You are on page 1of 2

Perpajakan E-Commerce Farid Bachtiar <mimania@yahoo.com> Saya terus terang awam mengenai soal e-commerce dan pernak-pernik tehnologinya.

Namun seandainya berkenan, saya yang kebetulan bergelut di bidang taxation, ingin menyumbangkan sedikit pengetahuan saya yang terbatas mengenai masalah perpajakan berkaitan dengan e-commerce di Indonesia. Mohon jika ada rekan-rekan yang lebih mengerti ttg seluk beluk e-commerce, syukur2 e-taxation, dapat meluruskan pemahaman saya. Tulisan saya ini hanya sekedar pertukaran wacana informasi ttg seluk-beluk perpajakan atas transaksi melalui internet (e-commerce). Semoga dapat memperkaya khasanah pengetahuan kita tentang bisnis e-commerce, yang tentu saja tidak melupakan aspek perpajakannya. Monggo dibahas bersama ... Transaksi di Internet dan Aspek Perpajakannya. Transaksi penjualan, pengiriman barang digital (software, image, suara, teks dsb), dan transaksi pembayaran saat ini sudah dapat dilaksanakan melalui internet. Bagaimana pihak otoritas perpajakan Indonesia menyikapi hal ini? Ternyata sampai saat ini transaksi bisnis melalui internet masih luput dari pungutan perpajakan. Pihak Direktorat Jenderal Pajak, selaku otoritas perpajakan di Indonesia telah menerbitkan surat nomor S-429/PJ.22/1998 tanggal 24 Desember 1998 tentang Imbauan kepada Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi melalui Electronic Commerce. Surat tersebut pada intinya adalah petunjuk untuk menggali potensi pajak dari transaksi perdagangan elektronis. Dalam surat tsb tidak diberikan petunjuk praktis bagaimana cara 'menjaring' potensi pajak dari transaksi tersebut. Dari surat tsb dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata transaksi melalui internet (e-commerce) sebenarnya tidak luput dari pengenaan pajak. Masalahnya adalah, bagaimana melakukan pemantauan, pengawasan dan pembinaan atas pengusaha yang melakukan transaksi elektronis ini? Mungkinkah melakukan itu semua di rimba belantara situs yang sedemikian luas? Jawabannya hampir mustahil. Di satu sisi, kepastian hukum transaksi di internet juga masih berkembang menuju suatu bentuk kongkrit. Di sisi lain, perpajakan menghadapi kendala yang besar dalam penentuan 'critical tax point' atas transaksi ini. Misalnya, kapan terjadi transaksi terutang pajak? dimana terutang pajak? siapa pelaku transaksi? siapa pemungut dan pembayar pajak? Contoh: PT WWW melakukan transaksi penjualan software yang dapat dilakukan secara otomatis melalui situs internet. Situs tsb berada pada server provider yang berkedudukan di Singapore. Namun transaksi pembayaran dihandle sepenuhnya oleh server BII di Jakarta. PT WWW sendiri adalah perusahaan berbadan hukum dan berkedudukan di Jakarta, Indonesia.

Kasus (a): Pembeli berkedudukan di Indonesia Apakah situs PT WWW dapat dianggap sbg "cabang penjualan" yang berkedudukan di S'pore? Seandainya demikian, apakah transaksi demikian dapat dikatakan sbg transaksi impor dari S'pore? Apakah pajak yang dipungut dapat dikreditkan kembali? Melalui mekanisme apa? Seandainya bukan cabang, apakah transaksi demikian dapat dianggap sebagai re-impor oleh PT WWW yang kemudian diserahkan kepada pembeli yang berada di dalam negeri (software dibuat di Indonesia, dikirim secara elektronis dan disimpan dalam server di S'pore)? Kasus (b): Pembeli berkedudukan di luar negeri Adakah hak Indonesia memungut pajak atas transaksi yang terjadi antara server di S'pore dengan pembeli yang berkedudukan di luar negeri? Apakah transaksi demikian dapat disebut sbg ekspor? Beberapa waktu yang lalu, BII bekerja sama dengan Telkom, mengadakan seminar tentang e-commerce. Pada waktu presentasi, saya dikejutkan oleh adanya kolom pungutan pajak 10% (PPN?) pada sebuah form transaksi yang ditempel pada situs penjual. Sepanjang pengetahuan saya, pihak otoritas perpajakan belum pernah merelease aturan tentang bentuk pungutan pajak dalam transaksi elektronis. Seandainya pungutan ini benar telah dilaksanakan, bagaimana mendeteksi kebenaran transaksinya? Apakah pungutan ini benar2 telah disetorkan ke Kas Negara? Seandainya tidak, bukankah pungutan ini juga merugikan konsumen? Apakah UU Perlindungan Konsumen sudah mengatur tentang potensi2 kerugian yang dihadapi konsumen melalui bisnis di internet? Masih banyak kendala yang dihadapi oleh otoritas perpajakan dalam menghadapi terjadinya transaksi di internet. Contoh di atas hanya sekedar contoh sederhana namun pelik. Dari beberapa tulisan saya di majalah Berita Pajak, belum ada tanggapan yang memadai atas kejadian transaksi e-commerce dari pihak otoritas perpajakan. Semoga hal ini dapat menjadi perhatian kita bersama. Wassalam, FaridB@chtiar

You might also like