You are on page 1of 28

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mercubuana

PPh PASAL 23 dan 26

Disusun oleh Kelompok 9 : Marliando Hinaloy 43211110052 Kristina Murtinah 43209110225

Jakarta 2012

Kata Pengantar

Terima kasih yang sebesar besarnya kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas berkat dan rahmat-Nya saya semua dapat menyelesaikan makalah PPh Pasal 23 dan 26 ini tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini kami susun untuk memenuhi Mata Kuliah Perpajakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mercu Buana Jakarta. Pada proses pembuatan makalah ini kami dibantu oleh banyak pihak. Untuk itu saya berterima kasih kepada Ibu Mutiah untuk ajaran dan

bimbingannya. Serta kepada perpustakaan Universitas Mercu Buana yang telah menyediakan literature dan bahan untuk menyelesaikan makalah ini. Dan Kepada semua pihak yang tidak dapat kami ucapkan satu persatu, kami ucap terima kasih.

Jakarta, 15 April 2012

Kelompok 9

PEMOTONGAN PPh PASAL 23 : KEWAJIBAN PEMOTONGAN CAPITAL INCOME (BUNGA, DEVIDEN, ROYALTI, DAN SEWA) DAN JASA PADA WAJIB PAJAK DALAM NEGRI

DASAR HUKUM
1. Pasal 23 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang Undang Nomer 36 Tahun 2008 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tentang jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 Ayat (1) huruf c angka 2 UU No 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008. 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.03/2008 tentang Penghasilan atas Jasa Keuangan yang Dilakukan oleh Badan Usaha yang Berfungsi sebagai Penyalur Pinjaman dan/atau Pembiayaan yang Tidak Dilakukan Pemorongan PPh pasal 23.

KEDUDUKAN DALAM UNDANG UNDANG PPh


1. Merupakan

kewajiban bagi Wajib Pajak dalam negri untuk

melakukan pemotongan sebagai pemotong PPh pasal 23 sehingga jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi dapat dikenakan sanksi perpajakan. 2. PPh pasal 23 tersebut merupakan pembayaran pendahuluan atau kredit pajak bagi Wajib Pajak yang menerima penghasilan tersebut. 3. Kewajiban penyetoran dan pelaporan PPh pasal 23 bersifat insidental dan hanya dilakukan apabila pada bulan tersebut terdapat pemotongan PPh Pasal 23.

PEMOTONG PPh PASAL 23

1. Badan Pemerintah, subyek pajak dalam negri, penyelenggara

kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negri lainnya. Pemotong ini sifatnya otomatis dan tidak ada penunjukkan sebagai pemotong PPh pasal 23. 2. Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negri yang ditunjuk oleh Direktorat Jendral Pajak sebagai pihak yang wajib membayarkan penghasilan. Surat Keputusan Direktorat Jendral Pajak Nomor Kep. 50/PJ/1994, orang pribadi yang dapat ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 (harus ada penunjukan terlebih dahulu) adalah akuntan. Arsitek, dokter, notaris, pengacara, konsultan, PPAT kecuali Camat dan orang pribadi yang menjalanakan usaha dengan menggunakan pembukuan.

OBJEK DAN TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 23


Penghasilan yang mejadi objek pajak PPh Pasal 23 adalah : 1. 15% dari jumlah bruto atas deviden selain kepada Wajib pajak Orang Pribadi dalam negri.
2. 15% dari jumlah bruto atas bunga

3. 15% dari jumlah bruto atas royalti 4. 15% dari jumlah bruto atas hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh pasal 21. Catatan penulis : Dipotong PPh pasal 21 apabila diterima Wajib pajak Orang Pribadi, dan dipotong PPh, pasal 23 apabila diterima Wajib Pajak Badan. 5. 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta selain yang terutang PPh Pasal 4 ayat 2. Catatan Penulis : Sewa tanah dan bangunan terutang PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 5%.

6. 2% dari jumlah bruto atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21. Jumlah PPh Pasal 23 tersebut menjadi dua kali lebih besar (100% lebih tinggi) apabila pihak yang dipotong tidal memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Catatan penulis :
a. PPh pasal 23 mulanya hanya terbatas pada capital income

berupa bunga, deviden dan royalti kerena tidak ada resiko usaha sehingga dikenakan tarif 15% dari jumlah bruto. b. Objek 1) 2) 2 3) Jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan , dan jasa lain. c. Hadiah, penghargaan dan bonus tidak ada risiko kerugian sehinggadikenakan tarif 15% dari jumlah bruto.
d. Sewa dan jasa termasuk kategori active income dan terdapat

pasal

23

berkembang

dengan

mengenakan dan

juga

terhadap : Hadiah, pengahargaan, bonus sejenisnya selain yang telah dipotong PPh pasal 21 Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta selain yang terutang PPh pasal 4 ayat

risiko usaha sehingga dikenakan tarif 2% dari jumlah bruto yang sudah diperhitungkan tingkat keuntungan.

