You are on page 1of 25

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Untuk menentukan kapan timbulnya sengketa pajak masih memerlukan kajian secara mendalam berdasarkan analisis yuridis normatif. Di berbagai literature sekarang ini, belum ada yang mengkaji secara mendalam mengenai kapan timbulnya sengketa pajak. Kajian mengenai timbulnya sengketa pajak sangat penting untuk mengantar dalam penegakan hukum pajak yang berimplikasi bagi perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang bersengketa, baik diluar maupun melalui pengadilan. Timbulnya sengketa pajak berintikan pada dua hal yang sangat prinsipil. Pertama, tidak melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diperintahkan oleh norma hukum pajak. Kedua, melakukan perbuatan hukum, tetapi tidak sesuai dengan norma hukum pajak. Selanjutnya, pihak-pihak yang terkait dengan terkait dengan timbulnya sengketa pajak adalah wajib pajak, pemotong atau pemungut pajak, penanggung pajak, dan pejabat pajak. Pihak-pihak tersebut merupakan sumber timbulnya sengketa pajak karena kurangnya kesadaran hukum dalam pelaksanaan atau penegakan hukum pajak. Wajib pajak dikatakan sumber timbulnya sengketa pajak karena tidak melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diperintahkan oleh norma hukum pajak, misalnya tidak menyampaikan surat pemberitahuan dalam jangka waktu yang ditentukan. Sementara itu, dalam melakukan perbuatan hukum, tetapi perbuatan itu bertantangan dengan norma hukum pajak, misalnya membayar pajak yang terutang tidak secara lunas dan jangka waktu pelunasan telah berakhir. Pemotongan atau pemungutan pajak dikatakan sumber timbulnya sengketa pajak karena tidak melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diperintahkan norma hukum pajak, misalnya tidak menyetor jumlah pajak yang dipotong atau dipungut ke kas negara, sedangkan dalam melakukan perbuatan hukum, tetapi perbuatan itu bertentangan dengan norma hukum, misalnya salah menerapkan tarif pajak dalam rangka melakukan pemotongan atau pemungutan pajak. Penanggung pajak dikatakan sumber timbulnya sengketa pajak karena tidak melakukan perbuatan hukum sebagaimana diperintahkan oleh norma hukum pajak, misalnya
1

tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam surat paksa tersebut, sedangkan dalam melakukan perbuatan hukum, tetapi bertentangan dengan norma hukum pajak, misalnya menghalang-halangi juru sita pajak dalam melakukan penyitaan atas barang-barang yang dikenakan penyitaan. Pajabat pajak dikatakan sebagai sumber timbulnya sengekta pajak karena tidak melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diperintahkan norma hukum pajak, misalnya tidak menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar untuk menagih jumlah pajak yang masih kurang dibayar, sedangkan dalam melakukan perbuatan hukum tetapi bertentangan dengan norma hukum pajak, misalnya menerbitkan keputusan penagihan pajak secara seketika dan sekaligus kepada wajib pajak yang tidak berhak menerimanya. Ditinjau dari timbulnya sengketa pajak tersebut diatas, berarti sengketa pajak bukan merupakan sengketa tata usaha negara. Alasannya adalah sengketa pajak tidak hanya bersumber dari pejabat pajak melainkan bersumber pula dari wajib pajak, dan penanggung pajak. Kemudian, objek sengketa pajak adalah jumlah pajak yang terutang yang merupakan kewajiban bagi wajib pajak, pemotong atau pemungut pajak, dan penanggung pajak. Kecuali, mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan dari pejabat pajak dalam melakukan penagihan pajak yang terutang. Dengan demikian, pejabat pajak bukan satusatunya sebagai sumber sengketa pajak, tetapi yang lebih pokok adalah wajib pajak, pemotong atau pemungut pajak, dan penanggung pajak. Dalam praktek seringkali terjadi wajib pajak tidak menyetujui besarnya jumlah pajak yang dipergunakan sebagai dasar pengenaan pajak sebagaimana yang tertuang dalam SKP. Perbedaan perhitungan antara fiskus dan wajib pajak inilah merupakan salah satu sebab timbulnya suatu sengketa pajak. Definisi sengketa pajak itu sendiri menurut Pasal 1 ayat ( 5 ) Undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak adalah, sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan ke Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Setelah diketahui proses timbulnya, sengketa pajak bukan merupakan sengketa tata usaha negara, tetapi di kalangan pakar hukum administrasi negara masih beranggapan bahwa sengketa pajak merupakan bagian dari sengketa tata usaha negara. Argumentasi yang dijadikan dasar bahwa pejabat tata usaha negara (termasuk pejabat pajak) yang melakukan perbuatan hukum dalam bentuk menerbitkan ketetapan atau keputusan (beschiking) sehingga
2

menimbulkan kerugian bagi wajib pajak.1 Perbuatan hukum oleh pejabat pajak menerbitkan ketentuan pajak hanya sekedar penegasan bahwa wajib pajak harus memenuhi kewajiban untuk membayar lunas pajak yang terutang dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan. Berdasarkan teori materiil, timbulnya utang pajak karena Undang-Undang Pajak tatkala terpenuhi tatsbentand berupa keadaan-keadaan, peristiwa, peristiwa, atau perbuatanperbuatan hukum, tanpa campur tangan pejabat pajak. Terkaitnya pejabat pajak hanya pada saat dilakukan penagihan pajak sehingga berwenang menjatuhkan sanksi administrasi dan ditambah biaya penagihan pajak. Penambahan berupa biaya penagihan pajak hanya berlaku pada penagihan pajak secara paksa, yakni menggunakan surat paksa berdasarkan UU No.19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2000 tentang Perubahan UU Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Lebih tegas lagi dikatakan bahwa sengketa pajak tidak selalu melibatkan pejabat pajak sebagai salah satu pihak yang bersengketa. Dalam arti, pejabat pajak tidak melakukan tindakan atau perbuatan hukum tetapi tetap terjadi sengketa pajak. Seperti halnya, sengketa pajak yang timbul antara wajib pajak dengan pemotong atau pemungut pajak tidak melibatkan pejabat pajak. Sebenarnya, sengketa pajak tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian pemotong atau pemungut pajak dalam menerapkan peraturan perundang-undangan. Sengketa pajak bukan merupakan sengketa tata usaha negara dapat diketahui pula dari substansi pengertian sengketa tata usaha negara. Adapaun pengertian sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 4 UU No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. UU No.9 Tahun 2004 ; Sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pengertian sengketa tata usaha negara tersebut diatas, diketahui bahwa yang berhak mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara adalah orang atau badan hukum perdata. Dalam arti, selain orang atau badan hukum perdata tersebut tidak
1 Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, h.97

