You are on page 1of 4

Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah

A. .Pendahuluan Banyak negara memilih desentralisasi. Bosnia Herzegovina dan Ethiopia beralasan etnis untuk desentralisasi. Afrika Selatan dan Uganda sebagai media pemersatu (World Bank (2000). Amerika Latin dan Afrika sebagai proses demokratisasi setelah rezim militer runtuh. Asia Timur pendekatan pelayanan rakyat (Bennet (1990), Wildassin (1997a) dalam Richard M. Bird dan Vaillancourt (2000) Isu desentralisasi fiskal mengglobal. Negara maju menggunakan pola hubungan keuangan intrapemerintahan. Negara berkembang memilih agar lolos dari jebakan pemerintahan semrawut, ketidakstabilan makroekonomi, dan penghindaran terprosok dalam ketergantungan global, Bahl dan Linn (1992), Shah (1994), Ahmad (1997) dalam World Bank (2000). Di Indonesia, desentralisasi dimulai dengan UU Pemerintahan Daerah No 22 dan 25 Tahuin 1999, diubah menjadi UU No. 32 dan 33 tahun 2004, dan mungkin diubah lagi. Keputusan politik menjadi motor kebijakan untuk meredam separatis dan ketidakpusan daerah karena sentralisme Orde Baru. Desentralisasi seolah keniscayaan bagi negara ini dan binneka tunggal ika seperti ungkapan Obama. Fenemona dual trend, globalisasi dan desentralisasi, menarik dikaji lanjut. Desentralisasi terkait alokasi dana dan pengambilan keputusan lokal. Beberapa studi menunjukkan pelayanan masyarakat oleh pemerintah daerah lebih optimal dan cenderung lebih murah serta demokratis (Campbell, Peterson, dan Brakarz (1991)) dalam Richard M. Bird (1998). Indikator penting mengukurnya adalah pertumbuhan ekonomi daerah apakah terjadi persaingan sehat dan pemerataan ekonomi antar daerah dibanding masa sebelumnya. Beberapa pihak masih mendebat hubungan desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi, juga perbaikan ketimpangan antar daerah. Desentralisasi fiskal terjadi karena transfer ke daerah membesar, bila pemerintah daerah mampu mengalokasikannya dengan baik pertumbuhan ekonomi daerah naik dan arus modal swasta mengikuti (Solow (1956), Mankiw and Romer (1992). Pertumbuhan ekonomi di daerah mendorong investasi karena kewenangan daerah meningkat. Studi hubungan desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi tidak konsisiten. Positif antara desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi pada Ebel dan Yilmaz (2002), Akai dan Sakata (2002). Martinez dan Ricer (2005) menemukan desentralisasi mendorong pertumbuhan ekonomi di India dan China. Studi cross-coutry de Mello (2000) menemukan desentralisasi mendorong ketidakseimbangan fiskal. Davoodi dan Zou (1998) dengan data panel 46 negara berkembang dan maju pada 19701989 menemukan desentralisasi menyebabkan pertumbuhan ekonomi rendah, juga pada studi Xie at al (1999). Untuk Indonesia, Swasono (2005) temukan dampak negatif desentralisasi atas pertumbuhan ekonomi. Bila ditelusuri dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan antar daerah terlihat beberapa aspek. Pertama, aspek model intergovernmental transfer karena hal ini akan berimplikasi pada besar transfer

pemerintah pusat ke daerah. Kedua, kompetensi pejabat lokal berpengaruh pada alokasi belanja. Ketiga, kapasitas lokal, ketersedian kerangka institusional, kepastian hukum dan dukungan administrasi pemerintah daerah. Keempat, sumber daya alam dan lokasi strategis daerah dalam konteks nasional mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi daerah.

B. Desentralisasi Fiskal di Indonesia Ada tiga variasi desentralisasi fiskal dalam kaitan derajat kemandirian pengambilan keputusan daerah. Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua, delegasi ke daerah sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan) kwenangan bukan saja implementasi tetapi juga pengambilan keputusan tentang apa yang perlu dikerjakan . Menurut Smith (1985), cara mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat dengan desentralisasi. Bila pemerintah dalam jangkauan masyarakat, pelayanan lebih cepat, hemat, murah, responsif, akomodatif, dan inovatif . Desentralisasi fiskal tidak mempunyai definisi tunggal. Desentralisasi dapat diartikan sebagai pengalihan kewenangan pengeluaran dari pusat ke daerah, tetapi juga diartikan pengalihan kewenangan disisi penerimaan (Brodjonegoro, 2006). Desentralisasi menurut Simanjuntak (2008) adalah kombinasi fungsi administratif, politik, dan fiskal. Menerapkan semua instrumen desentralisasi tersebut bukan mudah. Dalam kondisi berbeda ketiga instrumen menghasilkan konsekuensi berbeda. Oleh karenanya, kombinasi dengan takaran tepat mesti dibentuk dan disepakati. Tidak mungkin menemukan model desentralisasi fit for all. Di Indonesia, landasan hukum pelaksanaan desentralisasi UU 25/1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. UU ini merupakan paket UU Otonomi Daerah bersama UU 22/1999..Tentang Pemerintahan Daerah. UU ini diubah menjadi UU 32/2004 tentang pemerintahan Daerah dan UU 33/ 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Kebijakan Pemerintah Indonesia dan DPR terus reformulasi dana perimbangan guna memperkuat kemampuas fiskal daerah. Dana transfer ke daerah melalui : - DAU dengan prinsip alokasi murni DAU kepada daerah berdasar celah fiskal. - DAK, tahun 2008: 11 Bidang, 2010: 13 bidang dan tahun 2011 menjadi 19 bidang, makin banyak urusan pusat yang dikelola K/L diserahkan ke daerah. - DBH, SDA dan Pajak. DBH SDA di Papua/NAD lebih banyak dibanding daerah lain karena UU Otonomi Khusus. Kapsitas fiskal daerah makin baik dengan UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PBB yang tadinya dikelola pusat diserahkan ke Kabupaten/Kota. - Dalam APBN 2010 formula baru dana insentif daerah berkinerja baik dengan Award (competitive budget) bagi daerah dengan kinerja keuangan, ekonomi dan kesejahteraan yang dalam tiga tahun sebelumnya. Daerah berprestasi ditetapkan 9 provinsi dan 44 kabupaten/kota, Reformulasi transfer kedaerah memperbaiki kesenjangan fiskal pusat dan Daerah (Vertical Fiscal Imbalance) dan kesenjangan fiskal antar daerah (Horizontal

