You are on page 1of 5

BAB IV PEMBAHASAN

1. Apakah diagnosis pada pasien sudah tepat? Pasien ini masuk dari IGD RSUD Arifin Achmad tanggal 11 Maret 2012 pukul 10.20 WIB dari poli kebidanan dengan kista endometriosis + infertil primer 4 tahun a. Kista endometriosis Pasien didiagnosis dengan kista endometriosis. Hal ini berdasarkan keluhan pasien, yaitu nyeri perut bagian bawah dan nyeri dirasakan terutama saat haid dan menjelang haid. Saat haid pasien mengganti pembalut >5x/hari. Hal tersebut juga didukung dengan adanya pemeriksaan USG yang menunjukan kista endometriosis. b. Infertilitas primer Pasien juga didiagnosis infertilitas primer karena pasien telah menikah selama 4 tahun dan tidak ada menggunakan kontrasepsi namun belum pernah memiliki anak.

Diagnosis pasien ini kurang tepat karena status paritas pasien tidak dicantumkan. Jadi, diagnosis pasien yang tepat adalah P0A0 kista endometriosis + infertilitas primer 4 tahun.

2. Kenapa pada pasien dilaparaskopi bukan dilaparotomi? Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Pembedahan untuk tatalaksana endometriosis dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yaitu laparotomi atau laporoskopi operatif. Pasien ini dipilih tindakan dengan laparaskopi operatif laparatomi karena laparaskopi operatif mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan laparatomi. Pertama, lama tinggal di rumah sakit lebih pendek. Rata-rata lama tinggal di rumah

sakit setelah laparoskopi operatif setengah hari sampai dua hari dibandingkan dengan laparotmi yang lama rawatnya 5-7 hari. Kedua, kembalinya aktivitas kerja lebih cepat bila dilakukan tindakan laporotomi, biasanya, penderita kembali sepenuhnya dapat beraktivitas kerja 7-10 hari setelah laparkopi operatif dibandingkan laparotomi yang dapat bekerja kembali setelah 4-6 minggu. Ketiga, biaya perawatan lebih murah.

3. Bagaimana cara terapi hormonal? Dahulu, endometriosis ditatalaksana hanya dengan operasi. Pada kenyataannya, operasi atau kombinasi dengan terapi medis tetap dilakukan untuk semua tahap endometriosis. Dalam 12 bulan percobaan (n = 39), lebih banyak perempuan melaporkan peningkatan gejala setelah operasi excisional (80%) daripada setelah menerima plasebo (32%) (Abbott et al, 2004). Namun demikian, operasi adalah pilihan terapi invasif yang jauh dari ideal , karena 20% dari kasus tidak berespon (Abbott et al, 2004), dan gejala yang berulang tinggi setelah operasi (Milingos et al., 2003). Meskipun data yang langsung membandingkan hasil bedah dan perawatan medis langka, bukti yang ada menunjukkan bahwa operasi tidak memberikan bantuan apapun lebih besar gejala sakit daripada terapi medis (Winkel, 2000). Meskipun perkiraan berbeda-beda, independen, uji klinis acak, dikontrol melaporkan bahwa 51% dari perempuan mengalami kambuhnya gejala yang memerlukan tambahan obat untuk nyeri setelah 1 tahun pembedahan (Hornstein et al, 1997). Laporan lain mengindikasikan bahwa 7%-30% pasien mengalami kambuhnya dalam 3 tahun setelah laparoscopic. Angka ini kira-kira sebanding dengan orangorang yang mengikuti terapi medis: sebuah studi lanjutan jangka panjang saraf GnRH analog terapi melaporkan tingkat berulangnya nyeri 28% pada 2 tahun dan 53% pada 5 tahun setelah penghentian dari terapi (Waller dan Shaw, 1993)

Perawatan bedah untuk endometriosis memerlukan cukup pengalaman dan keahlian dokter bedah, dan karena itu hasil cenderung ketergantungan operator (Winkel, 2000). Selain perbedaan dalam tingkat keterampilan dan pengalaman ahli bedah, variabilitas lebar dalam penampilan endometriotis lesi dapat membuat mereka sulit untuk mengenali. Karena operasi sering gagal untuk menghapus semua lesi

endometriotis, banyak klinikus yang sekarang melihat terapi medis tunggal atau sebelum atau setelah operasi merupakan strategi yang paling efektif untuk mengelola rasa sakit gejala endometriosis (Winkel, 2000). Terapi hormonal yang telah digunakan termasuk non-steroidal anti-inflammatory agen (sebagai terapi lini pertama untuk gejala ringan), androgenic agen (danazol), analogues saraf GnRH, estrogen / progestin gabungan kontrasepsi oral (COCs) dan progestin. Namun, pada pasien ini tidak ada diberikan terapi hormonal baik sebelum ataupun sesudah laparaskopi..