dibolehkan atau tidak diperkenankan mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara. Pembatasan ini tertuju pada badan yang tidak memiliki status badan hukum maupun badan hukum publik. Tidak demikian halnya terhadap sengketa pajak, karena yang berhak bersengketa bukan hanya orang pribadi atau badan hukum perdata, tetapi lebih daripada itu karena wajib pajak memiliki arti luas meliputi wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan. Kemudian, wajib pajak badan terdiri dari wajib pajak yang berstatus sebagai badan tanpa badan hukum, badan hukum perdata, dan badan hukum publik. Sebagai contoh, tatkala wajib pajak badan yang memilki status bukan merupakan badan hukum dan wajib pajak badan berstatus badan hukum publik bersengketa dengan pejabat tata usaha negara, berati tidak boleh dikelompokkan sebagai sengketa tata usaha negara karena salah satu unsur sengketa tata usaha negara tidak terpenuhi, yaitu bukan badan hukum perdata. Selain itu, sengketa tata usaha negara tidak diperbolehkan yang bersengketa adalah keduaduanya pejabat tata usaha negara. Misalnya, bupati atau walikota menggugat pejabat tata usaha negara karena keputusannya menimbulkan kerugian bagi walikota atau bupati tersebut. Contoh tersebut pada hakikatnya berlaku dalam hukum pajak sebagai bentuk penyelesaian sengketa pajak. Hal ini yang menunjukkan bahwa sengketa pajak bukan merupakan sengketa tata usaha negara. Walaupun di kalangan pakar hukum administrasi negara masih berpendapat bahwa hukum pajak bagian dari hukum administrasi negara, perkembangan saat ini tidak disadari bahwa hukum pajak berada diluar hukum administrasi negara berdasarkan fenomena hukum di negara hukum Indonesia. Penyelesaian sengketa pajak memiliki spesifikasi yang berbeda dibandingkan dengan mekanisme penyelesaian sengketa-sengketa lain. Ada dua model penyelesaian sengketa pajak, pertama, penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh instansi administrasi yang masih termasuk pihak yang berperkara, kedua, penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh instansi yang berdiri sendiri di luar pihak yang berperkara, yaitu Pengadilan Pajak.2 Upaya yang dapat dilakukan oleh wajib pajak untuk menyelesaikan sengketa melalui model pertama adalah upaya keberatan sedangkan dalam model kedua wajib pajak diberi kesempatan untuk mengajukan upaya banding dan gugatan. Dalam penyelesaian sengketa pajak tidak dikenal upaya hukum Kasasi yang merupakan upaya hukum tertinggi bagi pencari keadilan. Pengadilan Pajak hanya ada satu di Indonesia yang berkedudukan di Jakarta, hal demikian tentunya akan menyulitkan wajib pajak
2 Jazim Hamidi dan Mariyadi Faqih, Mengenal Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, Tarsito, Bandung, 1999, h.50 4

dari daerah lain untuk mencari keadilan. Hal lain yang masih menjadi perdebatan para sarjana adalah kedudukan Pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia.

I.2. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, maka ada 2 (dua) permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, sebagai berikut : 1. Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa pajak ? 2. Bagaimanakah kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia ?

BAB II PEMBAHASAN

II.1. Landasan Teoritis Landasan teori adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum maupun teori khusus konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Teori berfungsi sebagai perspektif atau pangkal tolak dan sudut pandang untuk memahami alam pikiran subyek, menafsirkan dan memaknai setiap gejala dalam rangka membangun konsep.3 Dalam penulisan ini ada beberapa teori yang relevan untuk memecahkan permasalahan yang diangkat dalam makalah ini, sebagai berikut ;

a. Teori Pemisahan Kekuasaan Kekuasaan kehakiman itu sendiri merupakan pilar ketiga dalam sitem kekuasaan negara modern. Dalam bahasa Indonesia, fungsi kekuasaan yang ketiga ini seringkali disebut cabang kekuasaan yudikatif, dari istilah Belanda judicatief. Dalam bahasa Inggris, di samping istilah legislative dan eksekutive, tidak dikenal istilah judicative, sehingga untuk pengertian yang sama biasanya dipakai istilah judicial, judiciary, atau judicature. Sedangkan yang biasa
3 Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi, Universitas Udayana, Denpasar, 2010, h. 12 6

dianggap sebagai pilar keempat atau the fourth estate of democracy adalah pers bebas (free press) atau prinsip independence of the press. Karena itu, jika dalam pengertian fungsi negara (state functions), dikenal adanya istilah trias politica, dalam sistem demokrasi secara lebih luas juga dikenal adanya istilah quadru politica.4 Dalam sitem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman aatau judiciary ini merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri sebagai salah satu esensi kegiatan bernegara. Dikatakan John Alder, the principle of separasion of powers is particulary important for judiciary. Bahkan, boleh jadi, karena Montesquieu sendiri adalah seorang hakim (Perancis), maka dalam bukunya, lEsprit des Lois, ia menyatakan bahwa pentingnya pemisahan kekuasaan yang ekstrim antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan terutama kekuasaan yudisial. Dalam praktek di kemudian hari, gagasan Mostequieu tidak pernah terbukti, terutama dalam hubungan antara fungsi legislatif dan eksekutif. Namun, dalam konteks fungsi kekuasaan kehakiman, apa yang digagasnya itu justru menjadi pegangan universal di seluruh dunia. Karena itu, sampai sekarang, prinsip the independence of judiciary menjadi salah satu ciri terpenting setiap negara hukum yang demokratis. Tidak ada negara yang dapat disebut negara demokrasi tanpa praktek kekuasaan kehakiman yang independen (mandiri).5

b. Stufenbau Theorie Dalam Stufenbau Theorie dari Hans Kelsen atau teori perjenjangan norma menyebutkan bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (ground norm).6

c. Asas lex superior derogate legi inferiori.

