You are on page 1of 3

Buku Resep Pengajaran Moral

Oleh: Abu bakar Fahmi

Melalui renungan-renungan puitisnya, Kahlil Gibran dikenal sebagai salah satu dari berderet
nama pujangga besar dunia. Namun, ia bukan hanya sebagai pujangga kenamaan saat
bermadah, “anakmu bukanlah anakmu, anakmu adalah anak dari zamannya”. Dari
perenungannya yang dalam atas dimensi kehidupan umat manusia, dia bisa disebut
sebagai, tidak hanya pujangga yang menyemburkan kata-kata, tapi juga pendeta yang
menganjurkan moral dan etika.

Mungkin ya, seseorang disebut anak jika secara biologis terlahir dari rahim ibunya. Tapi
juga tidak, bahwa selain kepemilikan secara biologis, anak bukanlah anak dari ibunya.
Secara psikologis (yang berdimensi individu-kepribadian), sosiologis (dimensi kelompok-
kemasyarakatan) dan antropologis (dimensi komunal-kebudayaan), seorang anak lahir dari
rahim zamannya. Zaman telah bertindak selaku ibu : menyusui, mengasupi, membesarkan,
bahkan mendidik anak sehingga mampu bersikap dan berperilaku sesuai kehendak zaman.
Sayangnya, zaman tidak selamanya bisa menjadi ibu yang baik!

Era Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah menghadirkan lingkungan di sekitar
anak yang, dalam satu sisi meninggikan harkat hidup yang beradab, pada sisi lain mampu
memerosokkan anak pada liang kebiadaban. Perangkat TIK, selain bisa memudahkan hidup,
juga memendam potensi merendahkan hidup. Pada era ini, teknologi turut menentukan
penilaian seseorang tentang sesuatu, apakah sesuatu itu benar atau salah. Dalam hal ini,
teknologi berperan serta dalam membangun kadar moral seseorang. Moralitas serupa batu
yang terus menerus diasah : jadi batu permata jika memancarkan keluhuran, atau jadi
lempung yang lembek, hitam pekat dan mengotori jika mengalami kelunturan.Namun tidak
jarang, orang tua maupun pendidik tersandung oleh buaian perangkat TIK ini : anak-anak
yang harusnya mendapat pengajaran moral tidak bisa lagi mengasupnya. Justru anak-anak
mengasup pelajaran-pelajaran buruk teknologi zaman ini. Bahkan sampai pada kesimpulan
bahwa “televisi, film, video permainan, musik pop, dan iklan memberikan pengaruh
terburuk bagi moral mereka karena menyodorkan sinisme, pelecehan, materialisme, seks
bebas, kekasaran, dan pengagungan kekerasan” (hlm. 5). Penulis buku ini, Michele Borba,
bukan hendak mematikan sumbu optimisme. Ia justru hendak menyalakan optimisme orang
tua dan para pendidik bahwa walau teknologi media bisa berpengaruh buruk, media bisa
dikendalikan. Lingkungan di sekitar anak bisa menumbuhkan moral yang tinggi. Karena,
menurutnya, moralitas bisa diajarkan, dan moral dapat dididik jadi makin cerdas. Melalui
bukunya yang bertajuk Membangun Kecerdasan Moral, Tujuh Kebajikan Utama Agar Anak
Bermoral Tinggi ini, Borba ingin memberi sumbangan bagi proses pencerdasan moral anak.
Dan, dalam skala yang lebih luas, upaya pencerdasan moral anak pada dasarnya juga
proses pencerdasan moral bangsa.

Tujuh kebajikan utama


Masih terngiang dalam bilik ingatan, sebuah adegan kekerasan tak lumrah terekam melalui
video handphone. Medio April 2008 sekelompok remaja putri menganiaya temannya sendiri
dengan cara memukul bergantian ke arah kepala—organ vital yang menentukan masa
depan setiap orang. Dari dialog yang terrekam, korban diperintah menunjukkan sikap
hormat pada anggota-anggota geng yang bernama Nero (Neko-neko Dikeroyok). Saat
korban mengangkat tangan ke samping kanan dahinya –seperti layaknya hormat
bendera—seorang temannya mendampar wajahnya berkali-kali. Lalu sesekali menjotos
tepat di hidung dan mulut korban sampai kepala korban terantuk ke belakang. Pertunjukan
yang ditampilkan remaja puteri asal Pati itu lebih dari perhelatan di atas ring tinju: tanpa
sarung tangan, dilakukan dengan keroyokan dan tanpa perlawanan dari pihak lawan. Usut
punya usut, penyebabnya sederhana. Seorang anggota geng Nero mengaku telah dihina
oleh teman sekolahnya. Lalu ia menceritakan persoalan tersebut ke teman-teman anggota
gengnya. Persoalan pun diselesaikan dengan cara geng: korban dibawa ke lorong gang
Blimbing, Juwana, lalu di dampar dan dijotos mukanya.Kekerasan yang dilakukan remaja
puteri di atas tidak akan terjadi manakala tertanam satu dari tujuh kebajikan utama :
empati. Adanya empati ini, seseorang mampu memahami perasaan dan kekhawatiran orang
lain. Tidak hanya itu, seorang yang berempati mampu menampilkan perilaku yang
mengejawantahkan kedalaman pemahaman perasaan dan kehawatiran orang lain itu.
“Empati merupakan emosi yang mengusik hati nurani anak ketika melihat kesusahan orang
lain. Hal tersebut juga yang membuat anak dapat menunjukkan toleransi dan kasih sayang,
memahami kebutuhan oang lain, serta mampu membantu orang yang sedang kesulitan.
Anak yang belajar berempati akan jauh lebih pengertian dan penuh kepedulian, dan
biasanya lebih mampu mengendalikan kemarahan” (hlm. 21). Dengan terbangunnya
empati, kebijakan utama yang lain, yakni hati nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan
hati, toleransi dan keadilan turut bersama-sama terbangun. Tujuh kebijakan utama tersebut
merupakan pilar-pilar yang menguatkan kecerdasan moral. Kokohnya pilar-pilar tersebut
membantu anak dalam menghadapi tantangan dan tekanan terhadap moralitas yang akan
dihadapinya kelak. Ya, kelak, saat dewasa, menghadapi zaman yang lebih canggih,
gempita, marak dari zaman yang sedang dihadapi saat ini. Empati banyak diulas oleh Daniel
Golemen dalam bukunya Emotional Intelligence (1995). Golemen menunjukkan bukti-bukti
tentang kuatnya peran empati dalam meningkatkan kecerdasan emosi seseorang. Dan bagi
Borba, membangkitkan kesadaran dan perbendaharaan ungkapan emosi mampu mengasah
ketajaman empati seseorang. Ia menunjukkan dua penelitian yang dilakukan oleh John
Gottman, professor psikologi dari Universitas Washington. Gottman melakukan penelitian
selama sepuluh tahun terhadap 120 keluarga. Dari hasil penelitian terungkap bahwa anak-
anak yang mempunyai orang tua sebagai ‘pelatih emosi’ bisa belajar memahami dan
menguasai emosi lebih baik, lebih percaya diri dan lebih sehat secara fisik. Mereka juga
mendapat nilai lebih tinggi dalam mata pelajaran matematika dan membaca, mampu
bersosialisasi, dan kecenderungan stress yang rendah.

