan kayo tampek batenggang
3. Evaluasi
Program yang dilaksanakan tentu tidak dibiarkan begitu
saja, kekurangan dan kelebihan termasuk hambatan yang
ditemui perlu dikaji secara serius. Disinilah peran evaluasi.
Tentu saja pengeveluasi program ini juga harus melalui
rapat suku. Tentu saja dalam mengevaluasi ini harus
ditetapkan parameter-parameter untuk penilaiannya.
Program yang berjalan dengan baik dan menghasilkan
dampak positif jelas dapat dilakukan untuk masa
berikutnya. Akan tetapi program yang tidak berjalan
mulus, tentu dicari jalan keluar yang tepat.
Pengevaluasian ini harus dilakukan agar program suku
terukur dan terarah dan mempunyai dampak yang baik
terhadap perkembangan suku.
Kelemahan kita selama ini dalam menjalankan program
suku dengan tidak adanya evaluasi, akan menjadi tidak
terarah. Terkadang program itu menghabiskan waktu,
tenaga dan dana, akan tetapi justru tidak memperoleh
hasil maksimal. Termasuk dalam hal ini pengkaderan
tanpa ada evaluasi terhadap kader pemimpin suku, maka
ketika ia harus menjabat suku terjadi kegamangan dan
kebingungan. Dari fungsi manajemen suku yang tengah
kita bicarakan ini, fungsi pencatatan-inilah yang paling
lemah pada masa dahulu, yang akibatnya masih kita
rasakan sampai sekarang. Penyebabnya, karena kita tidak
punya aksara (huruf) seperti orang Jawa dan Batak
misalnya. Huruf Melayu Arab baru kita kenal setelah
Bab 6: Analisis Kepemimpinan Suku dalam Perspektif Manajemen 171
agama Islam masuk dan baca tulis huruf Latin baru kita
pelajari setelah Belanda datang pada dekade terakhir abad
ke-19.
Akibatnya kita tidak memiliki sejarah Minangkabau yang
didasarkan bukti-bukti tertulis. Tambo hanya didasarkan
atas penuturan dari orang ke orang tanpa tanggal dan
angka tahun serta bukti-bukti lainnya yang dapat diyakini
kebenarannya. Kita tidak punya nasab keturunan yang
disebut "ranji", yang memuat garis keturunan sampai ke
nenek moyang, seperti orang Jawa yang memiliki "trah"
garis keturunan mereka sampai ke Kerajaan Mataram,
bahkan sampai ke Kerajaan Majapahit dan Singasari di
abad ke-13. Padahal menurut sejarah, Dara Petak adalah
puteri Minang (disebut demikian karena matanya sipit
atau pitok) yang diboyong ke Singosari waktu expedisi
Pamalayu (1275) dan menjadi salah seorang isteri Raden
Wijaya, yang mendirikan dan raja pertama di Kerajaan
Majapahit (1294-1309) dan melahirkan satu-satunya putera
bernama Jayanegara, raja kedua Kerajaan Majapahit
(1309-1328). Karena ibunya orang Minang, dari segi kita,
yang menarik garis turunan dari ibu (matrilineal), berarti
ia orang awak juga. Namun karena kita tidak punya bukti-
bukti tertulis, kita tidak bisa berbicara lebih jauh mengenai
hal itu.
Walaupun masyarakat Minangkabau kemudian telah
memasuki zaman baca tulis huruf Latin pada akhir abad
ke-19, tapi organisasi suku dibawah kepemimpinan
Penghulu sebagai manajernya tidak pula banyak
memanfaatkan budaya tulis baca itu. Buktinya, bersamaan
dengan lemahnya perencanaan dan pengorganisasian
sebagaimana telah disebutkan, catatan-catatan mengenai
manajemen (pengelolaan) suku itu tidak pula ada. Kita
masih hanyut dalam "budaya tutur" dan dengan bangga
mengatakan "sabarih bapantang ilang, satitiak
172 Manajemen Suku
bapantang lupo". Padahal tutur itu kalau sudah berpindah
dari satu orang ke orang lain, katakanlah sampai ke orang
yang ke sepuluh, sudah berubah bunyi atau isi tutur orang
pertama dengan orang yang ke sepuluh itu.
