You are on page 1of 3

SOLUSI ISLAM DALAM KRISIS UPAH BURUH

Oleh : Arim Nasim (Mahasiswa S3 UNPAD dan Sekr. Prodi Akuntansi Universitas Pend. Indonesia) Pendahuluan Usulan gaji Gubernur Bank Indonesia dan pejabat lainnya termasuk para anggota dewan banyak menuai protes, sementara para buruh juga banyak yang melakukan aksi demontrasi menuntut kenaikan UMR atau menolak ketetapan UMR yang rendah yang ditetapkan pemerintah. Masalah upah atau gaji merupakan salah satu masalah yang selalu muncul dalam ketenagakerjaan di Indonesia . Lalu bagaimana solusi islam atas masalah penggajian ini ? Apa peran negara dalam hal ini? Tulisan ini akan mencoba membahas masalah tersebut. Penggajian dalam Sistem Ekonomi Kapitalis Dalam menentukan besar gaji atau upah, perusahaan dituntut untuk memenuhi tuntutan yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan pekerjaan seperti hak-hak buruh dalam pendidikan, kesehatan, libur, cuti (termasuk cuti haid, hamil dan melahirkan bagi buruh wanita), sampai ke penyediaan fasilitas, perumahan, kesehatan, olah raga, dan lain-lain, sehingga komponen gaji dalam sistem ekonomi kapitalis sangat banyak sekali (Lihat tabel di bawah ini) . Upah tetap Upah pokok (biasanya dikaitkan dengan upah minimum), Tunjangan keluarga, Tunjangan masa kerja Berbagai tunjangan Tunjangan makan, Tunjangan transportasi , Tunjangan kesehatan, Tunjangan pendidikan , Bonus prestasi, Insentif untuk pekerjaan per satuan hasil, Tunjangan kerja shift , Tunjangan tugas khusus, Tunjangan perumahan, Lembur hari kerja, Lembur hari Minggu/libur. Potongan-potongan Jamsostek , Pajak penghasilan, Iuran serikat pekerja Tuntutan tersebut sebenarnya muncul seiring dengan paradigma kapitalis yang menyerahkan masalah kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan hari tua serta yang lainnya kepada individu atau swasta bukan menjadi tanggungjawab negara. Pada sisi lain pengusaha dengan prinsip kapitalismenya senantiasa di tuntut untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempedulikan lagi kondisi para buruhnya. Dua kepentingan yang berbeda antara buruh dan pengusaha inilah yang sering menjadi pemicu munculnya masalah buruh dalam sistem ekonomi kapitalis, ditambah lagi dengan sistem kontrak yang sekarang direkomendasikan Undang-undang Ketenagakerjaan atas pesanan atau Rekomendasi IMF dengan labour market flexibility, sehingga saat ini sekitar 60 % pekerja bekerja berdasarkan kontrak yang tidak memberikan jaminan untuk terus bekerja sehingga tidak akan memperoleh kompensasi berupa uang pesangon pada saat terjadinya PHK maupun tunjangan laninnya seperti jamsostek. Penggajian dalam sistem Ekonomi Islam Islam tidak pernah mengenal problema perburuhan. Dalam Islam masyarakat tidak terpecah dua dalam kelas buruh dan kelas pengusaha, proletar dan borjuis, buruh tani dan tuan tanahdan lain-lain. Sebab, mereka yang dikelompokkan dalam kategori buruh itu, dalam Islam seluruhnya disebut dengan ajir (pekerja/buruh). Baik ajir itu dari kalangan terpelajar dan terhormat seperti konsultan, dosen, rektor, insinyur, para direktur yang digaji/diupah, ataupun ajir yang mengeluarkan tenaga, seperti buruh pelabuhan, tukang becak, buruh pabrik dan lain-lain. Baik buruh itu bekerja pada perorangan, kantor swasta / pabrik maupun yang bekerja pada Negara. Jadi semua orang yang bekerja, apapun bentuk pekerjaannya, dalam Islam dinamakan ajir. Orang yang mengupahnya dinamakan musta'jir. Dan bentuk transaksi perburuhan/penyewaan tenaga di dalam Islam dikenal dengan istilah ijaaroh. Di dalam Islam seperti yang disampaikan oleh Abdurrahman Al Maliki dalam Politik Ekonomi Islam (2001:149), ijaaroh didefinisikan sebagai aqad/transaksi atas manfaat/jasa (yang dikeluarkan ajir) dengan memperoleh imbalan (berupa upah/ujroh dari musta'jir). Ini berarti dasar untuk menenetukan Gaji atau upah adalah manfaat (jasa) bukan kebutuhan hidup karyawan atau yang lainnya. Jadi