JASA TEKNIK
Menurut Edaran Direktorat Jendral Pajak Nomor SE-08/PJ.222/1984 tanggal 5 Maret 1984, jasa teknik adalah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi berkenaan dengan pegalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat

meliputi untuk proyek tertentu, untuk membuat suatu jenis produk tertentu dan berupa pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman pengalaman di bidang manajemen.

JASA MANAJEMEN
Pemberian pelaksanaan jasa dengan ikut dalam serta secara jasa langsung berupa dalam imbalan manajemen balas

manajemen (management fee). Jasa lain diatur dalam Permenkeu Nomor 244/PMK.03/2008 adalah : 1. Jasa penilai (appraisal); 2. Jasa aktuaris; 3. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan; 4. Jasa perancang (design); 5. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT); 6. Jasa penunjang di bidang penambangan migas; 7. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas; 8. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara; 9. Jasa penebangan hutan; 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Jasa pengolahan limbah; Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services) Jasa perantara dan/atau keagenan; Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga , kecuali yang Jasa custodian/penyimpanan /penitipan, kecuali yang dilakukan Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara; Jasa mixing film; Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk

dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI; oleh KSEI;

perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;

18.

Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air,

gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; 19. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Jasa maklon; Jasa penyelidikan dan keamanan; Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer; Jasa pengepakan; Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, Jasa pembasmian hama; Jasa kebersihan atau cleaning service; Jasa catering atau tata boga.

media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;

Pengertian deviden menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah :


1. Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung,

dengan nama dan dalam bentuk apa pun;


2. Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal

yang disetor;
3. Pemberian

saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran

termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio aham;


4. Pembagian laba dalam bentuk saham; 5. Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran; 6. Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima

atau

diperoleh

pemegang

saham karena pembelian kembali

saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;

7. Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang

disetorkan, jika

dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh

keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8. Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk

yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;


9. Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi; 10. Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis; 11. Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi; 12. Pengeluaran

perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang

saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. Pengertian royalti menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah imbalan sehubungan dengan penggunaan : 1. hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan; 2. hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya; 3. informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut. tersebut Tidak telah tersedia dalam sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi termasuk pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh

misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.

DIKECUALIKAN PEMOTONGAN PPh PASAL 23


Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pemotongan PPh pasal 23 adalah : 1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank. (Bunga bagi bank adalah active income yag mengandung risiko usaha sehingga tidak dilakukan pemotongan PPh pasal 23 namun tetap merupakan objek pajak bagi bank). 2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan jak opsi. (Sewa guna dengan hak opsi identik dengan pembelian barang dan bukan sewa biasa, sehingga tidak terutang PPh pasal 23 nmaun tetap merupakan objek pajak bagi penerimanya).
3. Deviden (inter-corporate dividend) yang diterima oleh perseroan

terbatas, pribadi.

BUMN/BUMD,

dann

koperasi

yang

memenuhi

persyaratan tertentu dan deviden yang diterima oleh orang (Deviden yang diterima Wajib Pajak Badan yang memenuhi syarat tertentu bukan merupakan objek pajak sesuai Pasal 4 ayat (3) UU PPh, sehingga tidak dipotong PPh pasal 23. 4. Bagian laba yang diterima anggota CV yang modalnya tidak terbagi atas saham, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi. (bagian laba tersebut bukan merupakan objek pajak sesuai pasal 4 ayat (3) UU PPh, sehingga tidak dipotong PPh pasal 23). 5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya. (SHU koperasi tersebut merupakan objek pajak Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan terutang pajak penghasilan bagi yang menerimanya, pengecualian hanya kewajiban koperasi untuk memotong PPh pasal 23). 6. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu Nomor 251//PMK.03/2008), yaitu :

a. Bunga atau imbalan lain yang diberikan atas penyalur pinjaman dan/atau imbalan lain yang diberikan atas penyaluran pinjaman dan//atau pemberian pembiayaan, termasuk yang menggunakan pembiayaan berbasis syariah. b. Badan usaha terdiri dari : 1) Perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha diluar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan 2) telah memperoleh izin usaha dari menteri keuangan. Badan usaha milik negara atau badan usaha milik pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, daerah yang khusus didirikan untuk memberikan sarana menengah, dan koperasi, termasuk PT Permodalah Nasional Madani (persero). (Bunga atau imbalan yang diterima badan usaha atau jasa keuangan tersebut merupakan active income dan mengandung resiko usaha sehingga bukan merupakan objek PPh pasal 23 namun tetap merupakan objek pajak PPh bagi penerimanya).