Misalnya dalam kasus tanah pusako, terdapat ketentuan
"sah harato dilantak nan ampek",zaman sekarang belum
tentu orang lain mengakui bahwa tanah itu betul milik kita.
Kasus-kasus sengketa inilah yang banyak terjadi di ranah
Minang sekarang, sengketa yang tak habis-habisnya, yang
melunturkan rasa persaudaraan kita, senagari, sesuku,
sekaum, bahkan dengan keluarga dekat. Luas dan nilai
tanah yang disengketakan kadang-kadang tidak seberapa,
tapi akibat negatif yang ditimbulkannya demikian luas. Ini
karena manajemen suku kita tidak dilengkapi dengan
catatan-catatan yang jelas.
Untuk itu seorang Penghulu menurut adat, jelas
mempunyai fungsi pengawasan dan monitoring,
sebagaimana diungkapkan oleh fatwa adat berikut ini :
Hanyuik bapinteh
Hilang bacari
Tarapuang bakaik
Tabanam basalami
Tingga dijapuik
Jauah dijalangi
Dakek dikundano
Kalau kusuik disalasaikan
Jiko karuoh dijanihi
Kusuik bulu pauah manyalasaikan
Kusuik banang can' ujuang jo pangka
Disuruah babuek baiak
Dilarang babuek mungka
59
Oxford Advanced Leamer’s Dictionary of Currebt English (Oxford
University, 1984) hal 126
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 177
Perlu juga dipikirkan, untuk mengantisipasi kemunduran
dari sistem dan kelembagaan suku di Minangkabau yang
dianut sekarang. yang setiap keputusan tidak didengar
oleh kemanakan karena beragamnya tingkat intelektual
pejabat adat. Sehingga perlulah kiranya diciptakan sebuah
sistem yang dapat membantu pejabat adat dalam
keputusan.
Di samping sistem yang diberlakukan di lingkungan
masyarakat adat di Minangkabau, yang menyangkut
sistem pemerintahan suku perlu juga didudukkan sistem
yang menyangkut hukum adat dan sanksinya. Baik
hukum adat untuk pemimpin adat maupun hukum untuk
kemanakan atau masyarakat. Dengan demikian tidak
semua persoalan di dalam adat harus diselesaikan melalui
peradilan hukum positif atau hukum pemerintah. Akan
tetapi cukup dengan sistem hukum adat yang jelas, dan
dapat diselesaikan oleh lembaga peradilan adat itu sendiri.
Dari aspek sistem ini juga perlu didudukkan sistem
pendataan di dalam suku. Baik kekayaan materil (harta
pusako atau sumber daya alam) yang merupakan aspek
ekonomi untuk menunjang pemimpin suku dalam
menjalanka'n tugasnya, dalam memimpin suku dan
menyelamatkan kesejahteraan kemanakan dalam
kaumnya seperti pendidikannya maupun kelangsungan
hidup, perlu dipertimbangkan adanya Lumbung Pitih
Suku/singguluang.
Disamping itu, berdasarkan perda sekarang,
dimungkinkan suku memiliki Badan Usaha Milik Suku
(BUMS) dengan memanfaatkan aset atau sumber daya
alam yang dimiliki suku/ulayat suku.
Pendataan inmateril (seperti jumlah kaum, catatan ranji
dan potensi sumber daya manusia yang dimiliki suku),
tidak kalah pentingnya, dikarenakan sumberdaya manusia
178 Manajemen Suku
inilah yang akan membangun suku atau pewaris
kepemimpinan suku yang akhirnya juga menjadi bibit
pemimpin nagari. Dengan pendataan sumber daya
manusia ini, akan terbangun kesinergian antara sumber
daya manusia yang berpotensi dalam dimiliki suku itu,
baik di ranah maupun di rantau. Dengan demikian akan
timbullah perasaan saraso sapareso sahino samalu yang
kental antara kemanakan, yang pada gilirannya akan
menjadi semangat dalam membangun suku, pada akhimya
juga menyukseskan pembangunan di nagari.
