You are on page 1of 81

Potret Negara Maritim Indonesia

Buku Bacaan Bagi Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)

Tim Penyusun : Djuanda Tomo HS, M.Si Mohamad Armansyah, ST Navi Watupongoh, S.IK
i

dicetak dan disebarluaskan oleh : SEKRETARIAT DEWAN MARITIM INDONESIA Departemen Kelautan dan Perikanan 2005

ii

SAMBUTAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN


Secara geografis dua pertiga wilayah negara Republik Indonesia terdiri dari perairan laut yang di dalamnya terdapat + 17.504 pulau. Oleh karena itu Indonesia dikenal oleh dunia Internasional sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia. Pulau-pulau yang ada disatukan oleh perairan laut menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Sejak dahulu bangsa kita dikenal sebagai bangsa dengan jiwa maritim dan semangat kebaharian yang tinggi, sehingga mereka menyebut nenek moyang orang Indonesia adalah pelaut. Namun, sekarang pribahasa nenek moyangku pelaut tidak banyak dikenal oleh para siswa. Melalui buku bacaan ini saya mengajak adik-adik harus lebih banyak membaca buku tentang keberadaan laut kita, agar lebih mengenal potensi sumber daya alam yang terkandung di wilayah laut kita, sebagai potensi ekonomi maritim yang sangat berlimpah ragamnya. Buku bacaan ini akan banyak membantu adik-adik untuk mengenal kekayaan yang ada di laut kita seperti terumbu karang yang indah dan beragam jenis biota di dalamnya. Adanya pengenalan wawasan maritim sejak dini kepada generasi pewaris cita-cita perjuangan bangsa sebagai insan pembangunan yang berjiwa maritim, yang pada gilirannya diharapkan mampu menggali dan mengelola kemaritiman Indonesia. Hadirnya buku bacaan ini merupakan inisiatif dari Dewan Maritim Indonesia, agar pengenalan wawasan kemaritiman sudah mulai digerakkan dari siswa-siswa tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas sebagai generasi penerus untuk mempersiapkan diri menjadi kader-kader yagn berjiwa maritim dimasa depan. Saya percaya, buku ini merupakan sumbangsih untuk merubah pola pikir para siswa agar lebih cinta pada laut.

Menteri Kelautan dan Perikanan

Freddy Numberi

iii

SAMBUTAN SEKRETARIS UMUM DEWAN MARITIM INDONESIA

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa secara geografis Indonesia merupakan salah satu negara maritim di dunia, memiliki pulau sebanyak + 17.504 pulau, panjang pantai + 81.000 km dan 2/3 (dua per tiga) wilayahnya adalah lautan. Laut merupakan potensi sumberdaya maritim yang sangat kaya baik hayati, non hayati maupun energi laut namun selama ini kita telah mengabaikannya. Dengan rasa gembira saya menyambut baik prakarsa sekretariat Dewan Maritim Indonesia (DMI) untuk menyusun dan menerbitkan buku Berwawasan Maritim Republik Indonesia sebagai salah satu bentuk tanggapan partisipatif terhadap Seruan Sunda Kelapa yang dicanangkan oleh Presiden RI pada tanggal 27 Desember 2001 di Jakarta, yang menghimbau agar seluruh rakyat Indonesia kembali membangun negeri maritim dengan 5 (lima) pilar program yang antara lain membangun kembali wawasan maritim. Dengan demikian kemaritiman menjadi sangat penting bagi kelanjutan pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia. Buku Potret Negara Maritim Indonesia ini, merupakan buku bacaan yang mengenalkan wawasan maritim sejak dini kepada generasi pewaris cita-cita perjuangan bangsa sebagai sumber insan pembangunan yang berjiwa maritim, yang pada gilirannya diharapkan mampu menggali dan mengelola potensi kemaritiman Indonesia. Hadirnya buku bacaan ini diharapkan bisa menjadi bahan pengetahuan bagi generasi penerus utamanya kalangan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk mempersiapkan diri menjadi kader-kader yang berjiwa maritim di masa depan. Saya percaya, buku ini merupakan sumbangsih yang berharga bagi pembanguan maritim Indonesia, semoga penerbitan buku ini bermanfaat.

Jakarta, Juni 2005 Sekretaris Umum

Prof. Dr. Ir. Rizal Max Rompas, M. Agr.

iv

KATA PENGANTAR

Kondisi geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia yang strategis terletak didaerah tropis yang diapit oleh dua benua yakni Asia dan Australia dan dua samudra yaitu Samudera Pasifik dan Sumudera Hindia, serta pertemuan dari tiga lempeng besar dunia Eurasia, India, Australia dan Pasifik. Dengan posisi silang yang sangat strategis dan kaya dengan sumberdaya alam yang beranekaragam, hal tersebut merupakan kekayaan yang luar biasa bagi Indonesia. Negara Indonesia 2/3 wilayahnya atau sekitar 5.8 juta merupakan lautan dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km atau sekitar 14% dari panjang garis pantai dunia dan memiliki sekitar 17.504 pulau besar dan kecil. Dengan luas laut demikian, dan dengan pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, Indonesia secara geografis merupakan negara maritim terbesar di dunia. Salah satu keunikan posisi kepulauan Nusantara adalah karena Indonesia terbentuk dari pertemuan tiga lempeng raksasa bumi (earth) yakni lempeng Pasifik, lempeng Eurasia dan lempeng Samudera Hindia-Australia. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau berbagai fenomena alam (earth fenomena) sangat kaya di Indonesia. Fenomena alam yang paling menonjol adalah daerah paparan Sunda yang memiliki laut dangkal di sebelah Barat, wilayah-wilayah dengan palung-palung laut dalam di bagian Tengah (laut Banda) dan daerah paparan Sahul dengan laut dangkal di ujung Timur. Dari Barat sampai ke Timur kepulauan Nusantara terbentang jalur magnetic dan jalur seismic serta jalur anomaly gravitas negatif terpanjang di dunia. Atas dasar susunan geografis yang demikan unik, terbentang lautan luas yang memeluk kepulauan Nusantara dengan kokoh dan dengan variasi jenis-jenis kedalaman laut yaitu laut dangkal dan laut dalam yang memberi keindahan dan aneka ragam biota laut di dalamnya. Gambaran ini memperlihatkan potensi-potensi perekonomian dalam bentuk potensi tambang, Perikanan, ekosistem lindung dan jasa-jasa Kelautan sangatlah besar. Penerbitan buku yang diberi judul Potret Negara Maritim Indonesia yang diperuntukkan bagi siswa didik di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), dimaksudkan untuk membuka wawasan kepada generasi muda akan besarnya potensi-potensi ekonomi

yang dikandung dalam pembangunan dan pengelolaan maritime, dan dapat menjadi alternatif tulang punggung negara yang selama ini sangat bergantung pada pajak. Penulis menyadari bahwa isi buku ini masih jauh dari sempurna karena itu pada kesempatan ini mengharapkan saran-saran konstruktif dari pembaca guna penyempurnaan penulisan buku ini.

Penyusun

vi

DAFTAR ISI

Hal Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan ........................................................................ Sambutan Sekretaris Umum Dewan Maritim Indonesia .................................................. Kata Pengantar ............................................................................................................................. Daftar Isi ......................................................................................................................................... Daftar Gambar .............................................................................................................................. BAB 1 BAB 2 PENDAHULUAN .................................................................................................... PERKEMBANGAN KEMARITIMAN INDONESIA ................................... 2.1 2.2 2.3 BAB 3 Kondisi Kemaritiman Indonesia Sebelum Kemerdekaan .................... Kondisi Kemaritiman Indonesia Sesudah Kemerdekaan .................... Kebangkitan Kemaritiman Indonesia ....................................................... iii iv v vii viii 1 4 5 6 11 13 14 17 19 22 25 27 29 30 36 38 39 40 46

NEGARA KEPULAUAN REPUBLIK INDONESIA ..................................... 3.1 3.2 Letak Geografis dan Kepentingannya ...................................................... Laut Sebagai Pemersatu Bangsa ................................................................

BAB 4

SOSIAL DAN BUDAYA MARITIM ................................................................. 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 Keterbatasan Sistem Sosial Budaya Maritim .......................................... Pelestarian Sumberdaya Budaya Maritim ............................................... Konflik Budaya Maritim ............................................................................... Pengembangan Sosial Budaya Maritim ................................................... Pengembangan Tekhnologi dan Budaya Maritim ................................ Masyarakat Suku Laut dan Otonomi Daerah .........................................

BAB 5

WILAYAH DAN KAWASAN MARITIM ........................................................ 5.1 5.2 5.3 Dimensi Wilayah Maritim ............................................................................ Batas Wilayah Maritim dan Pulau-pulau Terluar ................................ Tipologi Kawasan Maritim ..........................................................................

vii

BAB 6

EKSPLORASI DAN EKSPLOITASI LAUT .................................................... 6.1 Fungsi Laut Bagi Kehidupan Manusia .................................................... 6.2 Potensi Kelautan dan Kemaritiman Indonesia ......................................

47 48 49 55 57 59 62 64 67

BAB 7

EKONOMI (INDUSTRI) MARITIM ................................................................. 7.1 Industri Pelayaran .......................................................................................... 7.2 Industri Perikanan ......................................................................................... 7.3 Industri Pariwisata Bahari .......................................................................... 7.4 Industri Energi dan Sumberdaya Mineral ...............................................

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Peta Indonesia ...................................................................................................... Aspek Alamiah Laut Paling Mempengaruhi Kehidupan Indonesia .... Posisi Geo-Strategis Indonesia ........................................................................ Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) ....................................................... Konsep Pelabuhan dan Zona Perhubungan ............................................... Jaringan Pelayanan Transportasi Laut Antar Pulau (INTERINSULAIR) .............................................................................................. Wilayah Pengembangan Perikanan (WPP) dan Potensi Sumberdayanya ................................................................................................... 60 59 10 14 15 16 58

viii

BAB 1 PENDAHULUAN

Sebagaimana kita ketahui bahwa negara Indonesia kita tercinta ini adalah negara yang memiliki wilayah perairan terbesar di dunia dan dua pertiga dari wilayah kedaulatan negara kita merupakan wilayah perairan. Seyogyanya sektor maritim dapat kita jadikan sebagai salah satu sumber penunjang utama bagi perekonomian masyarakat negara kita sesuai dengan salah satu semboyan yang kita miliki sebagai negara maritim yakni Jalesveva Jayamahe yang memiliki arti Di Laut Kita Jaya. Namun pada kenyataannya sampai saat ini sektor maritim terkesan masih agak tersisihkan baik dalam segi pengaturan, pembinaan dan pengawasan pemerintah maupun dalam segi peminat dunia usaha apabila dibandingkan dengan sektor-sektor perekomian lainnya sehingga berbagai potensi sumber daya dalam sektor maritim yang sebenarnya memiliki prospek penghasilan dan keuntungan yang teramat besar masih belum dapat didayagunakan secara optimal. Hal ini tentu saja tidak terlepas sebagai akibat dari banyaknya permasalahan yang terdapat di seputar dunia maritim yang menimbulkan kesulitan bagi para pengusaha besar, menengah maupun kecil yang telah berkecimpung dalam bisnis maritim untuk memperoleh kemakmuran dari usahanya karena harus senantiasa berusaha mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kondisi ini juga yang kemudian menimbulkan keengganan bagi para calon pengusaha yang berkeinginan untuk mencoba peruntungannya dalam dunia usaha maritim. Di tengah arus globalisasi yang semakin deras melanda dunia, ada beberapa model pembangunan yang dikembangkan. Model pembangunan yang digunakan Indonesia adalah model pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang merupakan suatu model pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhanya. Pembangunan berkelanjutan ini mengandung tiga unsur utama yakni dimensi ekonomi, ekologi dan sosial. Adapun ketiga dimensi pembangunan berkelanjutan tersebut dapat dikemukakan secara jelas pada uraian berikut : a. Pembangunan secara ekonomis dianggap berkelanjutan (an economically sustainable area/ecosystem) jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa (good and services) secara berkesinambungan (on continuing basis), memelihara pemerintahan dari hutang luar negeri pada tingkatan yang terkendali (a manageable level), dan menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim antar sektor (extreme sectoral imbalances) yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi sektor primer, sekunder, atau tersier. 1

b.

Pembangunan dikatakan secara ekologis berkelanjutan (an ecologically sustainable arealecosystem), manakala basis (ketersediaan stok) sumber daya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya dapat diperbaharaui (renewable resources), tidak terjadi pembuangan limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi tercemar, serta pemanfaatan sumber daya tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources) yang dibarengi dengan upaya pengembangan bahan substitusinya secara memadai. Dalam konteks ini termasuk pula pemeliharaan keanekaragaman hayati (biodiversity), stabilitas siklus hidrologi, siklus biogeokimia, dan kondisi iklim. Pembangunan dianggap secara sosial berkelanjutan (a socially sustainable area/ ecosystem), apabila kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan) seluruh penduduknya terpenuhi; terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha secara adil; ada kesetaraan gender (gender equity); terdapat akuntabilitas dan partisipasi politik.

c.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, pengelolaan pembangunan berbasis sumber daya kelautan, secara tekhnis dapat didefinisikan bahwa pembangunan kelautan berkelanjutan (sustainable marine development) adalah suatu upaya pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia, terutama stakeholders, sehingga laju (tingkat) pemanfaatan tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) kawasan pesisir dan laut untuk menyediakannya. Ketentuan tentang wilayah nasional Indonesia menyebutkan bahwa wilayah nasional Indonesia adalah suatu hamparan perairan laut luas dengan berpuluh ribu pulau tersebar di dalamnya, yang merupakan suatu wilayah kesatuan laut dan pulau secara bulat dan utuh termasuk udara diatasnya dan berbentuk wilayah kepulauan yang menyatu. Untuk lebih jelas mengenai batasan pengertian wilayah nasional Indonesia maka kita perlu mengetahui tentang pengertian-pengertian sebagai berikut : Pulau merupakan wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan berada di atas permukaan air pada waktu air pasang minimum selama setahun. Dan kepulauan meliputi suatu gugusan pulau termasuk bagian pulau dan perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, (ekologis), ekonomi, pertahanan, keamanan. Pengertian laut merupakan ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya yang mempunyai kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan ketentuan hukum internasional.

Sedangkan pengertian kelautan meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan di laut yang meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya, landas kontinen termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kegiatan di permukaan laut, dan ruang udara di atasnya. Uraian tersebut di atas memberi gambaran pengertian tentang apa itu Maritim Indonesia. Pengertian Maritim Indonesia adalah suatu lingkungan alam yang terbentuk secara alami, terdiri atas hamparan perairan laut yang luas dengan beribu pulau besar dan tersebar di dalamnya, yang merupakan satu kesatuan laut dan pulau secara utuh dan bulat, termasuk udara di atasnya berikut sumber daya dan lingkungan alam, baik yang berada di atas, di dalam, di dasar maupun yang berada di bawah dasar lautan. Sedangkan maritim itu sendiri merupakan bagian dari kegiatan di laut yang mengacu pada pelayaran/pengangkutan laut, perdagangan (sea-borne trade), dan kepelabuhanan baik nasional dan internasional, dan kemaritiman itu sendiri adalah hal-hal yang menyangkut masalah maritim. Jadi Maritim Indonesia tidak diberi pengertian segala sesuatu yang berkaitan dan berdekatan dengan perairan laut saja, melainkan lebih dari itu. Maritim Indonesia selain mengandung makna segala sesuatu yang berkaitan dan berdekatan dengan perairan laut, juga mencakup makna wilayah kesatuan laut dan pulau secara utuh dan bulat berikut udara di atasnya. Negara maritim berdiri di atas landasan alam dan budaya maritim yang membentuk peradaban maritim yang dicerminkan dalam sistem politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan keamanan. Karena negara maritim merupakan negara yang mempunyai kegiatan maritim dan kekuatan armada laut yang dimilikinya yang memberikan kontribusi penting bagi pembangunan nasional. Sistem politik yang berdasarkan demokrasi politik khususnya mampu menjamin keutuhan seluruh kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah negara, serta tersalur dan terpenuhinya kepentingan-kepentingan masyarakat maritim di lembagalembaga eksekutif dan legislatif. Untuk sistem ekonomi yang berdasarkan demokrasi ekonomi mampu memberikan dorongan dan kemudahan bagi usaha-usaha industri dan jasa maritim dalam arti luas, serta eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut bagi kemakmuran seluruh rakyat, yang sekaligus dapat mengangkat kualitas kehidupan seluruh rakyat di seluruh kepulauan. Dalam sistem sosial-budaya yang menjunjung tinggi harkat manusia dan keadilan serta mampu menumbuhkan semangat cinta laut, membangun tradisi dan perikehidupan masyarakat maritim dan menjadikan laut sebagai penghubung dan pemersatu bangsa. Sedangkan untuk sistem pertahanan-keamanan yang bertumpu pada kekuatan rakyat serta mampu menjamin tegaknya kedaulatan di seluruh wilayah laut dan laut yurisdiksi nasional, serta keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia.

BAB 2 PERKEMBANGAN KEMARITIMAN INDONESIA

Negara maritim Indonesia termasuk negara kepulauan terbesar di dunia dan telah memiliki visi nasional yang dikenal dengan Wawasan Nusantara Bahari, namun dalam perkembangannya kata baharinya ditanggalkan dan hanya menjadi Wawasan Nusantara saja. Mengingat pengertian Wawasan Nusantara diartikan sebagai cara pandang bangsa Indonesia terhadap kedaulatan wilayah dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan, baik wilayah maupun penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang mencakup politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta menjadikannya sebagai geopolitik. Maka rumusan Wawasan Nusantara yang telah dimiliki bangsa Indonesia memerlukan penyempurnaan dengan memasukkan unsur muatan kemaritiman yang lebih proporsional. Nuansa kemaritimannya perlu diberikan porsi yang lebih luas dalam rangka memenuhi cita-cita nasional kita agar Negara Maritim Indonesia kembali menjadi bangsa dan negara bahari secara nyata, seperti pada jaman Sriwijaya dan Majapahit terdahulu. Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia memiliki visi atau cara pandang berdasarkan nilai-nilai kemaritiman, yang pada intinya menggambarkan sikap dan kebijakan suatu negara maritim dalam upaya mensejahterakan rakyat dan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara dengan mendasar kepada sifat dan bentuk kemaritimannya secara profesional, baik sikap dan kebijakannya terhadap dunia luar. Predikat Indonesia sebagai negara maritim, sebenarnya akan semakin lengkap dan mantap dengan tersusunnya Wawasan Maritim Indonesia yang akan berfungsi sebagai acuan dan pemberi arah bagi penentuan strategi dan kebijakan dalam pelaksanaan secara operatif. Salah satu contoh negara maritim adalah negara maritim Britania (lnggris), yang merupakan negara kepulauan di kawasan Eropa dan menerapkan visi maritim secara berhasil dalam upaya mensejahterakan rakyatnya dan membela kelangsungan keberadaan negaranya. Bahkan berkat visi maritim yang dianut tersebut, negara Britania merupakan negara penjajah yang menapakkan kakinya di lima benua, dengan motto terkenalnya Britain Rules the waves. Selanjutnya contoh negara maritim lainnya adalah negara Belanda, suatu negara kerajaan kecil di Benua Eropa. Di mana merupakan suatu negara kontinen (Benua) yang menganut dan menerapkan Visi Maritim dalam penyelenggaraan kebijakan kesejahteraan rakyatnya. Berkat visi maritim yang diterapkannya, telah memiliki jajahan yang luas di benua Asia antara lain Indonesia, dan dari hasil negara jajahannya telah mampu membangun negara Belanda yang makmur melimpah yang terletak di Benua Eropa.

Di Asia ada juga satu negara maritim, yaitu negara Jepang yang dikenal dengan negara matahari terbit, yang merupakan negara kepulauan dimana negara Jepang bervisi maritim dalam penyelenggaraan pemerintahan negaranya. Dapat kita lihat bahwa negara ini telah mencapai kemakmuran yang sederajat dengan negara Eropa dan negara Amerika yang maju, bahkan merupakan satu-satunya negara Asia yang termasuk negara ekonomi maju. 2.1. Kondisi Kemaritiman Indonesia Sebelum Kemerdekaan Bumi nusantara tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdaulat merupakan wilayah kepulauan yang sekaligus merupakan wilayah perairan, di mana wilayah Indonesia terdiri 2/3 bagian keseluruhan wilayahnya adalah perairan. Ketika masyarakat nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil dari berbagai suku bangsa yang menyebar di seluruh wilayah Indonesia, dan merupakan suku bangsa pesisir dan pulau-pulau kecil adalah penduduk yang yang memiliki wawasan maritim yaitu hidup sebagai nelayan yang bermata pencaharian mencari ikan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Semangat kebahariannya diwujudkan dalam perilaku sebagai pelaut, perantau hingga pembajak di laut. Kerajaan-kerajaan suku bangsa yang bertebaran itu belum menyadari bahwa mereka sesungguhnya merupakan penduduk dari satu wilayah kepulauan. Seiring dengan perjalanan waktu, akhirnya pola pemikiran yang demikian berubah. Hal ini terjadi ketika seorang putera bangsa yang bernama Mahapatih Gadjah Mada menyadari ingin menyatukan kerajaan-kerajaan kecil nusantara di bawah koordinasi Kerajaan Majapahit. Tidak dapat dipastikan apakah Mahapatih Gadjah Mada dan Panglima Laut Majapahit, Mpu Nala, sudah memahami geopolitik wilayah perairan kerajaan Majapahit atau belum, tetapi yang jelas, bahwa kehendak mempersatukan wilayah perairan nusantara menjadi satu kerajaan di bawah panji-panji Majapahit merupakan pemahaman akan kondisi geografis Nusantara. Karena alasan itulah wilayah perairan kepulauan ini selanjutnya dinamakan Nusantara oleh Majapahit. Di samping ekspansi politis yang memiliki dampak yang menyangkut strategi dan kebijakan ketahanan wilayah kerajaan tersebut, pemanfaatan laut, sebagai sarana transportasi serta alat pertahanan dimanfaatkan Majapahit sebagai pusat kerajaan, yang negeri asalnya berjumlah berpuluh-puluh baik di pulau Sumatera maupun di pulau Kalimantan. Tindakan politis yang dilakukan Mahapatih Gadjah Mada dapat dikatakan, bahwa Majapahit memiliki visi kemaritiman, meskipun hanya sebatas sebagai sarana transportasi dan ketahanan wilayah. Melalui laut, Majapahit mampu mengkordinasikan negeri asalnya serta melindungi diri dari serangan musuh. Itulah visi kemaritiman Majapahit.