Catatan penulis : Tidak dipotongnya pajak oleh pemotong pajak karena : 1. Bukan merupakan objek pajak PPh menurut Pasal 4 ayat (3) UU PPh,
2. Pertimbangan tertentu, antara lain active income, mendorong

usaha tertentu, namun tetap merupakan objek PPh bagi penerimanya.

PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN

1. Pemotong memotong PPh pasal 23 pada saat pembayaran atau pada saa yang terutang, mana yang lebih dahulu. 2. Pemotong membeikan bukti potong PPh pasal 23 kepada pihak yang dipotong. Bagi pihak yang dipotong, bkti potong PPh pasal 23 merupakan bukti pengkreditan pajak, kecuali PPh pasal 23 tersebut bersifat final. 3. Pemotong menyetor PPh pasal 23 secara kolektif per bulan pemotongan dan disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dengan menggunakan surat Surat Setoran Pajak atas nama Pemotong PPh pasal 23. 4. Pemotong melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh pasal 23 palibg lambat tanggal 20 bulan berikutnya dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23.

PEMAJAKAN WAJIB PAJAK LUAR NEGERI: BENTUK USAHA TETAP DAN PEMOTONGAN PENGHASILAN WAJIB PAJAK LUAR NEGERI (PPh pasal 26)

DASAR HUKUM
1. Pasal 5 UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) 2. Pasal 26 UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) 3. Perjanjian Penghindaran Pajak berganda (P3B) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah (partner) lain.

KEDUDUKAN DALAM UU PPh


1. Indonesia berwenag untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diperoleh oleh Wajib Pajak Luar Negeri. 2. Menurut UU PPh, dikelompokkan : a. Berusaha dan berada di Indonesia. 1. Apakah tidak ada tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B), PPh yang terutang mengacu ketentuan Pasal 5 UU PPh mengenai Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan apabila tidak memenuhi syarat BUT pengenaan PPh terutang mengacu PPh Pasal 26 2. Apabila ada P3B, penajakan mengacu pada ketentuan BUT menurut P3B. Apabila tidak memenuhi syarat BUT sesuai ketentuan P3B, Indonesia tidak berhak memungut pajak atas usaha WP Luar Negeri tersebut (tidak berhak memungut PPh Pasal 26). 3. Pengenaan PPh BUT dianggap sebagai subjek pajak badan dalam negeri. b. 1. Tidak berusaha dan berada di Indonesia. Apabila tidak ada tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B), PPh yang terutang mengacu ketentuan Pasal 26 UU PPh. pemajakan atas Wajib Pajak Luar Negeri

2. Apabila

ada

P3B,

pemajakannya

mengacu

pada

ketentuan P3B. apabila Indonesia berhak memungut , PPh yang terutang dipungut Pasal 26 dengan tariff sesuai P3B.

BENTUK USAHA TETAP MENURUT UU PPh


Pengertian Bentuk Usaha Tetap Pasal 2 ayat (5) UU PPh, bentuk Usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh subjek pajak luar negeri untuk mejalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: 1. Tempat kedudukan manajemen; 2. Cabang perusahaan; 3. Kantor perwakilan; 4. Gedung kantor; 5. Pabrik; 6. Bengkel; 7. Gudang; 8. Ruang untuk promosi dan penjualan; 9. Pertambangan dan penggalian sumber alam; 10. 11. 12. 13. Wilayah kerja pengeboran yang digunakan perkebunan untuk atau eksplorasi pertambangan; Perikanan, peternakan, peranian, kehutanan; Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau

oleh orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan; 14. 15. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang Agen atau pegawai dari perusahaan asuranasi yang tidak kedudukannya tidak bebas; didirikan dan tidak bertempat kedudukan di indoensia yang menerima premi asuranaasi atau menanggung risiko di Indonesia.

16.