Sistem pendataan ini, di dalam manajemen suku kita
namakan 'buku gadang suku', di dalam buku ini
memuat nama suku, sejarah suku, alamat nagari suku itu
berada, jumlah kaum, jumlah datuk, profil masing-masing
datuk termasuk alamat di mana datuk itu berdomisili,
jumlah keluarga berikut potensinya / pendidikan, jumlah
kemanakan berikut potensinya dan alamat lengkap di
mana mereka berada.
Mengingat begitu luasnya ruang lingkup suku, yang mana
terdiri dari beberapa kaum, yang masing-masing kaum
memiliki Penghulunya (ada yang menyebut Penghulu
andiko ada pula yang memanggil datuk andiko dan juga
yang mengambil datuk saja). Pendataan di dalam suku ini
harus dimulai dari kaum yang merupakan kelompok
terkecil dikoordinir di dalam suku, yang langsung
dipimpin oleh Penghulu andiko tersebut. Dengan
pendataan yang dilakukan oleh setiap pemimpin kaum itu,
otomatis sudah menjadi data suku tersebut.
Aspek lain yang harus didudukkan adalah sistem
musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan
dalam suku. Karena komponen suku berasal dari keluarga,
kaum selanjutnya baru suku, tentu sistem musyawarah
dan mufakat berangkat dari keluarga dan kaum. Harus
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 179
jelas pula siapa yang akan yang diutus untuk mengikuti
musyawarah dan mufakat dalam mengambil keputusan di
dalam kerapatan suku. Tentu musyawarah dan mufakat
ini yang bertingkat tersebut, hasilnya harus dibuktikan
dengan notulen rapat dan daftar hadir rapat.
Di dalam hal ini, juga harus ditentukan syarat-syarat syah
keputusan ini. Seperti jumlah kuorum yang dianggap sah
dan musyawarah, apakah 50+1 atau secara aklamasi.
Siapa peserta rapatnya? Apakah hanya kaum laki-laki?
Usia berapa yang boleh mengikuti rapat? Apakah kaum
perempuan boleh diikutsertakan dalam sidang itu atau
diwakili oleh seorang perempuan saja yang dituakan di
dalam suku tersebut.
Berdasarkan pengalaman dalam rapat suku selama ini,
tidak pernah ada notulen, di mana keputusan rapat suku
hanya disampaikan secara lisan, padahal dalam teori
komunikasi bahwa informasi lisan dari orang perorang
dan disampaikan lagi kepada orang lain, akan terjadi
pembiasan atau tidak sama dengan pesan semula. Untuk
itu ke depan sebaiknya, rapat-rapat suku sudah harus ada
notulennya. Dan notulennya ini dianggap sah apabila
ditandatangani oleh pemimpin rapat dan daftar hadir
yang juga memuat di mana rapat itu diadakan.
Kemudian dipertimbangkan juga dalam sistem
pengambilan keputusan ini, membawa kemanakan atau
komponen suku lainnya yang berada di perantauan. Jika
kemanakan atau komponen suku ini dianggap orang yang
harus hadir atau memenuhi kriteria untuk pengambilan
keputusan di dalam rapat suku, tentulah harus ada
informasi halangan dan aspirasinya secara tertulis atau
mandat kepada wakil/panungkek jika seorang itu pejabat
suku. Dengan demikian rapat bisa diteruskan dan hasilnya
1. Fisik/Performance
Seorang pemimpin, dalam sebuah lembaga itu sehat
jasmani dan rohani. Sehat jasmani berarti fisik kuat,
panghulu nan kamanuruni lurah nan dalam, nan
kamandaki bukik nan tinggi, artinya begitu banyak tugas
yang dipikul oleh seorang pemimpian, apalagi anggota
kaum yang akan dipimpin telah berkembang menjadi
beberapa kaum dan setiap kaum bertambah jumlah paruik,
untuk itu kemampuan fisik harus terpelihara. Apabila
lurah alah dalam, bukik alah tinggi, artinya kemampuan
fisik tidak memungkinkan lagi sudah seharusnya secara
sukarela tugas-tugas kepemimpinan itu dipindahkan
kepada yang lebih muda, supaya tidak membebani kepada
pribadi yang bersangkutan. Perpindahan kepemimpinan
seperti ini dalam adat disebut dengan "hiduik
bakarilahan"
Kesehatan rohani, seorang pemimpin "kasuri tuladan
kain, kacupak tuladan batuang, artinya keteladanan
seorang pemimpin menjadi salah satu indikator penentu
dalam menjalankan roda kepemimpinan. Hal-hal yang
akan menyebabkan kehilangan keteladaan tersebut sangat
dihindarkan. Hal ini menjadi pertimbangan dalam
190 Manajemen Suku
memilih pemimpin dalam suku, dalam hal ini "elok di
indang ditampi tareh dipiliah atah ciek-ciek". Pemimpin
merupakan institusi dalam suku kaum apabila seorang
pemimpin berbuat sumbang salah maka semua anggota
kaum/suku akan terkena imbas dari kesalahan tersebut
"tanah sabingkah alah bapunyo, suku tak dapek di asak,
malu tak dapek dibagi".
