You are on page 1of 11

1. LATAR BELAKANG Keadaan Jepang yang mengalami penurunan angka kelahiran sudah menjadi suatu fenomena di dunia.

Perubahan drastis dalam jumlah anggota keluarga di masyarakat Jepang terjadi sesudah Perang Dunia II. Pada tahun 1920-1955 jumlah anggota keluarga rata-rata lima orang perkeluarga, sedang antara tahun 1956-1964 angka rata-rata perkeluarga menyusut menjadi empat orang. Jumlah anggota keluarga di Jepang semakin lama semakin menyusut, dan berdasarkan sensus penduduk tahun 1982 jumlah rata-rata anggota keluarga tinggal 3,20 perkeluarga. Selanjutnya angka itu terus menurun, hingga pada tahun 2010 mencapai angka 2,46. Fenomena terus-menerus turunnya kelahiran anak di Jepang ini, sejak tahun 1990-an dikenal dengan istilah shoushika.1 Shoushika shakai ( , ), dewasa ini menjadi sebuah masalah sosial besar bagi Jepang. Hal ini tumbuh berawal dari meningkatnya jumlah wanita bekerja yang menunda memiliki anak, yang kemudian mengarah pada penurunan pertumbuhan bayi di Jepang. Namun seberapa buruk keadaan yang sebenarnya terjadi, hanya akan terlihat dari data statistik yang menunjukkan perubahan dari beberapa dekade yang lalu sampai beberapa tahun terakhir hingga estimasi di beberapa dekade berikutnya. Berikut data dari Statistical Handbook of Japan 2011 yang dikeluarkan oleh Biro Statistik Jepang. Total populasi Jepang menurut sensus tahun 2010 adalah 128.06 juta penduduk dan menempati urutan ke sepuluh dalam daftar negara dengan populasi terbanyak. Sedangkan kepadatan penduduk Jepang adalah 343 orang/km2 dan menempati urutan ke tujuh dalam dafar negara dengan kepadatan penduduk tertinggi. Namun kini pertambahan populasi Jepang terus melambat sejak tahun-tahun terakhir. Pada tahun 1960-an sampai 1970-an, persentase ratarata pertambahan populasi pertahun adalah 1%. Tetapi selanjutnya, sejak 1980-an persentase tersebut menurun drastis. (Tabel 1) Piramida populasi pada tahun 1950 menunjukkan bahwa Jepang memiliki piramida standar dengan dasar yang lebih lebar. Dewasa ini bentuknya berubah drastis karena angka kelahiran dan angka kematian yang menurun. Tahun 2010, populasi usia tua, yaitu 65 tahun dan keatas, adalah 29,29 juta atau 23,1 % dari total populasi sehingga menjadi persentase usia tua tertinggi di dunia. Di sisi lain, persentase dari usia muda, yaitu usia 0-14 tahun, terus menyusut sejak tahun 1982. Di tahun 2010 pula, populasi usia muda adalah 16,8 juta atau 13,2 % dari dari total populasi sehingga menjadi persentase usia muda terendah di dunia. Sedangkan populasi usia produktif, yakni kisaran umur 15-64 tahun, adalah 80,73 juta atau 63,7 % dari
1

Anwar, Etty N., Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya: Wacana (Ideologi Keluarga Tradisional IE & Kazoku Kokka), Vol. 9 No. 2, Oktober 2007, hlm 203.

