You are on page 1of 36

Mola Hidatidosa

Epidemiologi Mola hidatidosa adalah salah satu penyakit trofoblas gestasional (PTG), yang meliputi berbagai penyakit yang berasal dari plasenta yakni mola hidatidosa parsial dan komplit, koriokarsinoma, mola invasif dan placental site trophoblastic tumors. Para ahli ginekologi dan onkologi sependapat untuk mempertimbangkan kondisi ini sebagai kemungkinan terjadinya keganasan, dengan mola hidatidosa berprognosis jinak, koriokarsinoma keganasan, sedangkan mola hidatidosa invasif sebagai borderline keganasan.

Definisi

Mola hidatidosa merupakan kehamilan yang dihubungkan dengan edema vesikular dari vili khorialis plasenta dan biasanya tidak disertai fetus yang intak. Secara histologis terdapat proliferasi trofoblast dengan berbagai tingkatan hiperplasia dan displasia. Vili khorialis terisi cairan, membengkak, dan hanya terdapat sedikit pembuluh darah. Sedangkan menurut Hanifa dkk, Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stoma villus korialis langka, vaskularisasi dan edematus. Janin biasanya meninggal akan tetapi villus-villus yang membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang diberikan adalah seperti buah anggur. (Ilmu kebidanan FKUI edisi ketiga, tahun 2007) Mola hidatidosa terbagi atas 2 kategori. Yakni komplit mola hidatidosa dan parsial mola hidatidosa. Mola hidatidosa komplet tidak berisi jaringan fetus. 90 % biasanya terdiri dari kariotipe 46,XX dan 10% 46,XY. Semua kromosom berasal dari paternal (androgenetic pregnancies). Ovum yang tidak bernukleus mengalami fertilisasi oleh sperma haploid yang kemudian berduplikasi sendiri, atau satu telur dibuahi oleh 2 sperma. Pada mola yang komplit, vili khoriales memiliki ciri seperti buah angur, dan terdapat tropoblastik hiperplasia. Sedangkan pada mola hidatidosa parsial merupakan gestasi triploid dimana terjadinya pembuahan ovum haploid dan duplikasi dari kromosom duploid paternal. Pada mola parsial terdapat jaringan fetus. Eritrosit fetus dan pembuluh darah di vili khorialis sering didapatkan. Vili khorialis terdiri dari berbagai ukuran dan bentuk dengan stroma tropoblastik yang menonjol dan berkelok-kelok. Faktor risiko Mola hidatidosa sering didapatkan pada wanita usia reproduktif. Wanita pada remaja awal atau usia perimenopausal amat sangat beresiko. Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun memiliki resiko 2 kali lipat. Wanita usia lebih dari 40 tahun memiliki resiko 7 kali dibanding wanita yang lebih muda. Paritas tidak mempengaruhi faktor resiko ini.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, USG dan histologis. Pada mola hidatidosa yang komplet terdapat tanda dan gejala klasik yakni: 1. Perdarahan pervaginam. Gejala klasik yang paling sering pada mola komplet adalah perdarahan pervaginam. Jaringan mola terpisah dari desidua, menyebabkan perdarahan. Uterus membesar (distensi) oleh karena jumlah darah yang banyak, dan cairan gelap bisa mengalir melalui vagina. Gejala ini terdapat dalam 97% kasus. 2. Hiperemesis. Penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang berat. Hal ini merupakan akibat dari peningkatan secara tajam hormon -HCG. 3. Hipertiroid. Setidaknya 7% penderita memiliki gejala seperti takikardi, tremor dan kulit yang hangat. Pada pasien dengan mola parsial tidak mempunyai gejala klinis yang sama dengan mola hidatidosa komplit. Penderita biasanya hanya mengeluhkan gejala seperti terjadinya abortus inkomplet atau missed abortion. Gejalanya adalah : 1. Perdarahan pervaginam 2. Tidak adanya detak jantung janin Dari pemeriksaan fisik pada kehamilan mola komplet didapatkan : 1. Umur kehamilan yang tidak sesuai dengan besarnya uterus (tinggi fundus uteri). Pembesaran uterus yang tidak konsisten ini disebabkan oleh pertumbuhan trofoblastik yang eksesif dan tertahannya darah dalam uterus. 2. Didapatkan pula adanya gejala preeklamsia yang terjadi pada 2% kasus dengan karakteristik hipertensi ( TD > 140/90 mmHg), protenuria (>300 mg.dl), dan edema dengan hiperefleksia. Kejadian kejang jarang didapatkan. 3. Kista theca lutein, yakni kista ovarii yang diameternya berukuran > 6 cm yang diikuti oleh pembesaran ovarium. Kista ini tidak selalu dapat teraba pada pemeriksaan bimanual melainkan hanya dapat diidentifikasi dengan USG. Karena penambahan ukuran ovarium, meningkatkan resiko terjadinya torsi. Kista ini berkembang sebagai respon terhadap tingginya kadar beta HCG dan akan langsung regresi bila mola telah dievakuasi, tapi membutuhkan waktu sekitar 12 minggu untuk regresi sempurna.

Pada mola pasial didapatkan : 1. Pembesaran uterus dan preeklampsia dilaporkan pada 5% pasien 2. Kista theca lutein, hiperemesis, dan hipertiroidisme sangat jarang terjadi Pemeriksaan diagnostik yang dapat ditemukan adalah : 1. Pemeriksaan kadar beta hCG : pada mola terdapat peningkatan kadar beta hCG darah atau urin 2. Uji Sonde : Sonde (penduga rahim) dimasukkan pelan-pelan dan hati-hati ke dalam kanalis servikalis dan kavum uteri. Bila tidak ada tahanan, sonde diputar setelah ditarik sedikit, bila tetap tidak ada tahanan, kemungkinan mola (cara Acosta-Sison) 3. Cek darah lengkap sering menunjukkan adanya anemia dan koagulopati. 4. Foto rontgen abdomen : tidak terlihat tilang-tulang janini (pada kehamilan 3 4 bulan 5. Ultrasonografi : pada mola akan terlihat badai salju (snow flake pattern) dan tidak terlihat janin 6. Bila telah ditegakkan diagnosis mola hidatidosa, maka pemeriksaan rontgen pulmo harus dilakukan karena paru paru merupakan tempat metastasis pertama bagi PTG. Pada foto thoraks : pada mola ada gambaram emboli udara 7. Pemeriksaan T3 dan T4 bila ada gejala tirotoksikosis Pemeriksaan histologis memperlihatkan pada mola komplet tidak terdapat jaringan fetus, terdapat proliferasi trofoblastik, vili yang hidropik, serta kromosom 46,XX atau 46,XY. Sebagai tambahan pada mola komplet memperlihatkan peningkatan faktor pertumbuhan, termasuk c-myc, epidermal growth factor, dan c-erb B-2, dibandingkan pada plasenta yang normal. Pada pemeriksaan histologis, pada mola parsial terdapat jaringan fetus beserta amnion dan eritrosit fetus. Seperti pada mola hidatidosa komplit, vili yang hidropik (edematus), dan terdapat proliferasi trofoblastik. Diagnosis Banding 1. 2. 3. 4. Hiperemesis gravidarum Hipertensi Hipertensi maligna Hipertiroidisme

Penatalaksanaan

Secara medis pasien distabilkan dahulu, dilakukan transfusi bila terjadi anemia, koreksi koagulopati dan hipertensi diobati. Evakuasi uterus dilakukan dengan dilatasi dan kuretase penting dilakukan. Induksi dengan oksitosin dan prostaglandin tidak disarankan karena resiko peningkatan perdarahan dan sekuele malignansi. Pada saat dilatasi infus oksitosin harus segera dipasang dan dilanjutkan pasca evakuasi untuk mengurangi kecenderungan perdarahan. Pemberian uterotonika seperti metergin atau hemabate juga dapat diberikan. Respiratori distres harus selalu diwaspadai pada saat evakuasi. Hal ini terjadi karena embolisasi dari trofoblastik, anemia yang menyebabkan CHF, dan iatrogenik overload. Distres harus segera ditangani dengan ventilator. Setelah dilakukan evakuasi, dianjurkan uterus beristirahat 4 6 minggu dan penderita disarankan untuk tidak hamil selama 12 bulan. Diperlukan kontrasepsi yang adekuat selama periode ini. Pasien dianjurkan untuk memakai kontrasepsi oral, sistemik atau barier selama waktu monitoring. Pemberian pil kontrasepsi berguna dalam 2 hal yaitu mencegah kehamilan dan menekan pembentukan LH oleh hipofisis yang dapat mempengaruhi pemeriksaan kadar HCG. Pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim(AKDR) tidak dianjurkan sampai dengan kadar HCG tidak terdeteksi karena terdapat resiko perforasi rahim jika masih terdapat mola invasif. Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi dan terapi sulih hormon dianjurkan setelah kadar hCG kembali normal. Tindak lanjut setelah evakuasi mola adalah pemeriksaan HCG yang dilakukan secara berkala sampai didapatkan kadar HCG normal selama 6 bulan. Kadar HCG diperiksa pasca 48 jam evakuasi mola, kemudian di monitor setiap minggu sampai dengan terdeteksi dalam 3 minggu berturut-turut. Kemudian diikuti dengan monitoring tiap bulan sampai dengan tdak terdeteksi dalam 6 bulan berturut turut. Waktu rata-rata yang dibutuhkan sampai dengan kadar HCG tidak terdeteksi setelah evakuasi kehamilan komplit maupun parsial adalah 9 11 minggu. Tinjauan kepustakaan lain menyebutkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar normal sekitar 6-9 bulan. Setelah monitoring selesai maka pasien dapat periksa HCG tanpa terikat oleh waktu. Prognosis

Hampir kira-kira 20% wanita dengan kehamilan mola komplet berkembang menjadi penyakit trofoblastik ganas. Penyakit trofoblas ganas saat ini 100% dapat diobati. Faktor klinis yang berhubungan dengan resiko keganasan seperti umur penderita yang tua, kadar hCG yang tinggi (>100.000mIU/mL), eklamsia, hipertiroidisme, dan kista teka lutein bilateral. Kebanyakan faktor-faktor ini muncul sebagai akibat dari jumlah proliferasi trofoblas. Untuk memprediksikan perkembangan mola hidatidosa menjadi PTG masih cukup sulit dan keputusan terapi sebaiknya tidak hanya berdasarkan ada atau tidaknya faktor-faktor risiko ini. Risiko terjadinya rekurensi adalah sangat sekitar 1-2%. Setelah 2 atau lebih kehamilan mola, maka risiko rekurensinya menjadi 1/6,5 sampai 1/17,5.
4

