You are on page 1of 15

MAKALAH STRUKTUR HEWAN Sistem Endokrin

Kelompok 5 : Nur Wilda Kaswi Zul Janwar Nuraini Kusuma Wardhani Nurafni Hidayah Riska Putri Merdekawati Sriwahyuni

FAKULTAS SAINS & TEKNOLOGI UIN ALAUDDIN MAKASSAR 2011/2012

KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Sistem Endokrin.

Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai sistem endokrin atau yang lebih khususnya membahas mengenai fungsinya.

saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.Amin.

9 Mei 2012

Penyusun

BAB I PENDAHULUAN

Pengaturan beberapa proses fisiologis melibatkan kerjasama struktural dan fungsional antara sistem endokrin dan sisem saraf. Banyak organ dan jaringan endokrin memiliki sel-sel saraf khusus, yang disebut sel-sel neurosekresi yang mensekresikan hormon. Bahkan hewan yang sangat berbeda seperti serangga dan vertebrata mempunyai sel-sel neurosekresi dalam otaknya yang mensekresikan hormon kedalam darah. Beberapa zat kimia mempunyai fungsi baik sebagai sistem hormon endokrin maupun sebagai sinyal dalam system saraf. Epinefrin (dikenal pula sebagai adrenalin), misalnya, berfungsi dalam tubuh vertebrata sebagai apa yang disebut hormon fight or flight (yang dihasilkan oleh medulla adrenal, suatu kelenjar endokrin) dan sebagai neurotransmitter yang mengirimkan pesan antara tiap neuron dalam sistem saraf. Sistem endokrin adalah sistem kontrol kelenjar tanpa saluran (duictless) yang menghasilkan hormon yang tersirkulasi di tubuh melalui aliran darah untuk memengaruhi organorgan lain. Hormon bertindak sebagai "pembawa pesan" dan dibawa oleh aliran darah ke berbagai sel dalam tubuh, yang selanjutnya akan menerjemahkan "pesan" tersebut menjadi suatu tindakan. Sistem endokrin tidak memasukkan kelenjar eksokrin seperti kelenjar ludah, kelenjar keringat, dan kelenjar-kelenjar lain dalam saluran gastroinstestin.Sistem endokrin terdiri dari sekelompok organ (kadang disebut sebagai kelenjar sekresi internal), yang fungsi utamanya adalah menghasilkan dan melepaskan hormon-hormon secara langsung ke dalam aliran darah. Hormon berperan sebagai pembawa pesan untuk mengkoordinasikan kegiatan berbagai organ tubuh. Berbagai makhluk hidup mempunyai hormon untuk mengkoordinasikan kegiatan dalam tubuhnya, seperti pada insecta, Echinodermata, dan mamalia.

BAB II PEMBAHASAN

2.1.Sistem Endokrin pada Insekta Hampir semua hormon dihasilkan sel neurosekresi dari ganglion otak dan ganglia lainnya yang dapat ditemukan pada protoserebrum, tritoserebrum, ganglion suboesofagus dan ganglia ventral. Hewan ini diketahui juga menghasilkan sejumlah hormon yaitu : Hormon otak Hormon otak disekresikan oleh bagian otak yang pelepasannya dipengaruhi oleh faktor makanan, cahaya, atau suhu. Adanya hormon otak menyebabkan sekresi hormone ekdison. Selain itu, hormone otak juga memicu mensekresikan hormone juvenil. Juvenil hormone(JH) Hormon ini dijumpai hampir pada semua artropoda dan krustasea. JH dipergunakan untuk mempertahankan stadium muda, sehingga apabila dalam suatu instar pradewasa dijumpai titer JH yang sangat rendah, artinya stadium larvanya menjelang selesai. JH merupakan suatu senyawa steroid dengan gugus epoksida disalah satu ujungnya. Dikenal beberapa bentuk/macam JH, misalnya JH diol, hidro JH, metil JH, iso JH dll. Ini disebabkan karena beberapa ujung merupakan gugus yang reaktif, sehingga dalam lingkungan berbeda akan mengikat senyawa lain yang berbeda pula. Sementara itu, meski pada akhir instar pradewasa JH bisa nol sama sekali, tetapi pada stadium dewasa, JH juga kembali disintesis, dan digunakan untuk memberi tanda pada badan lemak bahwa saatnya telah tiba untuk menyusun vitellogenin, suatu senyawa kimia yang merupakan penanda dimulainya proses pemasakan telur, misalnya seperti yang dijumpai pada nyamuk. Bioassay JH dilakukan antara lain dengan teknik RIA atau Radioimmunoassay, menggunakan vertebrata seperti misalnya tikus, ayam atau kelinci. Hewan-hewan tersebut disuntik dengan ekstrak JH dalam bentuk preparasi yang sesuai, maka akan terbentuklah antibody dalam tubuh hewan percobaan (donor antibodi). Antibodi ini spesifik untuk JH (antibodi anti JH), kemudian diisolasi. Anti JH ini dapat diberi label dengan isotop, kemudian digunakan untuk assay dalam hemolimfa serangga. Perhitungannya adalah dengan menghitung nisbah antara antibodi berlabel yang masih bebas dengan antibodi yang sudah mengikat JH, dengan menggunakan alat LSC (Liquid Scintillation Counter), [JH] dapat dihitung.