4 A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Konstitusi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, h.20. 5 6 Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1985,h.94. 7

Menurut asas ini, apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis lebih rendah dengan yang lebih tinggi, peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah tersebut harus disisihkan.7

d. Judicial Review Pengertian judicial review berkaitan dengan pengujian suatu peraturan perundangundangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung (pasal 24A ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), sedangkan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945).

e. Kepastian Hukum Nilai dari kepastian hukum memiliki arti ketentuan dan ketetapan dan jika kata kepastian digabungkan dengan kata hukum menjadi kepastian hukum, yang memiliki arti perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. Indikator adanya kepastian hukum di suatu negara adalah adanya perundang-undangan yang jelas dan perundang-undangan diterapkan dengan baik, baik oleh hakim maupun oleh petugas hukum lainnya.8 Adanya putusan pengadilan yang tidak berdisparitas merupakan salah satu wujud kepastian hukum. Disparitas artinya putusan berbeda untuk perkara yang sama. Kepastian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki mengandung dua pengertian, yaitu : Pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, h.99. 8 Abdul Rachmad Budiono, Pengantar Ilmu Hukum, Cet.I, Bayu Media, Malang,
2005, h.22

bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasalpasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.

II.2. Upaya Penyelesaian Sengketa Pajak Sengketa pajak yang berawal dari ketidaksesuaian persepsi antara wajib pajak dengan pejabat pajak mengenai penerapan undang-undang pajak dapat diselesaikan melalui beberapa upaya, sebagai berikut : a. Keberatan Keberatan merupakan upaya hukum biasa diperuntukkan bagi wajib pajak untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh pejabat pajak dalam melakukan penagihan pajak sebagaimana yang ditentukan dalam UU KUP, UU PBB, UU BPHRB, dan UU PDRD. Demikian pula terhadap perbuatan hukum dari pemotong atau pemungut pajak dalam melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana ditentukan UU KUP dan UU PDRD. Pengajuan keberatan kepada pejabat pajak terikat pada jangka waktu yang ditentukan dalam Undang-undang Pajak. Sekalipun terikat pada jangka waktu yang ditentukan, saat mulai berlakunya yang berbeda sehingga tidak terdapat sinkronisasi mengenai kepastian hukum secara utuh menyeluruh. Hal ini dapat dilihat pada norma hukum yang terdapat dalam Undangundang Pajak, yaitu sebagai berikut : Pasal 25 ayat (3) UU KUP menegaskan bahwa keberatan harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan, sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya. Pasal 15 ayat (3) UU PBB menegaskan bahwa keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama tiga bulan sejak tanggal diterimanya surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh wajib pajak, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
9

Pasal 16 ayat (3) UU BPHTB menegaskan bahwa keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama tiga bulan sejak tanggal diterimanya surat ketetapan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan kurang bayar, surat ketetapan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, surat ketetapan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan lebih bayar, atau surat ketetapan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan nihil oleh wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya. Pasal 13 ayat (3) UU PDRD menegaskan bahwa keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama tiga bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Jangka waktu pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (3) UU KUP hanya diberlakukan kepada keberatan yang terkait dengan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah. Dalam arti, pasal 25 ayat (3) UU KUP tidak berlaku terhadap jangka waktu pengajuan keberatan mengenai pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan pajak daerah. Ketiga jenis pajak tersebut (PBB, BPHTB, dan Pajak daerah) memiliki pula ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai jangka waktu pengajuan keberatan. Jangka waktu pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud keempat ketentuan tersebut di atas, ternyata memiliki jangka waktu yang sama, yakni 3 (tiga) bulan. Akan tetapi, mulai berlakunya jangka waktu tersebut yang berbeda-beda. Seperti halnya pasal 25 ayat (3) UU KUP, jangka waktu pengajuan keberatan untuk pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan pajak daerah terhitung sejak tanggal surat, pemotongan atau pemungutan pajak, dapat terjadi jangka waktu tiga bulan tersebut tidak cukup untuk mengajukan keberatan. Misalnya, surat ketetapan pajak kurang bayar tertanggal 3 Februari 2011, tetapi petugas pajak menyampaikan pada tanggal 3 April 2011, berarti jangka waktu pengajuan keberatan hanya sisa tiga puluh hari karena pengajuan keberatan berakhir pada tanggal 2 Mei 2011. Dengan demikian pasal 25 ayat (3) UU KUP dan pasal 13 ayat (3) UU PDRD tidak memberi perlindungan wajib pajak dalam penyelesaian sengketa pajak.

10

Berbeda dengan jangka waktu pengajuan keberatan untuk PBB, serta BPHTB terhitung sejak tanggal diterimanya surat oleh wajib pajak (lihat pasal 15 ayat (3) UU PBB dan pasal 16 ayat (3) UU BPHTB). Karena jangka waktu pengajuan keberatan dihitung sejak tanggal diterimanya surat tersebut, kapan saja wajib pajak menerima surat itu, berarti pada saat itu pula terhitung jangka waktu dimaksud. Dengan demikian, pasal 15 ayat (3) UU PBB dan pasal 16 ayat (3) UU BPHTB memberikan perlindungan hukum wajib pajak dalam rangka pengajuan keberatan. Jangka waktu pengajuan keberatan adalah tiga bulan, cukup lama bagi wajib pajak untuk mempersiapkan keberatan yang akan diajukan kepada pejabat pajak. Seyogianya, jangka waktu tersebut dipersingkat atau dikurangi, cukup hanya satu bulan, terhitung sejak tanggal diterima surat atau bukti pemotongan atau pemungutan pajak tersebut. Begitu pula halnya, terhadap ketentuan mengenai force majeur yang terdapat dalam pasal 25 ayat (3) UU KUP, pasal 15 ayat (3) UU PBB, pasal 16 ayat (3) UU BPHTB, dan pasal 13 ayat (3) UU PDRD, seyogiannya ditiadakan saja mengingat hal itu yang menyebabkan wajib pajak tidak menaati jangka waktu pengajuan keberatan secara tepat dan benar.