Computer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yng

dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. Bentuk usaha tetap menurut UU PPh tersebut diatas dapar dikelompokkan menjadi sebagai berikut: 1. Bentuk Usaha Tetap huruf a sampai dengan k, merupakan BUT fasilitas fisik/asset karena untuk menentukan BUT dilihat dengan adanya fasilitas fifik atau asset yang merupakan tempat untuk menjalanka usaha atau kegiatan Wajib Pajk Luar Negeri di Indonesia. Jenis BUT ini dimulai pada saat adanya kegiatan usaha di tempat usaha tersebut. 2. Bentuk Usaha Tetap huruf I dan n merupakan BUT aktifitas. Kalau proyek konstruksi, instalasi atau proyek perakitan tidak adanya batasan waktu (time test0, sehingga setiap adanya proyek konstruksi, instalasi atau proyek perakitan dilakukan oleh WPLN di Indonesia maka langsung memenuhi kriteria sebagai BUT. Sedangkan untuk jasa lainnya 9di luar tiga jenis jasa tersebut diatas ada pencantuman minimum time test guna menentukan kriteria BUT, yaitu harus memenuhi syarat jasa tersebut dilakukan di Indonesia lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan. 3. Bentuk Usaha Tetap huruf n merupakan BUT keagenan. agent). Penentuan agen tidak bebas dapat Agen yang meenuhi syarat sebagai BUT adalah agen tidak bebas (dependent berdasarkan criteria legal atau ekonomis. Criteria legal dapat dilihat dalam aturan-aturan tertulis yang ada dalam agen tersebut. Criteria ekonomis terjadi apabila agen tersebut melayani atau menjalankan kegiatan usaha atas perintah atau instruksi dari WPLN. 4. Bentuk Usah Tetap huruf o merupakan BUT perusahaan asuransi. Criteria BUT ini dapat berdasarkan tempat udaha keagenan, atau penerimaan premi atau penutupan risiko di Indonesia melalui pegawai (agen).

Objek BUT menurut UU PPh Berdasarkan Pasal 5 UU PPh yang termasuk objek pajkak BUT adalah sebagai berikut. 1. tetap 2. Penghasilan darai usaha atau kegiatan bentuk usaha tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai Penghasilan kantor pusat dari usaha , kegiatan,

9penghasilan BUT yang bersangkutan) penjualan barang atau pemebrian jasa di Indonesia ynag sejenis dengan yang dijalankan/dilakukan oelh BUT di Indoensia (force of attraction). Pendekatan ini didasarkan kenyataan bahwa usaha atau kegiatan kantor pusat tersebut di Indonesia masih termasuk ruang lingkup usaha atau kegiatan yang dapat dilakukan BUT. 3. utang, Penghasilan berupa dividen, bunga termasuk premium, royalty, sewa, imbalan hadiah sehhubungan atau dengan diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminin pengembalian jasa/pekerjaan/kegiatan, penghargaan,

pension/pembayaran berkala lainnya, yang diterima oleh kantor pusat WPLN dari Indonesia, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT-nya dengan haarta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut. PPh yang Terutang BUT Menurut UU PPh Pemajakan BUT menurut UU PPh juga menganut dua system pemajakan, yaitu: 1. Tarif tertentu Tarif tertentu dikenakan kepada jenis bentuk usaha tetap yang menjalankan kegiatan usaha tertentu, ayitu: a. Keputusan menkeu nomor 632?KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994: PPh yang terutang atas BUT berupa cabang perusahaan pelayaran dan penerbangan internasional sebesar 2,64% dari peredaran bruto/kotor dan bersifat final.

b. Keputusan Dirjen Pajak Nomor 667/PJ/2001: PPh yang terutang kantor perwakilan dagang asing (representative office) sebesar 0.44% dari nilai ekspor perusahaan ke Indonesia c. Contoh: Tarif BPT dalam P3B Indonesia dengan Spanyol (nomor 43 dari table terlampir) sebesar 10%. Dengan demikian, tarif apajak yang terutang adalah sebagai berikut. PPh atas penghasilan kena pajak terutang 30%x1% Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi 10% x pajak dari suatu BUT (branch profit tax/BPT) (tarif 10%) 2. Tarif Umum Pasal 17 UU PPh Tarif umum Pasal 17 UU PPh dikenakan kepada jenis Bentuk usaha Tetap selain tersebut pada butir C.1 tersebut diatas, dengan perhitungan sebagai berikut. a. Tarif Pasal 17 x Penghasilan Kena Pajak b. Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan neto dikurangi kompensasi c. Penghasilan neto = Objek BUT biaya fiscal Pasal 6 ayat (1) UU PPh Dalam menentukan besarnya laba tambahan penjelasan sebagai berikut. a. Biaya administrasi kantor pusat yang boleh dikurangkan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. b. Pembayaran kepada kantor pusaat yang tidak boleh dikurangkan adalah: royalty atau imbalan paten,atau lainnya sehubungan lainnya, dengan imbalan penggunaaan harta, hak-hak suatu BUT juga diberikan 0.3)% 0.30% (10.07% 0.37% apabla tidak ada tax treaty/perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Apabila ada tax treaty dihitung sebagai berikut:

sehubungan dengan jasa menajemen dan jasa lainnya, bunga, ekcuali bunga yang berhubungan sengan usaha perbankan. Pembayaran serupa yang diterima atau diperolah dari kantor