Sistem transportasi perhubungan laut Majapahit konon diambil alih oleh Pemerintahan Hindia Belanda ketika berkuasa di wilayah Nusantara. Melihat kondisi kemaritiman Majapahit dari wilayah serta potensi laut yang luar biasa, maka demi kepentingan Belanda sendiri, Pemerintah Hindia Belanda juga mewujudkan visi kemaritimannya, yaitu dengan menguasai wilayah perairan nusantara mulai dari kawasan Utara yang meliputi wilayah Ternate dan Tidore, kawasan Tengah: Makasar, kawasan Selatan meliputi Batavia dan sepanjang Pantura (Pantai Utara Pulau Jawa). Dengan demikian, bangsa Indonesia perlu memiliki visi yang jelas dan berjangka panjang dalam konteks kemaritiman nusantara termasuk di dalamnya sebuah wawasan kemaritiman nusantara. Tanpa dilengkapi dengan visi, bagaimana suatu bangsa dapat membangun negaranya secara baik dan benar. Demikian pula terhadap manusia, orientasi setiap kehidupan manusia adalah masa depan yang cerah, maka setiap manusia mempunyai visi terhadap dunia yang dihadapi. Manusia yang hidup dalam masyarakat dan bernegara perlu memiliki orientasi tersebut dalam bentuk cara pandang atau wawasan. Jadi cara pandang yang didasarkan pada kemaritiman dalam kehidupan bangsa Indonesia pada hakikatnya berlaku sebagai sebuah visi dalam menghadapi tantangan ke depan. Melalui proses sejarah maritim yang panjang, semangat maritim bangsa Indonesia tidak disadari telah terkikis dan dirubah dengan sengaja oleh sistem pemerintahan Belanda selama 350 tahun. Selama masa Pemerintahan Belanda bangsa kita yang tadinya mempunyai pemikiran yang berorientasi paridigma laut menjadi paradigma daratan (continental). Masyarakat Indonesia pada umumnya tidak lagi memiliki jiwa maritim, dan kehidupannnya lebih berorientasi kepada daratan. Ironisnya lagi, masyarakat juga kurang menyadari bahwa Indonesia secara geografis memiliki berbagai peluang, ancaman, kekuatan, dan kelemahan sebagai negara kepulauan (nusantara) yang berada di antara dua samudera dan dua benua. 2.2. Kondisi Kemaritiman Indonesia Sesudah Kemerdekaan Perkembangan pentingnya kemaritiman Indonesia mulai mendapatkan perhatian sejak tahun 1957, seiring dengan keluarnya pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang perairan Indonesia. Langkah pemerintah itu sangat strategis karena sejatinya 2/3 dari luas wilayah Indonesia adalah perairan dan merupakan satu-satunya negara kepulauan terbesar di dunia (Archipelagic State). Indonesia dikenal sebagai negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan beraneka suku bangsa dan kebudayaan. Secara Implisit penyebutan itu merupakan pengakuan bahwa air (laut) adalah bagian dari wilayah negara dan merupakan pemersatu bagi pulau-pulau (daerah dan penduduknya) yang harus dilindungi oleh segenap bangsa dan negara Indonesia. Hanya 6

saja, yang jadi permasalahan, ungkapan itu belum didukung dengan peraturan perundang-undangan mengingat penentuan batas laut teritorial sampai pada tahun 1957 masih berpedoman pada pasal 1 ayat (1) angka 1 s/d 4 Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939 stb No. 442 yang membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan teritorialnya sendidi-sendiri. Ketika itu, batas laut teritorial kita hanya 3 mil laut yang diukur dari garis pantai pada waktu air surut terendah dan melingkari setiap pulau sehingga mengakibatkan banyak kantong-kantong laut bebas di antara pulau-pulau di Indonesia. Bunyi Pasal 1 ayat (1) angka 1 s/d 4 yaitu : (1) Di dalam aturan ini dan di dalam ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan berdasarkan aturan ini yang diartikan dengan : 1. Laut Territorial Indonesia : I. daerah laut, yang membentang ke arah laut sampai jarak tiga mil laut dari garis air surut pulau-pulau atau bagian-bagian pulau-pulau yang termasuk wilayah Republik Indonesia, dengan pulau-pulau diartikan juga karang-karang, batu-batu karang dan gosong-gosong yang ada di atas permukaan laut pada waktu air surut wilayah Republik Indonesia; di tempat teluk, ceruk laut, muara sungai atau terusan, dalam hal mana Indonesia adalah satu-satunya negara tepi, jarak tiga mil laut itu diukur dari garis lurus, yang memotong lubang dari teluk, ceruk laut, muara sungai atau terusan; jika lubang di maksud melebihi sepuluh mil laut, maka garis lurus itu ditarik melintang teluk, ceruk laut, muara sungai atau terusan, sedekat mungkin pada gerbang masuk pada titik pertama di mana lebar lubang itu tidak melebihi sepuluh mil laut; di tempat kelompok yang terdiri dari dua atau lebih pulau-pulau, jarak tiga mil laut diukur dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terjauh garis-garis air surut dari pulau-pulau yang terletak pada bagian luar kelompok, di tempat mana jarak antara titik-titik itu melebihi enam mil laut; di tempat selat-selat yang menghubungkan dua laut terbuka dan dalam hal mana Indonesia adalah satu-satunya negara tepi, dianggap sebagai laut territorial bagian dari selat yang terletak di antara dua garis sebelah menyebelah selat yang menghubungkan kedua tepi sedekat mungkin pada laut terbuka , pada titik pertama dimana lebar selat tidak melebihi enam mil laut, walaupun lebar selat di bagian lain antara kedua garis itu melebihi enam mil laut;

Dengan pengertian bahwa : A.

B.

C.

D.

di tempat selat yang menghubungkan dua laut terbuka yang lebar selatnya tidak melebihi enam mil laut dan dalam hal mana Indonesia bukan merupakan satu-satunya negara tepi, maka garis pemisah antara laut territorial Indonesia dengan negara asing, ditarik melalui tengah-tengah selat; daerah laut yang terletak pada sisi laut dari tengah daerah laut yang diuraikan di bawah I, tetapi terletak dalam batas-batas bandar yang ditetapkan;

II.

2.

Daerah laut Indonesia (perairan territorial) : laut territorial Indonesia, termasuk bagian laut territorial yang terletak pada bagian sisi darat dari : a. b. laut pantai; daerah air teluk-teluk, ceruk-ceruk laut, muara-muara sungai dan terusan;

3.

Perairan pedalaman Indonesia : semua perairan yang terletak pada bagian sisi darat dari laut territorial Indonesia, termasuk sungai-sungai, terusan-terusan dan danau-danau dan rawa-rawa di Indonesia.

4.

Daerah air Indonesia : laut territorial termasuk perairan pedalaman Indonesia;

Pengertian di atas tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam alinea keempat UUD45 yang dalam rumusannya telah menegaskan bahwa negara Indonesia mempunyai fungsi, sekaligus mempunyai tujuan yaitu : melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pemerintah Indonesia telah mensosialisasikan wilayah perairan Indonesia melalui pengumuman pemerintah tanggal 13 Desember 1957 yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda. Secara yuridis formil pengumuman pemerintah itu dituangkan dalam Undangundang No. 4/Prp 1960 tentang Perairan Indonesia. Disahkannya Undang-undang itu, tentu merupakan keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia, mengingat dalam perkembangan hukum internasional banyak negara pantai yang berjuang menentukan wilayah lautnya lebih dari tiga mil laut. Bagi kita ini menjadi bukti kesatuan wilayah (laut dan daratan) negara Indonesia, mengingat sebelumnya laut di antara pulau yang tadinya merupakan laut bebas telah tercakup dan dinyatakan sebagai perairan pedalaman Indonesia.

Dimasukkannya bekas laut bebas menjadi perairan pedalaman Indonesia, menjamin berlakunya seluruh peraturan perundang-undangan Indonesia dalam yurisdiksi (secara hukum) bekas laut bebas tadi, sehingga membatasi hak-hak negara lain, dengan ketentuan pengakuan atas lalu lintas damai bagi kapal-kapal asing untuk melintasi laut wilayah 12 mil laut dan perairan pedalaman Indonesia dari laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya, serta dari laut bebas ke laut bebas. Keberhasilan perjuangan tersebut, berarti beban dan tanggung jawab pemerintah Indonesia di wilayah perairan semakin besar dan berat dengan bertambahnya luas wilayah perairan Indonesia dari 3.7 juta km menjadi 5.8 juta km. Perjuangan dan keberhasilan ini merupakan bukti adanya kesatuan wilayah (laut dan daratan) negara Indonesia, sebab yang tadinya merupakan laut bebas, dengan diundangkannya Undangundang tersebut perairan pedalaman Indonesia menjadi bagian dari wilayah negara kesatuan Indonesia atau wilayah perairan semula hanya memiliki 3 mil laut menjadi 12 mil laut. Saat ini laut tak bisa terlepas dari berbagai konvensi internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memfasilitasi pendirian IMO (International Maritime Organization). Organisasi ini memiliki motto Safer Shiping (Keselamatan Kapal), dan Cleaner Ocean (Perlindungan dan Kelestarian Laut), yang mencerminkan masalah yang menjadi cakupan tugasnya. Selain United Nation Convention Law of the Sea (UNCLOS), yang telah disebutkan di atas, ada beberapa konvensi penting di bidang maritim. Salah satunya adalah konvensi tentang keselamatan jiwa di laut yaitu Safety of Life at Sea (SOLAS). Konvensi tentang hal ini telah beberapa kali diselenggarakan, perubahan terakhir pada tahun 1974 (konvensi ini dikenal sebagai SOLAS 1974). Sebagaimana diketahui bersama bahwa bangsa Indonesia pernah memiliki kejayaan dalam bidang kelautan. Sejarah menunjukan bahwa nelayan-nelayan kita dengan menggunakan perahu phinisi telah mengarungi lautan dan mendarat di bumi Afrika, jazirah Arab, India dan Cina. Akan tetapi kesadaran bahwa Indonesia merupakan suatu Negara Kepulauan sesungguhnya masih belum terlalu lama, yaitu sejak Perdana Menteri Djuanda, yang mengeluarkan suatu konsep geopolitik maritim, pada 13 Desember 1957 yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Djuanda.

Gambar 1. Peta Indonesia

Sumber : BAKOSURTANAL
Dapat dibayangkan bahwa wilayah laut di antara dua pulau yang berada lebih dari 3 (tiga) mil dari garis pantainya merupakan wilayah internasional, yang dapat digunakan secara bebas oleh negara manapun tanpa izin berlayar dari Indonesia. Kondisi ini tentunya sangat menyulitkan administrasi pemerintahan dan politik sebagai negara kesatuan. Setiap selat antara dua pulau hampir dapat dipastikan merupakan perairan internasional, sehingga menyebabkan wilayah Indonesia terpecah menjadi beberapa fraksi, seperti fraksi Jawa - fraksi Sumatera fraksi Celebes dan seterusnya. Ditambah lagi dengan tekanan politik nasional pada waktu itu memang sangat lokal sesuai dengan tanah asalnya seperti Yong Java, Yong Sumatera, Yong Celebes dan lain-lain. Menyadari hal ini maka Perdana Menteri Djuanda tepat pada tanggal 13 Desember 1957 menyatakan deklarasinya yang berbunyi sebagai berikut : Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas dan lebarnya adalah bagian wajar dari wilayah daratan Negara Republik Inoonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari pada perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indoneisa akan ditentukan dengan Undang-Undang. Pada akhirnya melalui perjuangan diplomasi yang gigih tak kenal lelah selama hampir 25 tahun, maka pada sidang UNCLOS PBB tahun 1982 usulan Djuanda diterima bahkan dijadikan konsep tentang negara kepulauan dan mewarnai pasal-pasal UNCLOS

10

(Konvensi Hukum Laut 1982). Pada tahun 1985 keputusan sidang PBB tersebut kemudian diratifikasi dalam bentuk Undang-Undang No. 17 tahun 1985. Pasal-pasal dalam UNCLOS 1982 tersebut memberikan hak kepada Indonesia sebagai negara kepulauan dan tentunya merupakan peluang Indonesia dalam pengaturan untuk memanfaatkan kekayaan laut bagi sebesar-besarnya kepentingan negara dan rakyatnya. Selain hak dan peluang untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan laut, Indonesia juga dikenakan kewajiban-kewajiban internasional yang harus dipenuhi berdasarkan UNCLOS 1982. Indonesia perlu membuka wilayah lautannya untuk dapat dilalui oleh kapal asing yang biasa dikenal dengan nama ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Selain itu juga diamanatkan untuk merubah dan menyesuaikan peraturan perundang-undangan yang ada. Keberhasilan diplomasi Indonesia di forum internasional tersebut di atas sayangnya kurang diperhatikan dan ditanggapi secara baik oleh para politisi dan birokrat kita. Akibatnya pembangunan sektor kelautan di masa orde baru telah diabaikan dan sangat tertinggal. Terbukti masih belum adanya satupun lembaga keuangan yang mau memberikan pinjaman perbankan berupa kredit kepada para nelayan ataupun pembelian kapal. Oleh beberapa kalangan pada waktu itu yang dipelopori oleh Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) telah dilakukan terobosan-terobosan kecil untuk menggugah kesadaran politik agar lebih seimbang. Pada tahun 1996 telah dicanangkan sebagai Tahun Bahari dan Dirgantara. Dalam kerangka untuk membangun Benua Maritim Indonesia, yang melibatkan seluruh lembaga nasional yang terkait dengan bidang kelautan, termasuk akademisi perguruan tinggi. Upaya tersebut tidak mampu membentuk pemikiran umum yang mampu merubah paradigma dari darat ke laut. Seiring dengan reformasi pembangunan, timbul tuntutan untuk mencari kebijakan pembangunan yang baru dan kebutuhan untuk membangun bidang kelautan sangat besar. 2.3. Kebangkitan Kemaritiman Indonesia Kejayaan Indonesia sebagai bangsa maritim pernah mengalami kemunduran, terlebih setelah masuknya VOC ke Indonesia (1602 M - 1798 M). Salah satu peristiwa bersejarah tentang hilangnya kejayaan tersebut adalah terjadinya perjanjian Giyanti tahun 1755 yang dilakukan oleh Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta. Kedua raja keturunan Mataram tersebut menyerahkan perdagangan laut hasil bumi dan rempahrempah dari wilayahnya kepada Belanda. Keputusan kedua raja yang telah dikendalikan oleh Belanda tersebut memasung kemampuan maritim bangsa Indonesia. Akibatnya terjadi proses penurunan semangat dan jiwa maritim bangsa serta perubahan nilai-nilai sosial dalam masyarakat Indonesia yang semula bercirikan maritim menjadi sifat kedaratan.

11

Hal ini merupakan kemunduran kekuatan bangsa Indonesia sebagai negara maritim terbesar. Pada tahun 1957 Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno mendeklarasikan Wawasan Nusantara di kalangan dunia. Wawasan Nusantara tersebut memandang laut merupakan satu keutuhan wilayah dengan darat, udara, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya tidak boleh di pisah-pisahkan, dan Wawasan Nusantara dijadikan sebagai wawasan kebangsaan yang mengetengahkan azaz Negara Nusantara (archipelagic state). Kemudian memasuki pemerintahan Presiden Suharto untuk memperoleh pengakuan dari dunia internasional telah dilaksanakan perjuangan yang terus menerus di forum internasional dan regional. Sehingga pada tahun 1982 gagasan Negara Nusantara berhasil dan diakui dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS82) serta berlaku sebagai hukum internasional positif sejak 16 November 1994. Pada tahun 1998 Presiden Baharudin Jusuf Habibie semasa pemerintahannya mendeklarasikan visi pembangunan kelautan bangsa Indonesia dalam Deklarasi Bunaken. Inti dari deklarasi tersebut adalah laut merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa Indonesia. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1999 di bawah pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid menyatakan komitmennya terhadap pembangunan kelautan. Komitmen pemerintah terhadap pembangunan di bidang maritim makin menampakan harapan cerah dengan telah dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan dikembangkannya kelembagaan Dewan Kelautan Nasional (DKN) menjadi Dewan Maritim Indonesia (DMI). Kedua lembaga tersebut diharapkan menjadi suatu lembaga yang mampu menjadi wadah untuk mengelola sektor kelautan yang memiliki potensi yang sangat besar, sehingga ke depan dapat dijadikan andalan dalam meningkatkan devisa negara, dan pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi bangsa Indonesia. Salah satu hasil perjuangan dari para pejuang maritim melalui satu komitmen untuk memajukan kemaritiman Indonesia, pada tahun 2001 di bawah pemerintahan Presiden RI Megawati Soekarnoputri mendeklarasikan Seruan Sunda Kelapa, yang intinya mengajak kepada segenap bangsa Indonesia untuk membangun kekuatan di laut, dan selanjutnya atas usulan dari Dewan Maritim Indonesia, Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Keppres Nomor 126 tahun 2001 yang menetapkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Sejarah bahari Indonesia telah mewariskan pengalaman, cita-cita dan perjuangan para bahariwan dalam mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan serta kejayaan bangsa.

12

BAB 3 NEGARA KEPULAUAN REPUBLIK INDONESIA

Peninggalan sejarah pada masa sebelum Masehi berupa bekas-bekas kerajaan Merina yang didirikan oleh para perantau dari Nusantara ditemukan juga di Madagaskar. Hal ini menunjukkan, bahwa nenek moyang bangsa Indonesia pada masa itu telah mampu membangun kapal-kapal layar samudera, melintas samudera sejauh 6500 km sampai di Madagaskar. Jejak kebudayaan prasejarah bercirikan maritim juga ditemukan di kawasan Austronesia, bukan hanya perahu cadik sebagai perahu khas nusantara, melainkan rumpun bahasa Austronesia dimana pengaruh bahasa-bahasa di nusantara terasa sangat kuat dibandingkan dengan pengaruh rumpun bahasa Indochina atau Yunan. Dari penemuan bukti-bukti baru tentang prasejarah Indonesia itu memberikan pemahaman bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah asli bangsa pelaut atau pengembara, dan sejak ribuan tahun sebelum Masehi sudah mengglobalisasi di kawasan Samudera Hindia dan kawasan Samudera Pasifik sebagai pelau-pelaut ulung yang jejak-jejak kebudayaannya masih dapat didikuti sampai sekarang. Dalam sejarah, kepulauan Indonesia sejak abad VII secara ekonomi telah dipersatukan oleh kerajaan Sriwijaya dengan menguasai lalu lintas perdagangan dari Barat dan Timur, Utara dan Selatan di Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan laut Jawa. Pada abad XIII konsep persatuan kepulauan Indonesia secara politik di bawah satu kekuasaan telah diletakkan oleh Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari melalui semboyan Cakrawala Mandala Dwipantara, yang kemudian diwujudkan secara nyata oleh maha Patih Gadjah Mada dari Kerajaan Majapahit pada abad ke XV melalui sumpah Palapanya. Penyatuan Kepulauan Indonesia secara politik dan ekonomi dilanjutkan selama masa penjajahan Belanda sampai Jepang, sehingga ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka yang dimaksud dengan bangsa dan negara Indonesia adalah rakyat dan wilayah yang selama bertahun-tahun dikenal sebagai penduduk dan pulau-pulau dari kepulauan Indonesia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang sebanding atau seluas eropa atau USA, dimana 2/3 luas wilayah kedaulatan terdiri dari laut yang mempunyai wilayah laut yurisdiksi sangat luas dan sangat kaya akan sumber daya alam yang terdiri dari 17.504 pulau dengan panjang pantai 81.000 Km terpanjang ke dua di dunia setelah negara Kanada, serta terletak pada letak geografis yang sangat strategis, yaitu di antara dua benua dan dua samudera. Situasi dan kondisi aspek alamiah demikian menunjukkan bahwa laut adalah alamiah yang paling dominan mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan nasional Indonesia. Oleh karenanya 13

pembangunan nasional seyogyanya dirumuskan dengan mempertimbangkan dan memperhatikan, kekurangan, kelebihan, kerawanan dan keunggulan dari pengaruh alamiah laut. Gambar 2. Aspek Alamiah Laut Paling Mempengaruhi Kehidupan Indonesia

Sumber

Bahan Konsinyir Penyusunan Draft RUU Kelautan

Pada waktu Indonesia merebut kemerdekaan, laut kepulauan Indonesia masih berstatus perairan internasional yang memisah-misahkan wilayah kedaulatan Indonesia. Kondisi demikian sangat mempengaruhi kehidupan politik, ekonomi, sosial-budaya, dan sistem pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia yang hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karenanya, untuk mencegah dan mengatasi kerawanan tersebut Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan, dan Presiden RI pertama, telah memberikan prioritas khusus dalam upaya memperjuangkan status perairan kepulauan tersebut menjadi wilayah tanah dan air Indonesia sebagai satu wilayah kedaulatan utuh dalam NKRI. 3.1 Letak Geografis dan Kepentingannya Posisi geografi Indonesia yang berada pada posisi persilangan dunia, memberikan kedudukan dan peranan strategis bagi Indonesia baik dalam hubungan antar bangsa maupun untuk membangun kejayaannya sendiri. Ditinjau dari aspek sosial ekonomi potensi kelautan Indonesia dapat dikembangkan dan didayagunakan sebagai basis

14

strategis bagi ruang dan kepentingan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu melalui kabinet Gotong Royong yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri selalu mengatakan bahwa, bidang Kelautan dan Perikanan dijadikan salah satu prime mover ekonomi nasional. Potensi kelautan yang dimiliki oleh negara Indonesia diibaratkan sebagai naga sedang tidur (Sleeping Big Dragon) yang perlu dibangunkan sekarang ini untuk mengatasi krisis multidimensi yang sedang melanda negara kita. Gambar 3. Posisi Geo-Strategis Indonesia

Sumber

Makalah Perumusan Kebijakan Penguatan Kelembagaan Dewan Maritim Indonesia di Daerah

Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang memiliki luas wilayah laut 5.8 juta Km, terdiri dari 3.1 juta Km luas laut Teritorial, 2.7 juta Km wilayah laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan garis pantai sepanjang 81.000 Km. Secara keseluruhan wilayah laut Indonesia mencapai 75 % dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu masyarakat internasional mengenal Indonesia sebagai Negara Maritim. Di dalam wilayah laut Indonesia terkandung berbagai potensi sumberdaya yang sangat bervariasi baik hayati maupun nir-hayati. Disamping itu pula keindahan alam laut dengan keanekaragaman biota laut, seperti ekosistem terumbu karang,merupakan aset nasional yang sangat potensial bagi pengembangan industri wisata bahari. Disamping itu pula telah disadari banyak orang, bahwa sumber daya alam yang ada di dalamnya cukup menjanjikan untuk dijadikan sebagai sumber kekuatan ekonomi nasional yang telah mengalami keterpurukan. Sampai saat ini yang menjadi kelemahan dan kekurangan kita dalam memanfaatkan potensi kelautan dengan sebaik-baiknya adalah belum semua sumber daya kelautan disentuh atau dilirik untuk eksplorasi dan eksploitasi oleh

15

pemerintah Indonesia, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dilihat dari sudut pandang geografis, Indonesia merupakan negara yang memiliki posisi yang strategis dalam lalulintas perekenomian dunia, karena terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifik dan Hindia), sehingga membuat masyarakat internasional mengakui Indonesia sebagai persimpangan lintas pelayaran niaga utama (across of the commercial shipping). Karena begitu strategis kedudukan laut kita, maka satu-satunya negara di dunia yang dilalui oleh 3 (tiga) alur laut internasional dan yang dikenal sebagai alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Hal itu pertanda bahwa wilayah perairan laut Indonesia sangat diminati oleh kalangan internasional. Ada aspek positifnya yaitu bertambahnya devisa negara dalam bidang ekonomi suatu kawasan yang dilalui ALKI, tetapi ada pula aspek negatifnya, yaitu dapat mengancam kedaulatan negara Indonesia. Kepentingan kalangan negara luar terhadap potensi wilayah perairan Indonesia, bukan hanya untuk kebutuhan pelayaran, tetapi juga ingin memanfaatkan sumberdaya perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu banyak kapal-kapal asing melakukan pencurian ikan secara tidak sah secara hukum (illegal fishing). Salah satu contoh wilayah perairan Indonesia yang sering menjadi wilayah pencurian ikan secara tidak sah yaitu wilayah laut Papua yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik, sehingga sering dijumpai kapal-kapal ikan milik asing ditangkap oleh petugas pengamanan di laut. Adanya kegiatan pencurian ikan oleh kapal-kapal asing mengakibatkan populasi ikan semakin berkurang dan menimbulkan kerusakan ekosistem laut dan menimbulkan kerugian devisa negara yang sangat besar. Gambar 4 Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)

Sumber

Makalah Perumusan Kebijakan Penguatan Kelembagaan Dewan Maritim Indonesia di Daerah

16

3.2

Laut Sebagai Pemersatu Bangsa Dengan telah berlakunya Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional tahun

1982 (UU No.17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional 1982) selanjutnya pada tahun 1994 Indonesia secara resmi diakui internasional sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah kedaulatan di laut sebesar kurang lebih dua kali lebih besar dari pada wilayah kedaulatan di darat, dan disamping itu juga memiliki hak berdaulat untuk pemanfaatan sumberdaya alam di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia. Saat ini sudah ada sejumlah undang-undang di bidang kelautan, namun belum ada undang-undang yang mengatur tentang kebijaksanaan dan strategi pengamanan dan pemanfaatan laut untuk digunakan sebagai acuan utama bagi semua peraturan perundang-undangan dan rencana pembangunan nasional. Dengan menyadari kenyataan yang ada bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berwawasan nusantara, maka yang harus kita lakukan saat ini untuk menuju bangsa yang maju dan makmur, kita perlu membangun sistem pemerintahan yang berorientasi kelautan (ocean governance) sehingga Indonesia menjadi negara maritim yang maju dan kuat di dunia, mengingat wilayah laut Indonesia merupakan bagian terbesar dari wilayah Indonesia yang mempunyai posisi strategis dari berbagai aspek ekologis, ekonomi, sosial, politik, pertahanan dan keamanan yang diperuntukkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam posisi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diakui secara internasional sebagai suatu negara kepulauan yang memiliki potensi sumber daya alam laut yang sangat besar, kiranya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan bagi kepentingan generasi sekarang dan yang akan mendatang. Dengan memandang laut Indonesia sebagai tali kehidupan dan masa depan bangsa sehingga pengamanan dan pemanfaatannya harus mendapat perhatian yang khusus dan sungguh-sungguh dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Kelautan sebagai kesatuan ruang hidup dan ruang juang bangsa Indonesia diatur dan dikelola dengan tujuan memperkuat wawasan nusantara, mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang maju, tercapainya masyarakat Indonesia yang sejahtera, mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berorientasi kepada keserasian kepentingan antar daerah, nasional dan internasional, membangun ekonomi nasional yang berorientasi pada keunggulan komparatif di bidang kelautan, dan mewujudkan sistem pemerintahan yang berorientasi pada pembangunan kelautan (oceans governance). Pada tahun 1982 di Teluk Montego, Jamaika, terdapat 119 negara yang menandatangani United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang di dalamnya memuat sembilan buah pasal mengenai perihal ketentuan tentang Prinsip 17

Negara Kepulauan. Salah satu pasal dalam Prinsip Negara Kepulauan yaitu memandang laut bukan sebagai alat pemisah, melainkan justru sebagai alat yang menyatukan pulaupulau yang satu dengan lainnya. Prinsip-prinsip tentang fungsi laut sebagai alat pemersatu atau fungsi laut sebagai faktor integritas wilayah inilah yang kemudian hari menjadi wawasan kebangsaan negara Indonesia yaitu wawasan nusantara. Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, laut tidak hanya menjadi alat penghubung antar pulau tetapi juga alat perekat antar pulau-pulau dan suku-suku bangsa yang bersebar dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu lautan Nusantara harus selalu dijaga keutuhannya, karena kalau sampai terpecah-pecah maka fungsinya sebagai alat pemersatu akan hilang.