b. Banding Upaya hukum banding merupakan kelanjutan dari upaya hukum keberatan. Dalam arti, tidak ada banding sebelum melalui keberatan karena yang diajukan banding adalah surat keputusan keberatan sebagai bentuk penyelesaian sengketa pajak di tingkat lembaga keberatan. Banding sebagai upaya hukum hanya bersifat upaya hukum biasa yang memberi peluang untuk mempersoalkan surat keputusan keberatan di tingkat Pengadilan Pajak. Pengertian banding menurut pasal 1 angka 16 UU No.14 Tahun 2002, adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Kalau dikaji secara yuridis, pasal 1 angka 6 UU No.14 Tahun 2002, yang berhak mengajukan banding hanya wajib pajak atau penanggung pajak, tidak termasuk pejabat pajak sebagai pihak yang bersengketa di tingkat Lembaga Keberatan. Dicantumkannya penaggung pajak yang berhak mengajukan banding merupakan suatu kekeliruan yang tidak boleh dibenarkan secara yuridis. Penanggung pajak hanya terlibat dalam sengketa pajak yang terkait dengan gugatan karena penempatannya hanya dalam konteks UU PPSDSP sebagai pengganti wajib pajak yang tidak mampu mebayar lunas pajak terutang.
11

Sebaliknya, pejabat pajak tidak dicantumkan sebagai pihak yang berhak mengajukan banding terhadap surat keputusan keberatan yang merugikan baginya. Surat keputusan keberatan tidak selalu menguntungkan pejabat pajak selaku pihak yang bersengketa, berlawanan dengan wajib pajak atau wakil wajib pajak. Dengan demikian, banding adalah upaya hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak yang bersengketa terhadap surat keputusan keberatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Banding yang diajukan ke Pengadilan Pajak ini merupakan upaya hukum lanjutan yang diajukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak. Banding diajukan terhadap keputusan dari pejabat yang berwenang, misalnya berkaitan dengan keputusan atas upaya hukum keberatan. Akan tetapi, harap dipahami disini bahwa yang dinamakan upaya hukum banding (beroep) tidak sama persis dengan upaya hukum banding pada Peradilan Umum ataupun Peradilan Tata Usaha Negara karena dalam Peradilan Umum ataupun Peradilan Tata Usaha Negara, yang dinamakan upaya hukum banding merupakan upaya hukum pada Pengadilan Tingkat II. Artinya sengketa hukum itu telah diberi putusan oleh lembaga pengadilan pada tingkat sebelumnya. Jadi perkara yang sudah diputus oleh Pengadilan Tingkat I karena oleh salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa dianggap kurang memuaskan, diajukan ke Pengadilan Tingkat II. Dalam Pengadilan Tingkat II tersebut dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh karena pada prinsipnya pemeriksaan sengketa pada tingkat Banding di Peradilan Umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara itu adalah pengulangan terhadap proses pemeriksaan pemeriksaan pada Pengadilan Tingkat I, jadi yang dipermasalahkan adalah putusan dari Pengadilan Tingkat I. Sementara itu, banding yang ada dalam konteks Pengadilan Pajak adalah upaya hukum yang diajukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap keputusan yang menurut peraturan perundang-undangan di bidang pajak dapat diajukan banding. Sebagai contoh, terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak. Jangka waktu pengajuan banding merupakan persyaratan sahnya suatu banding. Pasal 35 ayat (2) UU No.14 Tahun 2002 menegaskan bahwa banding diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Jangka waktu 3 bulan dihitung dari tanggal keputusan diterima sampai dengan tanggal surat banding dikirim oleh pembanding. Pasal 35 ayat (2) UU No.14 Tahun 2002 terdapat sinkronisasi norma hukum dengan pasal 27 ayat (3) KUP. Jangka waktu yang ditentukan itu tidak boleh terlampaui karena dapat berakibat terhadap surat banding yang diajukan oleh pembanding, kecuali sesuatu hal yang dapat dibenarkan secara hukum.
12

Sebagai contoh, surat keputusan keberatan yang dibanding diterima pada tanggal 3 Mei 2011 maka jangka waktu berakhir pengiriman surat banding adalah tanggal 2 Agustus 2011. Jika dalam jangka waktu 3 bulan pihak yang mengajukan banding berada dalam keadaan diopname di rumah sakit karena sakit atau surat-surat terkait dengan perpajakan terbakar, penundaan pengajuan banding masih dapat dibenarkan secara yuridis. Pembenaran secara yuridis terdapat pada pasal 35 ayat (3) UU No.14 Tahun 2002 menegaskan bahwa jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaan pembanding (force majeur). Tatkala terjadi keadaan seperti itu maka jangka waktu 3 bulan tersebut terhitung sejak berakhir keadaan force majeur tersebut dapat dipertimbangkan oleh majelis atau hakim tunggal. Sebelum berakhir jangka waktu 3 bulan ternyata bahwa surat banding yang diajukan kepada Pengadilan Pajak mengandung kekurangan, maka berdasarkan Pasal 38 UU No.14 tahun 2002 pembanding masih dapat melengkapi surat bandingnya. Setelah dilakukan penyempurnaan surat banding, tanggal penerimaan surat banding adalah tanggal diterima surat atau dokuman susulan dimaksud, bukan pada tanggal pengajuan awal surat banding tersebut. Kalau terjadi kasus semacam itu, pembanding harus mengajukan kelengkapan bandingnya sebelum berakhir jangka waktu 3 bulan tersebut agar tetap masuk dalam kategori surat banding yang sah untuk diperiksa dan diputuskan. Cukup lama jangka waktu 3 bulan sebagimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (2) UU No.14 Tahun 2002 dan pasal 27 ayat (3) UU KUP. Seyogiannya, jangka waktu pengajuan banding hanya satu bulan dihitung dari tanggal surat keputusan keberatan diterima oleh pihakpihak yang bersengketa. Hal ini dimaksudkan agar pihak-pihak yang hendak mengajukan banding sedapat mungkin menggunakan waktu tersebut secara tepat dan benar. Kemudian, norma hukum yang terkait dengan force majeur sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (3) UU No.14 tahun 2002 dihapus saja karena dapat digunakan oleh pembanding untuk menghindar dari jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 35 ayat (2) UU No.14 Tahun 2002. Berdasarkan pasal 37 ayat (1) UU No.14 Tahun 2002, yang berhak mengajukan banding adalah wajib pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya. Norma hukum tersebut menitikberatkan pengajuan keberatan berada pada wajib pajak, sedangkan ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya hanya berada dalam kedudukan sebagai pengganti wajib pajak. Pengajuan banding dilakukan oleh wajib pajak tatkala beranggapan
13