Pejabat suku haruslah berpenampilan rapi. Dengan
tampilan belepotan, kumuh dan urakan, ia tidak akan
dianggap remeh oleh kemanakannya. Penampilan pejabat
suku sangat besar mempengaruhi wibawa pejabat suku itu.
Pejabat suku harus menjaga kesehatannya, dikarenakan
pejabat suku yang selalu sakit-sakitan akan
mempengaruhi tugasnya dalam memimpin kemenakan-
nya. Bisa-bisa misalnya, perhelatan kemenakan terganggu
dikarenakan Penghulunya sakit.
Dan dalam hal ini pejabat suku yang telah uzur, juga
sebaiknya mempertimbangkan untuk mengangkat
panungkek atau menurunkan jabatannya kepada
kemanakannya yang pantas sesuai dengan sistem yang
dianut dalam suku tersebut.
2. Mental Spiritual
Seorang pemimpin dalam lembaga suku, juga dituntut
dengan kemampuan mental spritual. Di mana ia harus
memiliki ilmu dan wawasan yang luas. Bukan saja
masalah adat akan tetapi juga masalah keagamaan karena
di Minangkabau adat basandi syarak dan adat basandi
kitabullah. Artinya masalah adat dan agama harus seiring
dan sejalan. Dan sangat wajar kalau seorang pemimpin
suku selain tokoh adat juga tokoh agama'.
3. Integritas Intelektual
Dan yang paling menentukan juga adalah integritas
intelektual pemimpin suku tersebut. Karena dengan
kemampuan ini seorang pemimpin akan peka dan cepat
tanggap dalam menangani persoalan-persoalan yang
dihadapi kemenakanya. Dengan kemampuannya,
pemimpin suku akan dapat memberikan keputusan dan
solusi yang tepat.
Kemampuan intelektual menjadi suatu keharusan, dalam
dunia yang serba mengglobal sekarang ini tidaklah
rnungkin dapat menjawab kemajuan itu dengan papatah
petitih semata. Bagi masyarakat Minangkabau
kemampuan intelektual itu disebut dengan Urang cadiak
pandai. Kaum intelektual adalah "cadiak candokio",
apabila dikaitkan dengan kepemimpinan adalah orang
yang pandai memenej (menempatkan) seseorang sesuai
dengan posisinya.
4. Sosial Ekonomi
Kemampuan ekonomi sangat penting dalam
kepemimpinan. Dengan pondasi ekonomi yang kuat
masyarakat akan makmur, kebudayaan akan berkembang
"manjilih ditapi aie, mardeso diparuik kanyang",
kewajiban dan rasa sosial baru bisa terpenuhi, apabila
kepentingan pribadi telah terpenuhi, supaya hal tersebut
dapat terlaksana, dalam adat dikenal adanya "padi abuan
atau sawah kagadangan "(dana sosial untuk panghulu).
Permasalahannya sekarang adalah padi abuan tersebut
belum ada bagiannya untuk perangkat adat lainnya dan
kalaupun ada peruntukan itupun tidak mencukupi, hal
yang mengembirakan adalah bahwa adat itu memberikan
perhatian kesejahteraan terhadap lembaga-lembaga yang
ada:
Hilang rupo dek panyakik
Hilang rono dek indak barado
Ameh pendindiang malu
Kain pandindiang miang
Berdasarkan pengamalan tentang pentingnya ekonomi,
orang Minang pergi merantau. Pengertian dasar dari
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 197
merantau bahwa merantau bukanlah perpindahan Hal
yang dapat difahami adalah kehidupan seseorang baik
sebagai pemimpin maupun yang dipimpin tidak akan
terlepas dari soal perekonomian, sebagi jaminan
kehidupan sehari-hari.