total populasi. Berdasarkan proporsi dari total populasi, populasi usia tua telah melewati populasi usia muda sejak tahun 1997. (Grafik 1 dan Tabel 2) Di antara tahun 1971 dan 1973 yaitu baby boom kedua, angka kelahiran mencapai level 19 (per 1000 penduduk). Namun, sejak akhir-akhir tahun 1970-an, angka kelahiran (per 1000 penduduk) terus mengalami penurunan hingga akhirnya mencapai rekor terendah pada tahun 2005 yaitu 8,4. Tahun-tahun berikutnya sempat mengalami naik turun, kemudian di tahun 2009 dan 2010 angka kelahiran stabil pada level 8,5. Penurunan angka kelahiran sebagian dapat juga disebabkan oleh kenaikan usia ibu pada saat melahirkan anak pertama. Rata-rata kenaikan usia ibu pada saat melahirkan anak pertama bertambah dari usia 25,6 pada tahun 1970 menjadi usia 29,9 pada tahun 2010. Angka kesuburan total (rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang ibu) menurun terus sejak mencapai angka di bawah 2,00 pada tahun 1975. Untuk pertama kalinya terjadi peningkatan pada tahun 2006 dalam enam tahun terakhir, dan terus mengalami peningkatan selama tiga tahun berturut-turut. Kemudian pada tahun 2009 angkanya sama dengan tahun sebelumnya dan pada tahun 2010 kembali mengalami peningkatan menjadi 1,39. (Tabel 3 dan Tabel 4) Menurut statistik, pada awal tahun 1970-an, angka pernikahan sempat menembus angka 10 pernikahan (per 1000 penduduk) namun kemudian menurun drastis hingga pada akhir tahun 1980-an sempat mengalami peningkatan. Lalu setelah itu angka terus naik turun walaupun cenderung tidak terjadi perubahan berarti. Dan pada tahun 2010, angka pernikahan adalah 5,5 pernikahan (per 1000 penduduk). Di lain pihak jumlah perceraian mengalami peningkatan sejak tahun 1960-an hingga mencapai puncaknya pada tahun 2002 dengan total 290.000 perceraian dan kemudian menurun. Tahun 2009 kembali meningkat, namun kembali menurun pada tahun 2010, yaitu 251.000 perceraian dan dengan angka perceraian 1,99 (per 1000 penduduk). Rata-rata usia pernikahan pertama di Jepang terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2010 rata-rata usia pernikahan pertama untuk laki-laki adalah pada 30,5 tahun dan untuk wanita adalah pada 28,8 tahun. Penurunan angka pernikahan dan peningkatan usia menikah beberapa tahun terakhir adalah salah satu penyebab penurunan angka kelahiran. (Tabel 5) Sensus penduduk menunjukkan bahwa Jepang memiliki 50,93 juta keluarga pada tahun 2010. Dari jumlah tersebut, 57,1 % adalah rumah tangga inti (orang tua dan anak) dan 31,2% adalah rumah tangga yang berisi satu orang. Dari tabel (Tabel 6) dapat terlihat bahwa jumlah anggota rumah tangga terus berkurang hingga mencapai rata-rata 2,46 orang pada tahun 2010. Sedangkan dari grafik (Grafik 2) dapat terlihat bahwa sejak tahun 1975, jumlah rumah tangga yang berisi satu orang terus bertambah.
2

Permasalahan Kami mengangkat permasalahan ini untuk mengetahui dan mencoba menganalisis mengenai terjadinya shoushika di Jepang. Dengan adanya masalah shoushika mengakibatkan lambatnya laju pertumbuhan penduduk, sehingga populasi generasi penerus berkurang dan menimbulkan keresahan bagi pemerintah Jepang. Terus menurunnya angka rata-rata kelahiran, atau dengan kata lain berkurangnya jumlah anak-anak, dalam jangka panjang dapat mengakibatkan terus berkurangnya jumlah populasi usia produktif yang berperan sebagai tulang punggung pembangunan negaranya. Hal-hal yang ditimbulkan oleh semakin berkembangnya shoushika, mempengaruhi masyarakat di Jepang, tidak hanya dalam segi kependudukan, tetapi juga antara lain dalam segi ekonomi, pendidikan, dan sosial. Adapun pendekatan yang kami gunakan dalam pembahasan shoushika ini adalah perspektif disorganisasi sosial. 2. PERSPEKTIF Perspektif yang dipergunakan dalam pembahasan permasalahan sosial shoushika ini adalah disorganisasi sosial. Adapun karakteristiknya dijelaskan di bawah ini. 2.1 Definisi Melalui perspektif disorganisasi sosial, karakteristik sistem sosial digambarkan satuan yang kompleks dan seluruh komponennya dinamis serta saling bekerja sama. Ketika ada suatu kejadian yang mengubah salah satu komponen dari sistem sosial, maka diperlukan sarana atau penanganan yang tepat sebagai penyesuaian bagi komponen lainnya. Dan disorganisasi sosial ini mengarah pada kurang atau miskinnya penyesuaian antara komponen-komponennya. Berikut ini beberapa pandangan disorganisasi sosial oleh para sosiolog. Cooley: Disorganisasi sosial yakni tidak adanya atau hilangnya standar-standar sosial. Thomas dan Znaniecki: Disorganisasi sosial merupakan kerusakan pengaruh norma pada individu. Ogburn: Disorganisasi sosial adalah bentuk dari tidak meratanya tingkat perubahan budaya; sedangkan bagian-bagian yang berbeda dari suatu kebudayaan memiliki hubungan yang saling terkait atau saling bergantung satu sama lain. Jadi masih ada yang ketinggalan di saat yang lainnya sudah maju. 2.2 Penyebab
3