Upah/ujroh adalah harga atas manfaat yang dikeluarkan tadi. Dari sini kita memahami bahwa setiap buruh atau ajir itu memberikan manfaat yang berbeda-beda sesuai dengan bentuk pekerjaan, pengalaman/keterampilan, latar belakang pekerjaan dan lain-lain, sehingga besarnya upah tidak dapat diseragamkan. Ketentuan ini didasarkan atas Firman Allah SWT dalam surat At Tholaq : 6 "Apabila mereka (wanita-wanita) menyusui anak kalian, maka berikanlah kepada mereka upahupahnya." Dan Sabda Rosululloh SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Ahmad : "Tiga orang yang aku musuhi pada hari kiamat nanti, adalah ..orang yang mengontrak pekerja, kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya sedangkan orang tersebut tidak memberikan upahnya." Islam memerintahkan kepada kedua belah pihak ajir dan mustajir untuk menentukan upah sebelum dilakukan pekerjaan, sebagaimana sabda Rosululloh SAW : "Siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, maka janganlah dia mempekerjakan seorang ajir sampai dia memberirtahukan upahnya" Oleh karena itu dalam pandangan Islam, Negara tidak boleh menetapkan besarnya upah (UMR/UMK), akan tetapi diserahkan kepada kedua belah pihak yang melakukan transaksi. Seandainya muncul perselisihan antara dua belah pihak mengenai (misalnya) upah, maka urusan ini oleh kedua belah pihak atau oleh negara diserahkan kepada para khubaroo (para pakar) yang dapat menentukan ajrun mitsli, yaitu upah yang layak untuk ajir tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi pekerjaannya. Sementara Kepala Negara dalam pandangan islam, bukan pegawai akan tetapi wakil umat dalam melaksanakan hukum syara, oleh karena Kholifah itu tidak mendapatkan gaji melainkan tunjangan (ta'widh) yang besarnya sesuai dengan kebutuhan dia dan yang menjadi tanggungannya secara sederhana dan layak, misalnya Abu Bakar Shidik R.A (Kholifah pertama) mendapat tunjangan sebesar 4.000 dirham pertahun sekitar 11.900 gram perak atau senilai Rp. 83.300.000 per tahun (harga Rp. 7.000 per gram) yang diambil dari Baitul Maal . Akan tetapi Menjelang ajalnya tiba, karena kehati-hatian , Abu Bakar berpesan kepada keluarganya untuk mengembalikan santunan yang pernah diterimanya dari Baitul Maal selama menjabat sebesar 8.000 dirham . Adapun para pejabat dibawahnya menjadi kewenangan kholifah untuk memberikan gaji atau santunan sebagaimana sabda Rosululloh SAW : "Siapa saja yang mengerjakan sesuatu untuk kami dan ia tidak memiliki tempat tinggal, maka ia berhak mendapat tempat tinggal; atau ia tidak punya istri, hendaklah ia menikah, atau ia tidak memiliki kendaraan, maka ia berhak mendapat kendaraan." Peranan Negara Dalam sistem kapitalis, jaminan sosial (pendidikan, kesehatan, tunjangan hari tua) hanya diberikan kepada pegawai Negara, itu pun berasal dari gaji yang dipotong setiap bulannya dan orang miskin dalam bentuk tunjangan kesehatan dan pendidikan yang kadang-kadang tidak mencukupinya. Sementara pegawai swasta jaminan sosial tersebut diserahkan kepada perusahaan atau lembaga tempat bekerja (ini yang menyebabkan beban bagi perusahaan dan sumber perselisihan dengan karyawan) dan peran pemerintah hanya membuat aturan atau perundang-undangan. Sementara dalam sistem Ekonomi Islam, Negara wajib memberikan jamian sosial baik kesehatan, pendidikan maupun hari tua kepada seluruh rakyat baik pekerja maupun pengusaha, orang kaya maupun orang miskin. Disinilah letak keadilan Islam, yang tidak berpihak kepada para buruh saja, melainkan juga terhadap para majikan. Dalam masalah kesehatan kita mendapati dalam sejarah bagaimana perhatian para penguasa Islam terhadap pendidikan dan kesehatan rakyat sangatlah besar. Rasulullah saw. sendiri menjamin kesehatan rakyatnya; beliau membangun tempat berobat dan biaya pengobatan diambil dari Baitul Mal. Demikian pula terhadap pendidikan. Negara akan menyediakan berbagai sarana pendidikan termasuk pengajar yang dibutuhkan. Rasulullah pernah memberikan syarat tebusan bagi tawanan perang untuk memberikan pengajaran kepada kaum muslimin yang buta huruf. Padahal, pada umumnya tebusan adalah berupa harta yang akan dimasukkan ke dalam kas baitul mal. Dalam kasus

yang lain, Khalifah Umar bin Khotob juga pernah memberikan gaji guru taman kanak-kanak sebesar 15 dinar perbulan atau sekitar Rp.5.737.500 per bulan dengan asumsi harga emas Rp.90.000,-. Gaji itu pun diambilnya dari kas baitul mal. Hal ini semua menjadi dalil bahwa negara berkewajiban menyediakan pendidikan dengan biaya berasal dari batul mal. Penutup Itulah sistem penggajian dalam islam dan jaminan sosial yang diberikan oleh islam. Inilah yang seharusnya menjadi acuan kaum muslimin dan para pejabat yang mayoritas muslim baik terkait dengan penggajian maupun sistem ekonomi yang diterapkan dalam mengatasi krisis yang dihadapi saat ini, bukan sistem ekonomi kapitalis dengan pola kehidupan yang materlis dan berlomba-lomba memperkaya diri sendiri tanpa memperhatikan penderitaan rakyat. Bukankah mereka mengerti bahwa setiap perbuatan mereka akan diminta pertanggunganjawaban di akhirat kelak ? Catatan: Penggajian terhadap karyawan biasanya dibedakan antara gaji dan upah, gaji diberikan kepada mereka yang memiliki status karyawan tetap dan memilki jenjang jabatan atau karir sementara upah biasanya diberikan kepada karyawan lepas atau kontrak dan tidak memiliki jenjang jabatan atau karir. Usulan gaji dan tunjangan Gubernur Bank Indonesia untuk tahun 2006 mencapai Rp 2,685 miliar setahun, Deputi Gubernur Senior BI Rp 2,246 miliar setahun, dan Deputi Gubernur BI Rp2,038 miliar setahun, sangat ironis dengan gaji PNS yang rata-rata masih dibawah 2 juta per tahun, dan lebih menyedihkan lagi jika dibandingkan dengan guru kontrak yang masih menerima gaji per bulan di bawah 500 ribu.

You might also like