surat keputusan keberatan yang diterbitkan oleh Lembaga Keberatan tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran. Pasal 37 ayat (1) UU No.14 tahun 2002 tersebut, mengandung kekosongan hukum karena ada pembatasan hak untuk mengajukan banding. Kekosongan hukum itu berupa tidak mengatur tentang pejabat pajak sebagai pihak yang berhak pula mengajukan banding, ketika surat keputusan keberatan yang mengabulkan seluruh atau sebagian permohonan keberatan dari wajib pajak. Dalam hal ini, pejabat pajak boleh mengajukan banding apabila dipandang surat keputusan keberatan itu mengandung cacat yuridis karena tidak diaturnya hak pejabat untuk mengajukan banding, berati tertutup baginya mengajukan permohonan banding sebagai bentuk perlawanan terhadap surat keputusan keberatan yang menimbulkan kerugian. Konsekuensinya adalah kalau pejabat pajak tersebut mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak, suatu kepastian bahwa banding yang diajukan harus ditolak karena tidak memiliki hak untuk mengajukan banding (legal standing). Dengan demikian, pasal 37 ayat (1) UU No.14 Tahun 2002 perlu dilakukan revisi agar pejabat pajak sebagai pihak yang dirugikan, berhak mengajukan banding terhadap surat keputusan keberatan kepada Pengadilan Pajak.

c. Gugatan Hukum acara peradilan pajak tidak hanya mengenal keberatan dan banding sebagai upaya hukum biasa, tetapi termasuk pula gugatan untuk melawan kebijakan pejabat pajak yang terkait dengan penagihan pajak, seperti terbitnya surat tagihan pajak dan penagihan secara paksa. Hal ini ditentukan secara tegas dalam UU No.14 Tahun 2002 bahwa banding dan gugatan, keduanya sebagi upaya hukum biasa. Gugatan menurut pasal 1 angka 7 UU No.14 Tahun 2002 merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Berdasarkan pengertian tersebut, ternyata yang berhak mengajukan gugatan hanya wajib pajak dan tidak termasuk penanggung pajak. Perlu diingat, wajib pajak berbeda dari aspek yuridis dengan penanggung pajak. Wajib pajak pada mulanya adalah pihak yang dibebani kewajiban perpajakan berupa melunasi pajak yang terutang, tetapi kemampuannya tidak ada. Maka, kewajiban itu dilimpahkan kepada penanggung pajak untuk menyelesaikannya. Disinilah, penanggung pajak terlibat secara
14

langsung untuk bertanggung jawab terhadap kewajiban wajib pajak. Pada saat itu, penanggung pajak bertindak secara hukum tanpa melibatkan wajib pajak untuk mengajukan gugatan. Oleh karena itu, pengertian gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 7 UU No.14 Tahun 2002 harus direvisi dan mencantumkan penangung pajak sebagai pihak yang berhak mengajukan gugatan. Jangka waktu pengajuan gugatan merupakan persyaratan suatu gugatan. Jangka waktu pengajuan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak berbeda dengan jangka waktu pengajuan gugatan terhadap keputusan yang dapat digugat. Perbedaan ini tidak dijelaskan lebih lanjut oleh UU No.14 Tahun 2002. Dengan demikian, terdapat kesenjangan antara jangka waktu pengajuan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak dengan keputusan yang dapat digugat. Seyogiannya, pembuat undang-undang memberikan penjelasan sehingga menimbulkan kepastian hukum dari perbedaan tersebut. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak adalah 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan pajak (pasal 40 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002). Kemudian jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan selain gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak adalah 30 hari sejak tanggal diterima keputusan yang digugat (pasal 40 ayat (3) UU No.14 Tahun 2002). Jangka waktu tersebut diatas, tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaan penggugat. Oleh karena itu, penggugat yang berada dalam keadaan diluar kekuasaannya sehingga tidak dapat memnuhi jangka waktu tersebut dapat diperpanjang jangka waktu pengajuan gugatan (pasal 40 ayat (4) UU No.14 Tahun 2002). Perpanjangan jangka waktu itu adalah 14 hari terhitung sejak berakhirnya keadaan diluar kekuasaan penggugat (pasal 40 ayat (5) UU No.14 Tahun 2002). Perbedaan jangka waktu pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (2) UU No.14 Tahun 2002, tidak mencerminkan keadilan kepada wajib pajak atau penanggung pajak sebagai pihak yang mengajukan gugatan. Seyogiannya, jangka waktu pengajuan gugatan adalah 14 hari sejak tanggal diterima surat dan keputusan yang digugat, baik itu surat pelaksaan penagihan pajak, surat keputusan pembetulan atau surat keputusan yang terkait dengan penagihan pajak dengan surat paksa. Dalam arti, terdapat keseragaman jangka waktu pengajuan gugatan. Selain itu, force majeur yang ada pada pasal 40 ayat (4) UU No.14 Tahun 2002 dan perpanjangan jangka waktu pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (5) UU No.14 Tahun 2002, dihapus dan dicabut saja. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi wajib pajak atau penanggung pajak bahwa tidak ada
15