pusat tidak dianggaap sebagai objek pajak BUT, kecuali bunga berkenaan dengan usaha perbankan. Pemajakan Laba Setelah Pajak BUT (Branch Profit Taxation) Menurut UU PPh Dividen atau bagian laba hasil ussaha WP dalam negeri terutang PPh Pasal 23, dan untuk memberikan perlakuan yang sama maka laba setelah BUT dikenakan pajak dengan tarif 20%. Sesuai Permenkeu Nomor 257/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 pengecualian pajak setelah laba BUT dapat diberikan dengan syarat: 1. Penanaman diberikan dalam bentuk penyertaan modal pasa perusahaan yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri. 2. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indoensia sebagaimana dimaksud huruf a, harus secara aktif melakukan kegiataan usaha sesuai dengan akte pendiriannya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan. 3. Penanaman dilakukan dalam tahun berjalan atau selambatlambatnya tahun pajak berikutnya setelah perolehan laba. 4. Tidak ada pengalihan penanaman sekurang-kurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun setelah perusahaan dimaksud berproduksi secara komersial.

PENGARUH P3B ATAS PEMAJAKAN BUT


1. Apabila antara pemerintah Indonesia mengadakan P3B dengan pemerintah Negara lain, maka criteria BUT, objek pajak BUT dan laba setelah BUT mengacu pada isi P3B tersebut, dan mengesampingkan ketentuan sebagailmana tercantum dalam UU PPh. 2. Pada umumnya BUT menurut P3B antara pemerintah Inondesia dengan pemerintah Negara lainnya dibagi: bentuj usaha tetap fisik/tempat, dan bentuk usaha tetap jasa. Sebagian besar P3B menegaskan:

a. Penentuan BUT fisik sama dengan menurut UUPPh yaitu sepanjang ada tempat atau bangunan atau cabang sudah memenuhi criteria BUT sehingga Indonesia sebagai Negara sumber berhak penuh untuk mengenakan pajak atas WPLN. b. Penentuan BUT atas semua jasa yang dilakukan di Indonesia atau Negara partner menggunakan waktu tes (time test) minimum termasuk juga jasa konstruksi, instalaasi dan perakitan. Apabila suatu jasa atau kegiatan di Indonesia melebihi time test P3B, Indonesia sebagai Negara sumber berhak penuh mengenakan pajak atas WPLN tersebut karena sudah memenuhi syarat BUT. Apabila suatu jasa atau kegiatan di Indonesia belum melebihi waktu tes P3B, Indonesia sebagai Negara sumber berhak tidak mengenakan atas WPLN tersebut karena tidak memenuhi syarat BUT, dan juga tidak dapat mengenakan Pasal 26 karena hamper semua P3B menegaskan bahwa kegiatan usaha (active income) hanya dapat dikenakan di Negara sumber apabila hanya memenuhi syarat BUT saja. 3. Pada umumnya hamper semua P3B juga mengatur adanya fasilitas yang mirip dengan tempat tetap, namun tidak boleh dianggap sebagai BUT, yaitu sebagai berikut. a. Pemakaian fasilitas semata-mata untuk menyimpan, memamerkan atau menyerahkan barang atau barang atau dagangan milik perusahaan luar negeri. b. Penimbunan persediaan barang barang dagangan perusahaan luar negeri semata-mata untuk tujuan menyimpan, memamerkan atau menyerahkan. c. Penimbunan lain. d. Pemeliharaan tempat tetap untuk usaha yang semata-mata untuk membeli barang atau barang dagangan ataupun mengumpulkan informasi untuk perusahaan luar negeri. persediaan barang atau barang dagangan perusahaan luar negeri semata-mata untuk diproses perusahaan

e. Pemeliharaan tempat tetap semata-mata untuk persiapan bagi kegiatan usaha perusahaan luar negeri. f. Pemeliharaan tempat tetap semata-mata untuk melakukan kegiatan gabungan tersebut di atas denga syarat kegiatan tersebut tetap merupakan persiapan atau sekedar kegiatan pelengkap. 4. Pada umumnya objek BUT menurut P3B hampir sama dengan UU PPh, demikian pula pajak setelah laba yang diperolah BUT, namun perbedaanya dalah tarif yang lebih rendah dari 20%. 5. Usaha asuransi pada umunya dianggap mempunyai BUT menurut P3B apabila ada: a. Tempat tetap (fixed place of business), atau b. Menerima prmei dari wilayah Negara melalui seseeorang atau agen yang tidak mempunyai status bebas. (ada dependent agent) 6. Beberapa contoh time test untuk penentuan BUT jasa berdasarkan P3B dengan Negara partner sebagai berikut.

