You are on page 1of 12

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Binatang pun juga mempunyai

pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya (Survival). Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhankebutuhan kelangsungan hidup. Dia memikirkan hal-hal baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan kebudayaan, manusia memberi makna kepada kehidupan, Manusia memanusiakan diri dalam hidupnya dan masih banyak lagi pernyataan semacam ini, semua itu pada hakikatnya menyimpulkan bahwa manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu, yang lebih tinggi dari pada sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini jugalah yang mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini. Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia, yang disebabkan dua hal utama yaitu : 1. Manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. 2. Kemampuan berpikir manusia menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu.1 Atas dasar itulah kemudian banyak dikalangan para pemikir itu menemukan sebuah inti dari rasa ingin tahu nya itu melalui Filsafat, dimana ini telah merubah pola pikir umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi logosentris. Dalam kajian filsafat dikenal adanya Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi yang merupakan dasar dari sebuah ilmu yang telah menjembatani dan
1

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), 92-93.

menjawab pertanyaan-pertanyaan dari rasa ke-ingintahuan dari manusia itu sendiri. Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal
dari Yunani, studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini, dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya: antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya). Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang mempersoalkan hal-hal yang berkenaan dengan segala sesuatu yang ada atau the existance khususnya esensinya. Sebagai cabang lmu metafisika, kajian-kajian dalam ontologi lebih menitikberatkan pada pertanyaan-pertanyaan tentang bagian atau entitas suatu tujuan, bagaimana entitas itu ada atau tidak ada. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh suatu perwujudkan tertentu, ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta yang universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan.2

B. Rumusan Masalah Agar supaya pembahasan pada makalah ini terfokus maka penulis membatasi pembahasan melalui perumusan masalah. Adapun rumusan masalah pada makalah kali ini adalah Bagaimana Ontologi menurut Perspektif Aliran Idealisme, Rasionalisme, Empirisme dan Positifisme? C. Tujuan Pembahasan Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk menemukan sebuah jawaban dari rumusan masalah yaitu mendeskripsikan Ontologi menurut Perspektif Aliran Idealisme, Rasionalisme, Empirisme dan Positifisme.

Kecoaxus, "Filsafat", dalam http://kecoaxus.tripod.com/pengfil.htm/1/4/1980. di akses tanggal 27 Maret 2012

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ontologi Tokoh yang membuat istilah ontologi popular adalah Christian Wolff (1679-1714). Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu: ta onta berarti yang berada" dan logi berarti ilmu pengetahuan/ajaran. Dengan demikian ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berbeda.3 Ada yang menyatakan ontologi terdiri dari dua suku kata yakni ontos dan logos, ontos berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakekat yang ada.4 Menurut James K. Feibleman dalam Dictionary of Philosopy mengatakan bahwa ontologi berasal dari perkataan Yunanai "on" yang berarti being dan perkataan "logos" yang berarti logik. Seterusnya dikatakan bahwa ontologi adalah The Theory of Being Qua Being, teori tentang keberadaan sebagai keberadaan. Menurut Hasbullah Bakry ontologi itu mempersoalkan bagaimana menerangkan hakekat dari segala yang ada.5 Ontologi merupakan sinonim dari metafisika yang diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles (384-322 SM), Aristoteles mengartikan metafisika, yang kemudian hadir disebut ontologi

sebagai "The Science Of Being Qua Being" atau ilmu tentang keberadaan sesuatu dan ruang lingkup sesuatu, karena itu dalam ontologi kajian ditekankan pada keberadaan sesuatu dan mengapa sesuatu itu ada. Jadi jika diperhatikan pengertian ontologi sebagaimana disebutkan di atas, maka ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakekat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasar pada logika semata. B. Ontologi Perspektif Aliran Idealime Yaitu hakekat yang asal dari realitas itu adalah rohani/idea, aliran ini menganggap bahwa hakekat kenyatan yang beraneka ragam ini semua berasal dari roh (sukma) atau yang sejenis dengan itu. Jadi sesuatu yang tidak berbentuk dan
3 4

Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, cet I, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 118 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 69 5 Ibid, X