18

BAB 4 SOSIAL DAN BUDAYA MARITIM

Indonesia memiliki berbagai macam suku, di mana suku-suku yang ada tersebut memiliki adat istiadat yang berbeda. Keanekaragaman suku, agama, ras, adat istiadatdapat menjadi kekuatan atau modal bagi pembangunan nasional, akan tetapi apabila tidak dapat dipelihara dengan baik terutama dalam hal toleransi, keanekaragaman tersebut dapat menjadi penghambat bagi terciptanya stabilitas nasional. Permasalahan yang sering terjadi dalam masyarakat, biasanya ditimbulkan oleh adanya kesenjangan sosial, sehingga sering menimbulkan konflik antar suku, agama, dan ras di masyarakat. Hal semacam inilah yang perlu dihindari dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi masyarakat di daerah perbatasan. Salah satu upaya dalam menangani konflik dapat dilakukan secara adat, tetapi apabila sudah menyangkut stabilitas dan keamanan nasional maka hal tersebut menjadi kewenangan pemerintah. Fenomena sosial budaya bahari di Indonesia sangat kompleks. Hal ini dicirikan dengan beberapa fenomena yang dominan yaitu : kompleksnya kategori atau kelompok sosial yang terlibat dalam kehidupan kebaharian, tumbuh dan berkembangnya sektorsektor dan sub-sub sektor ekonomi dan aktivitas lainnya berkaitan dengan laut, keterlibatan secara tidak langsung kategori-kategori dan hirarki sosial dalam aktivitas kebaharian, saling keterkaitan antar sektor-sektor kehidupan dan internal antar unsur-unsur budaya bahari, sifat homogen dan diversiti unsur-unsur budaya, dan proses dinamika, perubahan dan persisten dari unsur-unsur budaya bahari tersebut. Untuk mempelajari budaya bahari yang kompleks dan relevan, menurut Koentjaraningrat yang dilakukan dengan menerapkan konsep tiga wujud kebudayaan, sedangkan menurut Sanjek konsep kreasi dan dinamika budaya, dan menurut Vayda menerapkan metode penjelasan progresif kontekstual sebagai model deskripsi, penjelasan dan analisis secara empirik. Wujud budaya bahari nelayan ialah sistem budaya (meliputi terutama sistem-sistem pengetahuan, gagasan, keyakinan, dan daftar kebutuhan serta cita-cita dalam kognitifnya), kelembagaan (organisasi, kelompok kerjasama nelayan, hakhak pemilikan/kontrol atas wilayah dan sumberdaya laut), dan teknologi (sarana/ prasarana transportasi laut, sarana penggerak berupa layar, mesin, alat-alat tangkap, perlengkapan fisik lainnya). Selain faktor-faktor internal, fenomena dinamika, perubahan atau bertahannya unsur-unsur budaya maritim juga sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan eksternal terutama pasar regional, nasional dan pasar global, inovasi teknologi, kebijakan-kebijakan pemerintah, intervensi perguruan tinggi, LSM, lembaga donor, dan lain-lain.

19

Proses dinamika yang tidak atau kurang terarahkan seperti dialami selama ini banyak berdampak negatif terhadap kondisi kehidupan ekonomi, konflik sosial, kemerosotan sumberdaya dan degradasi lingkungan laut. Itulah sebabnya ke depan proses dinamika budaya maritim mustinya diarahkan secara bijak dengan pendekatanpendekatan community-based management, co-management dan lain-lain. Kajian literatur tentang sosial budaya bahari di berbagai tempat di dunia termasuk Indonesia (antara lain: Firth, 1975; Acheson, 1981; 1977; Andersen dan Cato Wadel, 1982; Vercruijsse, 1984; Bavinck, 1984; Ushijima dan Cynthia Neri Zayas, 1994; Palsson, 1991; Masyhuri, 1996) serta studi lapangan (field work) intensif, khususnya pada komunitikomuniti pesisir dan pulau-pulau di Sulawesi Selatan, sesungguhnya menunjukkan fenomena sosial budaya yang sangat kompleks, bahkan dalam banyak segi lebih kompleks daripada yang mencirikan kategori-kategori sosial yang hidup di darat dengan berbagai sektor ekonomi atau mata pencaharian hidup seperti komuniti-komuniti petani, peternak, pemburu dan peramu, pekerja jasa dan industri di lingkungan pedesaan dan perkotaan. Kompleksitas sosial budaya bahari tersebut terutama dicirikan pada sekurang-kurangnya lima fenomena. Pertama, kelompok-kelompok sosial kebaharian seringkali bukan sekedar berupa kelompok-kelompok kerja yang merupakan sub-sub komuniti desa, tetapi dalam banyak ukuran bisa dikategorikan sebagai suatu sub-sub etnik (seperti berbagai desa-desa nelayan Bugis, Mandar, Makassar, Madura di kawasan pesisir dan pulau-pulau); bisa merupakan kelompok-kelompok etnik sepenuhnya (seperti berbagai desa nelayan Bajo di Kepulauan Riau, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah), bahkan suatu negara atau kerjaan seperti antara lain Kerajaan Goa hingga abad ke-17 (Mukhlis Paeni 1995), dan Kesultanan Buton (Schoorl, 1984) . Di Eropah dan negara-negara pantai dan kepulauan maju lainnya selain pelayar, nelayan, pengangkut barang dengan berbagai kategorinya, dan marinir, juga dikenal kelompok-kelompok awak kapal pengeruk dasar sungai dan perairan pantai kota-kota, kelompok-kelompok olah ragawan laut antara lain seperti peselancar dan penyelam, kelompok organisasi pencinta lingkungan laut yang anggota-anggotanya berasal dari kota-kota bahkan dari negara-negara berlainan (Ginkel dan Verrips, 1988). Setiap kategori dan level sosial tersebut mempunyai atau dicirikan dengan pola-pola budaya konteks lokal dan global. Kedua, munculnya sedemikian banyak kategori-kategori sosial bahari tersebut tentu dikondisikan oleh tumbuh dan berkembangnya jenis-jenis usaha ekonomi terkait laut cukup banyak dan kaya dengan variasi dan tingkatan skalanya masing-masing. Termasuk dalam sektor-sektor ekonomi kebaharian utama antara lain perikanan, pelayaran/usaha transportasi laut, industri maritim, pertambangan, parawisata bahari, jasa pengamanan wilayah laut dan isinya, dan lain-lain. Terhadap sektor-sektor dan sub-sub sektor ekonomi maritim tersebut oleh pelaku dan pengelolanya (komuniti, kelompok, keluarga, individu 20

atau pengusaha privat) seringkali melakukan berbagai gaya menejemen berupa ekstensifikasi dengan strategi diversifikasi, intensifikasi dengan usaha tunggal, osilasi di antara berbagai sektor ekonomi terkait laut dan dengan sektor-sektor lain. Di Indonesia misalnya selama ini, dalam rangka pengembangannya melibatkan pemerintah, ini seringkali diacukan pada kerangka pengembangan terpadu yang ideal yang menguntungkan setiap sektor, tetapi seringkali juga dilakukan secara parsial yang menjurus pada gejala persaingan dan konflik kepentingan yang pada gilirannya berdampak pada sektor-sektor usaha kecil milik rakyat dengan gaya menejemen tradisionalnya. Ketiga, bahwa selain pelaku dan pengguna langsung, ada banyak kategori-kategori sosial dengan tingkatan-tingkatan sosialnya masing-masing terlibat secara tidak langsung dalam setiap sektor ekonomi kebaharian (pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa laut). Sektor perikanan merupakan sektor ekonomi cukup banyak jenisnya menurut spesis sumberdaya laut dan tipe-tipe teknologi eksploitasi digunakan serta bertingkat-tingkat menurut skala investasi modal usaha yang melibatkan nelayan sebagai pelaku dan pengguna langsung, para pembuat perahu dan alat tangkap, pedagang, pengusaha dan rentenir, koperasi dan bank, pasar dan TPI, pemerintah/instansi terkait, keamanan laut, peneliti dan praktisi dari lembaga perguruan tinggi, pihak donor pembangunan, dan lain-lain. Kategori-kategori sosial dari luar yang tidak terlibat secara langsung dalam pengelolaan dan aktivitas kemaritiman tersebut justru merupakan kekuatan-kekuatan eksternal yang memberi pengaruh dalam menentukan tatanan dan dinamika kehidupan sosial budaya komuniti-komuniti atau kelompok-kelompok sosial kebaharian utama seperti nelayan dan pelayar. Karena itu fenomena masyarakat dan budaya bahari harus dipahami juga dalam konteks eksternalnya. Keempat, fenomena sosial budaya maritim bukan hanya tampak pada aspek-aspek budayanya (sistem-sistem pengetahuan, gagasan, kepercayaan, nilai, norma, bahasa, organisasi sosial, ekonomi, teknologi, pola pemukiman, kesenian) dengan kategori-kategori dan hirarki sosial pendukungnya yang berbeda-beda. Fenomena tersebut yang dicirikan dengan saling keterkaitan internal antara unsur-unsur serta sifat homogeniti dan difersitasnya merupakan kerumitan tersendiri. Fenomena budaya dari setiap kategori atau sub-sub kategori sosial dicirikan dengan karakter kepribadian kebahariannya masingmasing. Setiap kategori sosial sebagai nelayan, kelompok awak kapal angkutan, komuniti pembuat perahu/kapal, kelompok olah ragawan laut, satuan marinir, dan sebagainya bisa menunjukkan karakter budaya bahari berbeda-beda. Bahkan di antara kelompokkelompok nelayan rumpon (Mandar), nelayan bagang (Bugis), penyelam tripang (Bajo, Bugis, Makassar) dan pemburu hiu (Bajo) dari Sulawesi Selatan bisa mencerminkan sikap kepribadian budaya bahari berbeda-beda. Kelima, kompleksitas fenomena sosial budaya bahari ditunjukkan pula dalam proses dinamikanya. Di sana ada perubahan sepenuhnya seperti motorisasi perahu nelayan yang menggantikan fungsi layar dan dayung; ada proses transformasi struktural mengenai

21

kelompok-kelompok kerja nelayan dan pelaut serta jaringan pemasaran; ada proses perkembangan internal seperti perubahan tipe bagang tancap ke bagang perahu melalui bentuk-bentuk transisi bagang rakit/apung di Sinjai (Sulawesi Selatan); dan proses difusi (persebaran) yang menyolok seperti persebaran rumpon dari Majenne (Sulawesi Selatan), bubu dari Buton (Sulawesi Tenggara), sebuah bentuk perahu tradisional dari Kalimantan dimodifikasi menjadi tipe jolloro di Bira (Bulukumba) kurang lebih dua dekade terakhir; dan bahkan seringkali ada manipulasi identitas etnis secara sementara atau permanen seperti dilakukan oleh sebagian besar kelompok-kelompok masyarakat Bajo di manamana dalam rangka adaptasi sosial budayanya; bertahannya tradisi seperti pengetahuan kelautan, pembuatan perahu, dan aturan bagi hasil. Lebih lanjut dalam konteks Indonesia misalnya, di sana ada wacana tentang kearifan lokal (local indigenious) tetapi banyak kontradiksi dengan fenomena eksploitasi sumberdaya secara berlebih dan komersialisasi dengan segala dampak negatifnya bagi kondisi sosial ekonomi, lingkungan dan sumberdaya laut (berdasarkan pandangan etik dan emik). Di sana ada juga fenomena paternalisme yang melibatkan pemerintah, kalangan akademisi dan organisasi non-pemerintah (Ornop) di samping berpengaruh positif dapat juga negatif bagi tatanan dan dinamika sosia budaya lokal. Pengkajian masyarakat dan budaya bahari yang demikian kompleks tersebut, menuntut diperlukannya (1) pendekatan studi/kajian multi dan atau interdisipliner yang melibatkan bukan hanya antropologi tetapi juga disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora lainnya, bahkan non-sosial (seperti perikanan dan kelautan, biologi, ekologi, teknik perkapalan) yang relevan dengan fenomena sosial budaya dan fenomena fisik yang bisa saling interkoneksi dan dikontekskan; dan (2) konsep budaya, model/kerangka penjelasan/analisis yang empirik serta metode koleksi data lebih aplikatif. 4.1 Keterbatasan Sistem Sosial Budaya Maritim Komunitas-komunitas pantai yang hidup dari sumberdaya alam kelautan dengan alam pikiran mereka dan mengembangkan sistem budaya, sistem sosial dan sistem teknologi yang mungkin khas dan berbeda dengan komunitas lainnnya. Kebudayaan mereka akan terus berlangsung melalui pewarisan kepada keturunan secara vertikal dan juga secara horizontal kepada warga masyarakat lain. Pewarisan itu dapat berlangsung secara lisan maupun tertulis, yang kemudian memberi kemungkinan kepada kita untuk mengenal kebudayaan yang mereka pertahankan. Keberadaan pulau-pulau kecil yang dihuni penduduk, meskipun jumlahnya sedikit, selain terdapat persamaan terdapat pula perbedaan budaya di antara komunitaskomunitas kelautan itu, yang sudah pasti menarik perhatian ilmuwan. Akan tetapi penelitian yang mendalam belum menyentuh sebagian besar komunitas yang menghuni

22

pulau-pulau kecil. Sudah saatnya bagi kita untuk berusaha memahami dan menghargai kebudayaan yang telah mereka kembangkan sendiri dari generasi ke generasi. Perubahan-perubahan budaya dapat pula terjadi dengan cepat sekali akibat hubungan-hubungan terbuka dan intensif dengan dunia luar. Akibatnya nilai-nilai budaya mereka lenyap sebelum diteliti dan direkam oleh para peneliti. Ratusan kapal Bugis phinisi yang tersohor itu, pada waktu lalu pernah menjadi pemandangan umum di perairan Indonesia. Kapal yang berbobot puluhan hingga ratusan ton dan bertiang dua serta dilengkapi dengan tujuh layar sekarang sudah tidak kelihatan, karena kedua tiangnya dilepas dan tidak memiliki layar lagi. Kapal Bugis itu kini dilengkapi mesin, lambungnya dibuat lebih kokoh untuk menahan getaran mesin, sementara di buritan dibangun rumah geladak yang besar. Untung saja sudah ada penelitian mengenai phinisi, sehingga sudah sempat direkam dan dapat dilestarikan nilai budayanya. Salah satu bentuk penghargaan itu ialah melalui pelestarian. Suku Bajau yang sebagian besar hidupnya di laut dan bertempat tinggal dalam perahu (rumah perahu). Mereka hidup mencari nafkah di perairan Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, bahkan di sebagian perairan Asia Tenggara. Mereka seringkali berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, sehingga sering disebut dengan sea nomad. Selain suku Bajau, ada masyarakat yang hidup di laut dan di pesisir kepulauan Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan yang kita kenal dengan nama orang laut. Mereka hidup sepanjang tahun di antara laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Kearifan lingkungan masyarakat semacam itu perlu kita pahami termasuk komunitas-komunitas kecil yang hidup di pulau-pulau kecil. Sistem budaya maritim mencakup sistem-sistem pengetahuan, gagasan, keyakinan/ kepercayaan, nilai, dan norma/aturan berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa laut. Sistem pengetahuan meliputi antara lain: Sistem pengetahuan nelayan mencakup : pengetahuan tentang biota laut bernilai ekonomi tinggi, pengetahuan tentang lokasi dan sarang ikan, pengetahuan tentang musim, pengetahuan tentang tanda-tanda (di laut, darat, angkasa/perbintangan), dan pengetahuan tentang lingkungan sosial budaya. Konsep budaya maritim, tidak lepas kompleksitas dari fenomena sosial budaya, terutama berkaitan dengan beragamnya kelompok dan kategori sosial yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan laut serta beragamnya sektor mata pencaharian terkait laut menjadi alasan lebih cocok memilih term budaya bahari daripada term-term budaya maritim dan budaya marin dalam rangka pengkajian ilmiah. Term kedua menurut perasaan linguistik Eropa lebih mengacu kepada kegiatan pelayaran, sedangkan term ketiga diacukan kepada aktivitas menangkap ikan semata (Nishimura, 1976). Jika kedua term asing diaplikasikan secara konsisten,

23

kedua wilayah tersebut akan saling eksklusif, yang berarti bagian-bagian tertentu dari kedua subjeknya tereduksi. Konsep budaya bahari akan mencakup semua fenomena sosial budaya yang kompleks. Dalam rangka deskripsi, penjelasan dan analisis fenomena budaya bahari yang kompleks kiranya lebih memadai jika memanfaatkan konsep tiga wujud kebudayaan (sistem gagasan, sistem sosial, budaya material) dari Koentjaraningrat daripada melakukan reduksi wujud kedua dan ketiga seperti dilakukan para antropolog kognitif (Goodenough, 1961: 522; Keesing, 1981: 68) dan simbolik (Geertz dalam Harris, 1999: 20) ) atau secara berlebihan menekankan pada pertimbangan rasional biaya dan keuntungan (cost-benefit considerations) seperti dilakukan para penganut materialis budaya (Harris, 1999: 19). Sebuah formulasi batasan budaya secara jelas mencakup ketiga wujud tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat yaitu keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980:193). Meskipun konsep moderat seringkali dikritik oleh para penganut kognitivisme dan simbolisme karena dinilai mencakup segalanya, namun konsep tiga wujud kebudayaan justru sebetulnya memadai sebagai model deskripsi atau analisis karena tidak mengurangi dan tidak melampaui fenomena sosial budaya ke atas dan ke bawah. Bahkan kalau mendengarkan perbincangan masyarakat lokal pada semua tingkatan, kebudayaan yang mereka pahami ternyata meliputi tiga wujud seperti dikonsepsikan oleh Koentjaraningrat. Memadainya konsep tiga wujud kebudayaan untuk analisis fenomena sosial budaya juga pernah diungkapkan Ignas Kleden dalam acara seminar pada Kongres Asosiasi Antropologi Indonesia di Hotel Indonesia, 1996. Mengacu kepada konsep tiga wujud dan definisi budaya tersebut, dan budaya bahari difahami sebagai sistem-sistem gagasan/ide, prilaku/tindakan dan sarana/prasarana fisik yang digunakan oleh masyarakat pendukungnya (masyarakat bahari) dalam rangka pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan merekayasa jasa-jasa lingkungan laut bagi kehidupannya. Budaya bahari mengandung isi/unsur-unsurnya berupa sistemsistem pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma/aturan, simbol komunikatif, kelembagaan, teknologi dan seni berkaitan kelautan. Adapun kelemahan-kelemahan dibagi bersama berbagai perspektif berupa asumsiasumsi tentang homogeniti, ketertutupan, totalitas, keseimbangan, normatif, esensialis, abstrak dan general, yang dalam penjelasan tidak atau kurang empirik kiranya bisa diatasi dengan konsep kreasi dan dinamika budaya dari Sanjek dan mode penjelasan kontekstualis progresif dari A.P.Vayda (1988; 1992). Kerumitan fenomena sosial budaya, khususnya budaya bahari, terutama dalam proses dinamika, berubah dan bertahannya

24

sebagaimana digambarkan di muka kiranya dapat dijelaskan dan dianalisis dengan konsep proses kreasi dan dinamika seperti dinyatakan oleh Sanjek (dalam Borofsky, 1994: 313) bahwa kebudayaan is under continuous creation fluid, interconnected, diffusing, interpenetrating, homogenizing, diverging, hegemonizing, resisting, reformulating, creolizing, open rather then closed, partial rather then total, crossing its own boundaries, persisting where we dont espect it to, and changing where we do. Kelihatannya kompleksitas proses kreasi dan dinamika budaya tersebut relatif bisa mengenai semua sisi realita sosial budaya, sehingga perangkat-perangkat proses kreasi tertentu kalau bukan sepenuhnya bisa digunakan sebagai model deskripsi dan eksplanasi dengan konsep atau perspektif budaya tertentu. Tidak menjadi masalah, apakah proses kreasi budaya dimaksudkan oleh Sanjek pada dimensi kognitif dan simbolik, meliputi pikiran dan prilaku, atau ketiga wujud gagasan, prilaku sosial dan material. 4.2 Pelestarian Sumberdaya Budaya maritim

Pada dasarnya sumberdaya budaya masa lalu tidak pernah lengkap. Tingkat keterawatannya rendah, bukan saja karena sebagian besar benda dibuat dari bahan yang mudah rusak, tetapi juga karena pengaruh alam di daerah tropis mudah melapukkannnya. Belum lagi tindakan-tindakan manusia yang merusak, mencuri, memindahkan, dan sebagainya, yang tentu mengurangi nilai kesahihan datanya. Dalam pada itu beberapa aspek kebudayaan masyarakat yang sekarang masih hidup dapat berubah cepat sebagai akibat berbagai pengaruh, dan dapat menyebabkan nilai budaya yang ada dan proses perubahannya tidak sempat dipelajari dan direkam dengan seksama. Selama ini banyak nelayan ilegal lokal dan asing yang datang ke pulau-pulau kecil berpengaruh sedikit dan menjadi korban dari tindakan ilegal mereka. Sudah tentu untuk melestarikan semua itu perlu lebih dahulu dilakukan penelitian agar dapat direncanakan sumberdaya budaya mana dan masyarakat mana yang perlu lebih dahulu diprioritaskan. Upaya pelestarian masyarakat maritim tidak dimaksudkan untuk menghambat perkembangannya tetapi mengangkat mereka ke dalam taraf hidup yang lebih baik, sesuai dengan yang mereka jalankan selama berabad-abad walaupun saat ini terjadi perubahan kebudayaan, mereka tidak perlu meninggalkan jati dirinya sebagai masyarakat maritim, justru kemampuan beradaptasi, kecerdasan dan ketrampilan mereka dapat dijadikan contoh dan disebarkan kepada masyarakat lain. Tujuan pelestarian budaya dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat mereka sendiri dan masyarakat diluar mereka, yang berorientasi kepada kepentingan untuk memupuk jatidiri, dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan, dan tekhnologi.