Kurva hCG pasca mola

100.000 10.000 1.000 100

hCG mIU/ml

30 0
2 4 6 MINGGU PASCA MOLA 8 10

Penyakit Trofoblas Gestasional


Penyakit trofoblastik gestasional adalah sekelompok penyakit yang berasal dari khorion janin. Terdiri dari mola hidatidosa, mola invasif, koriokarsinoma dan tumor trofoblastik plasental site ( PSTT) yang ditandai oleh proliferasi jaringan trofoblastik yang abnormal. Mola hidatidosa merupakan bentuk jinak dari penyakit trofoblas gestasional dan dapat mengalami transformasi menjadi bentuk ganasnya yaitu koriokarsinoma. Koriokarsinoma tidak selalu berasal dari molahidatidosa namun tidak jarang berasal dari kehamilan normal, prematur, abortus maupun kehamilan ektopik yang jaringan trofoblasnya mengalami konversi menjadi tumor trofoblas ganas. Bila seorang wanita menderita koriokarsinoma dan mempunyai riwayat kehamilan biasa dan mola sebelumnya, maka dengan pemeriksaan DNA kita dapat menentukan apakah koriokarsinoma ini berasal dari mola atau kehamilan biasa. Plasental site trofoblastik tumor (PSTT) merupakan bentuk lain dari tumor trofoblas gestasional (TTG) yang berasal dari sel-sel trofoblas pada tempat implantasi plasenta, gambaran klinik tidak sama dengan tumor trofoblas gestasional yang lain. Kelainan ini adalah yang merupakan neoplasma, sementara yang lain merupakan plasenta yang pembentukannya abnormal. Semua lesi trofoblastik dikumpulkan pada satu rubrik penyakit trofoblas gestasional (PTG) tanpa aplikasi istilah patologis tertentu. Tetapi penelitian sitogenetik, imunohistokimia menunjukkan perbedaan yang jelas dalam etiologi morfologi dan prilaku klinis setiap lesi. Penelitian ini menunjukkan pentingnya suatu klasifikasi histologis yang seragam untuk memastikan penanganan klinis yang cocok. Tetapi istilah PTG tetap memiliki kegunaan klinis karena prinsip monitoring hCG dalam follow up dan kemoterapi dari penyakit metastatik/ persistennya mirip.
5

KORIOKARSINOMA
Merupakan neoplasma ganas yang timbul dari korion embrional dimana kedua lapisan epitel trofoblas terlibat. Uterus merupakan lokasi utama dari pertumbuhan primer tumor ini. Koriokarsinoma yang primer dapat berasal dari ovarium. Gejala klinik Dapat menyerupai kelainan seperti abortus, atau perdarahan disfungsional. Ditemukannya sel koriokarsinoma dalam kuretemen diagnostik. Akan tetapi bilamana pertumbuhan sel ganas di dalam miometrium, akan luput dari sendok kuret, maka hasil biopsi dapat menjadi negatif palsu (false negative). Ciri khas koriokarsinoma adalah bahwa tumor itu mensekresi HCG, yang dapat terdeteksi dalam air kemih penderita. Jumlahnya secara kuantitatif berhubungan dengan masa tumor. Dengan demikian pengukuran HCG sangat esensial untuk penetapan diagnosis, dan juga untuk pemantauan (monitoring) selama pengobatan lanjutan. Beta-HCG (sub unit dari HCG) meningkatkan sensitifitas dan spesifitas pengukuran tersebut. Kualitatif dengan metode ELISA dan kuantitatif menggunakan RIA. Pengobatan Koriokarsinoma merupakan keganasan pertama yang dapat diobati dengan kemoterapi dan merupakan contoh yang nyata dari tumor ganas yang dapat disembuhkan dengan obat-obatan. Bilamana tidak ada penyebaran (metastasis) 90% dapat disembuhkan dengan MTX (methotrexate). Sisanya yang 10% bilamana titer beta-HCG terus-menerus tinggi, yang menunjukkan adanya penyakit persisten/menetap, perlu dilakukan histerektomi. Bilamana titer beta-HCG turun sampai normal, lalu kemudian naik lagi, dapat dipertimbangkan selain histerektomi juga pemberian kemoterapi. Bilamana sudah ada metastasis, dan penderita termasuk dalam golongan risiko rendah/low risk group, pemberian kemoterapi tunggal dengan MTX arau Actinomycin D biasanya hampir 100% efektif. Mereka yang tergolong resiko rendah bila : 1) metastasis hanya di panggul atau paru-paru saja; 2) titer HCG < 100.000 IU dalam 24 jam urin; 3) pengobatan dimulai kurang dari 4 bulan setelah diagnosis dibuat. Pengobatan lanjutan untuk penderita dengan titer persisten atau kembali tinggi setelah menjadi normal, adalah seperti diatas. Bilama didapat penyebaran/metastasis ke hepar, otak atau tulang, atautiter betaHCG > 100.000 IU dala urin 24 jam, atau pengobatan dimulai setelah lebih dari 4 bulan dari saat didiagnosis pertama, maka penderita dimasukkan ke dalam golongan high risk yang tidak akan mempan dengan kemoterapi tunggal, tetapi memerlukan kombinasi beberapa obat sitostatika (polydrug kemoterapi). Bila didapatkan metastasis sampai ke otak, sering diperlukan tambahan pemberian pengobatan intratekal. Prognosis pada umumnya jelek.

PLASENTAL SITE TROFOBLASTIK TUMOR Plasental Site trofoblastik Tumor (PSTT) adalah tumor trofoblas non villus yang menginfiltrasi plasental site pada kehamilan normal, yang terdiri dari trofoblas intermediet, umumnya jinak tetapi dapat pula ganas, mirip infiltrasi tumor ke endometrium dan miometrium pada plasental bed dan tidak ada pola bifasik seperti koriokarsinoma. Ia merupakan bentuk penyakit trofoblast gestasional yang terjarang.
6

Tumor tumor tipe ini sudah dikenal selama bertahun-tahun dan dikenal dengan istilah chorioepitelioma atipikal, sincitioma, dan corionepitheliosis. Belakangan ini, Kurman, Scully & Norris mengemukakan 12 kasus dengan lesi yang terlokalisir dan kadang-kadang dapat dihilangkan dengan kuretase sederhana. Mereka mengajukan istilah trofoblastik pseudotumor. Tetapi dalam beberapa tahun ini telah jelas bahwa tumor ini kadang-kadang bersifat agresif meskipun terlokalisir dan dapat pula bermetastasis. Walaupun diketahui bahwa tumor ini merupakan bentuk atipikal dari koriokarsinoma tetapi lebih suka digunakan istilah plasental site trofoblastik tumor yang mencerminkan kesamaan morfologinya dengan trofoblas pada plasental site. PSTT adalah penyakit yang unik, Marchand pada tahun 1895 dan Ewing tahun 1910 membuat klasifikasi jinak dan ganas dari penyakit trofoblas berdasarkan hasil observasinya. Lesi ini yang sekarang disebut PSTT secara periodik ditemukan kembali dan diberi nama baru sejak deskripsi pertama dilaporkan. Kurman baru-baru ini menamainya sebagai kumpulan jinak dari sinsitiotrofoblas dan pada tahun 1976 disebutnya sebagai tanda tumor trofoblas. Laporan kasus berikutnya membicarakan bukti tentang potensi keganasan dengan keluaran fatal dan tumor ini di namai ulang dengan PSTT pada tahun 1981. Tumor ini ditandai dengan populasi sel monomorfik yang terdiri dari sel trofoblas intermediet. Dari laporan Kurman dkk maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada 2 pola diferensiasi trofoblas yang dapat dikonseptualisasikan. Sitotrofoblas dapat dianggap sebagai induk sel yang dapat berkembang menjadi sinsitiotrofoblas yang mensintesis dan mensekresikan beberapa hormon kehamilan. Konseptualisasi sitotrofoblas sebagai sel induk memunculkan pemahaman diferensiasi sel di ruang intervillus, sel ini terjadi bersamaan dengan infiltrasi miometrium sehingga timbul tempat implantasi. Shih dan Kurman melaporkan bahwa sitotrofoblas dan kaitannya dengan sinsitiotrofoblas serta 2 pola diferensiasi. Trofoblas intermediet terlihat dikolom T dan ruang intervillus ketika ia bermigrasi ke lempeng basal dan menginvasi arteri spiralis. Baru-baru ini ditemukan berdasarkan penelitan menemukan hubungan antara molekul adhesi sel melanoma dan trofoblas intermediet. Molekul adhesi sel melanoma (MELCAM) termasuk pada keluarga gen imunologis utama dan dapat di identifikasi dengan antibodi monoklonal . Molekul adhesi spesifik ini dapat membedakan trofoblas intermediet dari sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas. Tabel 5: Tipe sel Trofoblast berdasarkan trimester Tipe sel trofoblast Sitotrofoblast Trofoblast intermediet Sinsitiotrofoblast A. Gambaran klinis Spektrum klinis PSTT sangat luas. Tumor ini paling sering ditemukan pada usia reproduktif yang dapat memperlihatkan amenorea / perdarahan uterus abnormal beberapa bulan atau
7

Trimester I hCG hPL -+ ++ ++++ +

Trimester II hCG hPL -- +++ ++ +++

Trimester III hCG hPL -+ +/++ + +++

beberapa tahun setelah kehamilan normal (95%), sedikit yang berasal dari abortus atau yang jarang mola hidatidosa. Uterus biasanya membesar dan kadar protein hamil serum seperti hCG, hPL meningkat walaupun hCG jarang setinggi koriokarsinoma. Hasil tes kehamilan tergantung pada tes yang digunakan, tetapi biasanya memberikan hasil positif, jarang berhubungan dengan virilisasi. Dengan kuretase akan diperoleh desidua atau miometrium yang terinfiltasi oleh sel-sel trofoblas dengan gambaran sitoplasma eosinofilik yang bertumpuk dan nukleus yang pleomorfik (dapat mononukleus ataupun multinukleus) dan seringkali bergerombol atau berbentuk tali dan memisahkan serabut otot polos. Akan sulit, bahkan tidak mungkin untuk membedakan antara reaksi berlebihan plasental site dengan PSTT pada kuretase endometrium, karena jaringan yang kurang mencukupi atau adanya nekrotik yang berlebihan. Pemeriksaan terhadap spesimen histerektomi menunjukkan perbedaan yang jelas antara PSTT dan koriokarsinoma. PSTT membentuk massa yang mengalami nekrosis, tetapi perdarahannya kurang menyolok. Keadaan ini mencerminkan kurangnya invasi vaskuler dan infiltrasinya dominan pada jaringan intertisial. Prosesnya bahkan dapat menginfiltrasi sampai ke organ yang berdekatan, seperti ovarium dan parametrium. Metastase jauh dapat terjadi di peritoneum, hepar, pankreas, paru-paru dan otak. Karena invasi vaskuler bukan merupakan kriteria keganasan, tampaknya jumlah mitosis > 5 per lapangan pandang besar dapat memprediksi tumor dengan potensi metastase.
Gambaran klinis PSTT dibanding dengan Koriokarsinoma

Gambaran Penampakan klinis Serum hCG Kebiasaan

PSTT Missed abortion Rendah Sembuh sendiri, persisten Agresif tinggi Respon terhadap kemoterapi Kurang Pengobatan Bedah (histerektomi) B. Temuan makroskopis.