yang tidak menempati ruang. Menurut anggapan aliran ini materi atau zat itu hanyalah suatu jenis daripada penjelmaan rohani. Alasan yang terpenting dari aliran ini adalah manusia menganggap roh atau sukma itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Roh itu dianggap sebagai hakekat yang sebenarnya, sehingga materi hanyalah badannya, bayangan atau penjelmaan saja. Roh itu bukan saja menguasai manusia perorangan tetapi roh juga yang menguasai kebudayaan. Jiwa adalah idea tubuh, dalam arti demikian, bahwa tubuh adalah cara berada Allah dalam leluasa atau ruang (suatu bentuk yang berukuran), sedang jiwa adalah cara berada Allah dalam pikiran. Manusia adalah suatu hubungan modi, suatu hubungan dari cara berada Allah di bawah sifat-sifat azasi pemikiran dan leluasaan atau suatu realitas yang menampakkan diri dengan dua cara, yaitu sebagai tubuh dan sebagai jiwa. Perbedaan antara manusia dan makhluk-makhluk lainnya adalah demikian, bahwa tubuhmanusia lebih ruwet daripada tubuh makhluk-makhluk lainnya. Tubuh manusia adalah alat jiwa manusia untuk mengungkapkan diri dalam banyak ide. Tiada pengaruh timbale balik dalam arti yang sebenarnya di antara tubuh dan jiwa. Idea-idea yang jelas dan terpilih yang terdapat dalam jiwa manusia adalah idea-idea Allah. Ide-ide itu pasti secara sempurna dan pada dirinya menjadijaminan kepastian. Idea-idea itu adalah sama dengan realitas di luar, karena sifatnya yang jelas dan terpilih. Jika terdapat hal-hal yang tidak benar dan yang menyesatkan hal itu disebabkan karena idea-idea yang telah didukung, yang tidak lagi mengandung pengetahuan yang benar. Ditinjau dari keseluruhan isi ajarannya, aliran ini memang banyak menarik perhatian ahli pikir. Daya tarik tersebut menyangkut beberapa hal, antara lain: 1. Aliran ini dapat memenuhi hasrat-hasrat yang tinggi dari roh kemanusiaan. Manusia tidak merasa asing seakan-akan telah kembali pada roh rumah sendiri yang wajar. 2. Seluruh kenyataan ini menjadi sangat berarti, sebab dia dianggap sebagai perwujudan pada alam cita-cita.

3. Manusia merasa seperti dipanggil oleh seruan yang nyaring untuk mewujudkan cira-citanya, karena itu sudah seharusnya dia dianggap pulang pada alam cita-cita itu sendiri. 4. Idealisme menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih gembira dan memuaskan, sehingga meskipun manusia fana dalam kemanusiaannya juga merasa seakan-akan dia turut sebagai pencipta juga. 5. Lebih menarik lagi idealisme itu karena orang lain dapat merasakan kepuasan beragama dengan anggapan: a. Kita dapat memikirkan Tuhan itu sebagai Idea (alam cita-cita) dan yang tertinggi (ajaran Plato) b. Memikirkan Tuhan sebagai keseluruhan dari idea-idea (windelband) c. Memikirkan Tuhan sebagai kekuasaan yang menghubungkan idea dengan kenyataan (Kant) d. Memikirkan idea-idea sebagai alam akhirat yang kekal dan asli yang diciptakan Tuhan lebih utama dari dunia kebendaan yang fana (tasawuf Islam).6 C. Ontologi Perspektif Aliran Rasionalisme Istilah rasionalisme di ambil dari kata dasar "ratio" (Latin) atau "ratiolism" (Inggris) yang berarti akal budi. Sedangkan rasionalisme berarti suatu pandangan filosofis yang menekankan penalaran atau refleksi sebagai dasar untuk mencari kebenaran. Loren Bagus mengartikannya sebagai suatu pendekatan filosofis yang menekankan akal budi sebagai sumber utama pengetahuan. 7 Menurut Descartes, budi atau rasiolah yang menjadi sumber dan pangkal segala pengertian dan budilah yang memegang pimpinan dalam segala mengerti. Itulah sebabnya maka aliran ini disebut rasionalisme. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya bahkan dilebih-lebihkan oleh Descartes dengan mengabaikan nilai pengetahuan indra, yang menurut dia kerapkali menyesatkan manusia.8
6 7

Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, 127-128 M. Syamsul Huda, Telaah Pemikiran Imre Lakatos, http://marskrip.blogspot.com/2009/12/rasionalisme.html diakses tanggal 26 Maret 2011 8 Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), 101.

Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indra dapat dikoreksi, seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indra diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat berkerja, tetapi sampainya manusia kepada kebenaran adalah semata-mata akal. Laporan indra menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas, bahkan ini memungkinkan dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berfikir. Akal mengatur bahan tersebut sehingga dapatlah terbentuk pengetahuan yang benar. Jadi fungsi panca indra hanyalah untuk memperoleh data-data dari alam nyata dan akalanya menghubungkan data-data itu satu dengan yang lain.9 D. Ontologi Perpektif Aliran Empirisme Empirisme berasal dari kata yunani empirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi. 10 Usaha manusia untuk mencari pengetahuan yang bersifat mutlak dan pasti telah berlangsung dengan penuh semangat dan terus menerus. Walaupun begitu, paling tidak sejak zaman Aristoteles, terdapat tradisi epistemologi yang kuat untuk mendasarkan diri kepada pengalaman manusia, dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak tersebut. Doktrin Empirisme merupakan contoh dari tradisi ini. Kaum Empiris berdalil adalah tidak beralasan untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita, terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai

10

Ibid, Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 102-103. Ibid., 99

peluang yang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak takkan pernah dapat dijamin. Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata tunjukkan hal itu pada saya. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kepada dia bahwa ada seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia meminta kita untuk menceritakan bagaimana kita sampai pada kesimpulan itu. Jika kemudian kita terangkan bahwa kita melihat harimau itu dalam kamar mandi, baru kaum empiris mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita itu, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri. Dua aspek dari teori empiris terdapat dalam contoh di atas tadi. Pertama adalah perbedaan antara yang mengetahui dan yang diketahui. Yang mengetahui adalah subyek atau benda yang diketahuia adalah obyek. Terdapat alam nyata yang terdiri dari fakta atau obyek. Terdapat alam nyata yang terdiri dari fakta atau obyek yang dapat ditangkap oleh seseorang. Kedua, kebenaran atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan kepada pengalaman manusia. Agar berarti bagi kaum empiris, maka pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu haruslah memenuhi pernyaratan pengujian public. Masalh yang rumit akan timbul bila persyaratan tentang suatu obyek atau kejadian ternyata tidak lagi terdapat untuk pengujian secara langsung. Jika kita menyatakan bahwa George Washington memotong pohon cherry ayahnya, kaum empiris harus diyakinkan sekurang-kurangnya dalam tiga hal: pertama, bahwa perkataan George Washington dan pohon cherry adalah termasuk bendabenda yang dapat dialami manusia; kedua, bahwa terdapat seseorang yang melihat kejadian itu secara langsung; ketiga, jika kaum empiris itu sendiri ada di sana, dia sendiri harus menyaksikan kejadian tersebut. Aspek lain dari empirisme adalah prinsip keteraturan. Pengetahuan tentang alam didasarkan pada persepsi mengenai cara yang teratur tentang tingkah laku

sesuatu. Pada dasarnya alam adalah teratur. Melukiskan bagaimana sesuatu telah terjadi di masa lalu, atau dengan melukiskan bagaimana tingkah laku benda-benda yang sama sekarang, maka dengan jalan ini kaum empiris merasa cukup beralasan untuk membuat ramalan mengenai kemungkinan tingkah laku benda tersebut di masa depan. Di samping berpegang kepada keteraturan, kaum empiris mempergunakan prinsip keserupaan. Keserupaan berarti bahwa bila terdapat gejala-gejala yang berdasarkan pengalaman adalah identik atau sama, maka kita cukup mempunyai jaminan untuk membuat kesimpulan yang bersifat umum tentang hal itu. Jika kita mengetahui bahwa sebuah pisang adalah enak dan bergizi, kita ingin merasa yakin dengan alas an yang cukup, bahwa obyek lain yang bentuk dan rasanya seperti pisang, tidaklah mempunyai racun yang mematikan. Makin banyak pengalaman kita dengan benda-benda yang seperti pisang, maka makin banyak kita peroleh pengetahuan yang makin dapat diandalkan tentang pisang: apakah pisang itu dan apa artinya dalam pengalaman kita. Secara khusus, kaim empiris mendasarkan teori pengetahuannya pada pengalaman yang dapat ditangkap oleh pancaindera kita. John Locke, yang disebut sebagai bapak kaum empiris Inggris, mengajukan sebuah teori pengetahuan yang menguraikan dengan jelas sifat-sifat empirisme di atas. Locke berpendapat bahwa pikiran manusia pada saat lahir dianggap sebagai selembar kertas lilin yang licin (tabula rasa) di mana data yang ditangkap pancaindera lalu tergambar di situ. Makin lama makin banyak kesan pancaindera yang tergambar. Dari kombinasi dan perbandingan berbagai pengalaman maka idea yang rumit dapat dihasilkan. Lodke memandang pikiran sebagai suatu alat yang menerima dan menyimpan sensasi pengalaman. Pengetahuan merupakan hasil dari kegiatan keilmuan (pikiran) yang mengkombinasikan sensasi-sensasi pokok. Mereka yang berkeras pada pendapat bahwa semua pengetahuan dapat disederhanakan menjadi pengalaman indera, dan apa yang tidak dapat tersusun oleh pengalaman indera bukanlah pengetahuan yang benar, disebut kaum empiris radikal atau sensasionalis. Kaum empiris modern akan mengemukakan pendapat Locke dengan kata-kata sebagai berikut : pengetahuan adalah hasil dari

