You are on page 1of 9

PERTUSIS

A. Definisi Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut berupa batuk yang sangat berat atau batuk intensif. Nama lain tussis quinta, wooping cough, batuk rejan. Pertusis atau batuk rejan adalah infeksi bakteri yang sangat menular yang menyebabkan beberapa minggu tak terkendali, atau bahkan bulan.

B. Etiologi Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Hemopilus pertusis. Bordetella pertusis adalah suatu kuman yang kecil ukuran 0,5-1 um dengan diameter 0,2-0,3 um, ovoid kokobasil, tidak bergerak, gram negative, tidak berspora, berkapsul dapat dimatikan pada pemanasan 50C tetapi bertahan pada suhu tendah 0-10C dan bisa didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis yang kemudian ditanam pada media agar Bordet-Gengou.

C. Patolofisiologi

Bordetella pertusis ditularkan melalui sekresi udara pernapasan yang kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Basil biasanya bersarang pada silia epitel thorak mukosa, menimbulkan eksudasi yang muko purulen, lesi berupa nekrosis bagian basal dan tengah epitel torak, disertai infiltrate netrofil dan makrofag. Mekanisme patogenesis infeksi Bordetella pertusis yaitu perlengketan, perlawanan, pengerusakan local dan diakhiri dengan penyakit sistemik. Perlengketan dipengaruhi oleh FHA (Filamentous Hemoglutinin), LPF (Lymphositosis Promoting Factor), proten 69kd yang berperan dalam perlengketan Bordetella pertusis pada silia yang menyebabkan Bordetella pertusis dapat bermultipikasi dan menghasilkan toksin dan menimbulkan whooping cough. Dimana LFD menghambat migrasi limfosit dan magrofag didaerah infeksi. Perlawanan karena sel target da limfosist menjadi lemah dan mati oleh karena ADP (toxin mediated adenosine disphosphate) sehingga meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, blokir beta adrenergic, dan

meningkatkan aktivitas isulin. Sedang pengerusakan lokal terjadi karena toksin menyebabkan peradangan ringan disertai hyperplasia jaringan limfoid peribronkial sehingga meningkatkan jumlah mucus pada permukaan silia yang berakibat fungsi silia sebagai pembersih akan terganggu akibatnya akan mudah terjadi infeksi sekunder oleh sterptococos pneumonia, H influenzae, staphylococos aureus.

Penumpukan mucus akan menyebabkan plug yang kemudian menjadi obstruksi dan kolaps pada paru, sedang hipoksemia dan sianosis dapat terjadi oleh karena gangguan pertukaran oksigen saat ventilasi dan menimbulkan apneu saat batuk. Lendir yang terbentuk dapat menyumbat bronkus kecil sehingga dapat menimbulkan emfisema dan atelektasis. Eksudasi dapat pula sampai ke alveolus dan menimbulkan infeksi sekunder, kelaina paru itu dapat menimbulkan bronkiektasis.

D. Tanda dan Gejala Klinis

Pertusis dimulai sebagai infeksi saluran pernapasan atas ringan. Pada awalnya, gejala mirip dengan pilek biasa, termasuk bersin, pilek, demam ringan dan batuk ringan. Dalam waktu dua minggu, batuk menjadi lebih berat dan ditandai oleh batuk cepat. Keadaan ini bisa kambuh untuk satu sampai dua bulan, dan lebih sering pada malam hari. Orang tua atau anak-anak diimunisasi sebagian umumnya memiliki gejala ringan. Masa inkubasi Bordetella pertusis adalah 6-2 hari (rata-rata 7 hari). Sedang perjalanan penyakit terjadi antara 6-8 minggu. Ada 3 stadium Bordetella pertusis yaitu : 1. Stadium kataral (1-2 minggu)

Menyerupai gejala ISPA : rinore dengan lender cair, jernih, terdapat injeksi konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan iritatif kering dan intermiten, panas tidak begitu tinggi, dan droplet sangat infeksius. 2. Stadium paroksimal atau spasmodic (2-4 minggu) Frekwensi derajat batuk bertambah 5-10 kali pengulangan batuk kuat, selama expirsi diikuti usaha insprasi masif yang medadak sehingga menimbulkan bunyi melengking (whooop) oleh karena udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Muka merah, sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, petekia diwajah, muntah sesudah batuk paroksimal, apatis, penurunan berat badan, batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosional dan aktivitas fisik. Anak dapat terberak-berak dan terkencing-kencing. Kadang-kadang pada penyakit yang berat tampak pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis. 3. Stadium konvalesens (1-2 minggu) Whoop mulai berangsur angsur menurun dan hilang 2-3 minggu kemudian tetapi pada beberapa pasien akan timbul batuk paroksimal kembali. Episode ininakan berulang ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.

