You are on page 1of 7

TINJAUAN PUSTAKA

Arti Penting Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) adalah komoditas hortikultura yang penting di Indonesia dan merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak digemari orang karena rasanya enak, segar dan sedikit asam (Sihotang 2008) serta multiguna karena banyak digunakan sebagai sayuran, bumbu masak, buah meja, penambah nafsu makan, minuman, bahan pewarna makanan, bahan kosmetik, obat-obatan (Pudjiatmoko 2008), makanan yang diawetkan (saus tomat) dan minuman (jus) (Sihotang 2008). Menurut BPS (2006) dari data Dirjen Bina Hortikultura, produksi tomat nasional meningkat dari 594.022 ton pada tahun 2002 menjadi 629.743 ton pada tahun 2006. Tomat sangat bermanfaat bagi tubuh karena mengandung vitamin dan mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kesehatan (Supriati & Siregar 2009). Sebagai sumber vitamin, tomat kaya akan vitamin C yang berguna untuk meningkatkan kekebalan tubuh serta mengobati berbagai macam penyakit, seperti sariawan; vitamin A untuk mencegah dan mengobati xeropthalmia pada mata; zat besi (Fe) untuk pembentukan sel darah merah; serat untuk membantu penyerapan makanan dalam pencernaan; serta potasium yang bermanfaat untuk menurunkan tekanan darah tinggi (Supriati & Siregar 2009). Tomat termasuk jenis tanaman perdu semusim, berbatang lemah dan basah, daunnya berbentuk segitiga, bunganya berwarna kuning, hijau waktu muda dan kuning atau merah waktu tua, berbiji banyak, berbentuk bulat pipih, putih atau krem serta kulit biji berbulu (Sihotang 2008). Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian tempat 0 sampai 1.250 m di atas permukaan laut dengan suhu optimal untuk pertumbuhannya adalah 23C pada siang hari dan 17C pada malam hari, menyukai tanah dengan tingkat keasaman netral terutama yang mengandung humus, gembur, sarang dan berdrainase baik (Sihotang 2008). Penyakit Layu Bakteri pada Tomat oleh Ralstonia solanacearum Ralstonia solanacearum sebelumnya dikenal dengan Pseudomonas solanacearum merupakan bakteri tular tanah nonflouresen dari famili

Pseudomonas (Denny & Hayward 2001) dan mampu hidup dalam tanah untuk periode yang lama (Walker 1957). Bakteri ini merupakan salah satu bakteri penyebab penyakit layu yang penting di wilayah tropis, subtropis, dan daerah beriklim hangat (Jeung et al. 2007). R. solanacearum menyerang ratusan spesies tanaman (Kaur & Mukerji 1999; Denny & Hayward 2001) dan lebih dari 50 famili (Denny & Hayward 2001), termasuk famili Solanaceae dan tanaman pertanian lainnya yang bernilai ekonomi, seperti tomat, kentang, lada, tembakau, terung, pisang, jahe, dan kacang (Jeung et al. 2007; Walker 1957; Aeny 2001; Handayani 2005). Patogen ini bahkan tidak jarang dapat menyebabkan kematian pada inangnya (Denny & Hayward 2001). Penyakit layu telah lama dikenal sebagai penyakit yang paling merugikan tanaman cabai dan tomat yang dilaporkan pada tahun 1921 dan 1922 di Madiun dan Kediri (Van Hall 1922, 1923 dalam Semangun 2004) serta Irian Jaya (Anonim 1987, 1988 dalam Semangun 2004). Kerugian mencapai 80% pada pertanaman jahe atau bahkan dapat menggagalkan panen (Aeny 2006). Di Taiwan dilaporkan kehilangan hasil oleh Ralstonia solanacearum berkisar antara 5% sampai 55% pada musim panas, bahkan di India kehilangan hasil mencapai 10% sampai 100% (AVRDC 2005 dalam Sasmito 2007). Sebagai patogen tular tanah, Ralstonia solanacearum menginfeksi pada bagian akar, bergerak secara sistemik melalui xylem, bersifat nonmotil pada tanaman, namun pada media pertumbuhan bersifat motil (Kersten et al. 2001) dan menyebabkan gejala layu yang seringkali hingga letal (Denny & Hayward 2001). Bakteri menyebar melalui air tanah, benih yang terinfeksi atau terkontaminasi, luka yang terbentuk pada saat pemindahan tanaman, melalui alat-alat pertanian yang terkontaminasi (Denny & Hayward 2001), dengan bantuan nematoda penghuni akar dalam penetrasinya (Walker 1957) serta lubang alami atau stomata (Handayani 2005). Agrios (2005) mengemukakan bahwa bakteri masuk dalam pembuluh xylem dan menyebar ke seluruh bagian tanaman. Dari jaringan xylem bakteri berpindah menuju ruang antar sel (Walker 1957) dari parenkim di dalam korteks dan jaringan gabus, kemudian merusak dinding sel dengan menghasilkan polimer sakarida yang dapat menyumbat jaringan hingga menyebabkan tanaman menjadi