Koriokarsinoma PTG persisten terhadap mola hidatidosa Tinggi

Agresif tinggi Baik Kemoterapi

Ukuran lesi bervariasi dari hanya terlihat secara makroskopis sampai pembesaran noduler yang difus dari miometrium. Terkadang berbatas jelas/ bisa tidak berbatas. Dan dapat polipoid menjulur ke kavum uteri/ hanya di miometrium. Permukaan irisannya lembut & mengandung area fokal hemoragik dan nekrosis. Invasi sering meluas ke serosa uteri dan jarang ke struktur adneksa. C. Temuan mikroskopis

Sel predominan pada PSTT adalah trofoblas intermediet dan gambaran populasi seluler adalah monomorfik. Juga ada sel sinsitiotrofoblas besar yang tersebar. Sinsitiotrofoblas adalah komponen minor yang terkadang jika ada dapat memiliki nucleus multinuklear. Sel trofoblas intermediate menginvasi secara tunggal/ dalam bentuk pita dan lembaran yang ditandai dengan pemisahan dari serat otot dan grup serat-serat. Walaupun beberapa tumor menyebabkan destruksi relatif, yang lainnya berkaitan dengan nekrosis relatif. Banyak sel trofobas intermediet yang berbentuk spindel sehingga mirip dengan sel otot. Trofoblas intermediet memiliki nukleus hiperkromatik irreguler dan sitoplasma eosiamfofilik serta terkadang ada vakuola. Seperti pada implantasinya yang normal, pada tumor ini juga banyak terdapat fibrinoid eosinofilik ekstraseluler dimana pembuluh darah diinvasi oleh sel trofoblas dan material fibrinoid. Reaksi desidual atau Arias stella dapat ditemukan pada endometrium normal yang berdekatan, villi jarang ada. Jarang tumor trofoblas memberikan gambaran histologis PSTT dan koriokarsinoma, dan bila ada disebut mixed choriocarsinoma /PSTT. Contoh kasus dengan 50% PSTT dan 50% koriokarsinoma di uterusnya, tetapi metastase di limfonodus positif untuk koriokarsinoma. Metastase ke paru dapat terjadi tetapi titer hCG serum tetap rendah, dan pasien ini meninggal karena penyakit ini. Koriokarsinoma Jumlah jaringan lesi Villi Gambaran pertumbuhan trofoblas dan tipe sel Mitosis Nuklear atipia Nekrosis Variabel tidak ada Dimorfik, ST, CT, TI PSTT Ekstragragasi tumor di tempat plasenta jarang Selalu terbatas Selalu ada, fokal Monomorfik, TI

Variabel, abundant Tidak ada Monomorfik, TI

Ada, selalu tinggi Variabel Selalu ada

Ada, selalu rendah Moderate Selalu ada

Tidak ada / jarang Moderate Tidak ada

D. Gambaran ultrastruktur Morfologi trofoblas intermediet terlihat paling baik pada PSTT. Sel trofoblas intermediet besar dan memiliki sitoplasma yang banyak, berbentuk polygonal dan dihubungkan dengan desmosom. Sitoplasmanya kaya akan organella dan natrium. Dalam bentuk bundle besar filamen intermediet paranuklear yang membedakan trofobas intermediet dengan sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas. E. Gambaran Ultra sonografi : Secara USG sukar membedakannya dengan gambaran mola invasif. F. Gambaran MRI:
9

MRI memperlihatkan sensitivitas yang cukup tinggi dalam mendeteksi penyakit PTG yang berlokasi (metastasis) ke uterus, parametria, adneksa dan forniks vagina dan merupakan satu teknik imaging alternatif pengganti jika pemakaian zat kontras merupakan kontra indikasi. Baik Doppler USG, CT maupun MRI mempunyai kemampuan mengidentifikasi pembesaran abnormal dari arteri uterina sehubungan dengan adanya persisten pelvis PTG, sehingga tehnik-tehnik ini sudah dapat menggantikan peranan pelvis arteriografi. Keuntungan MRI: 1. MRI memakai nonionizing radiation 2. Resolusi kontras jaringan lunak yang baik/ hebat 3. Multiplanar imaging 4. Visualisasi yang baik dari jaringan dan pembuluh darah tanpa memerlukan zat kontras 5. Merupakan pilihan untuk pasien-pasien yang mengalami alergi dengan zat kontras berjodium atau dengan kegagalan ginjal Kekurangan MRI dibanding CT Scan adalah : 1. Biaya relatif lebih mahal 2. Waktu scanning yang relatif lebih panjang/ lama 3. Poorer spatial resolution 4. Degradasi image jika bergerak 5. Tidak dapat dilakukan pada pasien dengan claustrophobiaTidak mampu memeriksa pasien dengan pacemaker jantung, cochlear implant, vaskular klips, objek metalik pada mata dan pemakai perangsang syaraf G. Diagnosis banding 1.Koriokarsinoma: memiliki pola bifasik ( PSTT populasinya monofasik ) 2. Sarkoma, Ca diferensiasi jelek, melanoma metastatik. Faktor resiko Angka kejadian koriokarsinoma meningkat sesuai umur dan 5-15 kali lebih tinggi pada wanita dengan umur 40 tahun keatas daripada wanita yang lebih muda. Staging
Federasi Internasional Ginekologi dan Obstetri staging tumor trofoblas gestasional adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi FIGO Stadium I Stadium II

Tumor semata-mata terdapat dalam uterus Tumor menyebar ke adneksa, atau keluar dari uterus namun
10

terbatas pada struktur genital Stadium III Tumor menyebar ke paru-paru dengan atau tanpa penyebaran ke traktus genitalis Tumor menyebar ke tempattempat lain

Stadium IV

Setiap tahap anatomi (angka Romawi) diikuti oleh jumlah nilai prognostik (lihat tabel di bawah) yang dipisahkan oleh tanda titik dua (misalnya, tahap III: 5). FIGO Komite Onkologi dalam pertemuan pada tahun 2000 merekomendasikan bahwa pasien dapat dikaitkan dengan kelompok berisiko rendah, jika skor 0-6 dan memperkirakan kelompok risiko tinggi jika skor 7 atau lebih tinggi. Untuk pasien yang kambuh, sementara dapat ditambahkan respon terhadap kemoterapi sebelumnya. Ini berbeda dari kanker ginekologi lainnya. Indeks skor prognosis saat ini digunakan merupakan modifikasi dari klasifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Hal ini memberikan poin dengan kehadiran sejumlah faktor prognosis. Tabel 1. skor prognosis berdasarkan WHO Faktor prognosis Usia 40 tahun Kehamilan sebelumnya yang diakhiri dengan aborsi Kehamilan penuh sebelumnya Interval antara kehamilan sebelumnya dan mulai kemoterapi 4-6 bulan Interval antara kehamilan sebelumnya dan mulai kemoterapi 7-12 bulan Interval antara kehamilan sebelumnya dan mulai kemoterapi > 12 bulan Beta hCG serum 1,000 sampai < 10,000 mIU/mL Beta hCG serum 10,000 sampai < 100,000 mIU/mL Beta hCG serum 100,000 mIU/mL Besarnya tumor 3 cm sampai < 5 cm Besarnya tumor 5 cm Metastasis ke Limpa atau ginjal Metastasis ke saluran pencernaan Metastasis ke hati atau otak Jumlah metastase 1-4 Jumlah metastase 5-8 Jumlah metastase >8 Sebelum kemoterapi dengan obat tunggal Sebelum kemoterapi dengan obat multiple Sistem Hammond 1. Low metastatik 2. Low-risk metastatik 3. High risk metastatik Skor 1 1 2 1 2 4 1 2 4 1 2 1 2 4 1 2 4 2 4

11

Tabel 2. Klasifikasi klinis dari GTT ( Hammond dkk 1973 ) A. Non- metastatik. B. Metastatik. C. Risiko rendah. 1. hCG < 100.00 IU/ urin 24 jam urine atau < 40.000 m IU/ml serum. 2. Gejala ada kurang dari 4 bulan No brain or liver metastases. 3. Tidak ada riwayat kemoterapi. 4. Kehamilan sebelumnya bukan kehamilan aterm ( mola, ektopik, abortus) . D. Risiko tinggi . 1. hCG > 100.000 IU/ urin 24 jam atau > 40.000 ml/ml serum. 2. Gejala ada > 4 bulan . 3. Adanya metastasis ke otak atau hepar. 4. Gagal kemoterapi sebelumnya. 5. Kehamilan sebelumnya aterm. EVALUASI DIAGNOSTIK Semua pasien dengan PTG persisten harus dilakukan evaluasi sebelum pengobatan secara hati-hati, termasuk : a. Riwayat komplit dan pemeriksaan fisik. b. Pengukuran nilai hCG serum c. Fungsi hepar, tiroid dan ginjal d. Nilai terendah lekosit perifer dan platelet. Jika metastatik harus diikuti juga dengan : a. CT scan atau rontgen foto thoraks b. USG atau Ct scan abdomen dan pelvis c. CT scan kepala d. Angiografi selektif dari dari abdominal dan organ pelvis jika ada indikasi. Ultrasonografi hepar dan CT Scan akan banyak memberikan masukan pada metastatik ke hepar pada pasien dengan tes fungsi hepar abnormal. CT scan kepala di anjurkan pada diagnosis dini dari lesi cerebral yang tidak memberikan gejala. CT Scan dada mungkin menggambarkan mikrometastatis meskipun dengan rontgen foto thoraks normal. Pada pasien pasien dengan koriokarsinoma atau penyakit yang bermetastatis, hCG mungkin bissa diukur pada cairan sebrospinalis untuk menyingkirkan penyebaran cerebral jika pada CT Scan otak normal. Plasma/ CSF hCG rasio bertendensi menurun < 60 pada adanya metastatis serebral. Bagaimanapun plasma tunggal/ CSF hCG rasio mungkin tidak meningkat, sebab perubahan cepat pada hCG plasma tidak mungkin bisa direfleksikan pada CSF. USG pelvis tampaknya bisa digunakan pada deteksi penyebaran PTG yang ekstensif dan mungkin juga merupakan identifikasi dari tumor uterus yang resisten. Sebab USG lebih akurat dan tidak menginvasi dalam mendeteksi tumor uteri, ini mungkin bisa menolong menyeleksi pasien yang akan dihisterektomi

12

Bagan 1 : Diagnosis dan penatalaksanaan PTG


Diagnosis

Mola komplit & mola parsial

Mola invasiv

Koriokarsinoma

PSTT

Evakuasi Hisap

Pemeriksaan
Pemeriksaan darah lengkap USG pelvis, Ro, CT Scan otak, USG hepar, liver (jika ada indikasi)

Staging, Klasifikasi risiko

Follow up hCG serum

Normal dlm 6 bulan

Nilai menetap atau titer meningkat

Discharge

Kemoterapi

Resiko rendah

Resiko tinggi

Kemoterapi tunggal

Multi agen kemoterapi

13

Penatalaksanaan PTG. 1. Stadium I. Pada pasien dengan stadium I, seleksi penangananya adalah berdasarkan fertilitas penderita, yaitu : histerektomi + kemoterapi. Jika sistem anak fertilitas, histerektomi dengan adjuvan agen kemoterapi tunggal mungkin merupakan pengobatan primer. Kemoterapi adjuvant yang digunakan harus memenuhi 3 alasan : a. Mengecilkan penyebaran sel tumor pada saat operasi b. Mempertahankan level sitotoksik kemoterapi pada peredaran darah dan jaringan yang merupakan tempat penyebaran tumor pada saat opertasi. c. Pengobatan metastatis yang tersembunyi yang telah ada pada saat operasi. Kemoterapi aman diberikan pada saat histerektomi tanpa peningkatan risiko perdarahan atau sepsis. Pada 1 seri yang terdiri dari 29 pasien yang diterapi pada satu institusi dengan histerektomi primer dan adjuvant kemoterapi tunggal, semuanya menunjukkan remisi komplit tanpa tambahan terapi. Histerektomi juga selalu dilakukan pada stadium I PSTT. Sebab PSTT resisten terhadap terapi , histerektomi hanya dilakukan pada penyakit yang nonmetastatik dan merupakan pengobatan kuratif. Pada penderita PSTT metastatik yang pernah dilaporkan mengalami remisi setelah kemoterapi.