Resep terperinci
Dalam buku ini, pembaca tidak hanya disajikan berderet-deret teori dan bukti penelitian
tentang moral semata. Didalamnya pembaca dapat menyelami beragam resep dan strategi
terperinci tentang bagaimana membangun kecerdasan moral. Saat pembaca mulai
menjajaki halaman-halaman buku, perlahan-lahan mulai merasakan hamparan khasanah
pengkajian moral yang mendalam. Bukan sekedar ketajaman konseptual, tapi juga
keluasan praktikal. Membaca buku ini seperti mendapat resep-resep, sebagai obat bagi
moral yang sakit. Juga, menikmati buku ini laksana mendapat resep-resep menu sajian
spesial bagi siapa saja yang memiliki selera tinggi atas moralitas.Resep yang terperinci dan
dengan jitu mengulas-kupas langkah-langkah dalam membangun kecerdasan moral ini tidak
akan terpapar baik dalam buku ini jika tidak dilakukan oleh orang semacam Michele Borba.
Latar belakang keterlibatannya dalam seluk beluk membangun moral tidak melulu bergulat
dalam teoritik saja atau praktikal saja, tapi keduanya. Keluasan wawasan dan kekayaan
pengalaman, mampu menyumbang bagi kekuatan buku ini dalam mengkaji moral.Dengan
mengantongi gelar doktor di bidang psikologi pendidikan dan konseling dari Universitas San
Fransisco, Borba menjalin kerja sama dengan lebih dari setengah juta orang tua dan guru
dalam membangun kecerdasan moral selama dua dekade. Sebelumnya, ia adalah guru
kelas dan sekolah dengan pengalaman mengajar yang luas. Ia juga pernah bekerja dengan
anak-anak yang kesulitan belajar, anak-anak dengan fisik, perilaku dan emosi yang kurang
baik, dan anak-anak berbakat. Wawasan dan pengalamannya mampu menuntunnya dalam
berbagi ilmu dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari melalui buku ini.Buku ini
terdiri atas tujuh bab yang mengulas satu persatu dari tujuh kebajikan utama dalam
membangun kecerdasan moral. Secara berurutan bab-bab tersebut yakni empati, hati
nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hari, toleransi dan keadilan. Tiap-tiap bab
mengupas penyebab merosotnya kebajikan utama, pengertiannya, tes moral diri dan
langkah-langkah membangun kebajikan utama itu. Pada tiap bab ditampilkan cerita
berdasarkan kasus-kasus yang ditemui Borba selama dua puluh tahun membantu anak,
orang tua, dan guru.Buku ini diharapkan mampu membantu orang tua dan guru dalam
mengantar anak-anak dan remaja menuju kecerdasan moral yang tinggi. Apalagi, zaman ini
seperti ingin merebut anak dari otoritas moral yang hendak diajarkan oleh orang tua dan
guru. Adanya buku ini diharapkan dapat mengoptimalkan peran orang tua dan guru sebagai
lingkungan terdekat yang akan mawarnai hitam putihnya moral anak. Sebagai kata akhir,
tidak salah jika dikutip kata bijak dari Konfusius, alih-alih dukungan bagi orang tua dan
guru sebagai pengajar moral –sebagaimana dikutip Borba, “Pemandangan terindah di dunia
adalah seorang anak yang melangkah di kehidupan ini dengan penuh percaya diri setelah
kita menunjukkan jalannya.” oOo

Penulis adalah Alumni Psikologi UGM.


Tulisannya bisa dibaca di
http://www.abubakarfahmi.blogspot.com

Siapa saja diperkenankan menyalin sebagian atau keseluruhan tulisan yang termuat dalam halaman ini dengan
mencantumkan nama penulisnya. Terima kasih atas apresiasi Anda.

You might also like