Secara umum penyebab disorganisasi sosial adalah perubahan sosial yang terjadi dalam suatu kesatuan atau organisasi. Saat perubahan terjadi, terdapat bagian dari sistem sosial yang tidak mampu menyesuaikan perubahan yang ada tersebut, sehingga tidak selaras terhadap yang lain. Disorganisasi sosial bisa terjadi ketika sebuah organisasi tidak menjalankan fungsinya di dalam organisasi itu. Disorganisasi sosial dapat menimbulkan keretakan organisasi sosial yang berkelanjutan dan dapat menimbulkan masalah sosial. 2.3 Kondisi Komponen sistem sosial tidak pernah bersifat statis melainkan dinamis. Selalu berkembang mengikuti kemajuan jaman. Jumlah populasi yang meningkat atau sebaliknya, kondisi alam, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketersediaan lapangan kerja dan lain sebagainya, tidak akan selalu sama keadaan lingkungannya. Setiap kondisi yang mengganggu keseimbangan dapat menimbulkan disorganisasi sosial. Kondisi tersebut meliputi teknis, perubahan demografi, atau budaya yang menghasilkan perubahan sosial, yaitu perubahan perilaku dalam hubungan sosial. Kesenjangan budaya (Cultural Lag) merupakan suatu kondisi di mana terjadi kesenjangan antara berbagai bagian dalam suatu kebudayaan. Hal ini disebabkan perubahan pada suatu bidang yang tidak diimbangi perubahan pada bidang lainnya. Tanpa teknologi, perubahan sosial masyarakat akan berjalan lambat, tapi bila tidak dilandasi kekuatan moral dan spiritual, kemajuan teknologi akan mempercepat kehancuran budaya. 2.4 Konsekuensi Perspektif disorganisasi sosial memprediksi akibat dari suatu sistem dan orang yang ada didalamnya. Bagi seseorang, disorganisasi sosial menciptakan tekanan (stress) yang berubah menjadi penciptaan disorganisasi personal contohnya, penyakit mental dan alkoholik. Bagi suatu sistem, disorganisasi sosial mempunyai tiga tipe konsekuensi. Pertama, bisa terjadi adanya perubahan pada sistem (contohnya beberapa respon atau adaptasi bisa membawa bermacam-macam bagian dari sistem kembali ke keseimbangan). Kedua, sistem dapat dilanjutkan untuk menjalankan pada keadaan yang tetap (contoh: disorganisasi bisa saja tetap tetapi bagaimanapun juga sistem berlanjut ke fungsi sosial). Ketiga, sistem bisa saja terganggu (contohnya: disorganisasi bisa sangat mengganggu yang hal itu menghancurkan sistem).
4

2.5 Solusi Menurut Thomas dan Znaniecki, disorganisasi sosial dapat dikurangi dan integritas sistem dapat dipulihkan dengan memperkuat kontrol sosial (yang antara lain dapat berupa pendidikan iman dan moral sejak dini, menjalin komunikasi yang baik dalam keluarga, menerapkan peraturan disertai konsistensi dari para pembuat peraturan itu, dan lain-lain.) Selain itu, dapat pula dengan mendefinisikan kembali norma-norma sehingga perilaku yang dipandang sebagai penyimpangan bisa menjadi normatif yang dapat diterima. Secara singkat disorganisasi sosial menunjukkan kegagalan aturan. Oleh sebab itu, hal ini memerlukan solusi untuk membawa perangkat dari sistem sosial kembali ke keseimbangan. Sehingga kehidupan organisasi sosial bisa berjalan normal dan seimbang. Penyelesaiannya bisa juga dengan kompromi atau dengan kekuasaan. 3. ANALISIS 3.1 Definisi Shoushika mengandung arti penurunan tingkat kelahiran atau berkurangnya jumlah anak. Dilihat dari perspektif disorganisasi sosial, shoushika dapat diuraikan kaitannya dengan teori Cooley dan Ogburn. Charles H. Cooley melalui perspektif disorganisasi sosial, mengemukakan bahwa masalah sosial adalah keadaan di mana tidak adanya atau hilangnya standar-standar sosial. Teori Cooley yang berkaitan dengan disorganisasi sosial adalah primary relations.2 Primary relations merupakan hubungan sejumlah orang yang sering berkomunikasi satu sama lain secara langsung (bertatap muka) tanpa melalui perantara dan bersifat informal atau saling mengenal antarpribadi, seperti misalnya keluarga. Ditinjau dari teori Cooley tersebut, maka dapat dikatakan bahwa memudarnya standar sosial untuk membangun keluarga (yaitu berupa banyaknya kasus menunda pernikahan atau bahkan tidak menikah sama sekali), yang merupakan salah satu unsur pendukung keadaan shoushika, bisa disebut sebagai kondisi yang mencerminkan disorganisasi sosial. Sedangkan menurut William F. Ogburn, melalui sudut pandang disorganisasi sosial, makna dari masalah sosial adalah suatu kondisi dari tidak meratanya tingkat perubahan budaya. Sedang budaya itu sendiri terdiri dari bagian-bagian yang berbeda dan saling tergantung satu sama lain (interdependensi). Jika dikaitkan dengan konsep Ogburn, kemunculan shoushika, salah satu faktor yang mengawalinya adalah kemajuan budaya
2