proses neuro-kimiawi yang rumit, di mana obyek luar merangsang satu organ pancaindera atau lebih, dan rangsangan ini menyebabkan perubahan material atau elektris di dalam organ badani yang disebut otak.11 E. Ontologi Perspektif Aliran Positivisme Positivisme (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali. Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.12 Positivisme berakar pada empirisme. Prinsip filosofik tentang positivism dikembangkan pertama kali oleh empirist Inggris Francis Bacon (sekitar 1600). Tesis positivisme adalah bahwa satu-satunya pengetahuan yang valid dan faktafakta sajalah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan. Dengan demikian, positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek di belakang fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Ontologi positivisme hanya mengakui sesuatu sebagai nyata dan benar bila sesuatu itu dapat diamati dengan indera kita. Positivisme menolak yang dinyatakan sebagai fakta tetapi tidak diamati oleh siapapun dan tidak dapat diulang kembali. Sesuatu akan diterima sebagai fakta bila dapat dideskripsikan secara inderawi. Apa yang di hati dan ada di pikiran, bila tidak dapat dideskripsikan dalam perilaku, tidak dapat ditampilkan dalam gejala yang teramati, tidak dapat diterima sebagai fakta, maka tidak dapat diterima sebagai

11

Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu sebuah pengantar Popoler, (Jakarta: CV. Mulia Sari,2001), 273 12 Positifisme Logis, http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_logis, diakses Tanggal 26 Maret 2012

dasar untuk membuktikan bahwa sesuatu itu benar. Apa yang di hati harus ditampilkan dalam ekspresi marah, senang atau lainnya yang dapat diamati.13 Ontologi pada positivisme sejalan dengan dasar pemikiran yang digunakan oleh pendekatan behaviorisme (perilaku) yang ada pada psikologi. Pada pendekatan ini, perilaku merupakan kegiatan organisme yang dapat diamati. Dengan pendekatan perilaku, seorang ahli psikologi mempelajari individu dengan cara mengamati perilakunya dan bukan mengamati kegiatan bagian dalam tubuh. Pendapat bahwa perilaku harus merupakan unsur subyek tunggal dalam psikologi mulai diungkapkan oleh seorang ahli psikologi Amerika John B. Watson pada awal tahun 1900-an. Introspeksi mengacu pada observasi dan pencatatan pribadi yang cermat mengenai persepsi dan perasaannya sendiri. Watson berpendapat bahwa introspeksi merupakan pendekatan yang tidak ada gunanya. Alasannya ialah jika psikologi dianggap sebagai suatu ilmu, maka datanya harus dapat diamati dan diukur. Watson mempertahankan pendapatnya bahwa hanya dengan mempelajari apa yang dilakukan manusia-yaitu perilaku mereka memungkinkan psikologi menjadi ilmu yang obyektif.

13

Neong Muhadjir, Filsafat Ilmu : Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. (Yogyakarta, Rake Sarasin, 1998) 68

10

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu: ta onta berarti yang berada" dan logi berarti ilmu pengetahuan/ajaran. Dengan demikian ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berbeda. Ada yang menyatakan ontologi terdiri dari dua suku kata yakni ontos dan logos, ontos berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakekat yang ada. Dalam perkembangan Filsafat Ilmu telah banyak aliran-aliran yang mengkritisi atau mempunyai pemikiran yang berbeda-beda mengenai ontology itu sendiri. Dari banyak perbedaan itulah maka dapat diambil sebuah garis besar dalam perkembangan ilmu filsafat ternyata juga melahirkan beberapa teori-teori yang dikemukakan oleh para pakar, sehingga hal ini merupakan sebuah keluasan keilmuan tersendiri buat induk dari segala ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini yaitu filsafat itu sendiri. B. Saran Bagi kalangan akademisi diaharapkan dapat mengembangkan teori-teori yang telah dikembangkan sebelumnya oleh tokoh filusuf pada masa tertentu, bahkan apabila dapat sampai menemukan sebuah teori atau penemuan baru yang akan semakin memperkaya khazanah keilmuan dalam filsafat.

11

DAFTAR PUSTAKA

Adib, Hammad. 2010. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Huda, M. Syamsul. Telaah Pemikiran Imre Lakatos, http://marskrip.blogspot.com/2009/12/rasionalisme.html 26 Maret 2011. Kecoaxus, "Filsafat", http://kecoaxus.tripod.com/pengfil.htm/1/4/1980. di akses tanggal 27 Maret 2012 Muhadjir, Neong. 1998. Filsafat Ilmu : Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Poedjawijatna. 1991. Pembimbing Kearah Alam Filsafat. Jakarta: PT Rineka Cipta. Positifisme Logis. http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_logis, diakses Tanggal 26 Maret 2012 Sudarsono. 1993. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar cet I. Jakarta: Rineka Cipta. Sumantri, Jujun S. Suria. 2001. Filsafat Ilmu sebuah pengantar Popoler. Jakarta: CV. Mulia Sari. diakses tanggal

12

You might also like