Cara kedua adalah dengan menggunakan HPLC (high pressureliquid chromatography). JH yang ada dalam hemolimf di ekstrak dengan pelarut organik (heksan-eter). Fase organiknya lalu dipartisi cair/cair (karena JH adalah lipid--steroid--, maka akan terlarut pada fasa organik). Setelah pemurnian lewat partisi kemudian disuntikkan ke HPLC. Keunggulan cara ini adalah bahwa sampel ekstrak masih tetap utuh karena tidak diuapkan (berbeda dengan GLC yang menggunakan sampel fase gas). Ecdysone Carroll Williams, tahun 1940an, menggunakan larva ngengat Saturniidae (Hyalophora cecropia dan Antherya pernyii). Penelitiannya menghasilkan hormon yang akhirnya teridentifikasi secara lengkap (ecdyson, suatu hormon molting). Temuan juga menunjukkan hubungan antara perubahan suhu dengan kondisi otak yang selanjutnya akan muncul dalam ujud diapause saat pupa, atau akan terus berkembang sehingga stadium pupa tidak mengalami diapause (Diapause Obligat, dan Diapause Fakultatif). Ecdyson adalah suatu sterol yang biosintesisnya berasal dari kholesterol, maka dibutuhkan makanan yang cukup mengandung kholesterol supaya serangga dapat memiliki cukup ecdyson. Sementara itu pada tumbuhan sendiri dijumpai bentukan lanjut sterol yang sangat mirip ecdyson dan disebut sebagai "phytoecdyson". Bahan ini bekerjanya tidak spesifik, karena ternyata dapat digunakan oleh banyak jenis artropoda. Ecdysone dipergunakan untuk merangsang perubahan atau pergantian kulit serangga. Hormon ini bekerja antagonis dengan JH.

Hubungan antara Ecdyson dan JH dalam mengatur metamorfose Pengaturan proses metamorfose merupakan mekanisme hormonal yang cukup rumit dan melibatkan beberapa organ secara serentak. Pada mulanya, apabila saat ganti kulit tiba, maka korpora kardiaka pada otak mengeluarkan suatu hormon tropik (hormon yang mengawali keluarnya hormon lain) ke protoraks, sehingga hormonnya disebut hormon protorakotropik.

Oleh adanya HPTT (PTTH, prothoracotropic hormone) ini, maka kelenjar protoraks akan mengeluarkan hormon -ecdyson, karena aktivasi utusan kedua ("second messenger") AMP siklik (cAMP) yang menyebabkan dilepaskannya hormon. -ecdyson ini kemudian akan mengaktivasi -ecdyson, dan selanjutnya -ecdyson menuju ke suatu reseptor protein yang

