You are on page 1of 3

Belajar dari Angkie Yudistia, Perempuan Tuna Rungu yang Pantang Menyerah

Pantang menyerah, selalu semangat dan tidak mengenal putus asa. Itulah gambaran yang saya tangkap dari Angkie Yudistia. Seorang yang menderita tunarungu semenjak berusia sepuluh tahun. Awalnya saya tahu beliau saat sedang membuka facebook dan menemukannya di linimasa, ada komentar dari Pak Odi Shalahudin, salah satu Kompasianer senior. Lalu saya ikut menimpali dengan ingin ikut (mendaftar buku Mbak Angkie). Yang langsung dibalas oleh Pak Odi dengan ajakan juga. Setelah itu saya kemudian penasaran untuk membaca koran Kompas yang kebetulan juga sedang dilihat oleh Ayah. Langsung saya izin untuk melihat lembaran Urban di halaman 25 dari tiga lembaran yang ada (Umum, Tren, dan Klasika). Setelah membaca dengan seksama dapat diartikan bahwa Angkie selalu tabah dalam menjalani masa kecilnya dari SD hingga SMA, ketika itu ia selalu diledek kawan sebaya karena keterbatasannya itu. Tapi itu semua tidaklah menjadikannya minder ataupun patah arang untuk menjalani pendidikan. Bahkan ia bertekad untuk menyelesaikan bangku kuliah hingga gelar Sarjana. (Sumber: Harian Kompas) Bahkan ketika ia harus menerima suatu dilema, ketika Dokter memberikan saran untuk tidak melanjuti kuliah setelah lulus SMA. Karena ditakutkan akan memperparah keadaan. Namun dengan tegas ditolak olehnya: Memilih tidak Kuliah, sama saja jadi stress ucapnya kala itu. Hingga akhirnya ia berhasil menyelesaikan kuliah di London School of Public Relations, Jakarta. Dengan IPK 3,5 sesuatu yang patut dibanggakan dari semangatnya yang pantang menyerah. Dengan keterbatasannya itu, ia tetap menorehkan segudang prestasi, diantaranya adalah sebagai Finalis Abang None Jakarta tahun 2008 lalu. Serta terpilih sebagai salah satu wakil Indonesia di acara Adia-Pacific Development Center of Disability di Bangkok, Thailand. Dan bulan depan ia akan menerbitkan sebuah buku berjudul Perempuan Tuna Rungu Tanpa Batas. Sebuah buku yang banyak dinantikan sebagai Inspirasi untuk semua kalangan, termasuk diri saya pribadi. Sebagai seorang manusia biasa, ada sebuah perasaan miris atau sebal yang diterima dari Angkie, seperti saat ia tidak diterima bekerja karena tidak bisa menerima telepon. Padahal orang Difabel punya hak yang sama dengan yang fisiknya normal. Mereka juga sudah berusaha mencari pekerjaan, tetapi tetap saja dianggap tak mampu apa-apa. Sekarang ia telah berpengalaman bekerja sebagai Humas di berbagai Perusahaan ternama, baik itu dalam dan luar negeri. Ada satu pelajaran yang didapat dari seorang Angkie, bahwa Seorang Difabel dan orang yang mempunyai kekurangan tidak serta merta merasa terpinggirkan dari pergaulan. Bahkan, justru semakin menunjukkan, bahwa saya itu Bisa seperti mereka