Pokok utama di permanen dan bukan pula meninggalkan
susunan sosial budaya tertentu biasanaya kenceendrungan
terasa apabila keadaan ekonomi di kampuang tidak lagi
sanggup menahan mereka. Sedangkan diluar, pemusatan
ekonomi diperkotaan memperkuat motivasi untuk
merantau. Motivasi lain dengan tujuan untuk memelihara,
menambah harta pusaka
Apalagi di tengah paham kapitalistik yang mendunia saat
ini. Apabila kemampuan ekonomi pemimpin lembaga
suku lebih kurang di bandingkan oleh anak
kemanakannya. Hal ini akan membuat pemimpin suku
tersebut tidak tegak kepalanya di hadapan kemanakannya.
Bahkan akan merepotkan lagi ketika ia harus melakukan
perjalanan dinas mengurus anak kemanakannya, tanpa
didukung dana yang memadai acap kali urusan akan
terbengkalai. Apalagi kalau pemimpin suku itu tidak
berada di kampung halamannya, seperti menikah dengan
orang yang berlainan kampung dan jarak yang berjauhan.
Disebabkan rendahnya ekonomi pemimpin suku bisa-bisa
kepala suku 'dibeli' dengan uang. Sehingga apapun yang
diminta oleh orang yang notabenenya telah memberi uang
maka pemimpin suku tersebut akan menurut saja. Seperti
contoh dalam hal menjual harta pusaka yang seharusnya
tidak boleh dijual. Akan tetapi karena pemimpin suku
sudah diberi uang komisi yang besar, tanah pusaka suku
terjual atau tergadai kepada orang lain dalam jangka
waktu yang lama. Sementara anak kemenakannya sangat
1. Perencanaan
Di dalam suku diperlukan rencana dan program yang
membuat kelarasan suku berjalan dengan baik dan terarah.
Dalam aspek perencanaan tentu perlu disiapkan dalam
bentuk musyawarah dan pengambilan keputusan. Begitu
juga dalam proses kaderisasi pemimpin suku seperti
Urang Ampek Jinih, agar tercipta pemimpin suku yang
berkualitas di masa mendatang. Program atau rencana
suku ini akhimya dijadikan sebagai aturan hukum suku
yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat suku.
Hanya saja perencanaan yang di buat dalam kerapatan
suku, diperlukan sebuah kristalisasi (kebulatan) pendapat
dari tingkat keluarga, kaum dan suku termasuk
mengadopsi seluruh aspirasi kepemudaan dan perempuan.
2. Pelaksanaan
Untuk menyelenggarakan perencanaan dibutuhkan
pelaksana-pelaksana yang mampu memegang amanah. Di
dalam manajemen suku mereka disebut Penghulu, Malin,
Manti dan Dubalang. Sejauh ini sudah banyak ditemukan
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 201
mamang dan syarat-syarat yang diharuskan bagi seorang
Penghulu. Sama halnya dengan pemilihan Penghulu, maka
seharusnya Malin, Manti dan Dubalang juga harus
ditetapkan kriteria tertentu sesuai dengan jabatan yang
diamanahkan kepada mereka. Seperti Manti harus mengerti
adat, administrasi dan akuntansi. Malin harus mengerti
agama Islam dan adat. Dubalang harus mengerti hukum
adat, hukum positif dan hukum agama.
Apabila di dalam suku tidak ditemukan sumber daya yang
ideal, sebaiknya diambil dari kemanakan yang terbaik
yang dipunyai. Selanjutnya perlu diupayakan pelatihan
penataran, pendidikan khusus serta pembinaan yang
simultan untuk kader pemimpin suku. Perlu
dipertimbangkan ada sekolah khusus untuk calon pemimpin
suku. Dengan demikian, di dalam kepemimpinan suku akan
terujud the right man in the right place.