a. Kemoterapi tunggal Kemoterapi tunggal lebih baik pada penderita dengan stadium I yang masih membutuhkan fertilitas. pada suatu penerlitian dengan kemoterapi tunggal yang diberikan pada 399 pasien dengan stadium I PTG, 373 ( 93,5%) mengalami respon komplit. Dua puluh enam pasien yang resisten mengalami remisi pada kemoterapi kombinasi atau operatif. Pada pasien yang resisten terhadap kemoterapi tunggal dan masih membutuhkan sistem reproduksi , dapat diberikan kemoterapi kombinasi. Jika pasien resisten terhadap kemoterapi tunggal dan kemoterapi kombinasi dan masih ingin mempertahankan sistem reproduksi dapat dilakukan reseksi uterus lokal. Jika direncanakan reseksi lokal USG preoperatif, MRI atau arteriogram mungkin menolong mendefinisikan bagian tumor yang resisten. b. Kemoterapi kombinasi Sejak ditemukannya kemoterapi yang efektif, maka kesembuhan pada semua pasien dengan PTG risiko rendah dapat diharapkan, tetapi pada PTG risiko tinggi kesembuhan hanya berkisar 52-89% bahkan dengan MTX-ActinomisinD dan Sikloposfamid/ klorambusil (MAC) sebagai terapi primer PTG risiko tinggi yang metastatik.
14

Regimen MEA dari suatu penelitian tanpa siklofosfamid , Vinkristin adalah kombinasi yang dapat ditolerir dan efektif dalam mengobati wanita dengan PTG risiko tinggi. Efek samping MEA yang didapatkan adalah mielosupresi, alopesia reversibel) grade 2-3) dan nausea (grade 2). Leuko dan trombositopenia grade 4 terjadi pada 5,3 dan 6,4% dari 94 siklus. Pergantian kemoterapi EMA/CO juga dilaporkan efektif dan dapat ditoleransi untuk pasien PTG risiko tinggi. Laporan terbaru dari RS Charing Cross terhadap regimen ini menunjukkan 78% remisi komplit, 86% tingkat survival 5 tahun kumulatif dan toksisitas minimal kecuali untuk keganasan ke2. Uji klinik acak dengan faktor risiko tinggi yang sama dapat mendefinisikan regimen optimal untuk wanita dengan PTG risiko tinggi, walaupun agaknya tidak mungkin karena pada penyakit jarang ini ada tingkat respon yang tinggi terhadap banyak regimen terapi. Baru-baru ini keganasan kedua yang terjadi setelah regimen kemoterapi yang mengandung etoposide telah dilaporkan. Risiko leukemia mieloid, ca kolon dan ca mammae secara bermakna meningkat. Walaupun mekanisme keganasan kedua setelah kemoterapi sekuensial/ kombinasi dengan etoposide belum diketahui, pasien yang diberi etoposide perlu di follow up lebih ketat. 2. Stadium II dan stadium III. Pasien dengan risiko rendah diterapi dengan kemoterapi tunggal, dan pasien dengan risiko tinggi dengan kemoterapi kombinasi primer yang intensif. a. Metastasis ke pelvis dan vagina Pada penelitian dengan 26 pasien stadium II yang diterapi dengan kemoterapi tunggal memberikan remisi komplit sebanyak 16 dari 18 ( 88,9%) pada penderita dengan risiko rendah. Kontrasnya hanya 2 dari 8 orang yang mempunyai risiko tinggi mengalami remisi dengan kemoterapi tunggal dan lainnya dengan kemoterapi kombinasi. Metastasis vagina mungkin menyebabkan perdarahan yang hebat sebab mempunayai vaskuler yang banyak. Ketika perdarahan ini substansial akan dapat dikontrol dengan melokalisir vagina atau dengan lokal eksisi yang luas. Embolisasi Arteriografi arteri hipogastrika mungkin bisa mengontrol perdarahan metastasis vagina. b. Metastasis ke paru-paru. Dari penelitian terhadap 130 pasien dengan stadium III yang diterapi 129 (99%) menunjukkan remisi komplit. Remisi gonadotropin diinduksi dengan kemoterapi tunggal pada 71 dari 85 ( 83,5%) pasien dengan risiko rendah. Semua pasien yang resisten terhadap kemoterapi tunggal sebagian mengalami remisi dengan kemoterapi kombinasi. Torakotomi merupakan batas pemanfaatan pada stadium III. Jika pasien mengalami metastasis pulmo
15

yang persisten dan diberikan kemoterapi intensif, bagaimana pun torakotomi mungkin bisa mengeksisi fokus yang resisten. Pada penderita resisten yang telah dilakukan torakotomi, kemoterapi harus diberikan pada postoperatif untuk mengobati mikrometasis yang tersembunyi. c. Histerektomi. Histerektomi mungkin dilakukan pada pasien dengan metastasis untuk mengontrol perdarahan uterus atau sepsis. Selanjutnya pada pasien-pasien yang tumornya meluas, histerektomi mungkin secara substansial menghambat tumor trofoblas dan membatasi untuk pemberian kemoterapi. d. Follow-up Semua pasien dengan stadium I sampai stadium III harus difollow-up dengan : 1. Pengukuran hCG tiap minggu sampai kadarnya normal selama 3 minggu berturut-turut. 2. Pengukuran hCG setiap bulan sampai nilainya normal 12 bulan berturutturut. 3. Kontrasepsi yang efektif selama interval follow-up hormonal. 3. Stadium IV Pasien-pasien stadium IV mempunyai risiko terbesar untuk tumbuh secara progresif cepat dan tidak respon terhadap terapi multimodalitas. Semua pasien stadium IV harus diterapi secara primer dengan kemoterapi intensif dan penggunaan radioterapi yang selektif dan pembedahan. a. Metastasis hepar Penanganan metastasis hepar sebagian sulit. Pada pasienpasien Yang resisten dengan kemoterapi sistemik, infus arteri hepatika mungkin menghambat remisi komplit pada kasus-kasus yang selektif. Reseksi hepar mungkin bisa juga untuk mengontrol perdarahan akut atau untuk mengeksisi fokus tumor yang resisten. Tehnik terbaru tentang embolisasi arteri mungkin diperlukan untuk intervensi pembedahan. b. Metastasis cerebral. Jika didiagnosis metastasis cerebral, dilakukan irradiasi seluruh otak (3000 cGy dengan 10 fraksi). Risiko perdarahan spontan cerebral mungkin bisa terjadi karena kombinasi kemoterapi dan irradiasi otak sebab keduanya mungkin bersifat hemostatik dan bakterisidal. Remisi terbaik yang dilaporkan pada pasien dengan metastasis kranial yang diobati secara intravena yang intensif dengan kombinasi kemoterapi dan metotreksat intratekal. c. Kraniotomi. Kraniotomi dilakukan untuk dekompresi akut atau untuk mengontrol perdarahan. Weed dkk melaporkan bahwa kraniotomi untuk mengontrol perdarahan pada 6 pasien, 3 diantaranya mengalami remisi komplit. Pasien dengan metastasis cerebral yang mengalami remisi umumnya tidak mempunyai sisa defisit neurologis.
16

d. Follow-up. 1. Nilai hCG tiap minggu sampai normal selama 3 minggu berturut-turut. 2. Nilai hCG setiap bulan sampai normal selama 24 bulan berturut PEMBERIAN KEMOTERAPI PADA PSTT Pengelolaan PSTT lebih sulit dari koriokarsinoma karena HCG tidak dapat diandalkan sebagai petanda tumor untuk memantau perjalanan penyakitnya dan umumnya lebih cepat resisten terhadap kemoterapi. Umumnya selalu diperlukan histerektomi diikuti pemberian kemoterapi kombinasi seperti pada koriokarsinoma risiko tinggi. EMA-CO merupakan kemoterapi terpilih namum disini diberikan tanpa masa istirahat sehingga untuk mengurangi mielosupresi digunakan G-SCF. Pada penelitian Kurman dkk 20 tahun yang lalu dikatakan bahwa semua penyakit ini yang masih terbatas pada uterus disembuhkan dengan histerektomi/ kuretase. Berdasarkan pengalaman ini Kurman menyimpulkan bahwa walaupun lesi ini secara histologis tidak bisa dibedakan dapat memperlihatkan penyakit yang secara klinis agresif dan metastatik. Dari 90 pasien dengan PSTT yang dilaporkan diliteratur, 20 meninggal karena penyakit ini walau diterapi dengan kemoterapi multiagen. Baru - baru ini di laporkan bahwa pasien dengan PSTT metastatik dapat di terapi dengan lebih baik dengan EMA-CO. Dari 10 pasien dengan PSTT metastatik yang dilaporkan di literatur, 4 menunjukkan respon komplit. Twiggs dkk dengan 2 pasiennya melaporkan bahwa penggunaan kemoterapi multiagen dengan dosis intensif + ekstensif penyakit lokal adalah penting dalam penanganan PSTT yang berhasil. Banyak pasien dengan PTG risiko tinggi lain yang refrakter terhadap terapi multiagen akan memberikan respon komplit bila diterapi dengan regimen yang mengandung platinum. Ini menunjukkan bahwa pasien dengan PSTT yang refrakter terhadap kemoterapi juga dapat merespon terapi dengan platinum. Telah dilakukan penelitian yang merupakan laporan pertama dengan respon terhadap EMA-EP yang lama & komplit setelah terapi dengan EMA-CO gagal. Masih banyak pengalaman klinis diperlukan untuk menentukan apakah hasil ini dapat diulang, tetapi kasus ini mengindikasikan bahwa dengan penambahan platinum pada regimen multiagen, bahkan pada pasien dengan PSTT rekuren & metastatik dapat mencapai remisi jangka panjang. Protokol pemberian EMA-CO : Kemoterapi EMA-CO diformulasikan oleh Newlands dan Baghsawe, yaitu dengan menggunakan Etoposide, MTX dosis tinggi dengan asam folat, Actinomisin D, Cyclophosphamide, dan Vincristin, atau beberapa variasi dari obat-obatan tersebut merupakan obat terpilih yang digunakan untuk pasien-pasien dengan PTG risiko tinggi. Jika terdeteksi metastatis ke otak, dosis infus MTX harus dinaikkan 1 mg/m2