Angkie Yudistia, Mendengar dengan Hati


KOMPAS.com - Angkie Yudistia, gadis tunarungu itu, pernah meniti karier sebagai staf humas di sejumlah perusahaan. Namun, panggilan jiwanya membawanya lebih dekat pada permasalahan kaum difabel. Bekerja di perusahaan memang passion saya. Dari kecil saya memimpikan jadi wanita karier yang bekerja di perusahaan besar, tetapi jiwa saya yang sesungguhnya adalah sosial, kata Angkie (24). Gadis cantik ini begitu semangat bercerita tentang kegiatannya, terutama di bidang sosial. Kata mama, saya memang cerewet sejak kecil. Jadi, memang cocok dengan pekerjaan di bidang komunikasi, kata Angkie. Meski tunarungu, tak ada hambatan bagi Angkie untuk berkomunikasi dengan siapa saja. Ini karena Angkie kehilangan pendengaran setelah bisa bicara. Saat berusia 10 tahun, pendengaran Angkie secara perlahan berkurang. Dia tak merespons saat dipanggil dan kesulitan mendengar penjelasan guru di sekolah. Saya tidak tahu pasti penyebabnya. Apakah dari obat yang saya minum ketika sakit atau ada hal lain yang jadi penyebabnya, ujar Angkie yang harus menggunakan alat bantu dengar sekaligus membaca gerak bibir untuk memahami pembicaraan lawan bicaranya. Meski kondisinya berubah, Angkie tak diperlakukan secara berbeda oleh orangtuanya. Setidaknya untuk pilihan sekolah. Angkie menyelesaikan SD hingga SMA di sekolah umum. Pada masa-masa sekolah inilah Angkie mulai merasakan tantangan sebagai anak yang berbeda. Ledekan dari temanteman bukan hal yang asing baginya. Belum lagi saat kena marah guru karena dia kesulitan mendengar. Angkie juga selalu berhadapan dengan lingkungan baru karena harus berpindah-pindah kota mengikuti perjalanan dinas ayahnya yang bekerja di Perusahaan Listrik Negara (PLN). Lahir di Medan, Angkie masuk taman kanak-kanak di Ambon. Setelah itu, dia harus menyelesaikan SD di tiga kota, yaitu Ternate, Bengkulu, dan Bogor. Baru setelah itu dia menamatkan SMP dan SMA di Bogor. Karena merasa kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah, Angkie rajin mengikuti les privat. Ayahnya juga banyak membelikan buku sehingga Angkie punya hobi membaca. Dilema dihadapinya ketika lulus SMA. Dokter memberinya saran untuk tidak melanjutkan kuliah karena stres akan memperparah pendengarannya. Namun, Angkie menolak saran itu. Memilih tidak kuliah tetap saja jadi stres, katanya. Maka, mendaftarlah Angkie di Jurusan Periklanan London School of Public Relations, Jakarta, dan lulus dengan indeks prestasi kumulatif 3,5. Dengan program akselerasi, Angkie kemudian melanjutkan program master di bidang komunikasi pemasaran. Selesai kuliah, saya bertemu dokter yang dulu menyarankan tak melanjutkan sekolah. Dia

speechless (terdiam kagum), kata Angkie. Bangkit Menjadi manusia yang dianggap berbeda sejak usia 10 tahun sempat membuat Angkie terguncang. Namun, dia mulai membuka diri ketika kuliah dengan mengikuti pemilihan Abang None Jakarta tahun 2008 dan menjadi finalis untuk wilayah Jakarta Barat. Angkie juga kuliah sambil bekerja. Perkenalannya dengan dunia kegiatan sosial dimulai ketika bergabung dengan Yayasan Tunarungu Sehjira pada 2009. Tahun lalu, Angkie menjadi salah satu delegasi Indonesia dalam acara Asia-Pacific Development Center of Disability di Bangkok, Thailand. Ada yang membuat Angkie miris tentang persepsi dan perlakuan orang terhadap warga difabel. Orang-orang dengan kekurangan seperti dirinya dianggap tak memiliki kemampuan apa-apa, termasuk di dunia kerja. Angkie, misalnya, pernah tidak diterima bekerja karena tak bisa menerima telepon. Padahal, orang difabel punya hak yang sama dengan yang fisiknya normal. Mereka juga sudah berusaha mencari pekerjaan, tetapi tetap saja dianggap tak mampu apa-apa, kata Angkie. Angkie mendengar suara nurani para difabel. Dari kenyataan itulah ia memilih untuk terjun di dunia sosial. Bekerja di kantor membuat saya aman karena memiliki penghasilan tetap setiap bulan. Namun, saya merasa belum nyaman. Kenyamanan inilah yang saya dapat dengan terjun di dunia sosial, tuturnya. Dengan bantuan seorang teman, Angkie membuat perusahaan yang berorientasi sosial sekaligus bisnis dengan nama Thisable Associate, pelesetan dari kata disable. Thisable ingin menunjukkan bahwa orang-orang disable punya kemampuan, bukannya orang yang tidak berguna, kata Angkie. Salah satu program yang dibuat Thisable Associate adalah menjual program corporate social responsibility (CSR) yang terkait dengan orang disable pada perusahaan. Kami juga akan menyediakan tenaga kerja disable yang kapasitasnya sesuai, katanya. Semangat Angkie untuk membantu warga difabel tak hanya karena kesamaan latar belakang. Ada satu momen pada masa kuliah yang lantas membuatnya bisa mencurahkan energi untuk hal-hal positif. Satu kali dalam perjalanan di kereta api, saya ngobrol dengan seorang bapak. Seolah bisa memahami apa yang saya rasakan, bapak tersebut memberi saran agar saya jangan membuang energi untuk memikirkan masalah. Saya harus mengeksplorasi sisi positif dari diri saya. Nasihat bapak yang sekarang entah di mana itu ternyata begitu tertanam di benak saya sampai sekarang, cerita Angkie.

You might also like