Rubington, Earl dan Martin S. Weinberg, 1989. The Study of Social Problems, Six Perspectives. hlm. 58

teknologi yang sangat pesat, yang kemudian berdampak pada meningginya budaya kerja pada perempuan Jepang. Adanya persamaan hak juga menimbulkan meningkatnya jumlah wanita karier. Namun hal itu tidak diikuti dengan keputusan untuk berkeluarga atau menikah. Keadaan tersebut menggambarkan perkembangan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat tidak diikuti dengan pemikiran membentuk keluarga, karena gaya hidup yang mandiri dan mapan. 3.2 Penyebab Akar penyebab dari disorganisasi sosial pada umumnya adalah karena adanya perubahan sosial. Sebagaimana terjadinya perubahan-perubahan, bagian dari sistem sosial menjadi tidak selaras satu dengan lainnya. Disorganisasi sosial berkenaan dengan kurangnya penyesuaian diri atau buruknya penyesuaian antara bagian-bagian tersebut. Dalam kasus shoushika shakai yang dimaksud dengan perubahan sosial adalah adanya perubahan yang signifikan dari bentuk piramida penduduk standar (dasar yang lebih lebar dari puncak) seperti yang terlihat pada Grafik 1. Perubahan piramida tersebut terjadi karena hal-hal berikut ini: Angka aborsi yang cukup tinggi pada tahun-tahun terakhir sekitar 250.000 per tahun.
Penurunan angka pernikahan. Pada tahun 2010, lebih dari 30% wanita Jepang yang

berusia lebih dari 30 tahun masih belum menikah. Kemungkinan, mereka tidak dapat menemukan pasangan yang sesuai harapan, yang lain tidak menginginkan kehidupan ibu rumah tangga yang mengurus anak dengan suami yang hampir tidak pernah di rumah (yang hidup dan jiwanya terikat pada perusahaan).

Untuk lebih lengkapnya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Penundaan pernikahan (Tabel 5) Penundaan memiliki anak (Tabel 4) Angka kesuburan atau jumlah anak di dalam sebuah keluarga menurun (Tabel 3)

Menurunnya angka rata-rata aktivitas seks di antara pasangan di Jepang. Berdasarkan survei Durex pada tahun 2008, rata-rata pasangan di Jepang hanya melakukan aktivitas seks dalam setahun sebanyak 43 kali, lebih rendah dari setengah angka rata-rata secara global yaitu 103 kali. Sangat rendahnya angka kelahiran di luar nikah di kalangan wanita Jepang modern, hanya sekitar 2% dari jumlah total kelahiran selama beberapa tahun terakhir. Hal ini amat berbeda dengan Amerika Serikat dan Eropa. 3.3 Kondisi Bagian dari sistem sosial tidak pernah selaras dengan sempurna. Meskipun demikian, biasanya ada keseimbangan yang dinamis. Suatu kondisi apapun yang mengganggu keseimbangan bisa mempercepat disorganisasi sosial. Kondisi-kondisi seperti itu termasuk teknis, demografi atau perubahan kebudayaan yang menyebabkan perubahan sosial, antara lain:
Adanya Eugenic Protection Law pada tahun 1948 yang isinya adalah bahwa Jepang