perpanjangan jangka waktu pengajuan gugatan sehingga jangka waktu tersebut dimanfaatkan secara maksimal dalam penyususnan surat gugatan. Ketika surat gugatan telah diajukan kepada Pengadilan Pajak ternyata terdapat kekurangan di dalamnya dan jangka waktu pengajuan gugatan belum berakhir, dapatkah penggugat melengkapi atau mengubah surat gugatannya sebagaimana yang berlaku pada surat banding ? dalam hal ini tidak diatur secara tegas dalam UU No.14 tahun 2002. Penggugat berhak melengkapi atau mengubah surat gugatannya selama masih dalam jangka waktu yang masih ditentukan. Bahkan boleh mengajukan gugatan baru menggantikan gugatan yang telah ada di Pengadilan Pajak. Pertimbangannya adalah gugatan yang telah ada belum dilakukan pemeriksaan sehingga belum ada pihak yang dirugikan termasuk tergugat, kecuali bila tergugat telah mengajukan gugatan surat tanggapan atas surat gugatan pada persiapan persidangan, penggugat tidak boleh melengkapi atau mengubah gugatannya lagi. Bahkan majelis atau hakim tunggal tidak boleh memperkenankan penggugat untuk mengganti surat gugatannya kecuali ada perstujuan dari tergugat. Menurut pasal 41 ayat (1) UU No.14 Tahun 2002, yang berhak mengajukan gugatan adalah penggugat, ahli warisnya, seseorang pengurus, atau kuasa hukumnya. Ketentuan ini menitikberatkan pada penggugat, sedangkan ahli warisnya, seorang pengurus atau kuasa hukumnya hanya berada dalam kedudukansebagai pengganti penggugat untuk mengajukan gugatan. Pengajuan gugatan dilakukan oleh penggugat tatkala beranggapan bahwa terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat digugat tidak mencerminkan keadilan karena tidak sesuai dengan kenyataan yang dialami oleh penggugat. Apabila dikaitkan dengan pasal 1 angka 7 UU No.14 Tahun 2002 dengan pasal 14 ayat (1) UU No.14 tahun 2002, ternyata tidak ada sinkronisasi norma hukum. Pasal 1 angka 7 UU No.14 Tahun 2002 menegaskan gugatan diajukan oleh wajib pajak ..... dan seterusnya ....., sedangkan pasal 41 ayat (1) pasal 41 ayat (1) UU No.14 tahun 2002, menegaskan gugatan diajukan oleh penggugat ..... dan seterusnya ...... pengertian keduanya dari aspek yuridis memiliki perbedaan secara prinsipil, wajib pajak belum tentu yang megajukan gugatan tatkala tanggung jawab untuk membayar lunas pajak yang terutang yang telah dilimpahkan kepada penanggung pajak. Sementara itu, penggugat boleh dari wajib pajak atau penanggung pajak bukan merupakan wajib pajak. Dengan demikian, paling tepat adalah digunakan adalah penggugat sebagaiman dimaksdud dalam pasal 14 ayat (1) UU No14 Tahun 2007.
16

d. Peninjauan Kembali Pihak-pihak yang bersengketa, ahli waris, atau kuasa hukumnya yang tidak puas terhadap putusan pengadilan pajak, berhak mengajukan peninjauan kembali putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Pengajuan peninjauan kembali putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung sebagai konsekuensi dari kedudukannya yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pengadilan rendahan, termasuk Pengadilan Pajak. Pengertian tentang peninjauan kembali putusan Pengadilan Pajak tidak diatur dalam UU No.14 Tahun 2002 maupun dalam UU MA. Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa yang dapat digunakan oleh para pihak yang bersengketa untuk melawan putusan Pengadilan Pajak yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjsde). Pokok sengketa pengajuan peninjauan kembali karena salah satu pihak tidak menerima putusan pengadilan pajak dengan anggapan bahwa putusan itu tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran materiil. Dalam arti, peninjauan kembali putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung merupakan sarana hukum bagi Mahkamah Agung untuk melakukan pengawasan terhadap putusan Pengadilan Pajak mengingat Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus peninjauan kembali putusan Pengadilan Pajak tidak hanya memeriksa penerapan hukum, melainkan termasuk fakta-fakta yang terjadi selama pemeriksaaan yang dilakukan oleh majelis hakim atau hakim tunggal.

II.3. Kedudukan Pengadilan Pajak Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia Jika Pengadilan Pajak menjadi lingkungan peradilan sendiri (lingkungan peradilan kelima) jelas tidak tepat (lingkungan peradilan diartikan atau menunjuk pada fungsi memberikan peradilan yang dilaksanakan oleh kekuasaan kehakiman sesuai dengan peraturan perundang-undangan). Hal itu akan bertentangan dengan maksud dari pasal 18 UU No.48 Tahun 2009. Menurut pasal 18 UU No.48 Tahun 2009 merupakan dasar pembentukan badan-badan peradilan. Dalam hal pembentukan macam-macam peradilan (kekuasaan kehakiman) dalam lingkungan : 1) Peradilan Umum, 2) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara. Tetapi, tidak berarti hanya ada empat peradilan saja di lingkungan peradilan, karena untuk membentuk badan-badan peradilan khusus dan kekhususan dimungkinkan
17