4. Kenapa terjadi Infertilitas pada pasien ini? Endometriosis sedang dan berat dapat mengurangi fertilitas, karena sebagian besar perlekatan di rongga panggul menyebabkan tidak terjadinya ovulasi, menghalangi sperma masuk ke tuba Falopii, dan menghalangi kemampuan tuba Falopii menangkap ovum selama ovulasi. Endometriosis dapat menyebabkan gangguan pada fungsi sistem organ reproduksi yaitu fungsi koitus, sperma, tuba Falopii, ovarium. Endometriosis berhubungan dengan perubahan-perubahan fisiologis alat

reproduksi yang dapat menghambat terjadinya kehamilan. Endometriosis tuba Falopii: Perlengketan tuba Falopii yang luas akan menghambat motilitas dan kemampuan fimbriae untuk menangkap sel telur.

5. Bagaimana kemungkinan pasien ini untuk hamil? Endometriosis Peritoneum Permukaan Dalam Ovarium Kanan Permukaan Dalam Kiri Permukaan Dalam Perlekatan kavum douglas <1cm 1 2 1 4 1 4 Sebagian 1-3 cm 2 4 2 16 2 16 Komplit >1cm 4 6 4 20 4 20

4 Ovarium Perlekatan Kanan Tipis Tebal Kiri Tipis Tebal Tuba Kanan Tipis Tebal Kiri Tipis Tebal <1/3 1 4 1 4 1 4 1 4

40 1/3-2/3 2 8 2 8 2 8 2 8 >2/3 4 16 4 16 4 16 4 16

Berikut adalah skor yang digunakan untuk mengklasifikasikan stadium:9 - Skor 1-5: Stadium I (penyakit minimal) - Skor 6-15: Stadium II (penyakit sedang) - Skor 16-40: Stadium III (penyakit berat) - Skor >40: Stadium IV (penyakit sangat berat)

Dengan ditemukannya kedua tuba tertutup pada bagian distal dengan perkejuan dan nekrosis kemungkina pasien tidak bisa hamil lagi,walaupun ovariumnya masih baik. Bila pasien tetap ingin punya anak pasien disarankan untuk bayi tabung (kecil kemungkinan berhasil) atau mengadopsi anak.

6. Apa saja faktor risiko pasien ini menderita endometriosis? Pasien memiliki siklus menstruasi kurang atau lebih dari 27 hari Masa menstruasi berlangsung selama 7 hari

7. Bagaimana tatalaksana pasien ini selanjutnya?

Pasien sudah dilakukan tatalaksana yang tepat untuk penyakit endometriosisnya, namun untuk TB ekstra paru yakni TB peritoneal yang diderita pasien ini belum ada mendapat tatalaksana. Tatalaksana yang tepat untuk TB ekstra paru adalah pengobatan OAT kategori I. Tuberkulosis peritoneal pada pasien ini merupakan suatu peradangan peritonemum parietal atau visceral yang disebabkan kuman

Mycobacterium tuberculosis. Pasien ini pada tahun 2003, telah didiagnsosis menderita TBC paru, telah mendapat pengobatan OAT, namun tidak tuntas, sehingga penyakit TBC parunya tidak sembuh, bahkan penyebaran Mycobacterium tuberculosis sampai ke peritonea. Pasien ini harus mendapat pengobatan TB Kategori 1 yaitu 2HRZE/4H3R3

selama 2 bulan minum obat isoniazid , rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat isoniaziddan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Pengobatan dengan kategori ini diberikan penderita baru TBC paru BTA positif atau penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat. Dosis obat antituberkulosis (OAT) Obat Dosis harian

(mg/kgbb/hari) INH Rifampisin Pirazinamid Etambutol Streptomisin 5-15 (maks 300 mg) 10-20 (maks. 600 mg) 15-40 (maks. 2 g) 15-25 (maks. 2,5 g) 15-40 (maks. 1 g)

You might also like