Proyek N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 2 0 2 1 2 2 Negara Autralia Austria Amerika Serikat Belanda Belgia Bulgaria Cina Denmark Filipina Finlandia Hungaria India Inggris Italia Jepang Jerman Kanada Korea Selatan Luksmburgh Malaysia Norwegia Pakistan Konstruks i 120 hari 6 bulan 120 hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan 183 hari 183 hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 183 hari 6 bulan 5 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan Instal asi 120 hari 6 bulan 120 hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan 183 hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 183 hari 6 bulan 5 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan

Proyek Perakita n 120 hari 6 bulan 120 hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan 3 bulan 6 bulan 3 bulan 183 hari 183 hari 6 bulan 183 hari 6 bulan 5 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan

Jasa Pengawas an 120 hari 6 bulan 120 hari 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 3 bulan 183 hari 183 hari 6 bulan 6 bulan 183 hari 6 bulan 5 bulan 6 bulan 3 bulan

Jasa Lainny a 120 hari 3 bulan 120 hari 3 bulan 183 hari 120 hari 6 bulan 3 bulan 183 hari 3 bulan 4 bulan 91 hari 183 hari 3 bulan 6 bulan 183 hari 3 bulan 3 bulan 63bulan -

MENERIMA

PENGHASILAN

DILUAR

KEGIATAN

USAHA

(PASIVE INCOME) YANG BERSUMBER SARI INDONESIA


Apabila Tidak Ada tax treaty, Dipotong PPh Pasal 26 Sesuai UU PPh Tarif PPh Pasal 26 UU PPh: 1. Sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas penghasilan yang diterima/diperoleh WPLN berupa: a. dividen; b. bunga , termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan penegembalian utang; c. royalty, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan atau kegiatan; e. hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun; f. pension dan penghasilan berkala lainnya; g. premi swap dan transaksi lindung lainnya; h. keuntungan karena pembebasan utang. 2. Sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto, atas penghasilan berupa: a. Penjualan saham Pasal 18 ayat 3c sesuai Permenkeu Nomor 258/PMK.03/2008 dengan perkiraan penghasilan neto sebesar 25% b. Premi asuransi dan premi reasuranasi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, sesuai Kepmenkeu Nomor 624/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994. 1) 20% x 50% x penghasilan bruto, untuk asuransi pertama (orang Indonesia membayar premi pada perusahaan asuransi WPLN). 2) 20% x 10% x penghasilan bruto, untuk reasuransi pertama (perusahaan asuransi Indonesia perusahaan reasuransi WPLN). 3) 20% x 50% x penghasilan bruto, untuk asuransi dan seterusnya (perusahaan reasuransi Indonesi membayar kepada perusahaan reasuransi WPLN). membayar premi kepada

3. Sebesar 20% dari penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap (branch after profit tax), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia maka tidak dipotong PPh Pasal 26 sesuai Permenkeu Nomor 257/PMK.03/2008. Contoh: PT. A membayar royalty kepada X Ltd. di luar negeri sebesar Rp 100.000.000,00 dan tidak ada P3B dengan Indonesia, maka PT. A wajib memotong PPh Pasal 26 sebesar 20% x Rp 100.000.000 = Rp 20.000.000,00. Pemotong PPh Pasal 26 1. Badan pemerintah; 2. Subjek pajak dalam negeri (orang pribasi dan badan); 3. Penyelenggara kegiatan; 4. Bentuk Usaha Tetap; 5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan 1. Pemotongan PPh Pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukan pembayaran atau terutangnya penghasilan yang bersangkutan (timbulnya beban kewajiban membayar atau dibebankan dalam biaya) mana yang terlebih dahulu. 2. Pemotong PPh Pasal 26 wajib menyetor PPh Pasal 26 paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak ersebut. 3. Pemotong PPh Pasal 26 wajib menyampaikan SPT Mas PPh Pasal 26 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak tersebut. 4. PPh Pasal 26 atas penghasilan kena apajk setelah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, terutang dan harus dibayar paling lambat tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan. Apabila ada Tax treaty