Fiscal Imbalance). Perbaikan formula dana transfer meningkatkan alokasi UU 28/2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah makin mendukung otonomi untuk tujuan nasional. Pada Gambar terlihat jumlah transfer terus meningkat.

Gambar

Perkembangan

Transfer

ke

Daerah

Sumber : Departemen Keuangan,2009

C. Pertumbuhan Ekonomi dalam Model Desentralisasi Fiskal Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi Neo-Klasik terpusat pada pertumbuhan output melalui kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (L), Pertumbuhan penduduk (N), Penambahan modal (K), dan Perkembangan teknologi (T). Pertumbuhan ekonomi model neoklasik dapat menjelaskan desentralisasi dalam mempengaruhi secara langsung pertumbuhan ekonomi maupun secara tidak langsung melalu efisiensi sektor publik dan stabilitas makroekonomi. Hal ini didasarkan disagregasi model eksogen yang menunjukan Hipotesis Kondisional Konvergensi (Barro 1991, Barro dan Sala-i-Martin1992,1997). Studi desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi Indonesia menghasilkan beragam temuan. Hasil temuan empiris bergantung pada definisi sehingga berbeda pula dalam pengukuran dan penentuan variabel ekonomi. Studi desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi oleh Faisal (2000) dan Fauziah (2007). Hasil sama pada Pepinsky dan Wihardja (2009) bahwa desentralisasi fiskal tidak mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Fauziah (2007), dengan kasus Indonesia melibatkan 367 Kabupaten/Kota pada periode 1991-2005. Studi menggunakan dua metode pengukuran desentralisasi yaitu rasio sumber pendapatan daerah dan rasio pengeluaran. Ditemukan desentralisasi penerimaan di Indonesia cenderung berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Kesuksesan desentralisasi tidak diperoleh dengan hanya memberikan kewenangan lebih besar termasuk bidang keuangan kepada pemerintah daerah. Penting kiranya untuk mengembangkan lingkungan yang cocok bagi berlangsungnya desentralisasi termasuk melihat banyak faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Pepinsky dan Wihardja (2009) dengan data 2001 2007 tingkat Kabupaten/ Kota memasukkan dua mekanisme yakni persaingan antar jurisdiksi dan akuntabilitas demokrasi. Berdasarkan itu, terlihat heterogenitas endowment, faktor mobilitas kapital dan modal, dan ukuran kelembagaan. Temuan studi menunjukkan bahwa desentralisasi tidak memberikan efek bagi kenerja ekonomi Indonesia yang diukur melalui produk domestik bruto. Suatu negara yang melakukan desentralisasi harusnya memiliki region relatif homogen, mobilitas tenaga kerja dan modal tinggi, serta akuntabilitas pemimpin lokal. Pengalaman pelaksanaan desentralisasi negara Indonesia menunjukkan ketiga hal itu tidak efektif. Studi desentralisasi fiskal yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi ditemukan Riyanto dan Siregar (2005) dan Waluyo (2007). Studi Waluyo (2007) dengan kasus Indonesia di 33 provinsi 2001-2005, menemukan desentralisasi fiskal meningkatkan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi di daerah bisnis dan kaya SDA dibanding daerah lain. Desentralisasi fiskal mengurangi ketimpangan pendapatan antardaerah terutama antara Jawa dan luar Jawa dan Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Karena mekanisme equalizing transfer melalui dana PKPD mengurangi Jawa sentris. Tidak banyak SDA, penerimaan DBH SDA Jawa lebih kecil dari luar Jawa. Hasil beragam diatas menunjukan kompleksitas masalah, peluang dan resiko desentralisasi. Yang berhasil terkait faktor kepemimpinan daerah dan kapasitas admisnitrasi lokal (Bird,1998, Brojonegoro,2002). Kesimpulan, perbaikan metode dan prosedur desentralisasi yang tepat membantu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat di dearah.

You might also like