berada pada integumen, dan kemudian terikat ("bound") pada reseptor tersebut. Ikatan ini menandai dimulainya sintesis protein untuk menyusun kutikula baru dan pada prosesnya menyebabkan kutikula baru dan lama saling terpisah (apolisis). Pada waktu yang bersamaan dengan aktivasi oleh HPTT, korpora alata yang terdapat di perbatasan antara protoraks dan otak juga mulai mengeluarkan hormon yuwana (JH). Titer JH ini menentukan jenis kutikula apa yang akan disusun oleh bagian integumen. Apabila titer JH masih cukup tinggi, yang dibentuk adalah kutikula instar berikutnya. Ekskresi JH dari satu instar ke instar berikutnya makin rendah, dan pada batas titer tertentu menyebabkan yang disusun adalah kutikula pupa. Pada pupa, titer JH sudah sama dengan nol, sehingga jika kemudian terjadi pergantian kulit lagi, maka yang muncul adalah kulit serangga dewasa. Demikian yang terjadi pada ekdisis sebagai urutan kedua proses ganti kulit atau molting: kutikula lama mengelupas.

Mekanisme Kerja Hormon pada Insekta

Biosintesis hormon ekdison Sintesis ekdisteroid pada serangga sangat tergantung dari steroid yang terdapat dalam tanaman yang menjadi sumber pakannya. Hal tersebut dikarenakan serangga tidak dapat mensintesis sendiri kolesterol yang merupakan precursor primer untuk mensintesis ekdison. Fitosteroid yang terdapat pada tanaman inang serangga merupakan jenis

triterpenoid, cycloartenol yang terbentuk dari siklisasi epoksida skualen. Derivasi dari cycloartenol adalah kolesterol yang menjadi precursorekdison pada serangga.

Serangga pemakan tanaman (fitofag) akan merubah sterol tanaman C29 menjadi sterol C27 yang menjadi precursor ekdison. Selanjutnya sterol C27 tersebut dirubah menjadi kolesterol dan kemudian menjadi 7-dehidrokolesterol, yang menjadi perkursor 3,14dihidroksi-5-kolest-7-en-6-one.

Sintesis hormon ekdison ditriger oleh hormon protorakisotrofik (PTTH) yang dihasilkan oleh sel neurosekretori otak. Hormon ini tidak disimpan di dalam kelenjar protoraks, tetapi akan segera dilepaskan setelah disintesis. PTTH yang berfungsi sebagai triger sintesis hormon ekdison ini efeknya bersifat modulasi melalui penghambatan hormon (inhibitory hormone) dan

melalui regulasi langsung syaraf (direct neural regulation) yang mungkin dalam bentuk stimulasi (stimulatory) atau penghambatan (inhibitory). Pada gambar 4 terlihat mode of ection PTTH yang mentriger sintesis hormon ekdison pada satu sel kelenjar protorak.

Pembuktian bahwa sintesis ekdison ditriger oleh PTTH telah dilakukan oleh Carroll Willaims (1947) menggunakan metode ligasi dan implantasi pada Hyalophora cecropia. Dia menunjukkan bahwa ketika otak aktif, pupa yang diikat pada bagian tengah tubuhnya, bagian depannya akan ganti kulit menjadi imago normal sedangkan bagian belakangnya tidak. Dia kemudian menemukan alasannya bahwa bagian depan tersebut dapat ganti kulit dan menjadi imago normal hanya jika otak dan kelenjar protoraknya masih aktif. Kesimpulannya bahwa hormon dari otak akan menstimulasi kelenjar protorak untuk mengsekresikan hormon yang menginduksi proses ganti kulit.

Sintesis ekdison terjadi pada kelenjar protoraks, yang kemudian disekresikan ke dalam hemolimfa. Ekdison merupakan substansi yang tidak larut dalam air dan diduga

ditransportasikan di dalam hemolimfa dengan cara terikat pada molekul protein. Dari hemolimfa ekdison ini akan dirubah oleh badan lemak, epidermis, saluran pencernaan tengah (midgut) atau jaringan lainnya menjadi ekdison yang lebih aktif yaitu 20-hidroksiekdison. Apabila 20hidroksiekdison tidak terpakai maka di dalam tabung malpigi berubah menjadi bahan yang akan disekresikan. Variasi hormon ekdison yang bersirkulasi di dalam hemolimfa dapat terukur karena ada perubahan di dalam sintesis, pelepasan, degradasi dan ekskresi. Produksi 20hidroksiekdison akan diimbangi oleh degradasi dan ekskresi serta konversi dalam bentuk konyugat yang sifatnya tidak aktif. Oleh karena itu periode hormon bentuk aktif di dalam hemolimf sangat terbatas. Konyugat ekdisteroid sering dalam bentuk fosfat atau glukosida.