25

Wujud dan karakteristik budaya komuniti nelayan, diasumsikan bahwa keterlibatan dan hubungan manusia dengan lingkungan lautnya didasari dengan pengetahuan dan gagasannya tentang arti dan fungsi (konsumtif dan non-konsumtif) dari sumberdaya dan lingkungan laut bagi kehidupannya. Gagasan muncul kemudian ialah diperlukannya kerjasama dan kelembagaan untuk mengusahakan berbagai keperluan mutlak (sarana/ prasarana fisik berupa perahu/kapal, sarana eksploitasi sumberdaya, modal, sarana perlengkapan lainnya). Pokoknya pola pengelolaan pemanfaatan sumberdaya dan jasajasa laut melibatkan sistem-sistem budaya (kognitif), kelembagaan (kelompok/organisasi, aktivitas, aturan), sarana dan prasarana pengangkutan dan teknologi eksploitasi sumberdaya (fisik/material). Dinamika budaya maritim Indonesia, meskipun dinamika budaya bahari komunitikomuniti nelayan di Indonesia selama ini tidak atau masih sangat kurang mendapat pengarahan dari pemerintah, namun tampak di mana-mana suatu proses dinamika berlangsung cukup pesat. Tanpa memandang rendah beberapa kearifan lokal masih tersisa, antara lain seperti sasi (Maluku), panglima laut di Aceh, pengelolaan komunal tradisional di Kapuas Hulu (Kalimantan), teknik rumpon nelayan Mandar (Sulawesi Selatan), lembaga kerjasama pengelolaan modal ponggawa-sawi (Sulawesi Selatan), ternyata bahwa proses dinamika, modernisasi dan globalisasi banyak membawa dampak-dampak negatif berupa kemiskinan ekonomi sebagian terbesar penduduk nelayan tradisional skala kecil, konflikkonflik antar kelompok-kelompok nelayan, terkurasnya populasi sumberdaya laut, kerusakan ekosistem laut, terutama terumbu karang. Hal ini adalah akibat dari suatu proses dinamika komuniti-komuniti nelayan yang kurang terarahkan secara bijak, mereka itu closed to the stone, far from the throne menurut Pujo Semedi (2000) atau untuk nelayan Bugis, Makassar dan Bajo, tepatnya dekat ke ponggawa/bos, jauh dari negara. Apa yang perlu dilakukan oleh pihak-pihak berkepentingan seperti pemerintah, kalangan akademisi, LSM, tokoh masyarakat, dan lembaga donor ialah menemukan araharah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan laut secara berkelanjutan, berwawasan lingkungan, untuk kesejahteraan bersama masyarakat. Tumbuhkan pandangan dan kesadaran bahwa sumberdaya laut rentan terhadap ancaman perilakuperilaku tertentu; jadi tanpa perlakuan bijak kondisi sumberdaya laut akan menjadi semakin berkurang/terbatas; manusia harus arif dan bertanggungjawab dalam perilaku pemanfaatan sumberdaya laut; mengubah pandangan budaya dan praktek akses terbuka/ bebas ke penguatan hak-hak pemilikan. Menumbuhkan dan revitalisasi kelembagaankelembagaan tradisional yang menekankan moral pemerataan atau keadilan dalam kesempatan berusaha dan pembagian hasil, pembentukan institusi baru, penguatan atau revitalisasi sistem-sistem tradisional yang potensial berkaitan dengan pengelolaan

26

pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa laut. Dalam wujud teknologi perlu pengembangan teknologi perikanan tangkap ramah lingkungan, pengembangan teknologi budidaya dan semi-budidaya, teknologi pascapanen, serta membangun institusi pasar lokal, regional, nasional dan global yang tidak semata dikendalikan kekuatan-kekuatan eksternal. Karena budaya bahari adalah pragmatis, segala contoh nyata yang memberikan makna praktis bagi mereka niscaya akan dinilai tinggi dan diperebutkan. 4.3 Konflik Budaya Maritim

Secara historis akar konflik kebudayaan Jawa berupa pertentangan budaya antara (1) budaya pedalaman dengan budaya pesisiran, (2) budaya keraton (Mantaraman) dengan budaya rakyat, dan (3) budaya santri dengan budaya abangan. Ketiga konflik ini terjadi bersama-sama, saling terkait, dan saling mempengaruhi. Konflik budaya pedalaman dan pesisiran bermula ketika kekuasaan Demak sebagai pengganti kekuasaan Majapahit menjadi lemah dan akhirnya jatuh ke tangan Pajang (Adiwijaya atau Mas Karabet). Suksesi kekuasaan yang terjadi dari Demak ke Pajang menjadi awal sejarah Jawa bagaimana kaum ulama (agama) terseret ke dalam arus pertikaian politik dan kekuasaan. Kedua tokoh yang paling berpeluang sekaligus berambisi untuk menduduki takhta kerajaan yakni Mas Karebet (Adiwijaya) dari Pajang dan Arya Penangsang dari Jipang, masing-masing mempunyai beking wali, yakni Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Sunan Kudus sebagai guru dari Arya Penangsang sebenarnya merupakan wakil budaya pesisiran yang berhadapan dengan Sunan Kalijaga dan Adiwijaya yang merupakan presentasi dari budaya pedalaman. Kemenangan Adiwijaya membuat pusat pemerintahan bergeser dari Demak, yang berorientasi ke pesisir, beralih ke Pajang yang lebih memilih pedalaman sebagai basis kekuasaan sekaligus basis kebudayaan. Dengan demikian, dominasi pola-pola budaya pedalaman mulai mewarnai kebudayaan jawa. Dominasi budaya pedalaman makin menguat ketika tampilnya dinasti penguasa baru yaitu Mantaram (Mataram) yang menggeser kekuasaan Pajang. Melalui Sutawijaya, pendiri kerajaan Mataram, pusat kekuasaan Jawa sebagai pusat kebudayaan semakin ditarik ke pedalaman. Laut sebagai basis budaya pesisir dan eksistensi wali sebagai salah satu unsur legitimasi kekuasaan mulai diabaikan. Politik kebudayaan jawa Mataram mencoba membuat jarak dengan budaya pesisir dengan meletakan laut sebagai sesuatu yang disakralisasikan, sebagai suatu misteri yang merupakan sumber kekuatan dan inspirasi para raja Mataram sehingga laut menjadi hal yang amat suci, tetapi sekaligus hal ini memencilkan laut (dan pesisir) dari persinggungan budaya yang lebih luas.

27

Kerajaan Mataram menumbuhkan pola pikir budaya dan politik yang selalu berorientasi dengan mitologi, yang hingga saat ini masih mewarnai budaya berpikir penguasa-penguasa kita. Orientasi mitologis ini terlihat dengan dimunculkannya mitos Nyai Roro Kidul (Ratu Kidul) dan munculnya Babat Tanah Jawi yang di dalamnya memuat silsilah pendiri Mataram yang dikaitkan sekaligus mencampur adukkan tokoh mitologis dengan nama-nama nabi. Apa yang terdapat dalam Babat Tanah Jawi sebenarnya merupakan pengulangan dari apa yang dilakukan oleh Ken Arok pendiri Singasari yang memanfaatkan teks sastra (Pararaton) sebagai sarana legitiminasi kekuasaannya. Perbenturan budaya pesisir dan padalaman melahirkan konflik budaya baru, yakni budaya tradisional/rakyat dengan budaya keraton. Ini terjadi ketika budaya pedalaman semakin kokoh dan kekuasaan Mataram membuat benteng budaya baru berupa keraton dan pembagian daerah keraton. Keraton merupakan sentrum dan daerah yang berada di luar keraton (mancanegara, brang wetan, pesisir, dan lain-lain) dianggap sebagai kesenian resmi dan adiluhung, sedangkan kesenian lain di luar wilayah keraton dianggap sebagai seni pinggiran yang secara estetis dan etika di bawah kesenian keraton. Kesenian dalam kosmologis keraton merupakan kesenian yang mengalami sofistikasi, perumitan, pencanggihan, sekaligus pensakralisasian. Kesenian keraton menjadi kesenian yang mengambil jarak sedemikian rupa dengan kebudayaan dan masyarakat di luar keraton. Masyarakat di luar keraton dianggap tabu untuk menyelenggarakan atau melakukan kesenian produk keraton. Tari bedhaya misalnya, merupakan tarian sakral yang hanya boleh dilakukan, dipentaskan, dan ditonton oleh pihak keraton, yang merupakan penguasa. Tari bedhaya sebagai kreasi kesenian keraton memformulasikan diri sebagai sesuatu yang serba halus, hati-hati, selaras, dan teratur. Karena itu, sangat menutup kemungkinan improvisasi. Kesenian keraton di luar wilayah keraton menemukan tandingannnya dengan munculnya kesenian-kesenian baru yang terutama sekali menemukan lahan subur di wilayah pengaruh budaya pesisiran. Muncul kesenian-kesenian rakyat yang merupakan produk dari sistem masyarakat grass-root yang menafikan keteraturan, kecanggihan, dan kerumitan yang menjadi ciri kebudayaan keraton. Timbul kesenian-kesenian tayub, ledek, janger, tandak, ronggeng, dan sejenisnya. Kehalusan, kerumitan, dan keteraturan yang menjadi standar estetika budaya keraton di lawan dengan kebebasan, keekspresifan, dan kebebasan improvisasi. Apabila kesenian keraton bersikap tertutup dan masyarakat suasana yang khusus, maka kesenian rakyat atau pesisiran berlangsung dengan suasana pesta dan hiruk-pikuk yang kemudian menghadirkan suasana yang serba primitif. Dengan demikian estetika kesenian rakyat atau pesisiran secara sadar mendudukkan dirinya sebagai kesenian atau kebudayaan massa. 28

Kebudayaan keraton juga memunculkan fenomena baru di mana pihak penguasa dapat mensahkan kehadiran seorang kreator seni sebagai abdi atau pegawai keraton (penguasa). Hal ini dapat dilihat dengan munculnya pujangga keraton yang digaji untuk berkarya. Produk-produk sastra kepujanggaan seperti misanya Wedhatama, Tripama, dan serat-serat Ronggowarsito merupakan produk keraton yang isinya hampir semua menceritakan dan mengatur perilaku rakyat terhadap penguasa atau perilaku penguasa terhadap rakyat. Pada titik ini kesenian keraton lebih menekankan kesenian atau estetika dalam bingkai politis dan filosofis, sedangkan kesenian rakyat (pesisiran) lebih menekankan pada fungsi ekonomis. Konflik budaya tidak saja terjadi antara kebudayaan rakyat dengan budaya keraton, tetapi juga antara kebudayaan rakyat dengan kebudayaan santri. Kebudayaan santri sebagai kebudayaan baru yang sebenarnya muncul dari daerah pesisiran, tetapi dari lingkungan pengaruh kuat agama Islam menganggap estetika kebudayaan rakyat (yang kemudian disebut pula dengan abangan) sebagai sebuah kesenian yang terlampau primitif. 4.4 Pengembangan Sosial Budaya Maritim

Subyek kajian maritim yang bersifat sosial-budaya adalah segala pemikiran, pandangan, perilaku manusia, beserta segala benda budaya yang terkait dengan kehidupan manusia dalam kaitannya dengan laut. Sebagaimana diketahui, manusia hidup dalam suatu masyarakat, dan di dalamnya membentuk kebudayaan dari waktu ke waktu. Kebudayaan itu senantiasa berada dalam proses dan tegangan antara bertahan dan berubah. Perkembangan ilmu, perkembangan keagamaan dan ideologi, perubahan konstelasi politik, serta menyempit atau meluasnya peluang-peluang ekonomi, semua itu dapat memberikan pengaruh dan menjadi faktor pengubah kepada kebudayaan walaupun pendukung kebudayaan tersebut tetap tinggal dalam suatu lingkungan alamiah yang sama. Dengan catatan ini, kiranya dapat diantisipasi bahwa berbagai masyarakat nelayan ataupun masyarakat maritim pada umumnya, dari waktu ke waktu dapat memperoleh tantangan-tantangan yang berbeda. Dalam satuan yang lebih kecil hal itu dapat disimak pada komuniti-komuniti khusus di dalam suatu masyarakat. Komuniti dalam lingkungan alam-sosial budaya tertentu dapat mempunyai ciri-ciri yang khas, yang sedikit atau banyak berbeda dengan komuniti lain yang sama-sama merupakan bagian dari suatu masyarakat luas yang sama. Sebagai contoh dapat disebutkan bagaimana sebuah masyarakat maritim seperti orang Bugis dapat mengembangkan varian-varian budaya masing-masing di Sape (Bima), Donggala, dan Johor, sebagai fungsi dari faktor-faktor historis dan peluang-peluang berasimilasi.

29

Pandangan dan penyikapan terhadap berbagai masyarakat etnik kelautan Indonesia perlu dibedakan atas dasar tujuan orang menghadapinya. Di satu sisi ada tujuan ilmiah yang sasarannya adalah untuk memperoleh kebenaran-kebenaran ilmiah berupa data dan fakta mengenai peri kehidupan kelautan dalam segala aspek, sedangkan disisi lain terdapat tujuan pelestarian budaya yang dapat ditempuh dengan cara pemberdayaan maupun perangsangan perubahan, sedemikian rupa sehingga kebudayaan itu dapat lestari eksistensinya tanpa harus macet dan tak mampu menghadapi tantangan-tantangan baru. 4.5 Pengembangan Teknologi dan Budaya Maritim Sebagaimana difahami bersama, proses menjadi bangsa Indonesia yang merupakan persatuan dari suku-suku bangsa yang terikat , di dalam suatu kesatuan kenegaraan baru, yaitu Republik Indonesia, mengharuskan adanya restrukturisasi hubunganhubungan lama ke dalam hubungan-hubungan baru. Di antaranya, hubungan perseteruan tradisional harus diubah menjadi hubungan saling memahami, hubungan persekutuan terbatas harus diubah menjadi terbuka,dan semua itu menyangkut hubungan di darat maupun di laut. Demikian pula daerah-daerah jelajah tradisional di laut dari komuniti-komuniti etnik yang berfokus maritim senantiasa dalam proses dinegosiasikan kembali dengan adanya ketentuan-ketentuan hukum nasional maupun internasional. Di samping itu, cara-cara hidup maupun teknologi tradisional yang menunjang kehidupan maritim di sana-sini perlu mendapat penyimakan kembali secara diperhadapkan dengan perkembangan ilmu dan tata ekonomi masa kini. Dalam hal ini manfaat bagi komuniti yang bersangkutan, ditinjau dari segi lahiriah maupun batiniah, senantiasa harus menjadi tolok ukur utama, dan kesetaraan dengan komuniti-komuniti lain menjadi tolok ukur penyertaannya. Pencapaian-pencapaian budaya yang unggul dari masyarakat maritim tradisional kita dapat dibela dengan berbagai upaya intensifikasi maupun ekstensifikasi dengan memanfaatkan ilmu-ilmu baru yang terkait. Namun apabila ada segi-segi budaya yang dirasa tidak relevan lagi (seperti tiadanya kesempatan pendidikan umum bagi anak-anak nelayan) kiranya perlu dirancang suatu pengalihan cara hidup yang diterima oleh komuniti yang bersangkutan. Dalam hal ini perlu dilakukan pendampingan disertai pengkajian mengenai kesiapan mereka untuk berubah. Yang penting, perubahan-perubahan itu harus terasa bergerak dari dalam komuniti itu sendiri, dan dapat dihayati sebagai sesuatu yang meningkatkan taraf kesejahteraan hidup mereka, lahir dan batin. Proses perubahanperubahan itu sendiri merupakan suatu subyek pengamatan, yang darinya kita bersama dapat memperoleh kearifan dan wawasan. Tradisi dan dinamika budaya maritim dalam konteks eksternal dan modern, eksistensi budaya bahari baik dalam bentuk tradisonal maupun dinamikanya hanya bisa dipahami dalam konteks eksternalnya. Seperti halnya

30

prilaku penyelaman teripang oleh nelayan-nelayan Bugis, Bajo dan Makassar dari Sulawesi Selatan tidak cukup hanya difahami dalam konteks sosial budaya lokal, tetapi juga dalam konteks eksternal, karena kenyataan lapangan memang menunjukkan fenomena yang demikian. Pengetahuan dan praktek menyelam mencari tripang bagi mereka bukanlah fenomena baru, melainkan fenomena lama yang bisa dilacak ke beberapa dekade bahkan beberapa abad ke belakang (backward in time) dan melacak jaringan perdagangannya ke luar (outward in space) hingga melampaui batas-batas negara ke pasar ekspor seperti Singapura, Hongkong, Taiwan, RRC, Korea dan Jepang. Pada mulanya nelayan tidak banyak tahu dan memperhatikan spesis teripang karena tidak bernilai. Biota ini mulai dicari ketika kapal-kapal dagang Cina yang ramai berlabuh di Pelabuhan Kota Somba Opu (pusat kota Kerajaan Makassar yang jaya hingga abad ke17) di abad ke-17 mencari komoditi ekspor, termasuk hasil-hasil laut seperti teripang, agar-agar, sirip hiu, sarang burung walet, penyu, dan lain-lain, yang biasa ditukar langsung dengan barang-barang rongsokan: pakaian, tembikar, porselin, lilin, dan lainlain (Macknight, 1976; Sutherland. 1987). Meskipun digunakan nama-nama lokal terhadap spesis-spesis ini, namun kondisi permintaan pasarlah yang banyak menyumbang kepada pengayaan hingga mencapai tidak kurang dari 40 jenis teripang. Demikian juga pedagang Cina-lah yang mengajarkan sorting menurut tingkatan nilai tukar dari yang paling tinggi hingga yang rendah. Pengenalan nelayan pada prilaku dan habitat teripang, pengaktifan fungsi sarana tangkap tradisional dalam situasi modern, terbentuknya varisi baru dalam struktur kelompok kerja nelayan, hubungan-hubungan produksi (ke dalam dan ke luar) dan distribusi (termasuk aturan bagi hasil), semua ini merupakan kontribusi awal dari hubungan dengan dunia luar, dengan pedagang Cina. Pedagang asing tersebut sebetulnya digerakkan oleh fungsi teripang yang konon bagi orang Cina di samping sebagai santapan enak, juga sebagai bahan obat-obatan untuk kesehatan, nutrisi, vitalitas, memperpanjang umur, dan menambah keperkasaan laki-laki (Akimichi, 1996). Meningkatnya jumlah konsumen, pedagang dalam negeri dan dari negara tetangga terlibat dalam jaringan pasar komoditi tersebut mendorong adopsi inovasi perangkat alat selam berupa tangki/tabung gas yang digunakan oleh penyelam dari Pulau Sembilan sejak awal periode 1980-an, dan ditingkatkan lagi di awal periode 1990-an dengan mengganti tangki/tabung gas dengan kompresor. Pada mulanya pengusaha Cina dari Makassar membawa langsung pelatih selam yang kemudian merekrut dua atau tiga pembantu lokal yang lebih dahulu terampil menggunakan perangkat alat selam modern tersebut. Seiring dengan proses adopsi sarana selam modern ialah modernisasi perahu-perahu nelayan dengan pemasangan motor tempel (outboard

31

motor), kemudian dilakukan peningkatan kapasitas muat perahu dengan peningkatan kekuatan mesin dipasang pada bagian dalam bodi perahu (inboard motor). Adopsi inovasi teknologi dan peningkatan kapasitas muat perahu yang berarti peningkatan skala investasi usaha berkonsekuensi pada terjadinya proses penetrasi kapitalisme, transformasi struktural kelompok ponggawa-sawi, dan merosotnya secara drastis populasi teripang dari berbagai spesis dan kerang (mutiara, lola) yang diambil dari kawasan taka-taka Pulau Sembilan. Demikianlah kedua faktor situasi pasar yang tetap membaik dan kondisi terkurasnya sumberdaya laut setempat pada akhirnya mendorong kelompok-kelompok penyelam dari Kambuno dan Kodingare terpaksa melakukan ekspansi area penangkapan (fishing gruonds) ke tempat-tempat lainnya di Sulawesi Selatan dan berbagai provinsi lainnya terutama di kawasan Timur Indonesia, bahkan mengunjungi Australia di akhir tahun 1980-an hingga paruh pertama tahun 1990-an. Ketika komoditi lobster dan ikan hidup laku di pasar ekspor (Hongkong dan Singapura), sebagian terbesar nelayan penyelam kembali lagi ke Pulau Sembilan dan beralih ke usaha lobster dan ikan hidup. Dan Mulailah sejarah budaya tentang lobster dan ikan hidup (kerapu, sunu, napolen). Bagaimana kedua komoditi yang pada mulanya melimpah di taka-taka Pulau Sembilan karena tidak mempunyai nilai tukar dan hanya sedikit dimakan karena oleh sebagian besar penduduk pulau merasakan itu menjijikkan atau menganggap menyebabkan kebiasaan malas jika dimakan pada akhirnya hanya memerlukan sekitar tujuh tahun saja populasi spesisspesis ini merosot drastis karena sebagian terbesar nelayan setempat dan pendatang menangkapnya. Meningkatnya permintaan lobster dan ikan hidup di pasar ekspor sebenarnya disebabkan oleh faktor terjadinya perubahan pola makan kelas konsumen elit di negara-negara pengimpor dari mengkonsumsi hasil laut dalam kondisi segar yang sudah dihidangkan di meja restoran Sea-food ke model baru di mana para pengunjung terlebih dahulu memancing ikan atau lobster hidup dari kolam-kolam penampungan lalu diolah dan disajikan para pelayan menurut selera pengunjung masing-masing. Pola makan baru di restoran-restoran Cina seperti ini di samping terkait pada nilai kenikmatan santapan, juga karena ini dapat memperkuat status sosial konsumennya (Akimichi, 1996). Konteks birokrasi melalui pelaksanaan kebijakan pemerintah juga menyumbang kepada perubahan-perubahan keputusan dan prilaku nelayan melalui respons-respons ide dan sikap-sikap (menerima atau menolak). Motorisasi perahu dan adopsi gae (istilah Bugis) atau rengge (istilah Makassar) sejenis pukat apung raksasa (purse seine) yang merupakan teknik tangkap andalan untuk ikan pelagik (terutama layang) di Sulawesi Selatan sebetulnya diperkenalkan oleh dan melalui jalur promosi pemerintah di tahun 1970-an. Sebaliknya terbentuknya berbagai strategi/taktik sebagian nelayan untuk mempertahankan aktivitas ilegalnya seperti membom dan membius atau berhentinya sebagian di antara mereka dari aktivitas ilegal tersebut dipengaruhi oleh aturan hukum

32

(antara lain: Peraturan Pemerintah Daerah TK.I Sulawesi Selatan No.7 1987, tentang larangan pengambilan dan pengrusakan terumbu karang di sepanjang perairan pantai Sulawesi Selatan) dan cara-cara pengawasan oleh para penegak hukum di setiap wilayah tugasnya masing-masing. Eksploitasi berbagai spesis laut untuk komoditi ekspor (seperti, tripang, kerang (mutiara, lola), rumput laut, sirip hiu, telur ikan, ikan (segar dan hidup), lobster (segar dan hidup) dimungkinkan oleh kerjasama dagang antar negara dengan penerbitan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), terkecuali bagi usaha-usaha nelayan kecil (antara lain diatur dalam Amandemen Peraturan Dirjen Perikanan No.HK.330/DJ.8259/ 95, tentang skala, lokasi, dan prosedure menangkap napoleon wrasse). Ikut berpengaruh pada berhentinya sebagian besar nelayan mengambil batu karang, menangkap ikan napoleon (untuk ukuran tertentu), penyu, kima, kerang mata tujuh, batu laga, ikan hias) di kawasan lindung seperti Pulau Kapoposang (Pangkep) dan Taman Nasional Taka Bonerate ialah usaha-saha penyadaran lingkungan dilakukan oleh LP3M dan WWF dengan penyebaran poster-poster jenis-jenis biota laut langka dilindungi dunia. Kembalinya semua perahu nelayan cantram Galesong Utara (Takalar) akhir-akhir ini (akhir Desember 2002) dari Sinjai disebabkan oleh penolakan masyarakat nelayan setempat (didukung oleh pemerintah daerah setempat) terhadap penggunaan teknik (menyerupai pukat harimau mini) yang bisa dengan cepat menguras berbagai jenis biota laut dan merusak kondisi dasar. Berbagai kebijakan pemerintah (tentang pelarangan atau pembangunan), isi dan formulasinya banyak mengacu kepada rekomendasi peneliti dari lembaga perguruan tinggi berdasarkan hasil penelitian ilmiah. Demikian juga berbagai praktek ekonomi nelayan baru seperti budidaya rumput laut, keramba penampungan ikan dan lobster hidup, budidaya teknik keramba, penetasan telur dan pembesaran bibit bandeng dan udang di Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan, merupakan bagian dari studi/praktek lapangan atau pengabdian masyarakat dilakukan oleh peneliti atau praktisi dari lembaga perguruan tinggi. Oleh karena itu perguruan tinggi sebagai penggagas ide dan inovator teknologi merupakan konteks eksternal bagi proses dinamika sosial budaya masyarakat bahari, khususnya komuniti-komuniti nelayan. Penjelasan prilaku dan poses dinamika sosial budaya komuniti-komuniti nelayan juga sedikit banyak dikontekskan pada kehadiran berbagai Ornop di sana. Periode 1990an merupakan periode mulainya keterlibatan secara meluas berbagai Ornop di desa-desa nelayan pantai dan pulau-pulau di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan. Ornop dengan paradigma keberpihakan kepada kepentingan rakyat mengemban visi dan misi pokok pada peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi, peningkatan sumberdaya manusia dan keterampilan penduduk, penumbuhan jiwa demokrasi, kelestarian sosial budaya dan lingkungan fisik, biasanya meramu wawasannya dari masyarakat lokal, lembaga perguruan tinggi, dan wawasan global terutama melalui wacana berkembang dalam dunia Ornop sendiri.