layu (Walker 1957). Sel-sel tanaman yang rusak tersebut kemudian terisi dengan masa lunak bakteri (ooze) dan sisa-sisa sel tanaman sehingga menyebabkan terhambatnya translokasi hara dan mineral dari dalam tanah. Respon fisiologi dari perubahan inang tergantung tingkat serangannya (Walker 1957). Tanaman tomat yang terinfeksi patogen ini menyebabkan daun menjadi terkulai ke bawah (layu) dan sistem pembuluh menjadi coklat, batang tanaman akan terus tumbuh tinggi dan kurus (Walker 1957), terbentuk lebih banyak akar adventif di permukaan batang (Walker 1957) sampai pada ruas tempat terbentuknya bunga pertama (Semangun 2004). Jika batang, cabang, atau tangkai daun dibelah akan tampak berkas pembuluh berwarna coklat, empulur sering juga berwarna kecoklatan (Anonim 1976 dalam Semangun 2004). Pada stadium penyakit yang lanjut, bila batang dipotong, dari berkas pembuluh akan keluar massa bakteri seperti lendir berwarna putih susu. Lendir akan lebih banyak keluar bila potongan batang ditaruh di tempat yang lembab. Jika potongan batang sakit dimasukkan ke dalam gelas yang berisi air jernih, setelah ditunggu beberapa menit akan terlihat benang-benang putih halus, yang akan putus bila gelas digoyang. Benang putih tersebut adalah massa bakteri. Adanya massa lendir ini dapat dipakai untuk membedakan penyakit layu bakteri dengan layu fusarium. Karena adanya lendir ini penyakit layu bakteri sering juga disebut penyakit lendir (Semangun 2004). Pengendalian Biologi (Biological control) Menurut Cook & Baker (1974 dalam Yudiarti 2007) pengendalian biologi adalah pengurangan inokulum atau aktivitas patogen penghasil penyakit atau parasit baik dalam bentuk dorman dengan satu atau banyak organisme yang dilakukan secara alami atau dengan cara memanipulasi lingkungan, inang, atau antagonis. Aktivitas penghasil penyakit yang dimaksud yaitu : pertumbuhan, kemampuan menginfeksi, keganasan patogen atau akivitas penghasil penyakit, atau dapat pula berupa proses dari infeksi, perkembangan gejala dan reproduksi patogen. Sedangkan menurut Subagiya (2006 dalam Sasmito 2007), pengendalian hayati pada dasarnya adalah usaha untuk memanfaatkan dan menggunakan musuh alami sebagai pengendali populasi patogen yang merugikan, dengan