Di dalam hal ini perlu diingat untuk tidak melupakan
peran perempuan dan pemuda di dalam suku. Karena
dengan keterlibatan mereka perencanaan suku akan
menjadi perencanaan suku secara keseluruhan.
3. Evaluasi
Program yang dilaksanakan tentu tidak dibiarkan begitu
saja, kekurangan dan kelebihan termasuk hambatan yang
ditemui perlu dikaji secara serius. Di sinilah peran evaluasi.
Tentu saja pengeveluasian program ini juga harus melalui
rapat suku.
Program yang berjalan dengan baik dan menghasilkan
dampak positif jelas dapat dilakukan untuk masa
berikutnya. Akan tetapi program yang tidak berjalan
mulus, tentu harus dicarikan jalan keluar yang tepat.
Pengevaluasian ini harus dilakukan agar program suku
4. Pengawasan
Selain evaluasi selama pelaksanaan program suku juga
diperlukan pengawasan melekat agar sasaran dari
program yang dilaksanakan dapat berjalan dengan baik.
Karena kerapkali dalam pelaksanaan program seringkali
terjadi bias, benturan dan hambatan. Ketika itulah diperlukan
keputusan yang cepat.
Pengawasan ini perlu dilakukan terhadap program-
program yang telah ditetapkan, akan tetapi secara alami
pengawasan perlu dilakukan dalam sifat security atau
penjagaan anak kemanakan agar tidak keluar dari norma-
norma adat yang berlaku. Seperti perjudian dan perbuatan
maksiat lainnya.
Jika didapati pelanggaran tentu rapat suku atau pemimpin
suku memberikan reaksi baik untuk melakukan sidang
suku maupun keputusan langsung para petinggi suku.
Di samping itu dalam pengawasan ini tentu pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan suku,
maupun hukum adat dan hukum positif yang berlaku di
negara kita harus cepat ditanggapi dan diberikan sangsi
oleh kerapatan suku. Dengan demikian kemanakan yang
bersalah dapat diberikan sangsi dengan tegas, begitu juga
apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat
suku itu sendiri.
Perubahan zaman.
Sistem yang kita anut kamanakan barajo ka mamak,
mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka nan
bana, nan bana tagak dengan sendirinyo pernah
menjadi senjata pamungkas untuk tidak dijajah
orang, kini mulai goyah. Seperti pepatah pula daulu
samak nam manyeso, kini tali nan tajelo. Daulu
mamak nan bakuaso, kini papi nan bajaso. Sistem
tergantung orangnya, SDM. Sistem tidak akan
berfungsi bila bila "the man behind the gun" lemah,
betapa pun sistem tersebut sangat ampuh. Fungsi
mamak mulai terancam. Rangkaian sistem kita
tidak tersambung kuat lagi. Penyebabnya lain tidak
adalah kemampuan pribadi mamak sendiri.
2. Tata-tertib Sidang
1. Peserta Sidang terdiri dari para utusan nagari-
nagari dilingkungan Kab. Solok. Kab Solok
Selatan dan Kotamadya Solok
2. Disamping peserta di atas, utusan nagari dari
perantauan serta tokoh-tokoh adat yang
berdomisili dan perantauan juga dianggap
sebagai peserta sidang
3. Sebagai tanda dan bukti kehadiran dan
partisipasinya, peserta sidang diharuskan
mengisi daftar hadir
4. Peserta sidang wajib mengikuti setiap acara
persidangan dari awal sampai akhir, dan jika
keluar ruangan sebelum waktunya dianggap
menyetujui keputusan sidang
Ketua Panitia
Musyawarah Adat Minangkabau Solok
Irjen Pol (Purn) Drs Marwan Paris Dt Tan Langik
BAB II
MESJID DAN SURAU
Pasal 2
Tiap Nagari memakmurkan kembali Mesjid dan Surau.
Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiek Pandai, Bundo
Kanduang dn kaum muda serta Wali Nagari, KAN dan
BMN berupaya bersama-sama mengembalikan dan
meningkatkan fungsi Mesjid dan Surau sebagai tempat
beribadah dan menuntut ilmu serta pengembangan
kesenian dan ekonomi anak nagari.
BAB III
MURTAD DAN NIKAH
Pasal 3
1. Pemangku adat dalam kaum dan atau suku melarang
anak kemenakan untuk murtad (keluar dari Islam).