33

Di Kawasan Taka Bonerate misalnya, WWF dan LP3M mencoba menggalang sebagian masyarakat nelayan di beberapa desa pulau untuk terlibat dalam berbagai program kegiatan meliputi penyadaran lingkungan, pembentukan kelembagaan, pelatihan keterampilan, pembentukan dan pengelolaan zona-zona perlindungan terumbu karang dan biota-biota langka berasosiasi karang. Hal mana juga dilakukan di kawasankawasan karang lainnya seperti Biak dan Maluku dengan keterlibatan LSM lokal, Nasional dan Internasional (WWF) (Osseweijer, 2001). Sebetulnya lembaga asosiasi di Maluku muncul sebagai mekanisme masyarakat lokal merespons pasar global sejak ratusan tahun silam (Zerner, 1994), demikian juga munculnya lembaga ponggawa-sawi di Sulawesi Selatan sebagai respons pelaut atau nelayan terhadap permintaan pasar global akan hasil-hasil laut komoditi ekspor sejak abad ke-13 atau 14 silam. Hingga seberapa jauhkah ke belakang dan ke luar benangbenang pengaruh kontekstual perlu dilacak? Ternyata ada juga konteks historik dari prilaku eksploitasi sumberdaya laut yang perlu dilacak jauh ke belakang, namun konteks eksternalnya tidak melintasi batas-batas fisik dan sosial budaya jauh ke luar. Ini dicontohkan pada praktek pemancing ikan-ikan campuran, pengguna bubu, pemukat, pengelola bagang dan rumpon, dan sebagainya yang sudah berlangsung cukup lama, namun asal mula dan proses kemunculannya hanya melintasi batas-batas daerah, pulau, etnis dan provinsi berdekatan. Demikian halnya jaringan pemasarannya hanya mencapai pasar dan konsumen regional, antar pulau, bahkan lokal saja. Bahkan gagasan dan praktek menambang batu karang dan pasir di taka-taka oleh penduduk pulau-pulau di kawasan karang yang sudah berlangsung puluhan atau ratusan tahun lalu, namun kepentingannya semata untuk pembangunan pemukiman penduduk lokal, jadi konteks penjelasannya internal. Aturan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya laut secara terbuka (common property right/open use) juga menyebabkan suatu lokasi dieksploitasi secara bersamasama. Misalnya kawasan taka Pulau Sembilan bukan hanya dieksploitasi oleh penduduk nelayan setempat, tetapi juga oleh kelompok-kelompok nelayan desa-desa pantai Teluk Bone (Sinjai, Bone, Luwu, Bulukumba Timur), nelayan pulau-pulau dari Kodya Makassar, Pangkep, Takalar, penyelam tripang dan mutiara dari Selayar, pencari kerang mata tujuh dari Buton (Sultra) dan Palu di tahun 1990-an, nelayan ikan hias dan pemburu penyu dari Bali di tahun 1990-an, dan penyelam tripang dari Madura sejak tahun 2000 hingga sekarang. Meskipun telah terjadi modernisasi perikanan dan adanya pengaruh pasar globalisasi yang kuat, namun dalam budaya bahari kebanyakan komuniti nelayan masih ada banyak unsur-unsur pengetahuan, pandangan, kelembagaan dan teknologi eksploitasi bertahan dan difungsikan. Fenomena ini bisa ditunjukkan antara lain pada komuniti nelayan Liang-liang (Pulau Sembilan) yang tetap mempertahankan pengelolaan 34

pemanfaatan sumberdaya kawasan karang secara tradisional dan arif. Secara kolektif mereka tetap mempertahankan lokasi-lokasi dan sarang-sarang ikan yang dimiliki sejak dahulu dan tetap menggunakan pancing labuh. Meskipun dikelilingi oleh kelompokkelompok nelayan pengguna bahan peledak dan bius, para pengusaha dan agen eksportir dengan mana tangkapan ikan dan lobster hidup dijual, namun mereka tetap mempertahankan sistem-sistem tradisionalnya. Teknologi kemaritiman, bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau di Nusantara ini, sektor-sektor ekonomi perikanan dan usaha transportasi/pelayaran masih selalu merupakan sektor-sektor andalan yang bertahan dan berkembang dengan teknologi pelayaran dan penangkapan ikan tradisional dalam berbagai bentuk dan arsiteknya. Berbagai tipe perahu tradisional milik kelompok-kelompok etnis di Indonesia antara lain sebagai berikut: Pinisi Bugis P. Patorani Makasar Lambo Mandar, Lambo Buton Sandeq, Pangkur, Bago Mandar Bagan Bugis Jolloro (tipe terbaru, akhir 1980-an) Janggolan Madura Janggolan Bali Mayang Jawa Prahu jaring Madura Lisalis, Golekan, Leti-leti Jawa Nade Sumatra Jukung Jawa. Salah satu ciri khas perahu Jawa dan Bali ialah penuh dengan ukiran dan gambargambar binatang menggunakan kombinasi warna mengandung berbagai makna simbolik. Pinisi adalah salah satu tipe perahu Sulawesi Selatan yang konstruksinya memang bagus, namun kurang dari segi ukiran dan motif-motif gambar bermakna. Konstruksi ini lebih mengutamakan fungsi daya muat, keseimbangan dan kecepatan. Di Sulawesi Selatan, perahu-perahu tradisional mulai dilengkapi dengan motor (motor tempel dan motor dalam) di awal tahun 1970-an. Teknologi penangkapan ikan di Indonesia (lihat P.N.van Kampen, 1909) secara garis besar dikategori ke dalam: (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Net (di Sulawesi Selatan: panjak, gae, lanra, panambe) Pancing (di Sulawesi Selatan: p.labuh, p.rintak, p.tonda, p.kedo-kedo) Perangkap (di Sulawesi Selatan: Bubu, sero/belle) Alat tusuk (di Sulawesi Selatan: tombak, pattek, ladung) Teknik lainnya (di berbagai tempat: bahan peledak, bius) Alat selam: tabung, kompresor (tidak tercantum dalam P.N.van Kampen) Linggis, parang, menangkap/memungut dengan tangan (tidak tercantum dalam karangan P.N.van Kampen, nelayan Jawa dan Madura cukup kaya dengan alat tangkap pukat. Pajang saja mempunyai jenis (p.besar, p.peperek, p.krakat, p.arad, p.kopek, p.dedang, p.bhanton). Sebagian besar dari jenis-jenis pukat tersebut masih digunakan sebagian besar nelayan Jawa dan Madura hingga sekarang ini.

35

4.6 Masyarakat Suku laut dan Otonomi daerah Kawasan laut dipandang sebagai kawasan yang bebas, dan tidak ada larangan bagi siapapun untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi sumber-sumber laut, maupun dijadikan infrastruktur pelayaran maritim. Pandangan demikian itu kemudian dikonsepsikan dengan istilah mare liberium atau laut bebas. Setiap orang dapat dengan bebas menggunakan kawasan laut, karena tidak seorangpun yang memilikinya dan menguasainya. Prinsip mare liberium itu juga pada dasarnya di pengaruhi oleh pandangan yang menempatkan wilayah laut dan lautan adalah kawasan yang penuh tantangan dan maut. Gelombang yang dahsyat dan arus laut yang menghanyutkan merupakan ancaman malapetaka bagi setiap orang yang pergi ke laut. Prinsip mare liberium ini pada gilirannya mempengaruhi tatanan masyarakat yang menginginkan pembebasan diri dari kehidupan pemerintahan yang bersifat otoriter dan mengeksploitasi penduduknya, turun ke laut dan menjadikan laut sebagai kawasan pemukiman mereka. Dalam perkembangan kemudian, ketika kegiatan perdagangan maritim berkembang yang diikuti dengan usaha mencari produksi-produksi primadona dalam dunia perdagangan, keinginan untuk menguasai laut terjadi. Secara historis, tercatat bahwa usaha untuk memilah wilayah laut mulai terjadi ketika dicapainya perjanjian tordesilas pada tahun 1492. Dalam perjanjian itu dinyatakan bahwa kerajaan portugis memperoleh kekuasaan atas wilayah perairan dari eropa ke arah timur, sementara kerajaan Spanyol ke arah barat. Pengaturan atas wilayah laut itu dikenal dengan konsep mare clausum atau laut tertutup. Prinsip mare clausum itu diikuti pula dengan konsep monopoli (berdagang sendiri) yang berkembang pada periode awal perkembangan perdagangan maritim, yang berkaitan dengan pemguasaan komoditi dagang tertentu. Dalam memandang kedudukan kawasan laut, setidaknya dapat diklasifikasi kedudukan laut dalam empat kategori. Pertama, kelompok yang memandang kawasan laut sebagai daerah pemukiman. Kedua, laut adalah kawasan yang menyediakan sumber kehidupan. Ketiga, laut sebagai infrastruktur, kawasan jalur lalulintas pelayaran yang menghubungkan antar daerah dan pulau. Keempat, laut merupakan tapal batas wilayah kekuasaan. Kategori keempat yang menyatakan bahwa laut dipandang sebagai daerah strategik politik bagi penguasaan sumber-sumber kesejahteraan dan kekuasaan. Dalam banyak hal prinsip-prinsip mare liberium dan mare clausum dalam perkembangannya menunjukkan pada penguatan pandangan laut sebagai strategi politik.

36

Masyarakat suku laut mata pencaharian utama mereka adalah nelayan, mencari, mengumpulkan dan memperdagangkan produksi ikan laut. Kegiatan masyarakat marine (masyarakat suku laut) bergantung pada kondisi angin muson dan pasang surut air laut. Kondisi muson dan pasang surut laut yang mempengaruhi kegiatan usaha masyarakat suku laut ini memberikan gambaran kepada kita bahwa waktu kerja mereka sangat singkat, dan hal inilah yang mendorong mereka mengembara di perairan untuk mendapatkan tempat bagi kegiatan kerja mereka. Kegiatan pengembaraan mereka di laut mengalami pembatasan, sehubungan dengan pengaturan wilayah laut dan pembatasan ke wilayah perairan pemerintahan lain. Sebelum UU No. 22 tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU No. 32 tahun 2004 diberlakukan, kehidupan suku laut dan nelayan masih cukup lapang. Mereka masih berpeluang mengembara di perairan wilayah nusantara. UU No. 32 tahun 2004 mengatur tentang kewenangan daerah dalam mengatur wilayah perairan laut. Tampaknya UU tersebut cenderung berpegang pada prinsip mare clausum, dengan demikian pada gilirannya dapat memudarkan kegiatan suku laut dan juga nelayan di wilayah kabupaten dan kota. Implikasi dari terbatasnya ruang gerak masyarakat suku laut tersebut mendorong mereka untuk melakukan eksodus ke negara lain atau senantiasa melakukan pelanggaran perairan antar daerah, oleh karena terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

37

BAB 5 WILAYAH DAN KAWASAN MARITIM

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang wilayahnya terdiri dari lautan dan memiliki ribuan pulau. Wilayah laut meliputi dua per tiga wilayah Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 Km terpanjang ke dua di dunia dan sumberdaya alam hayati dan nir hayati yang dapat dimanfaatkan untuk menambah devisa negara dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Untuk penetapan garis batas wilayah laut Indonesia dengan negara tetangga ditetapkan oleh ke dua negara melalui perjanjian bersama dan Pemerintah Indonesia menugaskan institusi tertentu yang berwenang melakukan ketetapan garis batas wilayah laut dengan negara tetangga. Dalam otoritas maritim, Pemerintah Indonesia wajib membentuk satu lembaga yang memegang otoritas maritim. Lembaga yang memegang otoritas maritim wajib mengambil tindakan kepada pelanggaran garis batas wilayah laut sesuai ketentuan yang berlaku. Dan dalam pemetaan wilayah laut dilakukan setiap kali ada perubahan kontur pantai, pulau-pulau kecil, pulau buatan, pelabuhan dan setiap perubahan alur pelayaran dan hasil pemetaan ini dilaporkan ke Organisasi Maritim Internasional (IMO). Hasil pemetaan berisi informasi tentang titik koordinat batas wilayah dengan negara tetangga, sarana bantu navigasi, dan fasilitas keselamatan maritim. Pemetaan wilayah laut ditugaskan kepada lembaga hidrografi. Pemetaan kawasan laut dilakukan untuk kepentingan pembangunan di laut, pemeliharaan dan pelestarian lingkungan laut. Hasil pemetaan berisi tentang kekayaan sumber daya alam hayati dan nir hayati. Maritim Indonesia selain mengandung makna segala sesuatu yang berkaitan dan berdekatan dengan perairan laut, juga mencakup makna wilayah kesatuan laut dan pulau secara utuh dan bulat berikut udara di atasnya. Bertitik-tolak dari pengertian ini maka kebijakan kelautan harus mendudukan perairan laut sebagai unsur pemersatu bangsa, yang menyatukan seluruh pulau-pulau di wilayah nusantara. Dengan demikian pertanyaan yang timbul adalah dimanakah kepentingan daerah dan kebutuhan masyarakat lokal di tempatkan? Kepentingan daerah dan kebutuhan masyarakat lokal tentunya harus diperhatikan dan dijadikan pertimbangan penting dalam proses perumusan kebijakan nasional kemaritiman. Dalam konteks ketatanegaraan yang lazim dan universal maka kepentingan nasional ditempatkan sebagai tujuan utama, sedangkan kepentingan daerah dan kebutuhan masyarakat lokal secara politik menjadi tujuan pendukungnya. Sekalipun 38

demikian tetap disadari bahwa tanpa terpenuhinya kepentingan daerah dan kebutuhan masyarakat lokal secara optimal, maka pencapaian tujuan utama akan menjadi sangat berat dan rapuh. Kriteria dari kawasan maritim, tentunya harus dapat menterjemahkan pengertian Maritim Indonesia sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Kawasan Maritim harus dapat mencerminkan kepentingan-kepentingan politik, ekonomi dan sosial dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah ekosistem suatu negara kepulauan. Kriteria Kawasan Maritim, dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu : a. secara politik tidak dibatasi oleh sistem administrasi wilayah, tetapi dapat menjadi unsur pemersatu berbagai kepentingan daerah dan menjamin rezim wilayah negara kepuluan sebagaimana diamanatkan dalam UNCLOS 1982; secara ekonomi dapat mengakomodasi berbagai kepentingan kegiatan ekonomi bahari seperti perdagangan antar negara dan antar wilayah, transportasi antar moda, pariwisata bahari dan pengembangan pusat-pusat perekonomian regional dan kawasan produksinya; secara sosial dapat mencerminkan keragaman etnis tetapi tetap dalam bingkai prinsip bhineka tunggal ika ; secara ekosistem dapat secara optimal mengakomodasikan corak ragam ekosistem kepulauan, seperti konsep bioregion, watershed dan sistem wilayah perikanan. Dimensi Wilayah Maritim

b.

c. d.

5.1

Upaya untuk mendapat pengakuan internasional atas Prinsip Negara Kepulauan seperti yang dinyatakan Pemerintah Indonesia melalui Deklarasi Djuanda 1957 merupakan perjuangan yang berat dan panjang. Pada tahun 1957 bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk merebut kembali Irian barat (sekarang Papua) dari penjajahan Belanda. Adalah merupakan kenyataan yang pahit bahwa kapal-kapal perang Belanda yang dikirim untuk meperkuat pertahanan Belanda di Irian Barat berlayar dengan bebas melalui Selat Malaka Laut Jawa Laut Flores Laut Banda dan sampai ke Irian Barat. Itulah sebabnya Pemerintah Indonesia kemudian menyatakan bahwa semua laut di antara pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke itu adalah wilayah kedaulatan mutlak Indonesia, sehingga kapal-kapal perang asing tidak bebas lagi melintasinya. Ketika Deklarasi Djuanda itu diumumkan hampir semua negara besar yang berkepentingan dengan jalan laut melalui Indonesia menolak. Namun dengan perjuangan yang gigih di forum-forum PBB maupun forum-forum internasional yang lain, terutama dalam hubungan bilateral dengan negara-negara tetangga, akhirnya perjuangan itu membawa hasil. Pada tahun 1982 di Teluk Montego, Jamaika, 119 negara menandatangani United National Convetion on the Law of the Sea (UNCLOS), yang di dalamnya memuat sembilan buah pasal perihal ketentuan tentang Prinsip Negara Kepulauan. 39

Namun berbeda dengan Deklarasi Djuanda 1957 yang menyatakan bahwa seluruh laut di antara dan sekeliling pulau-pulau itu merupakan wilayah kedaulatan mutlak seperti halnya wilayah darat, UNCLOS 1982 lebih menekankan kepada sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi Negara Kepulauan, antara lain menetapkan sejumlah Alur Laut Kepulauan atau Archipelagic Sealanes, dimana kapal perang negara manapun setiap waktu dapat melintas tanpa hambatan, menjamin Innocent Passage, Transit Passage, dan Straits for Internasional Navigation, juga memperhatikan kepentingan perikanan negara lain, terutama negara tetangga. Esensi dari prinsip Negara Kepulauan dalam perspektif kewilayahan sesuai UNCLOS 1982 adalah diberikannya hak kepada Negara Kepulauan untuk menarik garis pangkal batas laut wilayahnya dengan menarik garis lurus dari titik-titik terluar dan menyatakan perairan di dalam lingkaran garis pangkal itu sebagai Perairan Kepulauan. Oleh karena itu Perairan Kepulauan adalah satu wilayah laut yang utuh, yang mempersatukan seluruh pulau dalam administrasi kedaulatan Negara Kepulauan itu sebagai satu kesatuan wilayah dengan persyaratan tertentu. Dalam seluruh Perairan Kepulauan hanya berlaku satu rezim hukum nasional yang tunduk kepada ketentuan UNCLOS 1982, dan tidak tumpang tindih dengan hukum-hukum lokal. Ketika Pemerintah Indonesia mensahkan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 yang meratifikasi UNCLOS 1982, maka semua ketentuan terdahulu yang bertentangan dengan UNCLOS 1982 hanya menjadi dokumen sejarah. Selanjutnya Pemerintah Indonesia harus menyiapkan program implementasi UNCLOS 1982 secara sistematis, baik yang berjangka pendek maupun berjangka panjang. Sejauh ini Pemetintah Indonesia bertindak sangat lambat, bahkan beberapa kebijaksanaan yang dilahirkan kemudian, baik dalam bentuk Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah masih mengabaikan ketentuan UNCLOS 1982, seperti dalam menetapkan wilayah laut daerah-daerah dalam rangka otonomi daerah, yang dikuatirkan justru menggugurkan hak penerapan Prinsip Negara Kepulauan. Laut cenderung tidak lagi dipandang sebagai pemersatu wilayah, tetapi kepanjangan wilayah kekuasaan daerah, sehingga jika kondisi demikian tetap diberikan akan menimbulkan kerawanan terhadap konflik antar daerah dalam pengelolaan sumberdaya seperti perikanan, pertambangan dan pariwisata, selain itu akan menimbulkan biaya tinggi dalam usaha perdagangan antar pulau. 5.2 Batas Wilayah Maritim dan Pulau-Pulau Terluar Wilayah adalah salah satu unsur utama, selain dari dua unsur lainnya, yaitu rakyat dan pemerintah. Oleh karena itu, adanya wilayah dalam suatu negara ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Suatu negara yang mempunyai sistem pemerintahan negara yang beberapa kewenangannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah, wilayah

40

pemerintahan daerah juga ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UUD 1945 tidak secara implisit mengatur pasal mengenai Wilayah Negara Republik Indonesia. Namun demikian, pada umumnya kita sepakat bahwa ketika para pendiri negara ini memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wilayah negara Republik Indonesia mempunyai cakupan wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, wilayah negara Republik Indonesia merupakan wilayah yang mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teriroriale Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939), pulau-pulau di wilayah ini dipisahkan oleh laut di sekelilingnya. Dalam ordonansi ini setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing dengan leluasa dapat melayari laut yang mengelilingi atau yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa sebagai kesatuan wilayah hal ini sangat merugikan bangsa Indonesia sehingga pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia yang waktu itu dipimpin oleh Ir. Djuanda mengeluarkan pengumuman pemerintah yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelagic State). Pada dasarnya konsep deklarasi ini menyatakan bahwa semua laut/perairan di antara pulau-pulau Indonesia tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena laut antarpulau merupakan penghubung dan menjadi satu kesatuan dengan pulau-pulau tersebut. Batas wilayah negara Indonesia adalah 1,2 mil dari garis pantai pulau-pulau terluar. Indonesia, sehingga mempunyai wewenang untuk mengelola daerah kedaulatannya yang punya batas. Termasuk kewenangan ini ruang udara di atasnya, dasar laut (sea bed) dan tanah di bawah dasar laut (sub soil), serta semua sumber daya maritim baik yang hidup maupun yang tidak. Tanggal 13 Desember 1957 ini kemudian menjadi tonggak sejarah Kelautan Indonesia yang kemudian dikenal dengan Wawasan Nusantara. Bangsa Indonesia patut berbangga karena melalui Deklarasi Djuanda tersebut, bangsa Indonesia mengenai hukum laut internasional tercantum dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang dikenal dengan United Nations Convension on the Law of the Sea (UNCLOS) yang ketiga tahun 1982 yang selanjutnya disebut Hukum Laut (Hukla) 1982. Pemerintah Indonesia meratifikasi Hukla 1982 dengan Undang-undang No. 17 Tahun 1985. Upaya mencantumkan Wilayah Negara Republik Indonesia dalam UUD 1945 diawali dari perubahan kedua dan terus berlanjut sampai pada perubahan keempat UUD 1945. Maka, dalam Bab IX A tentang Wilayah Negara pada Pasal 25A tercantum Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri

41

Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-undang. Negara kepulauan berciri Nusantara punya arti bahwa negara kepulauan yang dimaksud terletak di antara dua benua dan dua samudra, Benua Asia dan Australia, serta Samudra Hindia dan Pasifik. Jadi, pernyataan sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dan berbentuk negara kesatuan dan republik sudah menunjukkan di mana lokasi geografis negara kesatuan yang berbentuk republik itu yang lengkapnya disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya dalam pasal tersebut dinyatakan dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-undang. Pernyataan ini mempunyai makna bahwa NKRI yang merupakan negara kepulauan wajib menetapkan batas teritorial wilayahnya baik wilayah darat dan laut. Batas dan hak wilayah laut menurut Hukla 1982, karena NKRI merupakan negara kepulauan, maka penetapan batas di wilayah laut mengacu kepada UNCLOS 82/HUKLA 82 yang telah diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Oleh karena itu, Indonesia harus mengkaji dan menetapkan antara lain batas laut teritorial, batas zona tambahan (contiguous zone), batas zona ekonomi eksklusif (ZEE), batas landas kontinen (continental shelf). Hak-hak, kewajiban, dan wewenang di dalam batas teritorial wilayah laut NKRI akan berbeda dengan hak-hak dan wewenang di luar batas teritorial, tetapi terletak di dalam batas ZEE dan batas landas kontinen. Berdasarkan Hukla, batas laut teritorial sejauh maksimum 12 mil laut dari garis pantai, sedangkan garis pantai didefinisikan sebagai muka laut terendah. Jika dua negara bertetangga punya jarak antara garis pantainya kurang dari 24 mil laut, batas teritorial antar dua negara tersebut adalah garis median. Garis median yaitu garis yang punya jarak yang sama (equidistance) dengan garis pantai dari negara bertetangga tersebut. Sementara itu, yang dimaksud dengan panjang 1 mil laut sama dengan 1852 meter. Dalam wilayah laut teritorial berlaku hakhak dan kewajiban dalam wilayah kedaulatan NKRI. Batas laut teritorial diukur berdasarkan garis pangkal yang menghubungkan titik-titik dasar bertempat di pantai terluar dari pulau-pulau terluar wilayah NKRI. Pengukuran ini merupakan aspek teknis yang dilakukan oleh tenaga ahli geodesi yang mengerti tentang aspek legal dari penetapan batas. Jadi, dalam penetapan batas sangat diperlukan keterpaduan aspek teknis dan legal. Untuk mendukung hal itu, sangat diperlukan informasi kewilayahan NKRI seperti informasi pulau-pulau terluar beserta nama-namanya. Dapat dipahami bahwa UUD 1945 (asli) yang dikeluarkan setelah proklamasi kemerdekaan belumlah sempurna, seperti belum tercantumnya wilayah negara. Kira-kira lima tahun bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan sehingga tahun 1950 mulailah bangsa Indonesia menata negara dengan sistem pemerintahan yang disepakati pada waktu itu. Setelah tujuh tahun bangsa hidup dalam penataan negara secara normal,