B. Kelenjar protorak

Kelenjar protoraks yang merupakan tempat disintesisnya hormon ekdison dijumpai pada stadium pradewasa serangga. Pada serangga dewasa hormon ini terdapat pada ovari yang kaitannya dalam mengatur perkembangan embrionik, walaupun hormon tersebut dapat

dihasilkan dimana-mana di abdomen yang diduga berasal dari oenosit. Kelenjar protoraks ini

degenerasi saat serangga bermetamorfose menjadi imago, walaupun ada yang tetap bertahan, misalnya pada serangga Apterygota dan lokusta yang hidupnya soliter. Kelenjar protoraks adalah sepasang kelenjar yang berbentuk butiran butiran seperti anggur, terletak di belakang kepala atau pada toraks serangga, atau pada pangkal labium Thysanura (Gambar 7). Kelenjar ini banyak disuplai oleh sel syaraf dan trakhe. Syaraf-syaraf ini berasal dari ganglion subesophageal atau beberapa dari ganglion protoraks, pada lipas ada hubungan syaraf yang berasal dari otak, sedang pada serangga Hemiptera tidak ada suplai syaraf sama sekali.

C. hormon ekdison

Hormon ekdison akan disintesis pada saat serangga pra dewasa akan ganti kulit atau dalam proses pertumbuhan. Cara kerja hormon ini berkaitan langsung dengan dua hormon lainnya yaitu: PTTH (prothoracicotropic hormone) dan hormon juvenil (JH). Keberadaan JH akan menghambat produksi hormon ekdison dan dengan stimulasi dari PTTH makan hormon ekdison akan disintesis, tetapi akibat dari kelimpahan hormon ekdison dalam hemolimfa, kemudian akan menghambat produksi hormon juvenil (JH). Secara umum aktifitas biokimia yang terjadi diantara sel sangat tergantung dari adanya reseptor spesifik untuk kerja hormon tersebut. Respon dari jaringan yang berbeda tergantung pada ada atau tidaknya reseptor spesifik tersebut, sehingga jaringan yang berbeda akan memberi respon pada waktu yang berbeda pula. Apabila hormon tersebut tidak bertemu dengan reseptor spesifik pada waktu yang tepat, maka dengan segera akan didegradasi dalam hemolimfa.

Sel target dari kerja ekdisteroid adalah sel epidermis pada proses ganti kulit (molt) Karena ekdisteroid merupakan bahan lipofilik, maka bahan tersebut dapat melewati membran sel apabila terikat pada reseptor protein spesifik di dalam sel epidermis. Ekdisteroid ini kemudian secara langsung akan mengaktivasi atau menginaktivasi gen dan sintesis protein baru. Konsentrasi hormon ekdison pada hemolimfa sangat menentukan apakah akan dapat mempengaruhi sel target atau tidak. Hal itu tergantung dari konsentrasi reseptor yang ada pada sel target tersebut.

D. Proses ganti kulit serangga (molting)

Pada proses pertumbuhan serangga kutikula akan berhenti membesar karena dibatasi oleh berakhirnya pengerasan kutikula yaitu melalui proses sklerotisasi. Dengan demikian kutikula yang mengeras tersebut perlu dilepaskan dan digantikan dengan yang baru. Proses pelepasan kulit ini disebut dengan ekdisis. Proses ganti kulit sebenarnya terdiri dari

proses apolisis dan proses ekdisis yang berakhir dengan terbentuknya instar pasca ekdisis . Proses apolisis melibatkan terjadinya pemisahan lapisan epidermis dari kutikula secara bertahap mulai dari bagian anterior menuju posterior. Proses ini dimediasi oleh molekul 20hidroksi ekdison. Proses ini terjadi mulai saat instar melepaskan kutikula pada stadium pharate. Saat lepas dari kutikula epidermis mulai melakukan pembelahan mitosis, sehingga permukaan epidermis menjadi luas yang akan menjadi cetakan kutikula yang lebih meluas/besar.

Proses ekdisis adalah kejadian pelepasan kutikula tua (eksuvia) yang sebenarnya dan dimediasi oleh hormon eksklosi. Proses ganti kulit terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:

1.