memanfaatkan hubungan antagonis antara patogen dan inang baik secara langsung (antibiosis, kompetisi, parasitisme) maupun secara tidak langsung (introduksi mikroorganisme) (Janse 2005). Di dalam pengendalian secara biologi terdapat beberapa komponen antara lain : organisme patogen, organisme antagonis, agen biologi yang berpotensi untuk mengganggu proses kehidupan dari patogen tanaman; Inang, berperan secara langsung untuk menekan atau mengakhiri patogenesis atau reproduksi dari patogen dengan berbagai mekanisme ketahanan tanaman (Cook & Baker 1974 dalam Yudiarti 2007). Berbeda dengan pengendalian kimia, pengendalian secara biologi sangat potensial dengan sasaran yang spesifik, yaitu patogen, tidak merusak lingkungan, dan tidak menimbulkan efek fitotoksisitas (Sigee 1993). Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (PGPR) Rhizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman atau Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) adalah kelompok bakteri menguntungkan yang agresif menduduki (mengkolonisasi) rizosfer (lapisan tanah tipis dengan ketebalan 1-2 mm di sekitar zona perakaran) (Husein at al. 2007), berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman (Podile & Kishore 2006), perlindungan hasil panen, meningkatakan kesuburan lahan (Wahyudi 2009), sebagai tambahan bagi kompos serta mempercepat proses pengomposan (Irmawan 2008). Secara langsung, PGPR merangsang pertumbuhan tanaman dengan menghasilkan hormon pertumbuhan, kelarutan fosfat anorganik (Podile & Kishore 2006) dan meningkatkan asupan nutrisi (Wahyudi 2009). Pertumbuhan tanaman ditingkatkan secara tidak langsung karena PGPR menghasilkan senyawa anti mikroba yang menekan pertumbuhan populasi patogen penyebab penyakit tumbuhan dan mikroorganisme lain yang dapat merusak lingkungan rizosfer (Wahyudi 2009; Podile & Kishore 2006). Strain PGPR yang telah dikenal secara luas yaitu Pseudomonas sp dan Bacillus sp. (Wahyudi 2009). Menurut Irmawan (2008), Aplikasi PGPR mampu mengurangi kejadian dan keparahan penyakit. Beberapa bakteri PGPR yang diinokulasikan pada benih sebelum tanam dapat memberi pertahanan pada tudung akar tanaman. Hal inilah

yang membuat bakteri PGPR mampu mengurangi keparahan dari penyakit dumping-off (Pythium ultimum) di tanaman. Beberapa bakteri PGPR mampu memproduksi racun bagi patogen tanaman, misalnya bakteri Bacillus subtilis mampu melawan cendawan patogen. Kelebihan lain dari PGPR diantaranya : menambah fiksasi nitrogen di tanaman kacang-kacangan; memacu pertumbuhan bakteri fiksasi nitrogen bebas; meningkatkan ketersediaan nutrisi lain seperti phospat, belerang, besi dan tembaga; memproduksi hormon tanaman; menambah bakteri dan cendawan yang menguntungkan, mengontrol hama dan penyakit tumbuhan dengan memproduksi siderofor, kitinase, selulase, antibiotika, sianida (Soesanto 2008). Penerapan PGPR pada rizosfer sangat dikaitkan dengan kemampuannya mengkoloni perakaran tanaman. PGPR harus mampu menyelubungi sepanjang permukaan akar. Karena keaktifan pengkolonian akar tersebut, akar menyerap produk mikroba yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan dan fisiologi akar, disamping mempengaruhi invasi patogen (Soesanto 2008). PGPR juga memiliki beberapa kekurangan, seperti : kekonsistenan pengaruh bakteri PGPR di laboratorium dengan di lapangan kadang-kadang berbeda, bakteri ini harus dapat diperbanyak dan diproduksi dalam bentuk yang optimum baik vialibilas maupun biologinya selama diaplikasikan di lapangan, dan beberapa bakteri PGPR harus dilakukan reinokulasi setelah diaplikasikan di lapangan seperti Rhizobia. Tantangan lainnya berkaitan dengan regulasi atau kebijakan suatu negara. Di beberapa negara, kontrol terhadap produksi agens antagonis ini sangat ketat, walaupun produk tersebut tidak berefek negatif pada manusia (Irmawan 2008). Bakteri Endofit sebagai Agens Hayati Menurut Bacon & Hinton (2006), bakteri endofit adalah bakteri yang mengkolonisasi jaringan tanaman sehat tanpa menyebabkan gejala atau luka pada inangnya. Bakteri ini juga dapat hidup pada bagian tanaman seperti akar, batang, daun dan buah (Simarmata et al. 2007; Bacon & Hinton 2006). Keberadaannya terjadi secara alami, dapat berasosiasi dengan tanaman dalam jangka waktu yang lama, akan tetapi bukan berupa organ spesifik dari tanaman (Bacon & Hinton