42

berdampingan, sejajar, dan sama tinggi dengan negara-negara lain barulah satu tonggak sejarah tentang wilayah negara diumumkan, yaitu pada tanggal 13 Desember 1957. Setelah 48 tahun Deklarasi Djuanda itu dikumandangkan sudah sejauh mana Indonesia dapat menyelesaikan batas-batas di laut terutama batas laut teritorial ?. Dinamika penetapan batas wilayah negara perlu kita simak. Deklarasi Djuanda diratifikasi melalui UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam UU ini dicantumkan koordinat geografis titik-titik dasar pantai terluar dari pulau terluar di wilayah negara. Pulau-pulau Sipadan (kl. 10,4 ha) dan Ligitan (kl. 7,9 ha) tidak termasuk daftar pulau terluar. Pada tanggal 8 Agustus 1996 diterbitkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang isinya sangat umum, yaitu menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan Hukla 82 (yang telah diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985 dan menyatakan bahwa UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan tidak berlaku lagi. Daftar koordinat titik-titik dasar pantai terluar dari pulau terluar tidak tercantum dalam UU No. 6 Tahun 1996 ini. Jadi, secara legal, wilayah negara menjadi tidak jelas. Pada tanggal 16 Juni 1998 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1998 tentang Koordinat Geografis Titik Dasar Kepulauan di Laut Nusantara. Dengan menganggap bahwa semua titik pangkal lengkap dengan koordinat geografisnya yang tercantum pada Undang-undang No. 4/ PRP/1960 masih berlaku, artinya semangat Deklarasi Djuanda yang menjiwai UU No. 4/PRP/1960, PP No. 61 Tahun 1998 ini adalah upaya bangsa Indonesia menutup kantong Natuna yang masih terdapat dalam UU No. 4/PRP/1960. Pada tanggal 28 Juni 2002 keluar PP No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Dalam PP No. 38/2002 ini dicantumkan titik pangkal di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dengan keluarnya keputusan Mahkamah Internasional tentang kasus Sipadan dan Ligitan, PP No. 38/2002 ini perlu dicabut dan segera diganti dengan yang baru. Hal lain mengenai wilayah negara tercantum pada UUD 1945 pada perubahan kedua UUD 1945 Bab IX A pasal 25E yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000 yang kemudian berubah menjadi pasal 25 A pada perubahan keempat UUD 1945 yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 yang bunyinya sudah disampaikan di awal tulisan ini. Dengan inisiatif para pakar penetapan batas dari Universitas Padjadjaran (Unpad) dari aspek legal dan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dari aspek teknis pada awal tahun 2003 dibentuk Forum Kajian Kewilayahan NKRI. Pada tanggal 15 Februari 2003 forum ini menyelenggarakan Diskusi Panel bertema Reaktualisasi Wawasan Nusantara Dalam Perspektif Kesatuan Wilayah Negara Republik Indonesia di Unpad.

43

Sebagai lanjutannya pada tanggal 15 Desember 2003, dalam rangka 46 tahun Deklarasi Djuanda diselenggarakan workshop dengan tema Status, Realisasi, dan Permasalahan Penataan Batas Maritim Indonesia dengan Negara Tetangga, Kasus Batas RI-Singapura yang penyelengaraannya berdasarkan kerja sama antara Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) ITB dengan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Pertemuan yang diselenggarakan di Unpad dan ITB pada awal dan akhir tahun 2003 ini menyatakan perlunya kejelasan dalam masalah kelembagaan dalam penetapan batas wilayah negara. Penetapan batas wilayah negara adalah kerja sama antara Departeman Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, TNI, Bakosurtanal, dan departemen lainnya yang terkait. Semoga dengan tetap dalam semangat Deklarasi Djuanda penetapan batas-batas maritim kepulauan Indonesia segera terselesaikan. Proklamasi Kedaulatan Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 belum mencakup proklamasi Wilayah Kedaulatan Negara RI itu. Diperlukan waktu dan kondisi yang memadai untuk dapat mengkaji secara cermat berbagai aspek kewilayahan satu negara, khususnya negara baru RI dengan tatanan geografis yang khas, untuk dapat menetapkan batas wilayah kedaulatan itu, yang hasil kajiannya adalah satu konsep Wawasan Nusantara. Dengan Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah mendeklarasikan bahwa Republik Indonesia adalah satu Negara Kepulauan, disertai satu konsep dasar klaim wilayah perairan, satu konsep yang baru, yang masih harus diperjuangkan untuk diterima oleh dunia internasional dan yang akhirnya diterima dunia internasional dengan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS - III). Dengan Undang-Undang No.4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia maka untuk pertama kali diproklamasikan wilayah kedaulatan NKRI. Perlu sekali diperhatikan bahwa UndangUndang ini selain merupakan proklamasi wilayah perairan Indonesia, juga merupakan proklamasi kedaulatan atas pulau-pulau terluar yang dilingkupi oleh garis batas laut territorial dan khususnya garis-garis pangkal territorial (territorial baselines), yang menghubungkan titik-titik terluar dari pula-pulau terluar, kecuali Sipadan dan Ligitan pada waktu itu. Undang-Undang ini telah didepositkan ke PBB dan diketahui dunia internasional selama 42 tahun tanpa ada yang mempersengketakan kedaulatan Indonesia atas pulau-pulau terluar itu, dan merupakan dasar hukum yang kuat hal kedaulatan atas pulau-pulau terluar itu. Undang-undang No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia telah mencabut UU No. 4/Prp Tahun 1960 karena tidak sesuai lagi dengan rezim hukum Negara Kepulauan sebagaimana diatur dalam UNCLOS, yang telah disahkan Indonesia dengan UU No. 17 Tahun 1985. Agak disayangkan bahwa pada pencabutan itu tidak ditegaskan secara eksplisit bahwa walaupun rezim hukum atas perairan disesuaikan denga UNCLOS

44

namun itu tidak mengganggu kedaulatan atas pulau-pulau terluar dan bahkan ditetapkan garis pangkal yang baru dan disesuaikan dengan yang dimungkinkan oleh UNCLOS. Yang menonjol adalah bahwa pada peta lampiran UU No. 6 Tahun 1996 untuk penggambaran batas perairan laut wilayah jelas diperhitungkan klaim kedaulatan atas pulau-pulau Sipadan dan Ligitan, walaupun kedaulatan atas kedua pulau tidak pernah secara eksplisit tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Juga Timor Timur masih dimasukkan dalam peta lampiran itu sebagai satu bagian dari NKRI. Apakah ini perlu dikoreksi dengan undang-undang? Hal kontroversi status pulau-pulau terluar, kiranya jelas bahwa, kecuali Sipadan dan Ligitan, selama 42 tahun tidak ada negara lain yang mempersengketakan proklamasi wilayah kedaulatan yang ditetapkan denga UU No. 4/ Prp tahun 1960, secara khusus pulau-pulau terluar lainnya. Ini merupakan dasar hukum yang terkuat. Perlu diperhatikan bahwa khusus untuk pulau Sipadan dan Ligitan, pertama kali Pemerintah Indonesia mengklaim kedaulatan atas kedua pulau itu di tahun 1969, yang langsung disengketakan oleh Malaysia. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 kemudian menetapkan garis pangkal territorial yang baru, yang masih memasukkan pulau Sipadan dan Ligitan dalam kedaulatan Indonesia, tidak termasuk TimorTimur, dan kiranya ini masih konsisten dengan peta lampiran UU No. 6 Tahun 1996 dan konsisten dengan klaim kedaulatan atasnya yang telah diperjuangkan selama lebih dari 30 tahun, namun telah diserahkan ke Mahkamah Internasional (ICJ) untuk memutuskan hal kasus sengketa itu. Dengan PP No. 38 Tahun 2002 penarikan garis-garis pangkal ditata kembali sehingga dapat diperoleh laut wilayah dan wilayah yurisdiksi nasional atas laut yang seluas mungkin, yang masih dimungkinkan oleh ketetapan UNCLOS. Pembangunan Nasional Sektor Kelautan telah dicanangkan dalam GBHN 1993 untuk diarahkan kepada pemanfaatan Wilayah Laut Nasional termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen disamping untuk mendukung penegakan Kedaulatan Yurisdiksi Nasional di laut serta dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara. Pelaksanaan kegiatan serta perwujudan sasaran dari Pembangunan Nasional di laut tersebut tidak terlepas dari kebutuhan akan data dan informasi kelautan yang akan merupakan bekal awal dalam tahap perencanaan serta pendukung dalam pelaksanaannya. Penetapan Batas Wilayah Yurisdiksi Negara merupakan kebutuhan ynag mutlak harus ditentukan agar segala kegiatan yang akan dilaksanakan di dalam wilayah tersebut dapat diterima oleh lingkungan Regional maupun Internasional baik secara Yuridis maupun secara faktual. Hukum Laut Intenasional tahun 1982 (UNCLOS-82) telah menentukan hak dan kewajiban negara kepulauan, dimana Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-Undang No.17 tahun 1985 dan Konvensi

45

diberlakukan efektif sejak 16 November 1994. Hal ini mewajibkan Indonesia untuk memenuhi semua ketentuan konvensi tersebut. Keterkaitan antara Kegiatan Pemetaan Sumberdaya Kelautan dengan UNCLOS-82 adalah menyangkut penentuan Titik Pangkal, Garis Pangkal, Batas Laut Teritorial dan Zona Tambahan, Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Batas Landas Kontinen dan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Peta ALKI mempunyai spesifikasi tersendiri sesuai standard bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, harus sudah tersedia bulan September 1999, satu tahun setelah ALKI diakui oleh dunia internasional. Ketentuan dari UNCLOS 82 mewajibkan deposito dari daftar koordinat geografis atau peta-peta pendukung klaim Indonesia di atas, kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dan akan berlaku efektif 16 November 2004. Sebagai Negara Kepulauan, Indonesia berkewajiban memberikan akomodasi pelayaran bagi kapal-kapal asing atau hak lintas alur kepulauan (UNCLOS-82). 5.3 Tipologi Kawasan Maritim Di Indonesia dikenal beberapa tipologi kawasan, antara lain kawasan transmigrasi, KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu), kawasan pariwisata bahari, kawasan wilayah perikanan dan yang terbaru dikenal dengan kawasan bio-region. Telah lama pula kita kenal istilah kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Setiap kawasan didefinisikan dan dideliniasi menurut kepentingan dan tujuan tertentu. Oleh karena itu terminologi suatu kawasan harus dilihat dalam suatu konteks dan konsep pemanfaatan tertentu, yang satu dan lainnya berbeda untuk konsep yang berbeda. Kawasan maritim sebagaimana dijelaskan dalam kriteria di atas merupakan komposit dari berbagai pendekatan kewilayahan yang memperhatikan unsur politik, ekonomi, sosial dan ekosistem suatu negara kepuluan. Untuk dapat membangun suatu negara maritim, salah satu strategi yang harus didorong dan dikembangkan adalah tumbuhnya pemahaman tentang visi maritim nusantara, yang menjadi dasar dari pembentukan perangkat sistem pemerintahan ocean governance pemerintahan yang berbasis kemaritiman untuk suatu kepentingan yang masuk dalam tataran perumusan kebijakan yang strategis. Sekalipun disadari bahwa untuk tataran operasioanal berbagai kebijakan strategis ini kemudian perlu dijabarkan lagi ke dalam sistem pemerintahan yang berjalan sebagaimana yang berlaku sekarang yaitu dalam sistem tata pemerintahan pusat dan daerah.

46

BAB 6 EKSPLORASI DAN EKSPLOITASI LAUT

Usaha Pemerintah Indonesia untuk mengelola potensi maritim dilakukan melalui pengajuan konsep Negara Indonesia sebagai negara kepulauan. Berangkat dari pemikiran yang tertuang dalam Deklarasi Djuanda 1957 dan Undang-undang No.4 / Prp. Tahun 1960, Indonesia mengajukan konsep mengenai rejim negara kepulauan dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. Setelah melalui proses perdebatan yang panjang, akhirnya rejim negara kepulauan diterima oleh negara-negara peserta konferensi dan kemudian diatur dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea UNCLOS). Indonesiapun akhirnya mendapat pengakuan sebagai salah satu negara kepulauan berdasarkan Konvensi tersebut. Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar seharusnya dapat lebih membuka kesempatan bagi Indonesia untuk membangun potensinya sebagai negara maritim besar. Dengan wilayah laut yang sangat luas, Indonesia dapat memperoleh manfaat yang besar dari sumberdaya yang terdapat di dalamnya. Sayangnya, fokus pembangunan nasional selama ini lebih bertumpu pada pembangunan di wilayah darat dan telah menjadikan potensi sumber daya kelautan Indonesia tidak terkelola secara optimal. Pemanfaatan sumber daya kelautan seringkali menghadapi berbagai permasalahan yang tidak terakomodasi secara efektif dalam agenda pembangunan nasional. Berbagai permasalahan tersebut antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. Masih tertinggalnya industri perikanan Indonesia; Industri pelayaran niaga yang sebagian besar masih dilayani oleh perusahaan dan kapal berbendera asing; Masih banyaknya sumber daya manusia kepelautan yang tidak memiliki kualifikasi sesuai standar International Maritime Organization (IMO); Penetapan batas-batas wilayah laut dengan beberapa negara tetangga yang masih belum rampung; Konflik penggunaan ruang dan masalah pencemaran lingkungan laut.

Khususnya dalam hal pengaturan kebijakan, pemanfaatan dan pengelolaan laut yang menyangkut banyak aspek memerlukan pendekatan kebijakan yang terpadu. Dalam kenyataan selama ini, kebijakan di bidang kelautan yang dilakukan oleh pemerintah masih didominasi oleh pendekatan yang cenderung bersifat sektoral dan terkadang bertentangan dengan kepentingan yang bersifat umum sehingga menimbulkan berbagai kebijakan yang bertentangan. Dalam konteks wilayah pesisir, misalnya, visi sektoral 47

pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir, telah mendorong departemen-departemen atau instansi teknis berlomba-lomba membuat peraturan perundang-undangan untuk mengelola sumber daya alam atau jasa-jasa lingkungan pesisir sesuai dengan kepentingannya masing-masing yang bermuara pada peningkatan pendapatan asli daerahnya. Demikian pula, ada kecenderungan daerah akan membuat peraturan-peraturan daerah berdasarkan kepentingan daerahnya masing-masing. Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir yang demikian ini, telah dan akan melahirkan ketidakpastian hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan berkepentingan dengan wilayan pesisir (stakeholders). Hal penting lainnya adalah bagaimana membangkitkan kembali budaya maritim sebagai bagian dari budaya nasional. Sejarah telah menunjukkan bagaimana bangsa Indonesia sempat dikenal sebagai bangsa maritim yang tangguh melalui kejayaan kerajaan-kerajaan pada zaman dahulu seperti Majapahit dan Sriwijaya. Namun tampaknya dominasi Indonesia sebagai negara maritim besar sangat sulit untuk dipertahankan saat ini seiring dengan lebih difokuskannya pembangunan nasional di wilayah darat. Pembangunan di bidang kelautan tidak mendapat prioritas utama dalam pembangunan nasional yang pada akhirnya berimbas pada memudarnya budaya maritim yang seharusnya menjadi bagian dari budaya nasional. Oleh karena itu, perlu diambil langkah-langkah untuk mewujudkan kembali budaya maritim sebagai bagian dari budaya nasional, dan hal tersebut dapat dimulai dengan menumbuhkan wawasan maritim di tingkat masyarakat. Beberapa hal yang dapat dilakukan misalnya memperbaiki keadaan sumber daya manusia di bidang kelautan yang selama ini cenderung tidak mendapat perhatian yang layak, memajukan pengembangan keterampilan sumber daya manusia di bidang teknologi kelautan, dan memupuk budaya maritim sejak dini melalui sistem pendidikan nasional yang berwawasan maritim. 6.1 Fungsi Laut Bagi Kehidupan Manusia Laut dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, pertahanan negara, industri maritim, telekomunikasi, penyaluran energi, lalu lintas pelayaran. Setiap pemanfaatan laut harus memperhatikan dan menjaga keterpaduan dan keserasian serta mencegah pencemaran dan pengrusakan lingkungan laut. Alam laut memiliki ciri khas. Mengapa laut menjadi penting dalam hidup manusia dan mengapa orang mencintai laut? Mengapa setiap negara harus mengawal lautnya, padahal tidak ada orang yang bisa mencuri atau menduduki laut? Ada empat properti laut yang menjadikannya penting untuk diperebutkan sepanjang masa, yaitu pertama lokasinya, kedua fungsinya, ketiga kekayaan alam yang dikandungnya dan keempat sosial-budaya kehidupan masyarakat bahari. Lokasi laut

48

sangat menentukan dalam pencapaian kepentingan nasional, dalam memenangkan peperangan atau dalam mempertahankan diri dari serangan musuh. Laut yang berupa selat yang menghubungkan dua samudera seperti Selat Malaka, atau yang berupa choking points dimana semua kapal yang berlayar harus merapat seperti di ujung selatan Afrika dan India, adalah laut dengan lokasinya sangat strategis baik dilihat dari sudut pandang ekonomi maupun militer. Laut memiliki fungsi yang sangat penting, antara lain : sebagai media penghubung ke dalam, antar pulau dan ke luar dengan pasar dunia, lalu sebagai media pemersatu antar pulau bagi negara kepulauan, juga sebagai sabuk pengaman (safety belt/safety cordon) terhadap serangan musuh dari luar, dan juga sebagai medan perang. Sebagai media penghubung lokasi laut tertentu menjadi sea lane of communication (SLOC) yang bersifat internasional baik untuk kepentingan ekonomi maupun militer. Kekayaan alam laut tidak hanya berupa kekayaan hayati dan nabati yang ada dalam massa air laut, seperti ikan dan tumbuh-tumbuhan laut, tetapi juga bahan tambang mineral yang dikandung air laut, lapisan dasar laut lepas pantai dan laut dalam. Termasuk dalam kekayaan alam laut adalah energi listrik yang dapat ditimbulkan oleh tenaga gelombang air laut dan hembusan angin di atas laut. 6.2 Potensi Kelautan dan Kemaritiman Indonesia

Paradigma baru pembangunan Indonesia adalah berbasis kelautan dan sudah saatnya Indonesia melakukan reorientasi paradigma pembangunannya ke arah kemaritiman. Rorientasi tersebut mencakup dua hal mendasar. Pertama, reorientasi fokus pembangunan, dari basis sumberdaya daratan ke basis sumberdaya kelautan. Kedua, bahwa tujuan pembangunan kelautan hendaknya tidak semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi, melainkan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi (kemakmuran), pemerataan kesejahteraan (social equity), dan terpeliharanya daya dukung dan kualitas lingkungan pesisir serta lautan secara seimbang (proporsional). Laut jangan lagi dipersepsikan sebagai keranjang sampah (tempat pembuangan limbah dari darat) dan ajang ekstraksi sumber daya alam secara berlebihan, tetapi sebagai Anugerah Tuhan yang harus disyukuri dan dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan bagi kesejahteraan seluruh umat manusia. Gagasan paradigma pembangunan ini selain mendasarkan pada potensi, peluang, permasalahan, kendala, dan kondisi pembangunan kelautan yang ada, juga mempertimbangkan pengaruh lingkungan strategis terhadap pembangunan nasional seperti globalisasi dan otonomi daerah. Letak geografis dan kandungan sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia memberikan pengakuan bahwa Indonesia merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km terdiri dari

49

luas laut teritorial 2.7 juta km dan 3.1 km laut ZEE atau 2/3 dari total wilayah Indonesia merupakan lautan dan ditaburi sekitar 17.504 pulau yang dikelilingi oleh 81.000 km garis pantai dengan potensi ekonomi yang sangat besar. Kondisi geografis ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Indonesia berada pada posisi geopolitis yang penting yakni Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, sebuah kawasan paling dinamis dalam percaturan politik, pertahanan dan keamanan dunia. Alasan di atas sudah cukup menjadi dasar untuk menjadikan pembangunan kelautan sebagai arus utama (mainstream) pembangunan nasional. Selain itu, banyak argumen yang memperkuat mengapa pembangunan berbasis sumber daya kelautan, harus dijadikan arus utama pembangunan nasional, baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya. Di bawah ini adalah beberapa alasan kuat mengapa pembangunan nasional kita adalah berbasis sumberdaya maritim antara lain : Pertama, melimpahnya sumber daya kelautan perikanan yang kita miliki, dengan sejumlah keunggulan komparatif sekaligus kompetitif yang sangat tinggi. Kedua, keterkaitan yang kuat (backward and forward lingkage) antara industri berbasis kelautan dengan industri dan aktivitas ekonomi lainnya. Dengan mengembangkan industri berbasis sumber daya kelautan berarti juga mendorong aktivitas ekonomi di sektor lainnya, termasuk usaha transportasi, komunikasi, perdagangan, pengolahan, dan jasa-jasa lainnya. Ketiga, sumber daya kelautan merupakan sumber daya yang senantiasa dapat diperbaharui (renewable resources) sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif ini dapat bertahan panjang asal diikuti dengan pengelolaan yang arif. Keempat, dari aspek politik, dengan kondisi geopolitis yang ada, maka stabilitas politik dalam negeri dan luar negeri dapat dicapai, jika kita memiliki jaminan keamanan dan pertahanan dalam menjaga kedaulatan perairan. Kelima, dari sisi sosial dan budaya, menjadikan pembangunan berbasis sumber daya kelautan sebagai arus utama pembangunan bangsa merupakan penemuan kembali (reinventing) aspek kehidupan yang pernah dominan dalam budaya dan tradisi kita sebagai bangsa. Sejarah mencatat bahwa pusat-pusat ekonomi dan peradaban yang pernah ada di wilayah Nusantara, selama berabad-abad telah menjadikan sumberdaya kelautan sebagai basis pertumbuhannya dalam mencapai kemakmuran dan kemajuan dalam peradabannya. Pada saat itu, laut telah menjadi media hubungan nasional dan internasional, serta menjadi suatu kawasan penting, baik secara politik, ekonomi dan militer. Bahkan, sampai sekarang masih terlihat sisa-sisa budaya berbasis bahari ini pada beberapa suku di Indonesia. Suatu kenyataan pahit yang harus kita akui bahwa selama ini, ternyata pembangunan berbasis sumber daya kelautan diabaikan. Pembangunan berbasis sumber daya kelautan dianggap sebagai sektor pinggiran. Rendahnya kinerja sektor ekonomi berbasis kelautan yang jauh dari potensi yang dimiliki, merupakan harga yang harus dibayar, akibat kelalaian serta kurang perhatiannya kita sendiri sebagai bangsa. 50

Namun, sejak reformasi, muncul kesadaran untuk menjadikan pembangunan berbasis sumber daya kelautan sebagai arus utama pembangunan nasional telah mendapatkan tempat yang lebih baik serta pijakan yang lebih kuat. Ini tercermin dari keputusan politik bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999, yang ditindaklanjuti dengan membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai institusi utama (leading institution) yang bertanggung jawab memberi arahan, mengeluarkan kebijakan, dan melaksanakan program-program di bidang kelautan dan perikanan. Kondisi ini membuat kita semakin maju beberapa langkah dalam menjadikan pembangunan berbasis sumberdaya kelautan sebagai arus utama pembangunan bangsa. Pembangunan ekonomi dunia di masa datang yang penuh tantangan dan persaingan yang ketat, membutuhkan faktor-faktor produksi seperti sumberdaya alam yang penggunaannya akan semakin meningkat. Bahkan tidak mustahil akan mengakibatkan kelangkaan serta persaingan dalam mendapatkannya. Dengan demikian orientasi pembangunan bangsa Indonesia ke depan yang berbasis pada sumberdaya kelautan merupakan suatu keniscayaan. Karakteristik geografis Indonesia serta struktur dan tipologi ekosistemmya yang didominasi oleh lautan telah menjadikan bangsa Indonesia sebagai negara yang memiliki keanekargaman yang tinggi dan terbesar di dunia, yang merupakan justifikasi bahwa Indonesia merupakan salah satu negara bahari terbesar di dunia. Fakta ini menunjukkan bahwa sumberdaya kelautan merupakan kekayaan alam yang memiliki peluang amat potensial dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang efektif dalam pembangunan bangsa Indonesia. Berdasarkan jenisnya sumberdaya kelautan dibagi menjadi: (1) Sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) antara lain ikan dan biota perairan lainnya, hutan mangrove, padang lamun, rumput laut, ekosistem pantai dan pulau-pulau kecil; (2) Sumberdaya yang tak dapat pulih (unrenewable resources), antara lain minyak dan gas bumi, bahan tambang dan mineral lainnya; (3) Energi kelautan, antara lain gelombang, pasang surut, OTEC (Ocean Thennal Energy Conversion), dan angin; (4) Jasa lingkungan, antara lain media transportasi dan komunikasi, pengaturan iklim, keindahan alam, dan penyerapan limbah. Dengan luas laut 5,8 juta km, Indonesia sesungguhnya memiliki sumberdaya perikanan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Sumberdaya laut Indonesia dengan kekayaan keanekaragaman hayati memiliki potensi untuk pengembangan bioteknologi kelautan. Sumber daya tersebut memiliki kegunaan untuk makanan, minuman, farmasi, dan kosmetika. Diperkirakan terdapat 35.000 spesies biota laut memiliki potensi sebagai penghasil obat-obatan, sementara yang dimanfaatkan baru 5.000 spesies. Potensi wisata bahari Indonesia pun memiliki nilai yang cukup tinggi. Di Indonesia terdapat 241 Kabupaten/ kota yang memiliki pesisir.