17

dan 30 mg asam folat diberikan setiap 12 jam selama 3 hari mulai pada 32 jam setelah pemerian infus inisial. Pada tahun 1984, laporan utama Baghsawe ternyata 83% angka harapan hidup pada penderita yang hanya diterapi dengan EMA-CO. Laporan dari Charing Cross Hospital berdasarkan penelitiannya mendapatkan 80% dengan respon komplit dan angka harapan hidup 82% dengan efek toksis yang minimal. Schink dan kawan-kawan melaporkan juga bahwa hasil yang didapatkannya sangat baik. Kemoterapi lain untuk PTG adalah cisplatin, bleomisin dan ifosfamide. Obat-obatan ini digunakan pada kombinasi dengan etoposide atau vinblastin untuk meningkatkan penyembuhan pada beberapa penderita dengan kegagalan pada terapi awal. Penggunaan dosis tinggi kemoterapi dan G-SCF mungkin merupakan menejemen penting untuk penderita ini. Toksisitas yang signifikan lebih banyak pada kemoterapi kombinasi dibandingkan dengan kemoterapi tunggal. Reaksi toksis adalah sama untuk MTX dan actinomisin D kecuali alopesia , nausea dan muntah-muntah mungkin lebih berat dan supresi sumsum tulang adalah bermakna. Vinkristin mungkin menyebabkan neurotoksisitas. Bleomisin mungkin menyebabkan perubahan kulit dan demam dan dosis kumulatifnya tergantung toksisitas terhadap paru-paru. Batas toksisitas Cisplatin adalah neuropathi periperal atau ototoksisitas, meskipun insufisiensi renal yang progresif bisa terjadi. Ifosfamide mungkin menyebabkan somnolen dan koma seperti sistitis hemoragik. Baru-baru ini dilaporkan mayoritas pasien menunjukkan respon parsial terhadap EMA-CO, lalu jelaslah dibutuhkan regimen yang lebih kuat. Pasien dengan PSTT metastatik dan rekuren yang menunjukkan respon komplit dan durabel terhadap Etoposide, MTX, Dactinomisin dan etoposide cisplatinum (EMA-EP). Sebagai contoh diberikan : Hari 1: 100 mg/m2 etoposide + 0,5 mg daktinomisin 100 mg/m2 MTX IV bolus + 200 mg/m2 asam folat selama 24 jam Hari 2: 100 mg/m2 etoposide + 0,5 mg daktinomisin diberikan setiap 14 hari . Pada hari ke 8 diterapi dengan 1 mg/m2 vinkristin dan 600 mg/m2 sitokan (EMA-CO). Setelah 2 siklus hCG tidak bisa dideteksi. Siklus tambahan lalu diberikan.Pasien secara klinis bebas dari penyakit dengan level hCG normal selama 6 bulan, lalu level hCG nya meningkat sampai 181 mIU/ml. Terapi diberikan lagi dengan 100 mg/m2 etoposide pada hari ke 1 dan 0,5 mg daktinomisin pada hari ke 1&2, 1000mg/m2 MTX selama 24 jam pada hari pertama diikuti dengan pemberian asam folat, dan pada hari ke 8 diberikan 150 mg/m2 etoposide & 75 mg/m2 sisplatinum ( EMA-EP). Regimen ini diulang setiap 14 hari. Setelah 4 siklus hCGnya turun < 5mIU/ml. Lalu diberikan 2 siklus tambahan. Terjadi efek samping mukositis dan netropenia yang menyebabkan dosis pada siklus ke 3& 4 diturunkan.Tiga tahun setelah kemoterapi tidak ada bukti penyakit lain.
18

METASTASIS PSTT Sejak publikasi pertama tentang potensi malignansi PSTT, maka semakin banyak perhatian yang diberikan pada tumor yang jarang ini. Perilaku klinis yang sangat luas spektrumnya serta jarangnya tumor ini ditemukan ditambah dengan kurangnya sensitifitas level hCG serum dalam memprediksi rekurensi dan penyebarannya menyebabkan laporan yang ada hanya bersifat anekdotal. Yang paling penting bagi klinisi adalah tingginya tingkat mortalitas karena metastatis PSTT. Penggunaan kemoterapi multi agen dengan dosis intensif, intervensi dini ketika penyakit metastatik ditemukan, tehnik pencitraan untuk menetapkan penyebaran penyakit/ operasi untuk penyakit yang terlokalisir dan penggunaan faktor pertumbuhan yaitu Granulosyt Colony Stimulating Factor ( G-SCF), adalah dasar dari perawatan klinis dari PSTT pada pasien dengan PSTT metastatik. Dari tinjauan literatur, keluaran klinis pada PSTT metastatik sangat bervariasi, tetapi yang jelas tidak ada pasien dengan metastatik ke otak yang bertahan. Hitung mitotik rendah tidaklah prediktif untuk penyakit metastatik dan waktu dosis awal sampai terjadinya metastasis dapat berlangsung dalam tahunan. Laporan terbaru juga menunjukkan bahwa terapi operasi adjuvan dapat kuratif bila penyakit metastatik dipelvis diangkat semuanya. Strategi klinis uhtuk PSTT sayangnya masih anekdotal. Tetapi adalah kewajiban dokter untuk menentukan seberapa luas penyakit dengan bantuan MRI / CT Scan. hCG serum dimonitor dan sayangnya pengukuran hPL tidak cukup membantu. Histologi PSTT tidaklah prediktif untuk menilai keluaran yang akan datang. Penelitian lanjut yang menilai antibodi molekuler MEL-CAM mungkin penting dalam memprediksi keluaran klinis dimasa depan. Ketika diagnosis dibuat dengan dilatasi dan kuretase dan pemeriksaan metastatik tidak ditemukan, terapi konservatif dapat dilakukan pada pasien yang ingin mempertahankan fertilitasnya, tetapi tetap ada risiko metastasis, sehingga pemeriksaan metastasis haruslah termasuk CT/ MRI, USG transvaginal uterus dan follow up. Pada pasien yang tidak mempermasalahkan fertilitas, histerektomi adalah primer. Strategi klinis pada pasien dengan penyakit metastatik adalah untuk menghilangkan fokus metastatik, meminimalisir toksisitas dan mencegah progresi penyakit . Strategi terapi multimodul yang direncanakan didasarkan pada fakta bahwa rekurensi lokal dan penyakit persisten dapat dibuang dengan operasi dan penyebaran sistemik tetap dapat merespon kemoterapi multi agen. Regimen kemoterapi awal harus dimulai dengan EMA-CO yang menunjukkan respon komplit. Dukungan faktor pertumbuhan seperti GSCF/ tipe faktor pertumbuhan lain dapat diperlukan, dan harus digunakan di awal terapi untuk menghindari penundaan terapi. Dasar strategi klinis pada penyakit metastatik PSTT adalah pengunaan info yang didapati dari terapi PTG yang risiko metastatisnya tinggi, karena itulah konsep kemoterapi dosis intensif dapat diaplikasikan seperti pada PTG risiko tinggi, dosis
19

kemoterapi sering dibatasi oleh toksisitas hematologis, sehingga kontrol dosis dan penjadualan dosis harus ditangani dengan dukungan faktor pertumbuhan yang cocok. Harterbach dkk meneliti GSCF 5 ug/kg/hari yang diberikan pada setiap siklus dan dilanjutkan sampai netropenia absolut> 10.000/ mm3. Ia memberikan terapi pada 3 pasien dengan korio ca dan 1 dengan PSTT, kesimpulan yang didapatnya adalah dukungan faktor perumbuhan sangat membantu dalam mencapai intensitas dosis yang tinggi. Terjadinya metastasis ke otak adalah tanda prognostik yang jelek, tetapi terapi dengan pembedahan dan kemoterapi intratekal walaupun belum terbukti patut dicoba. Penangan klinis PSTT harus termasuk penilaian tempat penyakit metastatik dan pengawasan berlanjut untuk hCG. Jika pasien diterapi dengan terapi konservatif ( tanpa histerektomi ), pencitraan uterus harus dilakukan melalui USG transvaginal / MRI. Sebaliknya jika penyakit metastatik ditemukan, diagnosis dini dikombinasi dengan kemoterapi intensif multimodal ditambah dukungan faktor pertumbuhan dapat memberikan respon komplit yang lama. PSTT memerlukan terapi yang agresif walau hanya sedikit data yang mendukung. Ekstrapolasi data untuk keputusan klinis dari PTG berisiko tinggi untuk metastatik harus dilakukan dan digunakan sebagai panduan terapi intervensi. Reseksi penyakit pelvis dapat membantu dalam mencapai remisi jangka panjang yang efektif, penggunaan kemoterapi multi agen di kombinasi dengan dukungan faktor pertumbuhan adalah penting dalam mencapai remisi jangka panjang yang efektif pada penyakit metastatik luas. RINGKASAN 1. PSTT adalah bentuk terjarang dari PTG, yang berasal dari jaringan trofoblas pada tempat implantasi plasenta dan terutama terdiri dari kelompok-kelompok sel monomorfik yang dibentuk oleh sel-sel trofoblas intermediet dan sebagian kecil sitotrofoblas dan sedikit sekali sinsitiotrofoblas. 2. Diagnosis berdasarkan hasil histerektomi/ kuretase. 3. Penyebab terbanyak adalah kehamilan aterm dan abortus serta sedikit sekali yang disebabkan oleh mola hidatidosa. 4. Dapat regresi spontan dan penanganan utama dengan operasi serta kurang sensitif dengan kemoterapi. 5. PSTT metastasis memberikan respon yang baik pada kemoterapi EMA/CO dan EMA-EP. ENDOMETRIOSIS DAN ADENOMIOSIS Endometriosis merupakan penyakit yang cukup sering dijumpai pada wanita di seluruh negara termasuk Indonesia. Keluhan yang sering dijumpai adalah nyeri perut bawah dan panggul terutama saat haid serta kesulitan punya anak (infertilitas). Penyakit ini disebabkan
20

oleh tumbuhnya endometrium di tempat yang tidak semestinya. Akibatnya jaringan tempat tumbuhnya selaput lendir abnormal ini rusak, meradang, dan menimbulkan rangsang nyeri.

Gambar 1. Kista endometriosis Endometriosis dapat berupa bercak-bercak di selaput lendir rongga perut (peritoneum), benjolan (nodul), maupun cairan yang terkumpul dalam bentuk kista indung telur. Apabila endometriosis ini tertanam di antara otot-otot rahim maka penyakit ini disebut adenomiosis. Adenomiosis sering kali menimbulkan nyeri yang lebih hebat dan gangguan infertilitas yang lebih berat Selama wanita tersebut masih mendapatkan haid, maka pada saat yang bersamaan jaringan endometrium abnormal (endometriosis) juga mengalami reaksi peluruhan yang menimbulkan perdarahan. Itu sebabnya jaringan yang terkena endometriosis biasanya berwarna kecoklatan. Begitu pula cairan yang terdapat pada kista endometriosis berwarna kecoklatan. Diagnosis endometriosis oleh dokter seringkali didapatkan melalui wawancara keluhan dan gejala yang dirasakan, pemeriksaan organ kelamin dalam serta pemeriksaan tambahan seperti USG dan pemeriksaan laboratorium darah (Ca-125). Meski banyak dijumpai pada wanita usia reproduksi, diagnosis pasti endometriosis tidaklah mudah. Hingga saat ini standar pemeriksaan terbaik untuk memastikan diagnosis endometriosis adalah dengan melihat langsung ke dalam rongga perut melalui laparoskopi. Tampilan endometriosis yang bermacam-macam tadi dapat terlihat dengan jelas seperti pada gambar berikut : Berdasarkan tampilannya endometriosis dibagi menjadi beberapa derajat, ringan hingga berat (Skor 1 yang teringan hingga 4 yang terberat).