Awal apolisis sepanjang anteroposterior secara bertahap

Proses apolisis ini dimulai segera setelah terjadinya pengerasan kutikula. Pada periode aktif makan setelah terjadinya ekdisis, kerapatan cel menurun, kutikula di atas sel epidermis meregang dan sel epidermis menjadi bentuk squamose (pipih).

2. Pembelahan mitosis sel-sel epidermis (terjadi pertambahan sel dan pelipatan permukaan lapisan epidermis).

Pembelahan mitosis mulai terjadi, jumlah sel bertambah dan meningkat tajam serta diikuti dengan bentuk sel menjadi kolumner. Karena sel bentuknya berubah, mengakibatkan terjadinya tegangan permukaan epidermis sehingga sel epidermis mulai terpisah dari kutikula. Mitosis epidermal ini mendahului selesainya apolisis. Pemisahan kutikula diatasnya epidermis ini disebut proses apolisis. Ruang apolisis yang dibentuk antara epidermis dan kutikula disebut rongga eksuvial atau rongga subkutikuler. Pada Collembola bagian membran luar dari sel

epidermis mengeluarkan vesikel-vesikel membentuk busa sehingga mendorong lapisan kutikula terlepas dari epidermis. Lepasnya droplet ke dalam rongga ini dengan cara eksositosis plasma membran.

3. Sekresi cairan molting

Droplet tersebut diduga prekursor enzim moulting yang masih tidak aktif. Pada beberapa spesies enzim moulting disekresikan ke dalam ruang eksuvial setelah selesai proses apolisis. Enzim ini ada yang disekresikan dalam bentuk granule dan pada beberapa Lepidoptera dikeluarkan dalam bentuk gel. Ruang apolisis berangsur angsur menjadi besar karena adanya akumulasi enzim atau cairan moulting. Enzim pencerna kutikula ini terdiri dari enzim khitinase, protease menyerupai tripsin dan aminopeptidase. Enzim ini masih tetap belum aktif sebelum selesainya pembentukan lapisan luar epikutikula dari kutikula baru.

4.

Formasi epikutikula luar pharate pada permukaan epidermis yang telah mengalami apolisis dan crenulat, yang akan menghasilkan patokan pola permukaan kutikula pharate.

5.

Sekresi epikutikula saat serangga dalam keadaan pharate.

6.

Aktivasi enzim cairan molting, terjadi proses lisis endokutikula dan terjadi penyerapan (resorpsi) endokutikula lama.

Aktivasi enzim dihubungkan dengan terjadinya transport potassium ke dalam ruang eksuvial disertai dengan aliran air. Cairan ini disebut cairan moulting dan mengandung komposisi ion sebagai buffer enzim yang mengatur pH selama pencernaan kutikula. Enzim tersebut akan mencerna seluruh lapisan kutikula yang tidak tersklerotisasi tetapi tidak ada pengaruhnya terhadap otot-otot atau syaraf yang berhubungan dengan kutikula lama. Produk kutikula yang tercerna ini diabsorbsi melalui mulut atau anus dan mungkin juga secara langsung melalui integumen itu sendiri.

7.

Deposisi calon eksokutikula pharate

Deposisi kutikula baru berangsur-angsur bertambah seiring dengan pencernaan dan penyerapan kembali kutikula lama. Keadaan ini dapat mengkonservasi 90% kutikula lama.

8.

Ekdisis Saat cairan molting dan hasil cernaannya diresorbsi, kutikula lama makin menipis dan

lama kelamaan habis dan meninggalkan epikutikula dan eksokutikula lama yang terpisah dari prokutikula baru. Rongga apolisis jelas terpisah dan serangga mulai melakukan aktivitas ekdisis. Ekdisi diawali dengan pecahnya garis ekdisis yang dapat dilakukan dengan berbagai cara. PadaSchistocerca atau serangga lainnya, terjadi peningkatan volume darah. Persiapan ekdisis diawali dengan menelan udara atau air, kemudian ditelan ke dalam usus sehingga tekanan hemolimf meningkat. Darah dipompa ke bagian toraks atau kepala dan memecahkan bagian integumen yang tipis atau lemah. Ekdisis biasanya dimulai dari kepala atau toraks dahulu kemudian diikuti oleh abdomen dan embelannya.