51

Dengan demikian Indonesia memiliki lokasi obyek wisata bahari yang cukup besar dibandingkan dengan negara lain. Produk yang bisa dikembangkan antara lain wisata bisnis, wisata pantai, wisata budaya, wisata pesiar, wisata alam, dan wisata olahraga. Dari sektor pertambangan, laut Indonesia menyimpan potensi kekayaan yang cukup besar berupa minyak dan gas bumi. Diperkirakan Indonesia memiliki cadangan minyak bumi yang dapat menghasilkan 84,48 milyar barel minyak. Dari sejumlah itu, baru 9,8 milyar barel yang diketahui pasti. Sedangkan sisanya sebesar 74,68 milyar barel berupa kekayaan yang belum dimanfaatkan. Keberhasilan pembangunan di bidang kelautan sejatinya tidak hanya ditunjukkan dengan mengklaim diri sebagai negara maritim atau diwujudkan melalui kebanggaan terhadap keunggulan komparatif yang dimiliki saja, tetapi sejauh mana kemampuan kita dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya kelautan tersebut dalam mencapai kemakmuran bangsa. Peraturan dan perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek kegiatan pengelolaan di bidang kelautan, secara kuantitatif relatif sudah memadai. Selama tiga puluh tahun terakhir, tidak kurang dari tiga puluh produk hukum telah diproduksi untuk mengatur sektor perikanan. Namun, secara substantif, produk hukum tersebut sangat memprihatinkan. Secara kategorik, produk hukum perikanan tersebut memiliki tiga ciri pokok, yakni sentralistik, berbasis pada doktrin open-access, dan anti pluralisme hukum. Ciri sentralistik dari produk hukum di sektor perikanan menjelma, baik dari sisi materi maupun dari sisi proses produksinya. Dari sisi materi muatannya, produk hukum tersebut mengkonsentrasikan kewenangan pengelolaan sumberdaya perikanan hanya pada pemerintah pusat. Hal ini kemudian mendorong tumbuhnya sikap merasa tidak memiliki laut di kalangan pemerintah dan masyarakat daerah. Akibatnya, di mata pemerintah dan masyarakat daerah, laut dipandang sebagai halaman belakang dan bak sampah. Suatu hal yang tidak kondusif bagi upaya konservasi sumberdaya kelautan. Dari sisi proses produksinya, hukum kelautan pada umumnya, diformulasi dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres) dan Keputusan Menteri (Kepmen). Produk hukum yang demikian, jelas kurang memiliki akuntabilitas politik. Selanjutnya, hukum kelautan kita juga dirancang atas dasar doktrin bahwa sumberdaya kelautan merupakan sumberdaya open-access sehingga pembatasan keikutsertaan dalam okupasinya menjadi sesuatu yang dipantangkan. Laut, ibarat sebuah arena pertarungan bebas, yang tentu saja akan selalu melahirkan pemenang dan pecundang. Pengalaman menunjukkan bahwa para pengusaha perikanan berkapital besar yang selalu keluar sebagai pemenang. Perlawanan nelayan tradisional yang cenderung sangat radikal, seperti di Bagan Percut Sumatera Utara, merupakan isyarat bahwa tekanan terhadap nelayan tradisional sudah sampai pada titik yang tidak mampu ditolerir.

52

Konsekuensi logis dari kedua ciri di atas, yakni hukum kelautan yang anti kemajemukan. Hukum adat dan tradisi masyarakat lokal tidak diakui sebagai bagian dari sistem hukum nasional, padahal hukum adat tersebut telah terbukti sangat efektif menjaga kelestarian sumberdaya alam. Sasi di Maluku, panglima laut di Aceh, atau tradisi rompong di Sulawesi Selatan merupakan contoh aktual dari hukum adat atau tradisi lokal yang demikian itu. Sesungguhnya, terdapat pula beberapa produk hukum yang memihak kepentingan nelayan tradisional, seperti larangan penggunaan pukat harimau. Namun, ketika sampai pada tingkat implementasi, ketentuan tersebut seperti tak bergigi. Lemahnya penegakan hukum masih merupakan salah satu kendala. Kelahiran UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, memberikan secercah harapan. Melalui UU ini, sentralisme kewenangan pengelolaan sumberdaya kelautan dapat dikurangi. Pemerintah daerah diberikan kewenangan yang signifikan untuk mengelola laut. Karena itu, yang diperlukan saat ini bukan menghapus ketentuan Pasal 3 dan 10 UU Nomor 22 Tahun 1999, yang membuka peluang desentralisasi, tetapi penjabaran dan penyusunan standar dan prosedur pengelolaan yang baik dan bertanggungjawab sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan yang diterima secara universal. Sebagai negara kepulauan, Indonesia yang memiliki 17.504 pulau-pulau besar dan kecil dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, telah menjadikan bangsa ini sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Namun frame work pembangunan bangsa yang dipraktekkan selama ini mengakibatkan kita hanya mengenal pulau-pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Papua dan Bali, yang menjadi pusat-pusat aktivitas utama dalam pembangunan. Akibatnya banyak dari kita yang kurang mengenal pulau-pulau kecil atau gugusan pulau-pulau kecil lainnya sehingga kawasan ini menjadi terlantar atau tidak terkelola dengan baik. Konsekuensi logis dari keadaan ini menimbulkan kesenjangan pertumbuhan dan kurangnya sinkronisasi pengembangan antarwilayah. Pada gilirannya, hal ini akan membawa kepada muculnya kerawanan baru terutama pada pulau-pulau di kawasan perbatasan. Contoh paling nyata yang baru saja kita rasakan adalah keputusan Mahkamah Internasional tanggal 17 Desember 2002 di Den Haag, Belanda yang memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan berada dalam kedaulatan Malaysia. Alasan utama keputusan itu dilandasi oleh adanya tindakan administratif secara nyata oleh pemerintah Inggris pada kedua pulau tersebut sejak tahun 1917. Dengan perkataan lain, dari pengalaman ini dapat kita simpulkan bahwa tanpa adanya perhatian terhadap pemberdayaan pulau-pulau kecil, terutama yang berbatasan dengan negara asing, maka kedaulatan bangsa Indonesia sesungguhnya dalam ancaman besar. Oleh sebab itu, sentuhan pembangunan pada pulau-pulau serupa perlu dilakukan meskipun memiliki tingkat keisolasian yang tinggi. Sentuhan tersebut dapat dilakukan

53

dengan cara menarik investasi ke pulau-pulau tersebut, mendeklarasikan pulau yang memiliki produktivitas hayati yang tinggi sebagai kawasan konservasi, melakukan penataan ruang, mendorong nelayan melakukan aktivitas penangkapan di perairan sekitar pulau, merangsang aktivitas ekonomi masyarakat penghuni pulau melalui paket-paket tertentu. Di lain pihak, pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil tersebut masih dihadapkan pada berbagai masalah antara lain letaknya yang terpencil, terbatasnya sarana, prasarana dan sumberdaya manusia. Di samping itu, di dalam pemanfaatannya perlu memperhatikan daya dukung pulau mengingat sifatnya yang rentan terhadap perubahan lingkungan. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di kawasan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara terencana dan terintegrasi dengan melibatkan peran serta masyarakat setempat, sehingga dapat mewujudkan pemanfaatan potensi sumberdaya pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat.

54

BAB 7 EKONOMI (INDUSTRI) MARITIM

Ekonomi (industri) kelautan dikembangkan untuk mentransformasikan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif melalui industri maritim dalam rangka peningkatan ketahanan nasional. Industri maritim dikembangkan dengan menerapkan asas angkutan laut dalam negeri dan hanya boleh dilakukan oleh kapal-kapal berbendera Indonesia (Asas cabotage). Industri maritim membuka lapangan pekerjaan yang seluasluasnya bagi masyarakat Indonesia. Kebijakan di bidang industri kemaritiman,dimaksudkan untuk menumbuh kembangkan industri berbagai aspek kelautan, seperti pelayaran, perikanan, sumberdaya energi dan mineral, pariwisata, permukiman, dan keterkaitannya, disamping industri pendukungnya, misalnya: fasilitas pembuatan pelabuhan, pemeliharaan dan perbaikannya pada lokasi-lokasi yang strategis, yang meliputi seluruh perairan Indonesia dan memiliki kemudahan dukungan berbagai bahan baku dan suku cadang. Indutri kemaritiman yang dikembangkan perlu mengikuti kaidah-kaidah lingkungan yang berlaku, pada tingkat global, regional, nasional maupun lokal. Industri kemaritiman ini perlu diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan internasional yang berlaku dan selalu dikembangkan, seperti: Industri yang berwawasan lingkungan, dan berdasarkan pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), antara lain Oceans Technology, limbah hasil industri yang didaur-ulang berdasarkan prinsip 5-R (Recycle, Reuse, Reduce, Rehabilitation, Recover), upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan perusakan lingkungan, dan menghasilkan permasalahan yang timbul yang berkaitan dengan berbagai jenis limbah yang dihasilkan dalam proses kegiatan tersebut di perairan laut. Industri kemaritiman disamping mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku, juga perlu mempertimbangkan aspek SDM. Penggunaan tenaga kerja yang semaksimal mungkin, dan juga perlu pengembangan sumberdaya manusia Indonesia, melalui Diklat serta kegiatan untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan lain. Selama ini pembangunan ekonomi berbasis sumber daya kelautan di Indonesia masih belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya, akibatnya mengubah keterpurukan sosial ekonomi masyarakat pesisir, industri perikanan, pelayaran dan wisata bahari. Sebanyak 22% dari penduduk Indonesia adalah masyarakat yang menempati areal pesisir sebagai tempat tinggal dan bekerja pada sektor yang berhubungan dengan kelautan. Kenyataannya sebanyak 65% nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir sebagai pelaku dan objek dari pembangunan masih terjebak dalam kemiskinan. 55

Berdasarkan kontribusi kegiatan ekonomi berbasis sumberdaya kelautan terhadap PDB masih sangat kecil dibandingkan dengan potensi yang kita miliki, apalagi bila dibandingkan dengan negara lainnya yang memiliki sumberdaya kelautan lebih kecil dari Indonesia, seperti: Islandia, Cina dan Jepang di mana kontribusi ekonomi dari bidang kelautannya masing-masing sebesar 65%, 48%, dan 54%. Berkat perjuangan para penyelenggara negara ini, Indonesia telah diakui dalam Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut, sehingga mempunyai kedaulatan dan yurisdiksi atas kawasan dan kekayaan alam di luar Nusantara Indonesia, yaitu di Zone Tambahan dan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE). Dengan itu maka Indonesia mempunyai hak tertentu untuk memanfaatkan kawasan yang luasnya sekitar 8 juta km2 atau empat kali lipat dari wilayah teritorial Indonesia pada awal kemerdekaan di tahun 1945. Situasi itu selain membawa Indonesia menjadi negara yang sangat luas juga mempunyai keunggulan komparatif yang luar biasa di sektor kelautan dan perikanan, pariwisata, kehutanan, energi dan sumberdaya mineral. Untuk menempatkan keunggulan komperatif yang luar biasa disektor ini diperlukan suatu strategi pembangunan ekonomi di bidang industri maritim. Adapun Strategi pembangunan ekonomi industri maritim adalah : a. Sumberdaya alam yang terkandung baik di pulau-pulau yang tersebar, maupun yang berada di wilayah lautan harus dikelola secara bijak, bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat yang berkeberlanjutan. Diperlukan kebijakan yang adil dan seimbang antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola sumberdaya alam - tanah, air, udara dan kandungan di dalamnya untuk mendorong tumbuhnya rasa persatuan dan kesatuan nasional dalam menjaga keutuhan wilayah NKRI. c. Pembangunan industri maritim harus dibangun melalui pengembangan teknologi kemaritiman modern yang mempunyai keterkaitan dengan teknologi tepat-guna massal yang berkembang di wilayah pesisir, namun tetap memberi dukungan bagi pengembangan agribisnis di wilayah agraris di pedalaman. Pembangunan industri maritim harus dapat mendorong tumbuh kembangnya sistem transportasi nasional yang handal, yang memadukan mempermudah hubungan antar pulau, sehingga dengan itu akan memberikan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya rasa persatuan dan kesatuan nasional. Pembangunan industri maritim harus sejauh mungkin menggunakan potensi sumberdaya alam nasional, dan dengan kemampuan bangsa Indonesia sendiri, yang dapat ditingkatkan melalui pendidikan ke mancanegara melalui alih teknologi dari tenaga ahli asing yang didatangkan.

b.

d.

e.

56

f.

Pembangunan industri maritim dapat membawa kembali kejayaan Indonesia sebagai negara bahari, maka industri maritim harus dapat meningkatkan budidaya kelautan dan perikanan dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Industri Pelayaran

7.1

Potensi jasa lingkungan kelautan lainnya yang masih memerlukan sentuhan pendayagunaan secara profesional agar potensi ini dapat dimanfaatkan secara optimal adalah jasa transportasi laut (perhubungan laut). Betapa tidak, sebagai negara maritim ternyata pangsa pasar angkutan laut baik antar pulau maupun antar negara masih dikuasai oleh armada niaga berbendera asing. Berdasarkan data yang ada, hampir 80 persen proses perpindahan barang dan jasa antar pulau menggunakan jasa perhubungan laut. Industri pelayaran dikembangkan untuk memantapkan perwujudan wawasan nusantara serta memperlancar roda perekonomian dan perdagangan. Industri pelayaran dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan negara dalam masa perang atau dalam bahaya perang. Industri pelayaran sebagaimana dimaksud meliputi industri perkapalan, angkutan laut dan pelabuhan. Pemerintah membangun pelabuhan umum untuk mendukung kegiatan armada pelayaran niaga nasional dan kegiatan perdagangan kawasan hinterlan masing-masing pelabuhan. Kerjasama angkutan laut antar perusahaan pelayaran nasional dengan perusahaan pelayaran asing dilakukan berdasarkan prinsip timbal balik (reci procal) ketersediaan terminal pelabuhan pada kedua belah pihak. Tata ruang wilayah pelabuhan dan sekitarnya harus memperhatikan kelancaran kegiatan pelabuhan. Daya saing pelabuhan - pelabuhan pengumpul (hubports) nasional didukung sepenuhnya oleh armada pelayaran nasional. Perencanaan pengembangan pelabuhan umum melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, asosiasi pelayaran nasional, Kamar Dagang Indonesia dan pihak-pihak terkait lainnya untuk mewujudkan sistem pelabuhan komunitas (community port) secara terpadu dengan sistem transportasi laut dan intermoda nasional. Pemerintah menyelenggarakan pelabuhan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayaran nasional. Perkembangan pelabuhan mengikuti perkembangan armada niaga nasional dan perkembangan armada niaga nasional mengikuti perkembangan perdagangan. Armada niaga nasional menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan berlayar, serta angkutan laut dan tempat perpindahan intra dan/ atau antarmoda.

57

Gambar 5 Konsep Pelabuhan Dan Zona Perhubungan

Sumber : Departemen Perhubungan Pelayaran Indonesia memiliki nilai sangat srategis tidak saja dalam aspek ekonomi, karena mendatangkan devisa, kesempatan kerja, dan membangkitkan ekonomi lainnya, tetapi juga dalam aspek lainnya seperti kedaulatan (sea power) dan pemersatu bangsa. Namun industri pelayaran Indonesia dewasa ini dalam kondisi sangat memprihatinkan. Hal ini di sebabkan oleh berbagai faktor antara lain: Belum adanya dukungan perbankan Tidak mampu mengembangkan armada Praktek pengoperasian kapal asing yang menimbulkan dampak negatif, misalnya kemudahan menyewa kapal Syarat-syarat dalam melaksanakan bisnis perdagangan khususnya perdagangan ekspor (FOB, Freight On Board) dan perdagangan impor (CIF, Cost Insurance and Freight) yang dalam birokrasinya sangat sulit. Banyak pelabuhan terbuka bagi perdagangan luar negeri Sarana dan prasarana pelabuhan yang tersedia belum mempunyai fasilitas pelabuhan untuk pelayanan kapal penumpang dan masih bergabung dengan pelayanan kapal barang Sertifikat kepelautan yang diterbitkan belum memenuhi standar Internasional. Belum adanya jaringan informasi Berdasarkan DATA pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 95,38% dari kegiatan ekspor-impor dan 46,99% pelayaran domestik dilayani oleh kapal-kapal berbendera asing, sementara disisi lain pelayaran rakyat atau tradisional kondisinya semakin terpuruk.

58

Gambar 6 Jaringan Pelayanan Transportasi Laut Antarpulau (Interinsulair)

Sumber : Makalah Perumusan Kebijakan Penguatan Kelembagaan Dewan Maritim Indonesia di Daerah
Selain permasalahan di atas, akibat bisnis yang tidak terintegrasi secara baik, manajemen yang kurang profesional, kapasitas dan kualitas pendidikan pelaut (SDM), sistem dan kualitas serta kapasitas pelayanan pelabuhan, pajak dan retribusi, dan kredit (pendanaan) untuk modal serta sistem hukum yang belum memadai, menyebabkan kelemahan tersendiri bagi industri pelayaran. Belum dilaksanakannya pengembangan jaringan infrastruktur pelabuhan dalam tatanan kepelabuhan nasional yang berakibat pengoperasian pelabuhan tidak optimal sehingga secara nasional tidak efisien karena investasi yang berlebihan. Pelabuhanpelabuhan di Indonesia umumnya belum mempunyai master plan yang memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjamin kepastian usaha dan investasi. 7.2 Industri Perikanan

Laut Indonesia yang kaya akan berbagai jenis ikan harus dimanfaatkan untuk pengembangan industri perikanan nasional yang didukung oleh armada dengan teknologi penangkapan ikan yang canggih, budidaya perikanan, pemasaran, dan dikembangkan secara terpadu dengan pelabuhan perikanan, armada perikanan, fasilitas, pengelolaan ikan dan pemasaran, sehingga menjadi industri perikanan yang terkemuka di dunia. Industri perikanan nasional merupakan salah satu sektor unggulan untuk meningkatkan perekonomian nasional dan ketahanan nasional bangsa Indonesia. Industri perikanan nasional meliputi pengolahan ikan, pengalengan ikan, dan eksport yang sesuai dengan standart kualitas nasional dan internasional. Untuk mendukung industri perikanan nasional, telah dibangun beberapa sarana dan prasarana berupa pelabuhan perikanan yang terdapat di 32 titik wilayah Belt Ekonomi Maritim yaitu di Lampulo,

59

Belawan, Sibolga, P. Tello, Bungus, Sikakap, Tarempa, Sungai Liat, tanjung Pandan, Muarangantu, Pelabuhan Ratu, Kejawanan, Cilacap, Pekalongan, Karimun Jawa, Perigi, Brondong, Bawean, Pemangkat, Teluk Batang, Hantipan, Banjarmasin, Tarakan, Dagho, Bitung, Kendari, Lab. Lombok, Kupang, Ambon, Sorong, Bali, P. Tual. Sedangkan pelabuhan perikanan yang dalam pengembangan yaitu P. Enggano, P. Nusa Barung, P. Sumba, P. Roti, P. Wetar, P. Waegeo, P. Biak, P. Madura, P. Buru, P. Banda, P. Bacan, Kep. Banggai, Bagansiapi-api, P. Bengkalis, P. Sabang. Pemerintah secara aktif melakukan pengawasan terhadap kapal-kapal ikan Indonesia, untuk mencegah dan memerangi penangkapan ikan ilegal. Kapal perikanan berbendera asing dilarang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia. Indonesia harus menjadi anggota organisasi dan komisi-komisi regional dan internasional yang berhubungan dengan aspek ekologi perikanan untuk menjaga sumberdaya perikanan secara berkelanjutan demikian juga memasuki organisasi/komite yang berhubungan dengan pemberian sangsi dan/atau pengawasan terhadap pencurian ikan dan perikanan yang tidak dilaporkan, laporannya salah, dan laporannya di bawah standar.K o n d i s i industri perikanan di Indonesia saat ini masih sangat memprihatinkan, hal ini dapat dilihat dari kecilnya kontribusi perikanan terhadap pendapatan nasional. Faktor-faktor yang menyebabkan permasalahan ini antara lain adanya pencurian ikan secara ilegal, lemahnya pengawasan, pengrusakan lingkungan hidup, dan lainnya dan juga mengenai masalah distribusi (pemasaran) yang masih dikuasai oleh negara asing. Gambar 8. Wilayah Pengembangan Perikanan (WPP) dan Potensi Sumberdayanya

Sumber :

Makalah Perumusan Kebijakan Penguatan Kelembagaan Dewan Maritim Indonesia di Daerah