disamping badan-badan peradilan yang sudah ada dengan syarat dibentuk melalui Undangundang. Semestinya Pengadilan Pajak menjadi peradilan kekhususan di lingkungan PTUN, karena bila tidak, maka terjadi inkonsistensi dengan sistem peradilan yang telah menjadi unifikasi hukum di Indonesia. Ada anggapan bahwa jika Pengadilan Pajak masuk ke dalam lingkungan PTUN, maka PTUN akan menerapakan pasal 48 UU No.5 Tahun 1986 jo. UU No.9 Tahun 2004 terhadap Pengadilan Pajak. Tapi, bila asumsinya seperti itu, jelas tidak tepat, karena pengadilan pajak (kelanjutan BPSP) merupakan peradilan administrasi murni bukan Badan administratif. Padahal, seandainya Pengadilan Pajak masuk ke lingkungan PTUN, maka mekanisme peradilan pajak sejak dari upaya administratif (keberatan Dirjen Pajak), banding ke Pengadilan Pajak (diasumsikan menjadi sub sistem PTUN), upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali ke MA tentunya akan berjalan sebagaiamana mestinya. Di Indonesia, seluruh peradilan (tanpa kecuali) merupakan peradilan negara yang ditetapkan dengan Undang-undang. Sedangkan MA merupakan pengadilan negara tertinggi dalam sistem peradilan dan MA mempunyai beberapa fungsi serta tugas. Salah satu fungsinya sebagai Badan Yudikatif, yaitu melakukan kekuasaan kehakiman dalam hal menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dengan tugas pokok memeriksa dan mengadili serta menyelesaiakan setiap perkara. Di tingkat terakhir, MA memutus terhadap semua putusan yang diberikan oleh pengadilan-pengadilan yang berada di bawahnya. MA dalam hal kasasi bukan berati melakukan pemeriksaan tingkat ke tiga, karena MA pada tingkat kasasi tidak melakukan pemeriksaan ulang, tetapi hanya melakukan pemeriksaan terhadap penerapan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim (mestinya termasuk majelis hakim Pengadilan Pajak) dan MA tidak memeriksa serta mempertimbangkan materi perkara atau pembuktian dalam peradilan. Kemudian, MA tidak mungkin dapat menyatakan salah satu atau tidaknya suatu penerapan hukum bila para pihak tidak ada yang mengajukan kasasi, misalnya dalam putusan majelis hakim Pengadilan Pajak, tidak akan ada para pihak ynag mengajukan kasasi, karena kewenangan MA telah direduksi oleh UU Pengadilan Pajak. Selanjutnya, mengenai Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar bisa dalam penyelesaian sengketa pajak, dapat diajukan ke MA setelah melalui mekanisme pengajuan Keberatan (upaya administratif) ke Dirjen Pajak dan Banding ke Pengadilan Pajak. Adapun

18

persyaratan Peninjauan Kembali ke MA harus memenuhi alasan (Pasal 91 UU No. 14 Tahun 2002) sebagai berikut : Pertama, apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang bdiketahui setelah diputus atau didasarkan bukti-bukti yang oleh hakim pidana dinyatakan palsu. Kedua, apabila terdapat bukti tertulis baru yang bersifat menentukan apabila diketahui pada sat persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda. Ketiga, apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut kecuali yang diputus pasal 80 ayat (1) huruf b dan c. Keempat, apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbnagkan sebab-sebabnya; atau Kelima, apabila terdapat suatu putusan yang ternyata tidak sesuai dengan ketentuan perundanga-undangan yang berlaku. Permasalahannya bagi Wajib Pajak adalah bagaimana kalau suatu ketetapan (Beschikking) baik itu dalam bentuk SKP maupun STP ditetapkan secara sewenang-wenang oleh Dirjen Pajak yang diwakili Pejabat Pajak dan dikuatkan oleh putusan Banding Pengadilan Pajak, tapi tidak adil. Misalnya penerapan hukum terhadap suatu ketetapan tidak tepat walaupun telah sesuai menurut peraturan perundang-undangan perpajakan. Namun, walaupun pasal-pasal perundang-undangan perpajakan yang diterapkan dalam ketetapan tersebut telah sesuai, tapi pasal-pasal yang diterapkan mengandung asas dan kaidah-kaidah hukum (pajak) yang bertentangan dengan asas keadilan menurut hukum pajak ( hukum positif). Kenyataannya UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan UU Pajak Pengahasilan memang mengatur seperti itu. Sedangkan pengadilan pajak, menurut UU Pengadilan Pajak, tidak mengenal upaya hukum Kasasi untuk menguji penerapan hukum yang dimaksud. Artinya, hukum pajak yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara tidak memberikan perlindungan hukum kepada rakyat (Wajib Pajak), dengan demikian tidak ada bedanya dengan hukum (pajak) penjajah yang bersifat kolonialistik. Padahal, Pengadilan Pajak serta keempat lingkungan peradilan dan badan-badan peradilan lainnya, masuk dalam sistem peradilan yang berpuncak pada MA (unity court system) telah menjadi unifikasi hukum di Indonesia. Di samping hal itu, MA memiliki tugas
19

dan wewenang melakukan Kasasi sesuai dengan sistem peradilan sebagai salah satu tahapan peradilan dalam upaya hukum untuk kepentingan UU dan hukum yang berkaitan erat dengan perlindungan hukum bagi pencari keadilan (Wajib Pajak). Tingkat peradilan dalam Peradilan Pajak (Keberatan ke Dirjen Pajak sebagai upaya administratif, dan Banding ke Pengadilan Pajak) termasuk pemeriksaan Kasasi (mestinya) dan Peninjauan Kembali, adalah merupakan bentuk kewajiban negara dalam menjamin, menghormati dan melindungi hak-hak pencari keadilan (Wajib Pajak). Hal itu tentunya dilakukan dengan tidak mengurangi kepentingan negara secara asasi dengan tata cara (prosedur) yang tersedia dalam membela kepentingannya dari penyalahgunaan kekuasaan atau tindakan sewenang-wenang yang dilakukan pejabat pemerintah atas setiap keputusan dalam bentuk ketetapan yang diterbitkan Dirjen Pajak dan dikuatkan oleh Putusan Banding Majelis Pengadilan Pajak. Dengan demikian, eksistensi (fungsinya) pengadilan pajak menurut UU No. 14 Tahun 2002 tidak konsistem dengan pengadilan yang berlaku, karena pengadilan pajak tidak menerapakan upaya hukum pada tingakat Kasasi ke MA. Dengan demikian pemerintah telah berhasil mereflesikan kepentingannya, yaitu (melanjutkan yang pernah berlaku di BPSP) mereduksi fungsi yudikatif melalui (campur tangan legislatif) kebijakan UU Pengadilan Pajak. Yaitu, bahwa kekuasaan eksekutif (pemerintah) yang diwakili Dirjen Pajak dalam melakukan tindakan administrasi negara membuat keputusan dalam bventuk Ketetapan Pajak yang dilakukan oleh putusan Pengadilan Pajak, tidak dapat dikontrol sepenuhnya oleh sistem peradilan (kekuasaan kehakiman). Lantas dengan demikian MA sebagai lembaga judicial control tertinggi tidak dapat menggunakan kewenangan secara optimal di dalam peradilan pajak. Idealnya, karena pengadilan pajak yang menyelenggarakan peradilan pajak dan kedudukannya berada di dalam sistem peradilan (kekuasaan kehakiman), semestinya peradilan pajak dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pencari keadilan (wajib pajak). Khususnya dimungkinkan untuk mengajukan upaya hukum kasasi ke MA. Di samping itu, secara optimal dapat pula mengembangkan dan memlihara administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechmatig) atau tetap menurut undang-undang (wetmatig) atau tepat secara fungsional (efektif) atau berfungsi secara efisien. Dengan demikian MA dapat secara penuh menegakkan supremasi hukum (rechmatigheid) dalam sistem peradilan (unity court system) di Indonesia, khususnya di dalam sistem peradilan pajak.
20