9.

Ekspansi kutikula baru

Setelah selesai ekdisis, instar baru akan mengawali aktivitas makan dan mulai mengawali siklus apolisis dikuti ekdisis. Kutikula baru yang masih lentur akan mengembang sejalan dengan pertumbuhan dan perbesaran tubuhnya. Ekspansi kutikula akan diikuti proses tanning dan akan terhenti hingga kutikula mengeras dan segera akan melakukan moulting berikutnya.

10.

Permulaan tanning

Enzim fenol oksidase terlibat dalam proses tanning kutikula. Enzim ini pada awalnya berada di dalam hemolimf dalam bentuk proenzim tidak aktif, kemudian diaktivasi oleh enzim yang berasal dari ekstrak kutikula. Ada tiga jenis enzim profenol oksidase. Dua enzim yang mengoksidasi L-dopa yaitu dopa oksidase dan satu enzim yang mengoksidasi

dihidroksifenilalanin (dopa) maupun tirosin (tirosin adalah substrat awal dalam tanifikasi). Struktur protein dan enzim pada kutikula berpartisipasi dalam proses tanning yang disebut sklerotisasi. Proses ini melibatkan hidroksilasi tirosin menjadi dihidroksifenilalanin (DOPA) yang didekarboksilasi menjadi dopamine dengan perantara dopa-dekarboksilase. Dopamin kembali diasetilasi membentuk N-asetildopamin. Melalui system fenolase N-asetildopamin dioksidasi menjadi o-Quinon yang bereaksi dengan kelompok amino di dalam protein kutikula.

11. 12. 13. 14.

Sekresi endokutikula Sekresi lilin Lanjutan deposisi dan tanifikasi endokutikula Formasi membran apolisis untuk molting berikutnya.

Urutan proses ganti kulit tersebut di atas dapat digambarkan seperti pada gambar 13

Adapun proses ganti kulit yang diatur oleh hormon ekdison, secara biokimia dalam prosesnya disamping melibatkan beberapa enzim juga akan melibatkan beberapa hormon lain yang bekerja secara simultan.

Urutan kejadian dalam pengaturan proses apolisi dan pembentukan kutikula adalah sebagai berikut: 1. PTTH (prothoracicotropic hormone) akan merangsang mensintesis dan melepaskan hormon ekdison, 2. Hormon ekdison beredar di dalam hemolimfa, 3. Hormon ekdison akan mengalami hidroksilasi pada jaringan tubuh menjadi 20hidroksiekdison, 4. 20-hidroksiekdison mengatur gen yang akan membentuk kutikula. 5. Hormon pemicu ekdisis (ecdysis trigerring hormone, ETH) merangsang kelenjar protorak untuk

pelepasan hormon eklosi (eclosion hormone, EH) dari otak,ETH juga akan mengaktifkan perilaku pre-eklosi, 6. Simpul umpan-balik positif antara ETH dan EH mengakibatkan pelepasan EH dalam jumlah besar,

7. Pelepasan EH terpusat merangsang pelepasan Crustacean cardioactive peptide (CCAP) dari neuron pada ganglion ventral,EH yang bekerja melalui hemolimfa mengakibatkan pengenyalan kutikula 8. CCAP mengaktifkan perilaku eklosi dan menghentikan perilaku pre-eklosi CCAP yang bekerja melalui hemolimfa meningkatkan denyut jantung, 9. Bursikon mula-mula merangsang pengenyalan kutikula, kemudian mengaktifkan proses sklerotisasi kutikula.