2006). Oleh karena itu, bakteri endofit hanya dapat dideteksi dengan mengisolasi pada media agar, namun jumlahnya tidak dapat ditentukan secara pasti (Bacon & Hinton 2006). Bakteri endofit dapat bersifat obligat ataupun fakultatif dalam mengkolonisasi inangnya. Meskipun bakteri ini memiliki kisaran inang yang luas, namun ada beberapa bakteri endofit yang hanya dapat berasosiasi dengan inang dari famili tertentu (Bacon & Hinton 2006). Simbiosis antara tanaman dengan bakteri endofit bersifat netral, mutualisme atau komensalisme (Bacon & Hinton 2006). Simbiosis mutualisme antara bakteri endofit dan tanaman, dalam hal ini bakteri endofit mendapatkan nutrisi dari hasil metabolisme tanaman dan memproteksi tanaman dalam melawan patogen, sedangkan tanaman mendapatkan derivat nutrisi dan senyawa aktif yang diperlukan selama hidupnya ( Tanaka et al. 1999 dalam Simarmata et al. 2007). Bakteri endofit mengkolonisasi relung hidup yang sama dengan patogen tetapi tidak menimbulkan kerusakan pada inangnya (Sigee 1993). Bakteri ini dapat berperan sebagai agens pengendali hayati jika bakteri endofit telah berasosiasi dengan tanaman sebelum patogen menyerang tanaman tersebut (Bacon & Hinton 2006). Cara kerja bakteri endofit sebagai agens pengendali hayati antara lain : memproduksi bahan campuran anti mikroba; kompetisi ruang dan nutrisi; kompetisi mikro nutrisi seperti zat besi dan produksi siderofor; serta dapat menyebabkan tanaman inang menjadi resisten (Bacon & Hinton 2006). Keanekaragaman spesies bakteri endofit merefleksikan banyaknya cara kerja yang mungkin terjadi untuk melawan patogen, yang memungkinkan patogen memproduksi senyawa antibiotik untuk melawan bakteri endofit tersebut (Bacon & Hinton 2006). Selain sebagai agens pengendali hayati, hampir semua spesies bakteri endofit juga dapat berperan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman, terutama yang menghasilkan hormon pertumbuhan seperti etilen, auksin dan sitokinin (Bacon & Hinton 2006). Bakteri ini juga dapat meningkatkan kandungan zat besi dalam tanah, fosfor dan nitrogen bagi tanaman (Bacon & Hinton 2006). Menurut Xu, Griffith, Patten, & Glick (1998 dalam Bacon & Hinton 2006), efek dari pertumbuhan tanaman tidak terjadi secara langsung. Jika ada patogen yang menyerang tanaman, bakteri endofit lebih fokus untuk mengendalikan penyakit

daripada memacu pertumbuhan. Mekanisme kerja seperti ini juga terjadi jika terjadi tekanan abiotik pada tanaman seperti saat musim kering atau musim dingin. Lazarovits et al. (1997 dalam Bacon & Hinton 2006) menambahkan, bakteri endofit secara tidak langsung dapat memacu pertumbuhan tanaman dengan menambah jumlah produksi fitohormon dan ketersediaan mineral. Beberapa contoh bakteri endofit yang bersifat antagonis terhadap patogen diantaranya : Bacillus subtilis, mampu menekan penyakit layu bakteri oleh Ralstonia solanacearum; Pseudomonas fluorescens; Pseudomonas putida, mampu menekan pertumbuhan patogen tular tanah; Agrobacterium radiobacter, mampu mengendalikan Agrobacterium tumifaciens secara efektif; Erwinia Herbicola, untuk mengendalikan penyakit pascapanen; Serratia marcescens, menghasilkan prodigiosin yang efektif untuk mengendalikan nematoda Caenorhabditis elegans (Soesanto 2008).

You might also like