Apabila dihubungkan dengan perkembangan Peradilan di Indonesia, khususnya Pengadilan Pajak, pada 12 April 2002 telah dibentuk Pengadilan Pajak. Menurut Pasal 5 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak manyatakan, bahwa Pembinaan, Organisasi, Adiministrasi dan Keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan, walaupun undang-undang merupakan produk politik dari legislatif. Tetapi seharusnya legislatif (pemerintah dan DPR) tetap konsisten dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai payung dari setiap undang-undang yang akan membentuk badan-badan peradilan lainnya. Sementara itu, semula badan-badan peradilan secara organisasi, administrasi, dan finansial ada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan (pasal 11 ayat (1) No. 14 Tahun 1970). Kemudian secara absolut telah beralih menjadi di bawah Kekuasaa Kehakiman (Yudikatif) sebagaimana telah diubah berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 1999 sama dengan pengaturan pada UU No.48 Tahun 2009, dengan maksud agar terjadi pemisahan kekuasaan secara tegas antara kekuasaan yudikatif dengan kekuasaan eksekutif. Menurut Pasal 5 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan, bahwa Pembinaan, Organisasi, Adiministrasi dan Keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. Ketentuan tersebut bertentangan pasal 24 UUD 1945 jo UU No.49 Tahun 2009 karena menyebabkan adanya campur tangan eksekutif terhadap lembaga peradilan di Indonesia. Padahal konstitusi dalam pasal 24 UUD 1945 diatur bahwa peradilan adalah lembaga yang mandiri. Sejalan dengan hal tersebut, seperti yang pernah dikatakan Montesqueiu, bahwa segala bentuk percampuran itu dilarang, karena setiap percampuran akan menimbulkan kesewenang-wenangan dan tentunya akan mengganggu kesimbangan relasi kehakiman (check and balances) yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kerja kekuasaan kehakiman. Ketentuan pasal 5 ayat (2) UU No.14 Tahun 2002 tidak sesuai dengan Teori Pemisahan Kekuasaan dari Montesqueiu menyatakan bahwa pentingnya pemisahan kekuasaan yang ekstrim antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan terutama kekuasaan yudisial. Ketentuan pasal 5 ayat (2) UU No.14 Tahun 2002 dengan Pasal 24 UUD 1945 juga terjadi konflik norma. Dalam Stufenbau Theorie dari Hans Kelsen atau teori perjenjangan norma menyebutkan bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat
21

ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (ground norm). Berdasarkan stufenbau theorie tersebut maka seharusnya suatu Undang-undang selaras dengan UUD 1945. Apabila terjadi pertentangan atau konflik norma antara peraturan perundangundangan yang yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi, maka dapat digunakan salah satu dari asas preverensi, yaitu asas lex superior derogate legi inferiori. Menurut asas ini, apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis lebih rendah dengan yang lebih tinggi, peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah tersebut harus disisihkan. Maka dalam hal ini UU No.14 tahun 2002 khususnya pasal 5 ayat (2) yang harus disisihkan. Adanya suatu konflik norma antara suatu peraturan dengan peraturan yang ada diatasnya akan sangat berkaitan dengan judicial review. Pengertian judicial review berkaitan dengan pengujian suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung (pasal 24A ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), sedangkan pengujian undangundang terhadap undang-undang dasar dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945). Meskipun secara normatif UU No.14 Tahun 2002 khususnya pasal 5 ayat (2) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya yaitu UUD 1945, tetapi sampai saat ini undang-undang tersebut masih tetap berlaku. Sehingga diperlukan adanya judicial review atas konflik norma tersebut agar tercipta kepastian hukum sebagai landasan lembaga pengadilan pajak di Indonesia.

BAB III PENUTUP

III.1. Kesimpulan
1. Sengketa pajak dapat diselesaikan dengan beberapa upaya, yaitu : keberatan,

banding, gugatan, dan peninjauan kembali. Pengaturan mengenai beberapa upaya


22

penyelesaian sengketa pajak itu masih terdapat persoalan, seperti kekosongan hukum, ketidakpastian hukum, dan tidak sinkron suatu norma dengan norma lainnya. 2. Kedudukan Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam UU No.14 Tahun 2002 menimbulkan konflik norma dengan pengaturan kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945.

III.2. Saran 1. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak perlu dilakukan revisi sehingga norma yang saat ini masih terdapat persoalan kekosongan hukum, ketidakpastian hukum, dan tidak sinkron suatu norma dengan norma lainnya segera terselesaiakan. 2. Diperlukan adanya pengajuan judicial review terhadap UU No.14 Tahun 2002 yang terjadi konflik norma dengan UUD 1945 sehingga memberikan kepastian hukum mengenai kedudukan Pengadilan Pajak.

DAFTAR PUSTAKA
23

BUKU-BUKU ; Arto, A. Mukti, Konsepsi Ideal Mahkamah Konstitusi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. Djafar Saidi, Muhammad, Perlindungan Hukum Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Rajawali Pers, Jakarta, 2008. Budiono, Abdul Rachmad, Pengantar Ilmu Hukum, Cet.I, Bayu Media, Malang, 2005. Hamidi, Jazim, dan Mariyadi Faqih, Mengenal Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, Tarsito, Bandung, 1999. Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006. Mustafa, Bachsan, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1985. Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi, Universitas Udayana, Denpasar, 2010.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Perubahan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Undang-Undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 Pengadilan Pajak

24

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

25

You might also like