60

Pemanfaatan sumberdaya laut di Indonesia baru mencapai 62 % dari potensi lestarinya dan tidak sampai ambang batas merusak lingkungan seperti yang menjadi syarat dari Federation Agriculture Organization (FAO) sebesar 80 % pemanfaatan sumberdaya ikan dari potensi lestari. Dan untuk produksi perikanan Indonesia sampai saat ini mencapai 618 juta ton pertahun. Di Indonesia terdapat beberapa wilayah pengelolaan sumberdaya ikan, yaitu selat Malaka, Laut Cina Selatan, Utara Jawa dan Selat Sunda, Selat makassar dan laut Flores, Laut Banda, Laut Arafura, Laut Tomini dan Laut Maluku, Laut Sulawesi, dan Samudera Hindia. Di kawasan Barat Indonesia (KBI) terdapat jenis ikan pelagis kecil, udang dan ikan demersal, kecuali di Samudera Hindia terdapat Tuna besar, cakalang, pelagis kecil, udang dan ikan demersal. Sedangkan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) khususnya laut dalam terdapat jenis ikan seperti Tuna besar, Cakalang, pelagis kecil, udang dan ikan domersal. Pangsa ekspor ikan Indonesia selama ini di lakukan pada Negara besar di dunia seperti: Negara Jepang, Amerika, Spanyol dan Negara Prancis. Jepang merupakan importir terbesar jenis ikan tuna dan cakalang baik dalam bentuk segar atau beku. Pada tahun 1996 Jepang mengimpor ikan tuna/cakalang sebesar 69.568 ton senilai $627.1 juta dibandingkan dengan tahun 1994 yang sebesar 69.288 ton, mengalami kenaikan yang cukup berarti. Importir lainnya adalah Amerika Serikat yang mengalami kenaikan drastis permintaan ikan dari 14.291 ton (1994) menjadi 18.754 pada tahun 1996 senilai 116.7 juta US$; Negara Spanyol dan Perancis yang masing-masing 7.856 ton (senilai US$ 25.7 juta) dan 6.293 ton (senilai US $ 20.6 juta). Perairan Indonesia diperkirakan memiliki potensi lestari ikan laut sebesar 6,4 juta ton pertahun. Potensi tersebut terdiri dari ikan pelagis besar 1,65 juta ton, ikan pelagis kecil 3,6 juta ton, ikan demersal 1,36 juta ton, ikan karang 145 ribu ton, udang peneid 94,8 ribu ton, lobster 4,8 ribu ton, dan cumi-cumi 28,25 ribu ton (Dahuri, 2003). Berdasarkan perhitungan harga di tingkat produsen tahun 2000 nilai produksi ikan tangkap mencapai Rp. 18,46 triliun. Sedangkan untuk benih ikan laut mencapai Rp 8,07 milyar. Sedangkan untuk budidaya laut yang meliputi ikan, rumput laut, kerang-kerangan, tiram, teripang, mutiara mencapai produksi senilai Rp 1,36 triliun di tingkat produsen pada tahun 2002. Selain potensi perikanan tangkap, Indonesia memiliki potensi perikanan budidaya yang cukup besar. Potensi lahan kegiatan budidaya laut diperkirakan mencapai 24,53 juta ha yang terbentang dari ujung bagian barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia yang diukur sepanjang 5 km dari garis pantai ke arah laut. Komoditaskomoditas yang dapat dibudidayakan pada areal tersebut antara lain: ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang, kerang mutiara, abalone, dan rumput laut. Pada tahun 2000, kegiatan budidaya laut (marikultur) mencapai produksi sebesar 994,962 ton dengan

61

nilai sebesar Rp 1,36 triliun berdasarkan nilai pada tingkat produsen (Statistik Budidaya Perikanan, 2001). Indonesia juga memiliki potensi pengembangan budidaya tambak yang cukup besar. Lahan utama yang potensial bagi pengembangan budidaya tambak terletak di daerah hutan bakau. Ditjen Perikanan (1999) memperkirakan potensi lahan pengembangan tambak di Indonesia mencapai 913.000 ha, sedangkan tingkat pemanfaatannya baru mencapai 344.759 ha atau sekitar 40 persen dari total potensinya. Komoditas-komoditas potensial yang dapat dibudidayakan adalah: udang windu, udang putih, udang api-api, udang cendana, ikan bandeng, baronang, belanak, dan ikan nila. Pada tahun 2000, kegiatan budidaya tambak baru mencapai produksi sebesar 430.017 ton atau sekitar 24 persen dari potensi lahan yang tersedia, apabila setiap 1 ha lahan menghasilkan produksi 2 ton maka nilai produksinya sebesar Rp 7,46 triliun (Statistik Budidaya Perikanan, 2001). 7.3. Industri Pariwisata Bahari Pemerintah mendorong pengembangan potensi wisata bahari di seluruh perairan Indonesia sebagai upaya meningkatkan perekonomian nasional dan mendukung usaha masyarakat di bidang pariwisata. Pengembangan wisata bahari harus melibatkan peran serta masyarakat lokal, adat, dan pesisir serta memperhatikan pertimbangan para pemangku kepentingan, pelayanan satu atap dan kemudahan masuk Indonesia. Perencanaan wisata bahari harus dikaitkan dengan lingkungan dan tata ruang untuk menjaga kelestarian lingkungan dan keterpaduan pembangunan serta memperhatikan keselamatan dan keamanan wisatawan, pelabuhan/marina, acara wisata dan pemasaran. Pengusahaan wisata bahari yang memanfaatkan pantai harus memberikan ruang bagi kepentingan umum. Pemerintah berkeinginan membangun infrastruktur pariwisata bahari, pelabuhan/marina, fasilitas umum keselamatan dan keamanan, bagi para wisatawan. Untuk menjamin keselamatan dan keamanan kapal-kapal wisata bahari, pemerintah menyediakan fasilitas berupa alat komunikasi dan stasiun-stasiun pelaporan radio, dan penjagaan pantai dan penyelamatan. Pengembangan wisata bahari di daerah perbatasan dan daerah pulau-pulau kecil terluar harus memperhatikan kepentingan Indonesia jauh ke depan, masyarakat negara tetangga dan batas-batas wilayah Indonesia. Dengan melihat latar belakang laut Indonesia yang merupakan terbesar dari Aseanarean, yang memiliki potensi wisata bahari beraneka ragam. Potensi ini mengandung keunikan dan kelangkaan dibandingkan dengan kawasan mediteranean dan carribean. Sebenarnya, industri wisata bahari Indonesia berpeluang menjadi salah satu tujuan wisata bahari terbesar di dunia dengan berbasis marine ecotourism. Namun industri ini juga tak luput dari ancaman yang timbul dari dalam maupun dari luar. 62

Ancaman-ancaman tersebut bisa berasal dari negara tetangga yang selama ini dianggap sebagai pesaing dan yang mengeksploitasi, keamanan yang belum kondusif, dan pemasaran yang masih didominasi oleh negara lain. Sementara dari dalam, ancaman itu muncul berupa masih adanya masyarakat yang merusak atau mencemari lingkungan. Cruising Approval For Indonesian Territory (CAIT) dan penyusunan Custom Immigration Port Clearance dan Quarantine (CIPQ) yang menyulitkan ditambah lagi kebijakan fiskal yang belum mendukung. Obyek wisata bahari yang meliputi wisata selam, wisata marina dan rekreasi air. Wisata selam menekankan pada usaha kegiatan penyediaan sarana, fasilitas atau jasa pemanduan untuk penjelajahan alam bawah air. Wisata marina merupakan kegiatan bisnis berupa penyediaan tempat berlabuh dan tambatnya kapalkapal pesiar, kapal layar atau lainnya. Rekreasi air adalah kegiatan usaha penyediaan sarana prasarana di perairan laut atau pantai. Kegiatan wisata bahari seperti pemancingan (game fishing), selancar, sky air, berenang, selam di kawasan terumbu karang, yang dihuni oleh berbagai jenis ikan hias laut. Jenis-jenis wisata demikian umumnya terdapat di pulau-pulau kecil yang menyebar di seluruh Nusantara. Potensi wisata bahari terdapat pada 21 pulau yang tercakup dalam Belt Ekonomi Kelautan, yaitu Pulau Sabang (game fishing); P. Nias (selancar angin dan game fishing), P. Siberut (game fishing, selancar angin); P. Enggano (game fishing, selancar angin); Ujung Kulon (game fishing, selancar angin); Pengandaran (wisata pantai); Cilacap (wisata pantai); P. Sumba (menyelam); P. Roti (game fishing); P. Biak (menyelam); P. Moyo (game fishing); Sanger Talaud (menyelam); P. Belitung (wisata pantai); P. Bali (wisata pantai, selancar angin); Krakatau (wisata pantai, game fishing); P. Karimata (wisata pantai); P.Rupat (wisata pantai). Pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan juga dapat dilakukan terhadap jasa-jasa lingkungan, terutama untuk pengembangan pariwisata dan pelayaran. Dewasa ini pariwisata berbasis kelautan (wisata bahari) telah menjadi salah satu produk pariwisata yang menarik dunia internasional. Pembangunan kepariwisataan bahari pada hakekatnya adalah upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, yang terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis. Pada tahun 2002 pariwisata bahari menyumbang US$ 4,5 milyar atau menurun 16,5 persen dari tahun 2001 yang mencapai US$ 5,428 milyar (Media Indonesia, 2002). Penurunan ini disebabkan oleh kondisi stabilitas nasional Indonesia terutama setelah ledakan bom di pulau Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang lalu. Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan bagi perkembangan dunia pariwisata pada khususnya, perekonomian Indonesia pada umumnya. Untuk membangkitkan kembali dunia pariwisata, perlu upaya serius dari setiap elemen masyarakat Indonesia untuk 63

menciptakan suasana yang kondusif sehingga memberikan kenyamanan dan ketenangan di seluruh kawasan Indonesia. Selain itu perlu memperhatikan kekhasan, nilai jual dan peningkatan mutu komoditi pariwisata, sehingga dapat menarik masyarakat internasional untuk berkunjung ke Indonesia. Kemudian untuk Alur wisata bahari melalui kapal pesiar yang selama ini dikelola oleh Singapura yaitu: dari Singapura melalui Selat Karimata - Selat Makassar ke Manado Wakatobi Tabonerate Bali Karimunjawa Kepulauan Seribu Ujung Kulon Karakatau Raiu kembali ke Singapura. Biaya untuk menikmati wisata bahari tersebut 2000 dolar AS per orang. 7.4. Industri Energi dan Sumberdaya Mineral Pemerintah mendorong pengembangan industri energi dan sumberdaya mineral sebagai upaya peningkatan perekonomian nasional dan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Industri energi dari laut bersumber pada dinamika gelombang, pola arus dan pasang surut dikembangkan sesuai kebutuhan dan kemampuan daya dukung, sedangkan industri sumberdaya mineral bersumber dari air laut, dasar laut dan tanah dibawahnya dikembangkan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, keterpaduan pembangunan lainnya, keselamatan dan keamanan kerja. Teknologi industri energi dan sumberdaya mineral dikuasai ahli-ahli bangsa Indonesia melalui pendidikan dan kerjasama luar negeri. Perubahan sumberdaya mineral di laut menjadi energi dikembangkan dengan memperhatikan penanganan limbah. Pengolahan dan penggunaan sumberdaya mineral dilakukan dengan memperhatikan hasil eksplorasi, potensi kandungan dan konservasi energi. Energi kelautan merupakan energi non-konvensional dan termasuk sumberdaya kelautan non hayati yang dapat diperbaharui yang memiliki potensi untuk dikembangkan di kawasan pesisir dan lautan Indonesia. Keberadaan sumberdaya ini dimasa yang akan datang semakin signifikan manakala energi yang bersumber dari BBM (bahan bakar minyak) semakin menipis. Jenis energi kelautan yang berpeluang dikembangkan adalah ocean thermal energy conversion (OTEC), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi dari perbedaan salinitas. Perairan Indonesia merupakan suatu wilayah perairan yang sangat ideal untuk mengembangkan sumber energi OTEC. Hal ini dimungkinkan karena OTEC didasari pada perbedaan suhu air laut permukaan dengan suhu air pada kedalaman 1 km minimal 20C. Hal ini terlihat dari banyak laut, teluk serta selat yang cukup dalam di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan OTEC. Salah satu pilot plant OTEC dikembangkan di pantai utara Pulau Bali.

64

Sumber energi kelautan lainnya, antara lain energi yang berasal dari perbedaan pasang surut, dan energi yang berasal dari gelombang. Kedua macam energi tersebut juga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di Indonesia. Kajian terhadap sumber energi ini seperti yang dilakukan oleh BPPT bekerjasama dengan Norwegia di Pantai Baron, D. I Yogyakarta. Hasil dari kegiatan ini merupakan masukan yang penting dan pengalaman yang berguna dalam upaya Indonesia mempersiapkan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan energi non konvensional. Sementara itu, potensi pengembangan sumber energi pasang surut di Indonesia paling tidak terdapat di dua lokasi, yaitu Bagan Siapi-api dan Merauke, karena di kedua lokasi ini kisaran pasang surutnya mencapai 6 meter. Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi seluruh mineral dan geologi. Indonesia sebagai negara maritim memiliki kandungan minyak dan gas bumi yang besar, berdasarkan data geologi, diketahui bahwa Indonesia memiliki 60 cekungan potensi yang mengandung minyak dan gas bumi seperti di Selatan Makassar. Dari 60 cekungan tersebut, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 cekungan berada di daerah transisi daratan dan lautan (pesisir) dan hanya 6 cekungan yang berada di daratan. Dari 60 cekungan tersebut diperkirakan dapat menghasilkan 84,48 milyar berel minyak, namun baru 9,8 milyar barel yang diketahui dengan pasti, sedangkan sisanya sebesar 74,68 milyar barel berupa kekayaan yang belum dimanfaatkan. Sumber mineral dasar laut ditemukan di daerah hidrotermal atau di daerah gunung api dasar laut yang terdapat di wilayah perairan Maluku dan Sulawesi bagian utara ini. Di daerah hidrotermal ini terjadi keluaran cairan magma dari perut bumi dan terjadi mineralisasi karena tercampur dengan air laut. Mineral ini bertumpuk-tumpuk di mulut magma yang menghasilkan puncak gunung yang runcing dan menjulang tinggi pada kedalaman sekitar 2000 hingga 4000 meter dari permukaan laut. Sebagai gambaran besarnya sumber tambang dasar laut di perairan ini adalah sumber tambang dasar laut di Papua Nugini yang mengandung tembaga, seng plumbum, emas dan perak, eksploitasinya mencapai tingkat 200 ton per hari. Disamping memiliki potensi migas, Indonesia juga memiliki potensi sumberdaya alam yang terdapat di pantai dan lautan meliputi seluruh mineral yang terdiri dari tiga kelas, yaitu kelas A (mineral strategis: minyak, gas dan batu bara); kelas B (mineral vital: emas, timah, bauksit, nikel ,bijih besi, cromite); dan kelas C (mineral industri: termasuk bahan bangunan dan galian seperti granit, tanah liat, kaolin dan pasir. Secara umum pertambangan di wilayah Belt Ekonomi Maritim yang sudah beroperasi terdapat di Kepulauan Riau, Indramayu, Bawean, Bontang, dan Sale/Papua. Sedangkan wilayah lautan yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi wilayah pertambangan adalah Natuna, Teluk Cendrawasih, Banda/Maluku, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Selat Makassar dan Halmahera.

65

66

DAFTAR PUSTAKA

Acciaioli, G.L.1989.Searching For Good Fortune: the Making of A Bugis Shore Community at Lake Lindu, Central Sulawesi. Disertasi. Australian National University. 1998. Bugis Enterpreneurialism and Resource Use: Structure and Practise. Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology. No.57, Th. XXII September-Desember 1998: 81-91. Acheson, James, M. 1981. Anthropology of Fishing. In Bernard J. Siegel, Alam R. Beals dan Stephen A. Tyler (eds). Annual Review of Anthropology. Vol. 10 : 275-316, Palo Alto. Akimichi, Tomoya. 1991. Coastal Foragers in Transition. Senri Ethnological Studies No. 42, National Museum of Ethnology. Andersen, R. dan Cato Wadel. 1982. North Atlantic Fishermen: Anthropological Essays on Modern Fishing. Newfoundland Social and Economic Research, Memorial University of Newfoundland. Bernard, H.Russel. 1994. Research Metods in Anthropology. London: Sage Publications. Betke, F. 1985. Modernization and Socio Economic Change in The Coastal Marine fisheries of Java : Some Hypotheses. Paper. Sociology of Development Research. Centre University Bieleveld. Borofsky, Robert. 1994. Assessing Cultural Anthropology. Mc Graw-Hill, Inc., New York. 1994. Cultural in Motion. In Robert Borofsky (ed). Assessing Cultural Anthropology (Section five). Mc Graw-Hill, Inc., New York. 1994. On The Knowledge and Knowing of Cultural Activities. In Robert Borofsky (ed.). Assessing Cultural Anthropology (Section five). McGraw-Hill, Inc., New York. Bavinck, Marten. 1984. Small Fry: The Economic of Petty Fishermen in Northern Sri Lanka. VU Uitgeverij/Free University Press. Amsterdam. Curtin, Philip D. 1984. Cross Cultural Trade in World History. Cambridge University Press, London, New York. Dewan Maritim Indonesia. 2003. Indonesia Negara Maritim. Dewan Maritim Indonesia. 2004. Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Kelautan. Direktori Dewan Maritim Indonesia. 2004.Menuju Membangun Negara Maritim.

67

Dewan Maritim Indonesia. 2003. Laporan Semiloka Kebijakan Nasional Bidang Kemaritiman. Dewan Maritim Indonesia. 2003. Kajiaan Penunjang Rancangan Undang-undang Maritim tentang Sistem Pertahanan Keamanan Laut. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri, R., 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah : Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumbedaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. Danusaputro Munadjat St. Mr. Prof. 1982. Wawasan Nusantara. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Firth, Raymond. 1975. Malay Fishermen: Their Peasant Economy. W.W.Norton & Company Inc. New York. Forman, S. 1967. Cognition and The Catch : The Location of Fishing Spots in a Brazilian Coastal Village. Ethnology 6 (4): 417-426. Geertz, C. 1984. Culture and Sosial Change : The Indonesian Case. Man (N.S) 9: 511532. Ginkel, Rob van dan Jojada Verrips. 1988. Introduction. Dalam Maritime Anthropological Study, Vol. 1 (2) 1988. Goodenough, Ward H. 1994. Toward A Working Theory of Culture. In Robert Borofsky (ed.). Assessing Cultural Anthropology (Section four, pp: 262-282). McGraw Hill, Inc., New York, St. Louis. Hamid, Abu. 2003. Pelestarian Budaya Kebaharian Masyarakat Sulawesi Selatan: Suatu Tinjauan Antropologi). Harris, Marvin. 1968. The Rise of Anthropologi Theory. Crowell, New York.1987. The Sacred Cow and the Abiminable Pig: Riddles of on Food and Culture. Simon & Schuster: New York.1999. Theories of Culture in Postmodern Times. Rowman & Littlefield Publishers, Inc. New York. Horridge, Adrian. 1986. Sayling Craft of Indonesia. Oxford: Oxford Univ.Press. Hengky Supit. 2004. Teropong Kajian Tata Kelautan Indonesia. Hasjim Djalal, 1995. Indonesia and the Law of Sea. Lumentah HMJ, 2004. Bahan Konsinyir Penyusunan Draft RUU Kelautan. Jakarta.

68

Hasil Sarasehan Nasional Dewan Maritim Indonesia. 2000. Pokok-pokok Pemikiran Pembangunan Maritim. Jhon Pieres. 2001. Pengembangan Sumber Daya Kelautan(Laut, Territorial dan Perairan Indonesia, Dr. A. Hamzah, SH). Kampen, P.N.van. 1909. De Hulpmiddelen der Zeevisscherij op Java en Madoera in Gebruik. Mededeelingen Uitgande van het Departement van Landbow, No.9. Batavia: G.Colf & Co. Keesing, Roger M. 1994. Theory of Culture Revisited. In Robert Borofsky (ed.). Assessing Cultural Anthropology (Section four). McGraw Hill, Inc., New York, St. Louis. Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru. Jakarta. Kottak dan Elizabeth Colson. 1994. Multilevel Linkages: Longitudinal and Comparative Studies. In Robert Borofsky (ed.). Assessing Cultural Anthropology (Section five, pp: 396-410). McGraw-Hill, Inc.m New York, PP. 397-408. Lampe, Munsi, Darmawan salman, dan Ansar Arifin. 1996/1997. Studi Analisa Sosial COREMAP Propinsi Sulawesi Selatan. Laporan penelitian, Buku 1 dan 2. Universitas Hasanuddin PPT-LIPI. Jakarta. Proyek Dibiayai Bank Dunia.1997/ 1998. Studi Analisa Sosial COREMAP Propinsi Sulawesi Selatan. Laporan penelitian, Buku 1 dan 2. Universitas Hasanuddin PPT -LIPI. Jakarta, Proyek dibiayai oleh Bank Dunia. Lampe, Munsi, Mardiana, dan Ramli A.T.2000. Studi Pemanfaatan Sumberdaya Laut dalam Rangka Optimasi Zonasi Taman Nasional Taka Bonerate. Laporan penelitian. Universitas Hasanuddin Bekerjasama COREMAP LIPI, Jakarta. Lineton, J. 1975a. An Indonesian Society and Its Universe: A Study of the Bugis of South Sulawesi (Celebes) and their Role Within A Wider Social and Economic System. Disertasi. School of Oriental and African Studies, University of London.1975b. Pasompe Ugi: Bugis Migrants and Wanderers. Archipel 10: 173-201. Motik Chandra, 2003. Serba Serbi Konsultasi Hukum Maritim. IND-HILL-CO, Jakrta. Mattulada. 1985. Manusia Bawahan dalam Menejemen. Makalah dalam Seminar Menejemen Pembangunan Menurut Budaya Bangsa Indonesia, Sanur, 20-21 Sept.1985. Masyhuri. 1996. Menyisir Pantai Utara. Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta Perwakilan KITL V.

69

Macknight, C.C. 1976. The Voyage to Marege ; Macassan Trepangers in Northern Australia. Melbourne University Press, Melbourne. Moka, Willem. 1995. Penjajakan Awal Mengenai Kondisi terumbu Karang Di Kep. Spermonde, Taka Bonerate dan Pulau-Pulau Sembilan. Laporan Penelitian. Pusat Studi Lingkungan Universitas Hasanuddin, U. Pandang. Nur Indar dan Lampe. 2002. Sistem-sistem Tradisional Sebagai Institusi Dalam Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya di Wilayah Pesisir. Laporan Penelitian. Dirjen Kelembagaan Departemen Perikanan dan Kelautan RI. Paeni, Mukhlis. 1985. Memahami Kebudayaan Maritim di Sulawesi Selatan. Makalah disajikan dalam Seminar Kebudayaan Maritim, Fakultas Sastra Unhas. Proyek Pengkajian Kebijakan Kelautan. 2004. Laporan Perumusan Kebijakan Maritim Sebagai Pemersatu Bangsa. Proyek Pengkajian Kebijakan Kelautan. 2004. Laporan Perumusan Kebijakan tentang Penguatan Kelembagaan. Palsson, Gisli. 1991. Coastal Economies, Cultural Accounts: Human Ecology and Icelandic Discourse. Manchester University Press. Osseweijer, Manon. 2001. Taken at the Flood: Marine Resource Use and Management in the Aru Islanders (Maluku, Eastern Indonesia). Dissertation. Universiteit te Leiden. Rappaport, Roy A. 1968. Pigs for The Ancestors: Ritual In the Ecology of New Guinea People. Yale University Press, New Haven.1984. Pigs For the Ancestors: Ritual in The Ecology of New Guinea People. (Enlarge Edition) Yale University Press, New Haven. Rompas Max Rizald. Prof.Dr, Watupongoh Navy, S.IK, Praharani Synthesa, S.IK. 2004. Penyusunan Scenario Planning Sumber Daya Perikanan Di Wilayah Papua. Schoorl, J.W. 1986. Power, Ideology and Change in the Early State of Buton. Fifth DutchIndonesian Historical Congress diselenggarakan pada Lage Vuursche Nederland, 23-27 June 1986. Semedi, Pujo. 2001. Closed to the Stone, Far from the Throne. Disertasi. Universiteit te Amsterdam. Soselisa, Hermin. 1999. Sasi in Maluku: Communal Property and Communal Rights in Marine Resource Management. Paper to be presented at the Conference on Legal Complexity, Ecological Sustainability and Social Security in the Management and Exploitation of Land and Water Resources in Indonesia. Padang, 6-9 Sept. 1999.

70

Sutherland, H. 1987. Tripang and Wangkang. The China Trade of Eightreenth Century Makassar, 1972-1820. Makalah. Diajukan Pada Konferensi Tentang Trade, Society and Belief in South Sulawesi, Leiden, 2-6 Nopember 1987 Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. 2001. Ushijima dan Cynthia Neri Zayas. 1991-1993. Fishers of the Visayas: Visayas Maritime Anthropological Studies. CSSP Publication. University of the Philippines. Vayda Andrew P.1988, Action and Consequences as Objects of Explanation in Human Ecology. Environment, Technology and Society 51 : 2-7. 1992. Studying Human Actions and Their Environmental Consequences. In Forestry for People and Nature. CYPED, Cabagan, Isabela Philipines, PP. 293-307. Vercruijsse, Emile. 1984. The Penetration of Capitalism: A West African Case Study. London: Zed Books Ltd. Wallerstein, Immanuel. 1979. The Capital World-Economy: Essays. Cambridge University Press, Cambridge. Welvaartcommissie. 1905. Overzicht van Uitkomsten der Gewestelijke Onderzoekingen naar de Vischteelt en Visscherij en Daaruit Gemaakte Gevolgtrekkingen. Onderzoek naar Mindere Welvaart der Inlandsche Bevolking op Java en Madoera, I, II. Batavia: Landsdrukkerij.

71

You might also like