Pada

umumnya

dalam

P3B

antara

pemerintah

Indonesia

dengan

pemerintah Negara partner diatur sesuai OECD atau UN Model sebagai berikut. 1. Bunga,dividen dan royalty pengenaan pajaknya dibagi dua antara negara sumber dan domisili, sehingga Indonesia sebagai Negara sumber tarif 20%. 2. Pembayaran jasa yang dilakukan WPLN di Indonesia dapat dikenakan pemajakan di Indonesia apabila emenuhi syarat sebagai BUT menurut P3B, kecuali dengan Negara tertentu saja yang terutang PPh Pasal 26 meskipun tidak memenuhi syarat BUT. 3. Pembayaran jasa yang diterima oleh WPLN dan tidak dilakukan di Indonesia, juga tidak terutang PPh Psal 26 kecuali jasa tersebut termasuk kategori royalti. Hampir semua P3B memberikan batasan definisi royalty dengan pengertian yang cukup luas. Jasa yang tidak dilakukan di Indonesia dapat juga kategori sebagai royalty atau jasa, sehingga perlu pendalaman hakekat ekonomis transaksi yang bersangkutan. 4. Pekerjaan bebas (independent personal services) atau pekerjaan professional, Indonesia berhak untuk memungut pajak atas penghasilan tersebut apabila melebihi minimum time test atau punya tempat usaha/pangkalan tetap. Apabila tidak memenuhi minimum time test atau punya pangkalan usaha tetap, maka Indonesia tidak berhak untuk memungut pajak. 5. Pekerjaan dalam hubungan kerja dan gaji karyawan tersebut dibayar atau dibebankan perusahaan Indonesia, Indonesia berhak untuk meungut pajak atas gaji yang bersangkutan. Karyawan WPLN yang berasa di Indonseia kurang dari 183 hari dan tidak bias menunjukkan KITAS/IKTAS (Kartu Izin Tinggal Sementara atau Izin Kerja Tenag Asing), dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20%. Namun apabila lebih dari 183 hari atau bias menunjuukan KITAS/IKTAS, maka karyawan hanya berhak mengenakan sebagian pajak dengan penerapan PPh Pasal 26 sesui tarif P3B yaitu lebih rendah daripada

WPLN tersebut dianggap WPDN sehingga terutang PPh Pasal 21 seperti karyawan/pegawai tetap.
6. Gaji direktur sebagai board of director dan penerimaan lainnya

sebagai day to day management, Indonesia berhak memungut pajak sepanjang dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan dalam negeri. 7. Penghasilan artis dan atlet apat dikenakan pajak di Negara sumber penghasilan. Artis dan atlet tidak termasuk sebagai independen maupun dependent personal services. 8. Penjualan harta pada umumnya dibagai sebagai berikut. a. Penjualan harta tak bergerak dapat dikenakan pajak oleh negara sumber, b. Penjualan harta bergerak bagian BUT atau tempat usaha tetap oleh Negara sumber, c. Kapal laut atau pesawat udara di jalur internasional oleh Negara domisili, d. Penjualan harta lainnya oleh Negara domisili. Untuk dapat menerapkan tarif PPh Pasal 26 sesuai P3B atau tax treaty, maka WPLN tersebut harus bisa menunjukkan surat keterangan domisili atau Certificate of Domicilie (COD) dari kantor pajak Negara tempat WPLN domisili. Ketentuan tersebut di atas merupakan petunjuk umum saja, sehingga masih perlu melihat ketentuan P3B masing-masing negara dengan Indonesia. Contoh: PT. ABC pada tahun 2004 melakukan transaksi sebagai berikut. 1. Bulan Januari, membayar jasa keonsultan kepada A Ltd. dari Negara Hongkong sebesar Rp100,000.000.00. Jasa tersebut dilakukan di Indonesia selama 30 hari. 2. Bulan Februari, membayar dividen kepada B Ltd. dari Negara Hongkong sebesar Rp50.000.000,00 dan C Ltd dari Negara Jepang sebesar Rp50.000.000 ,00

3. Bulan Maret, membayar jasa penelitian kepada D Ltd dari Negara Jepang sebesar Rp75.000.000,00. Jasa tersebut dilaksanakan di Indonesia selama 30 hari. Perhitungan Pajak WPLN tersebut sebagai berikut. 1. Januari 2004: tidak ada P3b antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Hongkong sehingga berlaku penuh UU PPh. Jasa tersebut dilakukan selama 30 hari di Indonesia dan jasa tersebut bukan jasa konstruksi, instalasi, dan perkaitan sehingga tidak memenuhi syarat BUT karena kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, karena tidak memnuhi syarat BUT, maka pengenaan pajaknya menggunakan PPs Pasal 26. Menurut Pasal 26 PPh pembayaran jasa terutang pajak sebesar 20%, sehingga PPh pasal 26 yang terutang sebesar 20% x Rp100.000.000,00 = Rp20.000.000,00. PT. ABC wajib memotong PPh Pasal 26 tersebut pada bulan Januari 2004, dan wajib menyetor PPh Pasal 26 Masa Januari tersebut ke bank persepsi/kantor pos paling lambat tanggal 10 Februari 2004, serta wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 26 ke KPP tempat PT. ABC terdaftar paling lambat tanggal 20 Februari 2004. 2. Bulan Februari 2004: a. wajib memotong PPh Pasal 26 kepada B Ltd. sebesar 20% x Rp50.000.000,00= Rp10.000.000,00. b. Wajib memotong PPh Pasal 26 kepada C Ltd. sebesar 10% x Rp50.000.000,00 = Rp5.000.000,00 apabila kepemilikan saham C Ltd. di PT. ABC minimal 25%. Apabila kurang dari 25% terutang PPh Pasal 26 sebesar 15% x Rp50.000.000,00 = Rp7.500.000,00. (sesuai P3B dengan Negara jepang). 3. Bulan Maret 2004: sesuai P3B dengan Jepang, imbalan atas jasa hanya dikenakan pajak di suatu Negara apabila memenuhi syarat sebagai bentuk Usaha Tetap (permanent establishment) dan tidak dapat dikenakan secara scheduler taxation (PPh Pasal 26). 4. Syarat kegiatan jasa memenuhi BUT apabila jasa tersebut dilakukan dalam jangka waktu enam(6) bulan. Oleh karena jasa tersebut dilakukan di Indonesia dalam jangka waktu 30 hari, maka jasa