21

Gambar 2. Berbagai tampilan endometriosis Pengobatan endometriosis dibagi menjadi medikamentosa dan bedah. Banyak macam obat yang dapat dipakai, yang paling sering digunakan adalah pil kombinasi (biasa digunakan untuk kontrasepsi), analog GnRH, progestin dan danazol. Pada endometriosis derajat berat, maka pengobatan menggunakan obat-obatan saja tidak memberikan hasil yang memuaskan. Untuk itu diperlukan tindakan operatif untuk mengangkat semua jaringan yang terkena endometriosis. Pilihan tindakan operatif pada keadaan ini adalah laparoskopi. Tujuan tindakan laparoskopi pada kasus endometriosis adalah mengangkat semua jaringan endometriosis yang ada, dengan sesedikit mungkin menimbulkan kerusakan pada jaringan sehat. Setelah tindakan tersebut pengobatan dilanjutkan dengan pemberian obat-obatan untuk mencegah timbulnya kembali penyakti ini di kemudian hari. Pada kasus endometriosis yang disertai infertility, tindakan laparoskopi juga bermanfaat untuk mengevaluasi dan memperbaiki keadaan organ kelamin dalam yang dapat menyebebkan infertilitas seperti kelainan saluran telur, perlengketan, dll.

ADENOMIOSIS UTERI Adenomiosis secara klinis lebih banyak persamaannya dengan mioma uteri. Adenomiosis lebih sering ditemukan pada multipara dalam masa premenopause, sedangkan endometriosis terdapat pada wanita lebih muda dan yang umumnya infertil. Frekuensi adenomiosis berkisar antara 10-47%. Patologi Pembesaran uterus pada adenomiosis umumnya difus. Didapat penebalan dinding uterus, dengan dinding posterior biasanya lebih tebal. Uterus umumnya berbentuk simetrik dengan konsistensi padat, dan tidak menjadi lebih besar dari tinju atau uterus gravidus 12 minggu. Adenomiosis sering terdapat bersama-sama dengan mioma uteri. Walaupun jarang, adenomiosis dapat ditemukan tidak sebagai tumor difus melainkan sebagai tumor dengan batas yang nyata. Dalam hal ini kelainan tersebut yang dinamakan endometrium uteri, sukar dibedakan dari mioma uteri. Gambaran mikroskopik yang khas pada adenomiosis ialah
22

adanya pulau-pulau jaringan endometrium ditengah-tengah otot uterus. Pulau-pulau ini dapat menunjukkan perubahan siklik, akan tetapi umumnya reaksi terhadap hormonhormon ovarium tidak begitu sempurna seperti endometrium biasa. Walaupun demikian dapat ditemukan kista-kista kecil berisi darah tua di tengah-tengah jaringan adenomiosis. Kadang-kadang kelenjar-kelenjar dari endometrium menunjukkan hiperplasia kistik, bahkan dapat ditemukan sel-sel atipik, akan tetapi keganasan sangat jarang terjadi. Jaringan otot di sekitar pulau-pulau endometrium mengalami hiperplasia dan hipertropi dan segala sesuatu memberi gambaran seperti anyaman dengan bintik hitam didalamnya, tanpa adanya semacam kapsula seperti pada mioma. Kehamilan akan menyebabkan endometrium ektopik ini berubah seperti desiudua. Histogenesis Cullen dan peneliti-peneliti lain mengemukakan bahwa sel endomterium pada adenomiosis adalah dari endomterium yang meliputi kavum uteri, dan mengadakan pertumbuhan ke dalam otot. Pada pemeriksaan histologik masih sering dapat dilihat adanya kontinuitas dari pulau-pulau endometrium dalam adenomiosis dengan mukosa dinding kavum uteri, akan tetapi hiperplasia otot-otot uterus sering kali menutupi kontinuitas ini. Walaupun sebab sebenarnya adenomiosis tidak diketahui, ada dugaan bahwa tersebarnya endometrium dalam miometrium adalah akibat perubahan-perubahan yang terjadi di dalam uterus karena kehamilan dan persalinan yang berulang. Mungkin kerokan yang berlebihan dapat merupakan faktor etiologis pula. Mikroskopis Tampak gambaran yang khas dari endomterium di dalam jaringan otot miometrium kadangkadang sampai dekat perimetrium. Kelenjar endometrium tersebut disertai pula dengan sel stromanya. Kadang-kadang jaringan endometrium yang ektopik ini tetap berfungsi, mengikuti siklus haid. Karenanya timbul pengumpulan darah haid yang berwarna coklat pada seluruh lapisan otot. Lebih sering endometriumnya merupakan jaringan yang belum matang (non functional type). Tampak sebagai Swiss-cheese hyperplasia. Bila menembus lapisan peritoneum, jaringan endometrium terus tumbuh dan menyebabkan pelvic endometriosis, dan menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Bila ada kehamilan terjadi pula perubahan desidual. Adenomiosis dapat dianggap sebagai polip yang tumbuhnya terbalik. Hiperplasia yang berhubungan dengan siklus bifasik adalah biasa tetapi adenokarsinoma yang tumbuh pada endometriosis, jarang. Adenomiosis sering terjadi bersama-sama dengan penyakit-penyakit lain, misalnya myoma uteri (52%), endomteriosis (69%), ca corpus (33%) dll. Gambaran Klinik
23

Gejala yang paling sering ditemukan pada adenomiosis uteri ialah menoragia, dismenorea sekunder, dan uterus yang makin membesar. Kadang-kadang terdapat disamping menoragia, dispareunia, dan rasa berat di perut bawah terutama dalam masa prahaid. Menoragia makin lama makin banyak karena vaskularitas jaringan bertambah dan mungkin juga karena otot-otot uterus tidak dapat berkontraksi dengan sempurna karena adanya jaringan endometrium di tengah-tengah, mungkin juga karena disfungsi ovarium. Dismenorea sekunder makin mengeras kiranya disebabkan oleh kontraksi tidak teratur dari miometrium, karena pembengkakan endomterium yang disebabkan oleh perdarahan pada waktu haid. Diagnosis Diagnosis adenomiosis dapat diduga, apabila pada wanita berumur sekitar 40 tahun dengan banyak anak, keluhan menoragia dan dismenorea makin menjadi, dan ditemukan uterus yang membesar simetrik dan berkonsistensi padat. Akan tetapi, diagnosis yang pasti baru akan dibuat setelah pemeriksaan uterus pada waktu operasi atau sesudah diangkatnya pada operasi itu. Pengobatan Pada wanita yang berumur lanjut, dengan keluhan menoragia dan dismenorea yang menjadi bertambah berat, histerektomo merupakan pengobatan yang tepat. Lebih sulit soalnya apabila penyakit ditemukan pada wanita yang masih muda, dan masih ingin punya anak. Terapi hormonal tidak banyak gunanya. Pada wanita menjelang menopause yang tidak boleh dioperasi, penyinaran dengan sinar rontgen dapat dipertimbangkan.

ENDOMETRIOSIS Menurut urutan yang tersering ensometrium ditemukan ditempat-tempat sebagai berikut : 1. Ovarium 2. Peritoneum dan ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dinding belakang uterus, tuba falopii, plika vesikouterina, ligamentum rotundum dan sigmoid 3. Septum rektovaginal, 4. Kanalis inguinalis 5. Apendiks 6. Umbilikus 7. Serviks uteri, vagina, kandung kencing, vulva, perineum 8. Parut laparotomi 9. Kelenjar limfe 10. Walaupun jarang, endometriosis dapat ditemukan di lengan, paha, pleura dan perikardium
24

Histogenesis Teori histogenesis dari endometriosis yang paling banyak penganutnya adalah teori Sampson. Menurut teori ini, endometrosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid didapati sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel endomterium yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis. Teori lain mengenai histogenesis endomteriosis dilontarkan oleh Robert Meyer. Pada teori ini dikemukakan bahwa endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel berasal dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di derah pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endomterium. Teori dari Robert meyer akhir-akhir ini semakin banyak penantangnya. Disamping itu masih terbuka kemungkinan timbulnya endometriosis dengan jalan penyebaran melalui jalan darah atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari endometrium pada saat operasi. Angka kejadian Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir menunjukkan angka kejadian yang meningkat. Angka kejadian antara 5-15% dapat ditemukan di antara smua operasi pelvik. Endometriosis jarang didapatkan pada orang-orang negro, dan lebih sering didapatkan pada wanita dari golongan sosio-ekonomi kuat. Yang menarik perhatian adalah bahwa endometriosis lebih sering ditemukan pada wanita yang tidak kawin pada umur muda, dan yang tidak punya banyak anak. Rupanya fungsi ovarium secara siklis yang terus-menerus tanpa diselingi oleh kehamilan, memegan peranan dalam terjadinya endometriosis. Patologi Gambaran mikroskopik dari endometriosis sangat variabel. Lokasi yang seringterdapat ialah ovarium, dan biasanya di sini didapati pada kedua ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista biru kecil sampai kista besar (kadang-kadang sebesar tinju) berisi darah tua menyerupai coklat (kista coklat atau endometrioma). Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada dinding kista, dan dapat menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium dengan uterus, sigmoid dan dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang dapat mengalir dalam jumlah banyak ke dalam rongga peritoneum karena robekan dinding kista, dan menyebabkan acute abdomen. Tuba pada endomteriosis biasanya normal. Pada salah satu atau kedua ligamentum sakrouterinum, pada kavum douglasi, dan permukaan uterus sebelah belakang dapat ditemukan satu atau beberapa bintik sampai benjolan kecil berwarna kebiru-biruan ini. Sebagai akibat dari timbulnya perdarahan pada waktu haid dari jaringan endometriosis, mudah sekali timbul perlekatan antara alat-alat di sekitar kavum douglasi itu. Gambaran mikroskopik
25

Pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan ciri-ciri khas bagi endometriosis yakni kelenjarkelenjar dan stroma endometrium, dan perdarahan bekas dan baru berupa eritrosit, pigmen hemosiderin, dan sel-sel makrofag berisi hemosiderin. Di sekitarnya tampak sel-sel radang dan jaringan ikat, sebagai reaksi dari jaringan normal disekelilingnya (jaringan endometriosis). Jaringan endometriosis seperti juga jaringan endometrium dalam uterus, dapat dipengaruhi oleh estrogen dan progesteron. Akan tetapi besarnya pengaruh tidak selalu sama, dan tergantung dari beberapa faktor, antara lain dari komposisi endometriosis yang bersangkutan (apakah jaringan kelenjar atau jaringan stroma yang lebih banyak), dari reaksi jaringan normal disekitarnya, dan sebagainya. Sebagai akibat dari pengaruh hormonhormon tersebut, sebagian besar sarang-sarang endometriosis berdarah secara periodik. Perdarahan yang periodik ini menyebabkan reaksi jaringan sekelilingnya berupa radang dan perlekatan. Pada kehamilan dapat ditemukan reaksi desidual jaringan endometriosis. Apabila kehamilannya berakhir, reaksi desidual menghilang disertai dengan regresi sarang endometriosis, dan dengan membaiknya keadaan. Pengaruh baik dari kehamilan kini menjadi dasar pengobatan endometriosis dengan hormon untuk mengadakan apa yang dinamakan kehamilan semu (pseudopregnancy). Secara mikroskopis endometriosis merupaka suatu kelainan yang jinak, akan tetapi kadang-kadang sifatnya seperti tumor ganas. Antara lain bisa terjadi penyebaran endometriosis ke paru-paru dan lengan, selain itu bisa terdapat infiltrasi ke bawah kavum douglasi ke fasia rektovaginal, ke sigmoid, dan sebagainya.