mengizinkan tindakan aborsi dan kontrasepsi dengan syarat dilakukan oleh dokter yang telah dikualifikasi oleh negara dan atas persetujuan sang ibu.
Walaupun seharusnya The Basic Law of Gender-Equal Society dibuat pemerintah dengan

maksud meningkatkan angka kelahiran yaitu agar wanita dapat memiliki kehidupan keluarga dan karir yang seimbang. Namun karena kebijaksanaan ini mempromosikan dua golongan bagi wanita, maka hanya satu yang dapat benar-benar dipilih.
Bagi wanita muda Jepang, apakah itu direncanakan atau tidak, menikah dan mempunyai

anak bisa dikatakan dapat mengakhiri karirnya. Betapapun pemerintah menawarkan berbagai kemudahan agar banyak wanita yang mau mempunyai anak terutama bagi wanita yang masih ingin berkarir, namun tetap saja norma perusahaan dan sosial di Jepang yang sudah berakar masih mempersulit wanita untuk tetap menjalankan karirnya setelah melahirkan, ditambah suami yang enggan membantu dalam mengurus anak.
7

Contohnya ada perusahan-perusahaan di Jepang yang secara tidak langsung menyatakan mereka tidak menerima wanita yang memiliki anak, ketika seorang wanita menikah dan kemudian mempunyai anak, beberapa dari mereka diminta untuk mengundurkan diri atau digantikan posisinya dengan orang lain. Sehingga memaksa mereka melepaskan pekerjaannya.
Dari segi ekonomi biaya perawatan, biaya sekolah, biaya hidup, dan lainnya untuk anak

yang sangat mahal di Jepang menyebabkan menurunnya jumlah kaum muda Jepang untuk mempunyai anak. Kalaupun mereka menikah dan ingin mempunyai anak, mereka hanya memutuskan untuk memiliki seorang anak saja. Karena jika memiliki lebih dari satu anak akan memberatkan mereka.
Sejak bubble economy di tahun 1991, terjadi penurunan kesempatan kontrak kerja

seumur hidup sehingga banyak pria tidak memiliki pekerjaan mapan mereka juga membuat mereka memutuskan untuk menunda pernikahan atau bahkan tidak menikah sama sekali dikarenakan tidak kepastian keuangan. Seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan seorang wanita, maka semakin tinggi pula ekspektasi hidup dan pernikahan baginya. Semakin terpelajar wanita tersebut, semakin lama pula ia menunda pernikahan dan mempunyai anak. Karena wanita tersebut menginginkan pria yang setara atau lebih tinggi pendidikannya, sehingga semakin tinggi pendidikan wanita tersebut, semakin sulit pula menemukan pasangan yang sesuai.
Wanita karir sekarang tidak lagi membutuhkan suami untuk dapat hidup dengan nyaman.

Media Jepang menyebut fenomena parasite single untuk orang dewasa yang bekerja, terutama wanita single, yang memiliki gaji layak dan gaya hidup konsumerisme namun tetap tinggal dengan gratis di rumah orang tua mereka. Wanita sekarang tidak lagi berada dalam paksaan harus menikah.
Pada 2008 White Paper on Gender Equality ditunjukkan bahwa peran pria di Jepang tak

berarti dalam membesarkan anak dapat membuat wanita tidak tertarik menikah. Pria Jepang rata-rata hanya membantu mengurus anak selama 30 menit dalam sehari, angka ini jauh lebih rendah dari standar internasional. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah.

3.4 Konsekuensi Perspektif disorganisasi sosial memprediksi akibat dari suatu sistem dan orang yang ada didalamnya. Bagi suatu sistem, disorganisasi sosial mempunyai tiga tipe konsekuensi. Masalah shoushika shakai termasuk dalam tipe konsekuensi dimana sistem bisa saja terganggu (contohnya: disorganisasi bisa sangat mengganggu yang hal itu menghancurkan sistem). Di bawah ini adalah beberapa konsekuensinya: Populasi negara Jepang yang terus berkurang
Kekurangan tenaga kerja atau usia produktif yang menjadi hambatan berarti bagi

perekonomian Jepang
Semakin besar tanggungan pajak yang harus dibayarkan oleh usia produktif untuk

membiayai para pensiunan (usia 65 tahun ke atas). Ketika sistem pajak pensiun rakyat ini diperkenalkan di tahun 1960 ada 11 pekerja yang membiayai 1 pensiunan. Angka ini terus menurun hingga pada tahun 2010 hanya 2,84 pekerja yang membiayai 1 pensiunan. Ditambah pula karena kekecewaan pada sistem pajak pensiun rakyat ini, hampir 40% dari wiraswasta tidak membayarkan kontribusinya.

Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah.

Menurunnya pendapatan negara karena usia produktif sebagai konsumen primer jumlahnya terus menurun sedangkan usia pensiun yang tingkat konsumerismenya rendah jumlahnya terus bertambah. Jika hal ini terus berlanjut maka di masa depan maka bukan tidak mungkin peran dan pengaruh Jepang di dunia internasional akan melemah. 3.5. Solusi Solusi-solusi yang dilakukan bertujuan untuk memperlambat perubahan teknis. Adanya kontrol sosial dan norma- norma sosial, juga organisasi-organisasi baru dan agensi-agensi baru dapat menjadi solusi agar sistem sosial dapat kembali seimbang. Melalui data-data yang didapatkan, kebijakan pemerintah sebagai solusi terhadap masalah shoushika adalah sebagai berikut:

Child Allowance yaitu bantuan berupa finansial kepada orang tua yang memiliki

anak, antara lain uang bulanan (untuk setiap anak perbulan sebesar 15.000 yen untuk anak di bawah 3 tahun, di atas 3 tahun sebesar 10.000 yen namun untuk anak ke 3, 4, dst sebesar 15.000 yen, dan anak SMP sebesar 10.000 yen) dan bantuan lain.

Child Care and Family Care Leave Law yaitu berupa kebijakan kepada orang

tua yang bekerja agar memiliki jam kerja lebih pendek atau dihindarkan dari lembur juga diijinkan meninggalkan pekerjaan ketika anak sakit. Kemudian juga membangun sistem agar para ayah dapat mengambil ijin cuti mengurus anak dan ijin bagi para pekerja untuk mengambil cuti untuk mengurus keluarga.

Work and Family-Balance Charter and Action Policy adalah bentuk kebijakan

lengkap yang bertujuan membangun sistem yang seimbang antara kehidupan keluarga dan pekerjaan. Kebijakan ini memberikan bantuan kepada ibu ketika hamil dan melahirkan, sampai bantuan kepada baik ibu dan ayah dalam pekerjaannya sebagai karyawan perusahaan ataupun bukan.

The Basic Law for a Gender-Equal Society adalah kebijakan yang mulai

dijalankan di Jepang sejak Juni 1999 yang bertujuan agar wanita dapat memperoleh hak setara dengan pria dalam masyarakat terutama dalam hal karir dan pekerjaan. Tujuannya adalah agar wanita dapat memiliki kehidupan keluarga (menikah dan memiliki anak) dan karir yang seimbang. hidup
10

Berbagai program dan situs perjodohan resmi untuk menemukan pasangan

Berbagai diskon dari toko-toko untuk keluarga besar atau punya banyak anak

4. Kesimpulan Konsep pemikiran atau pandangan kaum perempuan tentang pernikahan telah berubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan tingkat edukasi. Menurunnya jumlah perkawinan dan kelahiran di Jepang saat ini menjadi salah satu masalah utama yang harus segera dicarikan jalan keluarnya, karena penurunan tersebut tidak hanya berdampak buruk pada saat ini saja, tetapi akan semakin buruk di masa depan. Pemerintah juga harus didukung oleh peran serta masyarakat dalam menghadapi masalah ini dengan harapan dapat meningkatkan stabilitas negara yang saat ini tingkat penurunan jumlah penduduknya merosot tajam. 5. Kritik Melalui uraian shoushika shakai di atas, kami menemukan bahwa ada hal-hal yang kontradiksi antara fasilitas yang ditawarkan dengan kondisi realita yang dihadapi, yaitu berupa:

Sampai saat ini solusi-solusi dari pemerintah belum dijalankan secara efektif, seperti sudah diberikannya tunjangan anak namun hal tersebut tidak membuat kaum muda Jepang mau mempunyai anak mengingat kesulitan merawat anak.

Perempuan yang bekerja membutuhan childcare center untuk menitipkan anak, namun walaupun sudah dibangun childcare center tetap saja di banyak perusahaan di Jepang, perempuan menikah tidak bisa mempunyai posisi setinggi para pria (dominasi pria)

11

You might also like