2. Dilarang anak kemenakan perempuan menikah
dengan laki-laki non muslim.
3. Anak kemenakan yang melakukan kawin lari, kawin
liar dan hamil sebelum nikah, maka wajib diberi
sanksi oleh kaum dan atau suku sesuai dengan adat
salingka Nagari.
4. Siapa –siapa yang melanggar ayat 1, 2 dan 3 pasal
ini, diberikan sanksi oleh pemangku adat dalam
BAB VI
PEMIMPIN SUKU / KAUM
Pasal 4
1. Untuk menjadi pemangku adat (nan ka manjujuang
saluak dan ka mamagang karih) dalam kaum dan
atau suku disyaratkan mempunyai kemampuan
memimpin, wawasan adat dan syarak serta
mengutamakan kader yang ada di kampung.
2. Bagi pemangku adat yang tinggal di rantau, harus
memfungsikan panungkek atau pembantunya
dengan pelimpahan kuasa yang jelas dan tertulis
sesuai alua jo patuik serta diberitahukan kepada
pengurus Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Wali
Nagari.
BAB V
KERAPATAN SUKU
Pasal 5
1. Keputusan tertinggi dalam suku berada dalam
Kerapatan Suku.
2. Anggota kerapatan suku adalah urang IV Jinih
(Penghulu, Manti, Malin, Dubalang) dan urang tuo
dalam suku serta urang bajinih seperti mamak
kapalo kaum, mamak kepala warih dan Urang
Ampek Jinih (Khatib, Bilal, Imam, dan Qadhi),
Bundo Kanduang, serta generasi muda sesuai dengan
adat salingka Nagari.
3. Pelaksanaan kerapatan suku disesuaikan dengan
masalah sesuai prinsip adt: babiliek ketek jo babiliek
gadang, bamunggu –munggu kaciak, dn
bapandang-pandang bilah.
Bab 7: Revitalisasi Adat Minangkabau dalam Perspektif 231
BAB VI
BUNDO KANDUANG
Pasal 6
Dalam setiap pengambilan keputusan adat, wajib
melibatkan kaum perempuan dan atau Bundo Kanduang.
BAB VII
DATA KAUM DAN SUKU
Pasal 7
1. Kaum atau suku diwajibkan membuat Buku Gadang
yang berisi paling sedikit tentang: jumlah kaum,
sejarah kaum dan atau suku, pemangku adat, data
anggota kaum dan atau suku baik yang berada di
kampung dan rantau, serta data sako dan pusako.
2. Data setiap kaum atau suku harus ada pula dalam
arsip Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan di Kantor
Wali Nagari.
BAB VIII
RANJI KAUM
Pasal 8
1. Setiap kaum dan suku diharuskan membuat ranji
menurut garis keturunan ibu (matrilineal).
2. Ranji kaum disyahkan oleh pemangku adat dalam
kaum dan atau suku, kemudian salinannya dikirim
ke pengurus Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai
pangapik pagaran tagak serta Wali Nagari sebagai
pemegang administrasi pemerintah.
BAB X
SOAL PUSAKO
Pasal 10
1. Harta pusako tinggi tidak boleh diperjual belikan
atau digadaikan kecuali didasarkan kepada mufakat
kaum, terutama untuk keperluan: gadih gadang
indak balaki, rumah gadang katirisan, mayik
tabujua di tangah rumah, adaik tidak badiri.
2. Harta pusaka tinggi dalam kaum perlu
dipertahankan untuk mendukung ekonomi kaum.
3. Kaum yang tidak mempunyai Pusako tinggi lagi,
maka perlu diusahakan kembali dengan cara
menebus atas biaya kaum.
4. Sawah kagadangan/sawah abuan/singguluang
harus difungsikan kembali sesuai dengan aturan
adat.
BAB XII
KENDURI
Pasal 12
1. Pelaksanaan kenduri adat atau agama wajib
berpedoman kepada ketentuan syarak antara lain
dengan memperhitungkan waktu pelaksanaan
ibadah.
2. Hidangan si pangka dan pambaoan si jamu, wajib
mempertimbangkan kemampuan ekonomi anak
kemenakan.