Gambaran klinik Gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini ialah : 1. Nyeri perut bagian bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada dan selama haid (dismenorea) 2. Dispareuni 3. Nyeri waktu defekasi, khususnya pada waktu haid 4. Poli- dan hipermenorea 5. Infertilitas Dismenorea pada endometriosis biasanya merupakan rasa nyeri waktu haid yang semakin lama semakin menghebat. Sebab dari dimenorea ini tidak diketahui, tetapi mungkin ada hubungannya dengan vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid. Nyeri tidak selalu didapatkan pada endometriosis walaupun kelainan sudah luas, sebaliknya kelainan ringan dapat menimbulkan gejala nyeri yang keras. Dispareuni yang merupakan gejala yang sering dijumpai, disebabkan oleh karena adanya endometriosis di kavum douglasi. Defekasi yang sukar dan sakit terutama pada waktu haid,
26

disebabkan oleh karena adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid. Kadang-kadang bisa terjadi stenosis dari lumen usus besar tersebut. Endometriosis kandung kemih jarang terdapat, gejala-gejalanya ialah gangguan miksi dan hematuria pada waktu haid. Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada endometriosis apabila kelainan pada ovarium demikian luasnya sehingga fungsi ovarium terganggu. Adanya korelasi yang nyata antara endometriosis dan infertilitas. Tiga puluh sampai empat puluh persen wanita dengan endometriosis menderita infertilitas. Faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada endometrisis adalah apabila mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan di sekitarnya. Pada pemeriksaan ginekologik, khususnya pada pemeriksaan vaginorekto-abdominal, ditemukan pada endometriosis ringan benda-benda padat sebesar butir beras sampai butir jagung di kavum douglasi dan pada ligamentum sakrouterina dengan uterus dalam retrofleksi dan terfiksasi. Diagnosis Diagnosis biasanya dibuat atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik, dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Kuldoskopi kurang bemanfaat terutama jika kavum douglasi ikut serta dalam endometriosis. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi seperti forniks vagina posterior, perineum, parut laparotomi, dan sebagainya, biopsi dapat memberi kepastian mengenai diagnosis. Pemeriksaan laboratorium pada endometriosis tidak memberi tanda yang khas, hanya apabila ada darah dalam tinja atau air kencing pada waktu haid dapat menjadi petunjuk adanya endometriosis pada rektosigmoid atau kandung kencing. Sigmoidoskopi dan sistoskopi dapat memperlihatkan tempat perdarahan pada waktu haid. Pembuatan foto rontgen dengan memasukkan barium dalam kolon dapat memberi gambaran dengan filling defect pada rekosigmoid dengan batas-batas yang jelas dan mukosa yang utuh. Laparoskopi merupakan pemeriksaan yang sangat berguna untuk membedakan endometriosis dari kelainan-kelainan pelvis. Untuk menentukan berat ringan endometriosis digunakan klasifikasi dari American Fertility Society.

Diagnosis diferensial Adenomiosis uteri, radang pelvik dengan tumor adneks dapat menimbulkan kesukaran dalam diagnosis. Pada kelainan di luar endometriosis jarang terdapat perubahan-perubahan berupa benjilan kecil di kavum Douglasi dan ligamentum sakriuterina. Kombinasi adenomiosis uteri atau mioma uteri dengan endometriosis dapat pula ditemukan. Endometriosis ovarii dapat menimbulkan kesukaran diagnosis diferensial dengan kista ovarium, sedang endometriosis dari rektosigmoid perlu dibedakan dari karsinoma. Penanganan

27

Penanganan endometriosis terdiri atas pencegahan, pengawasan saja, terapi hormonal, pembedahan, dan radiasi. Pencegahan Meigs berpendapat bahwa kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis. Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu dan sesudah kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang-sarang endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama, dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu tidak hanya merupakan profilaksis yang baik terhadap endometriosis, melainkan menghindari terjadinya infertilitas sesudah endometriosis timbul. Selain itu jangan melakukan pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, oleh karena hal itu dapat menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul. Observasi dan pemberian analgetika Pengobatan ekspektatif ini akan berguna bagi wanita-wanita dengan gejala dan kelainan fisik yang ringan. Pada observasi, harus dilakukan pemeriksaan secara periodik dan teratur untuk meneliti perkembangan penyakitnya dan jika perlu mengubah sikap ekspektatif. Dalam masa observasi ini dapat diberi pengobatan paliatif berupa pemberian analgetika untuk mengurangi rasa nyeri. Pengobatan hormonal Dasar dan prinsip terapi Sebagai dasar pengobatan hormonal endometriosis adalah bahwa pertumbuhan dan fungsi jaringan endometriosis, seperti jaringan endometrium yang normal, dikontrol oleh hormonhormon steroid. Hal ini didukung oleh data klinik maupun laboratorium. Data klinik tersebut adalah : 1. Endometriosis sangat jarang timbul sebelum menars 2. Menopause, baik alami maupun karena pembedahan, biasanya menyebabkan kesembuhan 3. Sangat jarang terjadi kasus endometriosis baru setelah menopause, kecuali jika ada pemberian estrogen eksogen Data laboratorium menunjukkan bahwa jaringan endometriosis pada umumnya mengandung reseptor estrogen, progesteron, dan androgen. Prinsip pertama pengobatan hormonal endometriosis adalah menciptakan lingkungan hormon rendah estrogen dan asiklik. Kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Keadaan yang asiklik mencegah terjadinya haid, yang berarti tidak
28

terjadi pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis. Dipakai dekapeptid sintetik LHRH agonis yang mempunyai kekuatan 100-200 X dari yang alami. Pemberian hormon tersebut dapat menimbulkan suatu keadaan hypogonadotrophic hypogonadism atau pseudomanopause yang diperkirakan akan mempengaruhi penyakit yang tergantung pada estrogen seperti edometriosis. Prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan hormon tinggi androgen atau tinggi progesteron (progesteron sintetik) yang secara langsung menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Disamping itu, prinsip tinggi androgen atau tinggi progesteron juga menyebabkan keadaan rendah estrogen asiklik karena gangguan pada pertumbuhan folikel. Prinsip beberapa pengobatan dapat dilihat pada bagan berikut. Pengobatan hormonal pada endometriosis Cara terapi 1. GnRH agonis Ooforektomi 2. Danazol Metiltestosteron 3. Medroksipogesteron asetat Gestrinon noretisteron 4. Kontrasepsi oral nonsiklik Efek Asiklik Estrogen rendah Asiklik Estrogen rendah Askilik Estrogen rendah Bleeding Asiklik estrogen sedang estrogen progesteron tinggi Efek samping Keluhan vasomotor Atrofi ciri seks sekunder asteoporosis Peningkatan berat badan, break through bleeding, akne, hirsutisme, kulit berminyak, perubahan suara Peningkatan berat badan, breakthrough bleeding, depresi, bloating Mual, breakthrough bleeding

Androgen Preparat yang dipakai adalah metiltestosteron sublingual dengan dosis 5-10 mg per hari selama 2-3 bulan berikutnya. Keberatan pemakaian androgen adalah : a) Timbulnya efek samping maskulinisasi terutama pada dosis melebihi 300 mg per bulan atau pada terapi jangka panjang b) Masih mungkin terjadi ovulasi, atau kehamilan selam terapi, terutama pada dosis 5 mg per hari. Bila terjadi kehamilan, terapi harus segera dihentikan karena androgen menimbulkan cacat bawaan pada janin Pemakaian androgen dapat diberikan untuk terapi endometriosis stadium dini dengan gejala menonjol: nyeri dan dispareuni. Efek androgen lain yang menguntungkan untuk terapi dispareuni adalah dapat libido. Selain itu, untuk membantu menegakkan diagnosis. Jika rasa nyeri disebabkan oleh endometriosis, maka nyeri tersebut biasanya akan berkurang atau hilang setelah pengobatan dengan androgen selama satu bulan.
29

Estrogen-progesteron Penggunaan kombinasi estrogen-progesteron yang dikenaldengan pseudopregnancy pertama kali dilaporkan oleh Kistner pada tahun 1962. Dilaporkan bahwa dengan terapi pseudopregnancy, 30% penderita menyatakan keluhannya berkurang dan hanya 18% yang secara objektif mengalami kesembuhan, 41% penderita tidak menyelesaikan terapinya karena mengalami efek samping, misalnya mual,muntah dan perdarahan. Beberapa penderita justru menunjukkan keluhan yang meningkat, yang mungkin akibat efek estrogen yang lebih menonjol. Progestogen Progestogen dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan, yakni : 1. Pregnan; 2. Estran; 3. Gonan. Beberapa jenis progestogen tersebut pernah digunakan sebagai obat tunggal untuk terapi endometriosis. Lama pengobatan dengan progestogen yang dianjurkan sama dengan lama pengobatan kontrasepsi non-siklik yakni 6-9 bulan. Danazol Danazol menimbulkan keadaan asiklik, androgen tinggi dan estrogen rendah. Kadar androgen meningkat disebabkan oleh : 1. Danazol pada dasarnya bersifat androgenik (agonis androgen) 2. Danazol mendesak testosteron sehingga terlepas ikatannya dengan SHGB, sehingga kadar testosteron bebas meningkat Kadar estogen rendah disebabkan oleh : 1. Danazol menekan sekresi GnRH, LH, dan FSH sehingga dapat menghambat pertumbuhan folikel 2. Danazol menghambat kerja enzim-enzim steroidogenesis di folikel ovarium sehingga produksi estrogen menurun. Lama pemberian minimal 6 bulan, dapat pula diberikan selama 12 minggu sebelum terapi pembedahan konservatif. Efek samping yang disebabkan oleh keadaan androgen tinggi, estrogen rendah atau glukokortikoid tinggi. Sebanyak 85% pemakai danazol mengalami efek samping yang berupa : akne, hirsutisme, kulit berminyak, perubahan suara, pertambahan berat badan, dan edema. Pengobatan dengan pembedahan Pada terapi pembedahan yang konservatif sarang-sarang endometriosis diangkat dengan meninggalkan uterus dan jaringan ovarium yang sehat, dan perlekatan sedapat-dapatnya

30

dilepaskan. Pembedahan konservatif ini dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yakni : laparotomi atau laparoskopi operatif. Laparoskopi operatif mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan laparotomi. Normalnya, penderita dapat kembali sepenuhnya 7-10 hari setelah laparoskopi operatif dibandingkan dengan 4-6 minggu setelah laparotomi. Pembedahan radikal dilakukan pada wanita dengan endometriosis yang umurnya hampir 40 tahun atau lebih, dan yang menderita penyakit yang luas diserta dengan banyaknya keluhan. Operasi yang paling radikal ialah histerektomi totalis, salpingo-ooforektomi bilateral, dan pengangkatan semua sarang-sarang endometriosis yang ditemukan. Akan tetapi pada wanita kurang dari 40 tahun dapat dipertimbangkan, untuk meninggalkan sebagian dari jaringan ovarium yang sehat. Hal ini mencegah jangan sampai terlalu cepat timbul gejala-gejala pramenopause dan menopause dan juga mengurangi kecepatan timbulnya osteoporosis. Pengobatan dengan radiasi Pengobatan ini yang bertujuan menghentikan fungsi ovarium tidak dilakukan lagi, kecuali jika ada kontraindikasi terhadap pembedahan.