E. Diagnosis

Diagnosis ditegakan berdasarkan atas anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboraturium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah serangan yang khas yaitu batuk mula mula timbul pada malam hari tidak mereda malahan meningkat menjadi siang dan malam dan terdapat kontak dengan penderita pertusis, batuk bersifat paroksimal dengan bunyi whoop yang jelas, bagaimanakah riwayat imunisasinya. Pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis (20.000-50000/ul) pada akhir stadium kataralis dan permulaan stadium spasmodic. Pada pemeriksaan secret nasofaring didapatkan Bordetella pertusis. Dan pemeriksaan lain adalah foto thorak apakah terdapat infiltrate perihiler, atelektasis atau emfisema. Diagnosis dapat dibuat dengan memperhatikan batuk yang khas bila penderita datang pada stadium spasmodic, sedang pada stadium kataralis sukar dibuat diagnosis karena menyerupai common cold.

F. Diagnosis banding Pada batuk spasmodic perlu dipikirkan bronkioitis, pneumonia bacterial, sistis fibrosis, tuberculosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus. Infeksi Bordetella parapertusis, Bordetella bronkiseptika dan

adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis Bordetella pertusis. Tetapi dapat dibedakan dengan isolasi kumam penyebab.

G. Komplikasi

1. Alat pernapasan Dapat terjadi otitis media, bronchitis, bronkopneumonia, atelektasis yang disebabkan sumbatan mucus, emfisema dapat juga terjadi emfisema mediastinum, leher, kulit pada kasus yang berat, bronkiektasis, sedangkan tuberculosis yang sebelumnya telah ada dapat menjadi bertambah berat, batuk yang keras dapat menyebabkan rupture alveoli, emfisema intestisial, pnemutorak.

2. Alat pencernaan Muntah muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolapsus rectum atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan intra abdominal, ulcus pada ujung lidah karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, stomatitis. 3. Susunan saraf pusat Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah muntah. Kadang kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin pula terjadi perdarahan otak, koma, ensefalitis, hiponatremi. 4. Lain lain

Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan perdarahan subkonjungtiva.

H. Terapi 1. Antibiotika a. Eritromisin dengan dosis 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis. Obat ini dapat menghilangkan Bordetella pertusis dari nasofaring dalam 2-7 hari (rata-rata 3-4 hari) dengan demikian memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisin juga menyembuhkan pertusis bila diberikan dalam stadium kataralis, mencegah dan menyembuhkan pneumonia, oleh karena itu sangat penting untuk pengobatan pertusis untuk bayi muda.

b. Ampisilin dengan dosis 100 mg/kgbb/hari, dibagi dalam 4 dosis.


c. Lain-lain : rovamisin, kotromoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin.

2. Imunoglobulin Belum ada penyesuaian faham mengenai pemberian immunoglobulin pada stadium kataralis. 3. Ekspektoransia dan mukolitik

4. Kodein diberikan bila terdapat batuk batuk yang hebat sekali. 5. Luminal sebagai sedative. 6. Oksigen bila terjadi distress pernapasan baik akut maupun kronik. 7. Terapi suportif : atasi dehidrasi, berikan nutrisi 8. Betameatsol dan salbutamol untuk mencegah obstruksi bronkus, mengurangi batuk paroksimal, mengurangi lama whoop.
9. Vaksin untuk pertusis

a. Bayi dan Anak Anak untuk vaksin pertusis biasanya diberikan dalam kombinasi dengan difteri dan tetanus. Imunisasi berwenang merekomendasikan bahwa DTaP (difteri, tetanus, pertusis acellular) vaksin diberikan pada dua, empat dan enam dan 15 sampai 18 bulan usia dan antara empat dan enam tahun. b. Pra-remaja dan remaja Pada tahun 2005, vaksin baru telah disetujui sebagai booster vaksinasi tunggal untuk remaja dan orang dewasa disebut Tdap (tetanus, difteri, dan pertusis acellular). Usia lebih disukai untuk vaksinasi rutin dengan Tdap adalah 11 atau 12 tahun. Remaja, usia 11 hingga 18 harus menerima dosis tunggal Tdap bukan Td (tetanus, difteri) untuk imunisasi booster tetanus, difteri, dan pertusis jika mereka

telah menyelesaikan masa kecil yang direkomendasikan DTP / DTaP seri vaksinasi. c. Dewasa Untuk orang dewasa yang 19 melalui 64 tahun dan sebelumnya belum menerima dosis Tdap, dosis tunggal Tdap harus mengganti satu dosis booster Td untuk imunisasi jika vaksin yang mengandung toksoid tetanus yang terakhir menerima sedikitnya sepuluh tahun sebelumnya. Orang dewasa yang mempunyai kontak dekat dengan bayi berusia di bawah 12 bulan yang sebelumnya tidak menerima Tdap harus menerima dosis Tdap, suatu interval sesingkat dua tahun sejak Td terbaru disarankan.

Sumber : http://drakeiron.wordpress.com/ http://www.health.state.ny.us/diseases/communicable/pertussis/fact_sheet.htm

You might also like