2.2. Sistem Endokrin Echinodermata Echinodermata merupakan filum yang unik, dari sekitar 6000 spesies hidup, tanpa hubungan yang jelas dengan filum lain. Mereka secara radial berbentuk si\metris, dengan kerangka internal calcareous dan sistem vaskular air. Kelas yang paling dikenal terdiri dari bintang laut (Asteroidea), bintang-rapuh (Ophiuroidea), bulu babi (Echinoidea) dan teripang (Holothuroidea). Echinodermata tidak memiliki sistem kelenjar endokrin yang berkembang baik, tetapi interaksi kimia kompleks termediasi dapat terjadi antara sel. Kontrol hormon pemijahan dan pematangan pada bintang laut telah menerima banyak perhatian dan terdapat bukti bahwa pemijahan pada bulu babi juga mungkin dikendalikan oleh hormon. Sebuah perbedaan yang paling menonjol dengan kelompok invertebrata lain adalah bukti kuat bahwa vertebrata jenis steroid memainkan peran penting dalam pengendalian dan koordinasi sejumlah fungsi dalam echinodermata. Sistem hormon-hormon sederhana pada Echinodermata antara lain : Gonad-Stimulating Substance (GSS) dihasilkan oleh syaraf radial, Maturating-Inducing Substance (MIS) disintesis oleh sel-sel folikel Gonad- Inhibiting Substance (GIS) yang dibentuk oleh syaraf radial. ovari, dan

Mekanisme kerja hormone pada Echinodermata Gonad Stimulating Substance adalah protein sederhana dengan bobot molekul sekitar 2000 sedangkan hormon folikular adalah purin 1-metiladenin (Lafont 2000). Selain hormon 1metil adenin (MIS) pada kelompok echinodermata dan moluska ditemukan hormon vertebratetype steroid.

Gonad moluska dan echinodermata dapat memproduksi steroid secara de novo dan sintesis steroid ini dibantu oleh enzim cytokrom P-450. Keberadaan steroid pada hewan fitofage kemungkinan juga berasal dari tumbuhan yang dimakan, oleh karena molekul steroid banyak terdapat pada tumbuhan (Lafont 2000). Perkembangan gonad bulubabi dipengaruhi oleh akumulasi nutrien ke dalam pagosit nutritif melalui sintesis vitelogenin (vitelogenesis) dibawah rangsangan hormon steroid (Unuma 1999). Vitelogenesis terjadi karena adanya sinyal lingkungan yang diterima oleh syaraf radial. Sebagai respon, syaraf radial akan melepaskan GSS ( Gonad Stimulating Substance) yang akan merangsang sel-sel folikel gonad mensintesis MIS (Maturating Inducing Substance) seperti 1metiladenin dan hormon steroid (testosteron dan estradiol) secara de novo dengan bantuan enzim cytokrom P450. Testosteron dan estradiol merangsang pelepasan nutrien ke gonad melalui cairan koelomik dari usus dan juga merangsang pengambilan nutrien dari cairan koelomik melalui sel gonadal nutritif (pagosit nutritif) yang selanjutnya mensuplai nutrien ke gamet secara langsung melalui lumen gonadal. Akibatnya gonad berkembang hingga mencapai ukuran maksimum dan menunggu sinyal lingkungan berikutnya. Selanjutnya sinyal lingkungan diterima oleh syaraf radial, dan sebagai respon syaraf radial melepaskan neurosekresi (polipeptida) yang berperan langsung pada sel-sel folikel untuk merangsang sintesis 1-metiladenin, dan selanjutnya merangsang ovulasi, pelepasan gamet, dan tingkah laku reproduksi. Penelitian Unuma (1999) mendapatkan hormon steroid (androstenedion, estron, dan derivatnya) dapat merangsang perkembangan gonadal dan gametogenesis pada juvenil bulubabi merah (Pseudocentrotus depressus). Jantan P. depressus berdiameter 20 mm yang diberi pakan bersteroid (androstenedion dan estron) menghasilkan IKG yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Spermatogenesis juga lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sebaliknya pada betina P. depressus perlakuan pakan bersteroid tidak menunjukkan pengaruh, kemungkinan karena masih terlalu muda sehingga juvenil betina belum siap melaksanakan gametogenesis. Tidak seperti hewan ovipar lainnya, pada bulubabi, protein yolk tidak hanya khusus pada betina. Protein yolk terakumulasi dalam pagosit nutritif sebagai sumber nutrien untuk gametogenesis, tidak hanya pada betina tetapi juga pada jantan (Unuma 1999). Akumulasi nutrien ke dalam pagosit nutritif telah ditingkatkan oleh steroid melalui sintesis vitelogenin.

2.3. Sistem Endokrin Mamalia Dalam tubuh manusia ada tujuh kelenjar endokrin yang penting, yaitu hipofisis, tiroid, paratiroid, kelenjar adrenalin (anak ginjal), pankreas, ovarium, dan testis.

You might also like