MIOMA UTERI Neoplasma jinak ini berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya, sehingga disebut juga sebagai fibromioma, leiomioma, ataupun fibroid. Patogenesis Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell nest atau teori genitoblast. Percobaan Lipschutz yang memberikan estrogen kepada kelinci percobaan ternyata memberikan tumor fibromatosa baik pada permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Efek fibromatosa ini dapat dicegah dengan pemberian preparat progesteron atau testosteron. Puukka dan kawan-kawan menyatakan bahwa reseptor estrogen pada mioma lebih banyak didapati dari pada miometrium normal. Menurut Meyer asal mioma adalah sel imatur, bukan dari selaput otot yang matur. Patologi anatomi Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uterus hanya 1-3%, sisanya adalah dari korpus uterus.
31

Menurut letaknya, mioma dapat kita dapati sebagai : 1. Mioma submukosum : berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus 2. Mioma intramural : mioma terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium 3. Mioma subserosum : apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan uterus, diliputi oleh serosa. Mioma submukosum dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian dilahirkan melalui saluran serviks (myomgeburt). Mioma subserosum dapat tumbuh di antara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma intramural ligamenter. Mioma subserosum dapat pula tumbuh menempel pada jaringan lain misalnya ke ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus, sehingga disebut wandering/parasitic fibroid. Mioma pada serviks dapat menonjol ke dalam saluran serviks sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah akan tampak bahwa mioma terdiri atas berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti konde/pusaran air (whorl like pattern), dengan pseudocapsule yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena pertumbuhan sarang mioma ini. Jarang sekali mioma ditemukan pada wanita berumur 20 tahun, paling banyak pada umur 35-45 tahun. Setelah menopause banyak mioma menjadi lisut, hanya 10% saja yang masih dapat tumbuh lebih lanjut. Mioma uteri ini lebih sering didapati pada wanita nulipara atau yang kurang subur. Faktor keturunan juga memegang peran. Perubahan sekunder pada mioma uteri yang terjadi sebagian besar bersifat degenerasi. Hal ini terjadi karena kurangnya vaskularisasi pada sarang mioma. Perubahan sekunder 1. Atrofi : sesduah menopause ataupun sesudah kehamilan mioma uteri menjadi kecil 2. Degenerasi hialin : perubahan ini sering terjadi terutama pada penderita berusia lanjut. Tumor kehilangan struktur aslinya menjadi homogen. Dapat meliputi sebagian besar atau hanya sebagian kecil daripadanya seolah-olah memisahkan satu kelompok serabut otot dari kelompok lainnya. 3. Degenerasi kistik : dapat meliputi daerah kecil maupun luas, di mana sebagian dari mioma menjadi cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur berisi seperti agar-agar, dapat juga terjadi pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai limfangioma. Dengan konsistensi yang lunak ini tumor sukar dibedakan dari kista ovarium atau suatu kehamilan 4. Degenerasi membatu (calcireous degeneration) : terutama terjadi pada wanita berusia lanjut oleh karena adanya gangguan dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan garam kapur pada sarang mioma maka mioma menjadi keras dan memberikan bayangan pada foto rontgen.
32

5. Degenerasi merah (carneous degeneration) : perubahan ini biasanya terjadi pada kehamilan dan nifas. Patogenesis : diperkirakan karena suatu nekrosis subakut sebagai gangguan vaskularisasi. Pada pembelahan dapat dilihat sarang mioma seperti daging mentah berwarna merah disebabkan oleh pigmen hemosiderin dan hemofusin. Degenerasi merah tampak khas apabila terjadi pada kehamilan muda disertai emesis, haus, sedikit demam, kesakitan, tumor pada uterus membesar dan dan nyeri pada perabaan. Penampilan klinis ini seperti pada putaran tangkai tumor ovarium atau mioma bertangkai. 6. Degenerasi lemak : jarang terjadi, merupakan kelanjutan dari degenerasi hialin. Komplikasi Degenerasi ganas Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6% dari seluruh mioma; serta merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila miom uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause. Torsi (putaran tangkai) Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan, gangguan akut tidak terjadi. Sarang mioma dapat menjadi nekrosis dan infeksi yang diperkirakan karena gangguan sirkulasi darah padanya. Misalnya terjadi pada mioma yang dilahirkan hingga perdarahan berupa metroragia atau menoragia disertai leukore dan gangguan-gangguan yang disebabkan oleh infeksi dari uterus sendiri. Gejala dan tanda Gejala yang dikeluhkan sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini berada (serviks, intramural, submukus, subserous), besarnya tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala tersebut dapat digolongkan sebagai berikut. Perdarahan abnormal. Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah hipermenore, menoragiadan dapat juga terjadi metroragia. Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini, antara lain adalah : Pengaruh ovarium sehingga terjadilah hiperplasia endometrium sampai adenokarsinoma endometrium Permukaan endometrium yang lebih luas daripada biasa Atrofi endometrium di atas mioma submukosum

33

Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang mioma di antara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit pembuluh darah yang melaluinya dengan baik.

Rasa nyeri. Rasa nyeri dapat timbul karena gangguan sikulasi darah pada sarang mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada pengeluaran mioma submukosum yang akan dilahirkan, dan juga pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan juga dismenore. Gejala dan tanda penekanan. Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri. Penekanan pada kandung kemih akan menyebabkan poliuri, pada uretra dapat menyebabkan retensio urin, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada rektum dapat menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh limfe di panggul dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul. Infertilitas dan abortus Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosum juga memudahkan terjadinya abortus oleh karena distorsi rongga uterus. Mioma uteri dan kehamilan Mioma uteri dapat mempengaruhi kehamilan, misalnya menyebabkan infertilitas; risiko terjadinya abortus bertambah karena distorsi rongga uterus; khususnya pada mioma submukosum; letak janin; menghalangi kemajuan persalinan karena letaknya pada serviks uteri; menyebabkan inersia maupun atonia uteri, sehingga menyebabkan perdarahan pasca persalinan karena adanya gangguan mekanik dalam fungsi miometrium; menyebabkan plasenta sukar lepasdari dasarnya; dan menganggu proses involusi dalam nifas. Kehamilan sendiri dapat menimbulkan perubahan pada mioma uteri, antara lain : 1. Tumor membesar terutama pada bulan-bulan pertama karena pengaruh estrogen yang kadarnya meningkat 2. Dapat terjadi degenerasi merah pada waktu hamil maupun nifas yang kadangkadang memerlukan pembedahan segera guna mengangkat sarang mioma. 3. Meskipun jarang mioma uteri bertangkai dapat juga mengalami torsi dengan gejala dan tanda sindrom abdomen akut. Diagnosis Penderita mengeluh akan rasa berat dan adanya benjolan pada perut bagain bawah. Pemeriksaan bimanual akan mengungkapkan tumor pada uterus, yang umumnya terletak di garis tengah ataupun agak ke samping, seringkali teraba berbenjol-benjol. Mioma subserosum dapat mempunyai tangkai yang berhubungan dengan uterus.
34

Mioma intramural akan menyebabkan kavum uteri menjadi luas, yang ditegakkan dengan pemeriksaan dengan pemeriksaan uterus sonde. Mioma submukosum kadang kala dapat teraba dengan jari yang masuk ke dalam kanalis servikalis, dan terasanya benjolan pada permukaan kavum uteri. Diagnosis banding yang perlu dipikirkan tumor abdomen di bagian bawah atau panggul ialah mioma subserosum dan kehamilan; mioma submukosum yang dilahirkan harus dibedakan dengan inversio uteri; mioma intramural harus dibedakan dengan adenomiosis, koriokarsinoma, karsinoma korporis uteri atau suatu sarkoma uteri. USG abdominal dan transvaginal dapat membantu dan menegakkan dugaan klinis. Pengobatan Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah, terutama apabila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulkan gangguan atau keluhan. Walaupun demikian mioma uteri memerlukan pengamatan setiap 3-6 bulan. Dalam menopause dapat terhenti pertumbuhannya atau menjadi lisut. Dalam dekade terakhir ada usaha mengobati mioma uteri dengan GnRH agonist (GnRHa). Hal ini didasarkan atas pemikiran leiomioma uterus terdiri atas sel-sel otot yang diperkirakan dipengaruhi oleh estrogen. GnRHa yang mengatur reseptor gonadotropin di hipofisis akan mengurangi sekresi gonadotropin yang mempengaruhi leiomioma. Pemberian GnRHa selama 16 minggu pada mioma uteri menghasilkan degenerasi hialin di miometrium hingga uterus dalam keseluruhannya menjadi lebih kecil. Akan tetapi setelah pemberian GnRHa, dihentikan leiomioma yang lisut itu tumbuh kembali dibawah pengaruh estrogen oleh karena mioma itu masih mengandung reseptor estrogen dalam konsentrasi yang tinggi. Pengobatan operatif Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma submukosum pada myoma geburt dengan cara ekstirpasi lewat vagina. Pengambilan sarang mioma subserosum dapat mudah dilaksanakan apabila tumor bertangkai. Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya merupakan tindakan terpilih. Histerektomi dapat dilaksanakan perabdominam atau pervaginam. Yang akhir ini jarang dilakukan karena uterus harus lebih kecil dari telor angsa dan tidak ada perlekatan dengan sekitarnya. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan mencegah timbulnya karsinoma servisis uteri. Histerektomi supravaginal hana dilakukan apabila terdapat kesukaran teknis dalam mengangkat uterus keseluruhan. Radioterapi

35

Tindakan ini bertujuan agar tidak ovarium berfungsi lagi sehingga penderita mengalami menopause. Radioterapi ini umumnya hanya dikerjakan kalau terdapat kontra indikasi untuk tindakan operatif. Radioterapi hanya dikerjakan apabila tidak ada keganasan pada uterus.

DAFTAR PUSTAKA 1. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. Ginekologi. Bandung: UNPAD 2. F. Gary Cunningham, Norman F. Gant, Kenneth J. Leveno: Obsetri Williams. Edisi 21. Jakarta : EGC, 2005 3. Sarwono Prawirohardjo, Prof, dr, DSOG & Hanifa Wiknjosastro, Prof, dr, DSOG; Ilmu Kandungan, YBP-SP, Edisi ketiga, cetakan kedelapan, FKUI, Jakarta; 2007 4. www.emedicine.medscape.com

36

You might also like