BAB XIII
PELAMINAN DAN PAKAIAN PENGANTIN
Pasal 13
1. Pelaminan baik berupa bentuk, warna dan aksesoris
harus sesuai dengan sifat dan hakekat serta
ketentuan adat Minangkabau.
2. Pakaian pengantin wajib mempedomani aspek-aspek
adat dan syarak.
234 Manajemen Suku
BAB XIV
ATURAN BAGI PENDATANG
Pasal 14
1. Bagi pendatang yang ingin menetap di suatu nagari,
harus menempuh aturan adat inggok mancakam
tabang basitumpu dan harus mendaftar menjadi
anggota kaum/suku.
2. Jika di suatu nagari tidak ada suku yang sesuai
dengan suku asalnya, maka dia harus masuk ke
dalam suku yang serumpun.
3. Penetapan suku ini sahkan dalam kerapatan suku
dengan mengkaji sejarah suku asalnya dan
memberitahukan kepada Kerapatan Adat Nagari
(KAN).
(Catatan: Penjelasan terhadap pasal-pasal ini terdapat
pada lampiran setelah rekomendasi).
REKOMENDASI
Berdasarkan pasal-pasal di atas, maka untuk
mengoperasikannya kami peserta musyawarah adat
merekomendasikan hal-hal sebagai berikut :
1. Diharapkan kepada Ninik Mamak pemangku adat
dalam kaum agar melarang anggota kaumnya
mengembangkan gagasan-gagasan dan gerakan yang
tidak sesuai dengan adat dan agama seperti: berjudi,
minuman keras, pornografi, pornoaksi dan lain-lain.
2. Diminta kepada Ninik Mamak pemangku adat, Alim
Ulama, Cadiek Pandai, Bundo Kanduang dan kaum
muda supaya meningkatkan pengetahuan agama dan
adat anak kemenakan dengan memakmurkan mesjid
dan surau, menginventarisasi jumlah seluruh serta
fungsi dan kegiatannya.
3. Diminta kepada Wali Nagari, Kerapatan Adat Nagari
dan Ninik Mamak agar menghidupkan kembali
pencak silat dan kesenian anak nagari lainnya untuk
memperkuat kembali budaya Minangkabau.
Ketua, Sekretaris,
H. Gusmal, SE.,M.M. Dt. Rajo Lelo Naspi, SH., MM. Dt. Mudo Nan Hitam
Irjen Pol. Drs. Marwan Paris Dt.Tan Langik Muchlis Hamid, SE., MBA Rajo Dewan
Bupati Solok
Panitia Pusat
Ketua Umum : Irjen Pol (Purn) Marwan Paris
Dt. Maruhun Saripado
Ketua : Muchlis Listo
Ketua Rizal Mandah Ali
Sekretaris : Muchlis Hamid
Bendahara : Upi Tuti Sundari
Bid. Transportasi : Rizal MA
Zairul Malin Bandaro
Bidang Acara : DR Ir Chairul Nas, MSc
Bidang Seminar : Drs Mustafa Kadir
Marwan Kari Mangkuto
Maifil E. Putra Khatib Batuah
Zulfison Malin Bandaro Kayo
Penanggung Jawab:
1. Pengurus Solok Saiyo Sakato (S3) Jakarta dsk
2. Ketua LKAAM Kab. Solok
3. Ketua Bundo Kanduang Kab. Solok
Panitia Pelaksana:
Ketua : H. B. Dt. Kayo Bagindo Kayo
Wakil Katua I : Drs. Tamyus Dt. Garang
Wakil Katua II : Naspi, SH Dt. Mudo Nan Itam
Wakil Katua III : Edi Salim Dt. Basa
F. Seksi Keamanan
Ketua : Edisar (Ka. Salpol PP)
Anggota : Kapolsek Kubung
Masri Kosasi Dt. Rajo Malano
Sarmaini Dt. Sampono Alam
Masrli Malingka Bulan
Ajis Dt. Rajo Panghulu
BIDANG-BIDANG KOMISI
IV. Rekomendasi:
Ketua: Chaidir Nin Latieh, SH., Msi Dt Bandaro
Pendamping:
1. H. Firdaus Oemar DT Marajo