tersebut tidak memenuhi syarat BUT. Indonesia tidak berhak untuk menungut pajak sama sekali.
Tabel Tarif PPh Pasal 26 Berdasarkan P3B Indonesia dengan Negara Partner DIVIDEN N o Negara 1 Tari f 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 1 3 14 1 5 1 6 17 1 8 1 9 2 0 2 1 22 2 Autralia Austria Amerika Serikat Afrika Selatan Aljazair Belanda Belgia Brunei Darussalam Bulgaria Cina Republik Cheska Denmark Finlandia Filipina Hungaria India Inggris Italia Jepang Jerman Kanada Korea 15% 15% 15% 10% 25%10% 25%10% 25%10% 25%10% 25%10% 25%10% 15%10% 25%10% 25%10% 25%10% 25%10% 25%10% 25%10% 15% 20% 15% 20% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 10% 15% 15% 3 15% Dua Tarif Port Penyertaa ofoli n Minimal o 4 0 25%10% 25%10% 10%10% 5 0 15% 15% 15% BUNGA Terten tu 7 Bank Sentr al 8 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%

ROYALTI Umu m 9 15% 10% 10% 10% 15% 10% 10% 15% 10% 10% 12.5 % 15% 10% 15% 15% 15% 15% 15% 10% 15% 10% 15% 10% 10% 10% Khus us 10 10% -

Lab a BUT 11 15% 12% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 15% 10% 12.5 % 15% 15% 15% 15% 10% 10% 15% 10% 10% 15% 10%

Umum 6 10% 10% 10% 10% 15% 10% 10% 15% 10% 10% 12.5% 10% 10% 10% 15% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10%

Selatan 23 24 2 5 26 27 28 29 3 0 3 1 32 33 Kuwait Luksemburg h Malaysia Mauritius Mesir Mongolia Norwegia Pakistan Perancis Polandia Rumania 15% 10% 15% 25%10% 25%10% 20% 10% 20% 12.5% 34 3 5 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 5 0 5 1 5 2 5 Rusia Arab Saudi Selandia Baru Seychelles Singapura Slovakia Spanyol Sri lanka Sudan Suriah Swedia Swiss Taipei Thailand Tunisia Turki Ukraina Uni Emirat A. Uzbekistan Venezuela 10% 10% 10%10% 15% 5% 10% 10% 0% 0% 0% 5% 20% 10% 5% 10% 10% 25%10% 20% 10% 15% 15% 10% 15% 15% 10% 10% 25%10% 25% 15% 10% 15% 12% 10% 10% 0% 0% 0% 0% 0% 15% 15% 10% 25%10% 15% 25%10% 15% 15% 15% 15% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 15% 15% 10% 10% 10% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 15% 15% 15% 15% 15% 20%10% 10% 10% 25%10% 15% 10% 10% 5% 10% 15% 10% 10% 15% 15%/10 % 10% 12.5% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 10% 12.5 % 15% 10% 15% 10% 15% 15% 10% 15% 15% 10% 15% 12.5% 10% 10% 10% 12.5 % 10% 15% 10% 15% 10% 10% 10% 10% 12.5 % 12.5 %

15% 10% 15% 10% 15% 15% 10% 15% 10% 10% 15% 12.5 % 10% 15% 15% 10% 10% 10% 15% 10% 15% 10%

20% 15% 10% 10% 20% 10%

10% 5% 12% 15% 10%

10%

3 54 5 5 Vietnam Yordania 15% 10% 15% 10% 0% 0% 15% 10% 10%

You might also like