You are on page 1of 8

Pemanfaatan Hutan Aceh Dalam Perspektif Pengurangan Risiko Bencana Bahan Seminar Komunitas Rimbawan Aceh

Sarjana Kehutanan di Aceh adalah salah satu bagian professionalism yang diharapkan dapat memberikan peran dalam membangun Aceh Baru khususnya sektor kehutanan. Keberadaannya diharapkan dapat memberikan evaluasi tersendiri bagi kalangan alumni Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan (STIK) Banda Aceh, untuk melakukan diskusi dalam Tema Pemanfaatan Hutan Aceh Dalam Perspektif Pengurangan Risiko Bencana. Dari evaluasi yang dilakukan para alumni yang tergabung dalam Aceh Forestry Communty baru-baru ini terhadap sistem pemanfaatan hutan dilakukan Pemerintah Aceh, tidak terlalu banyak hal yang di capai. Visi Gubernur tentang pembangunan ekonomi hijau / berwawasan lingkungan masih sebatas wacana konsep. Dari 8 komponen utama atas 3 kategori prioritas, terbukti 5 strategi pendekatan manajemen tata guna lahan yang berkesinambungan tidak menunjukkan adanya implementasi. Dari strategi ini terlihat bahwa : 1. Zona inti / hutan lindung: Diperkirakan sekitar 3,1 juta ha dari hutan abadi belum terlihat dalam perencanaan tata ruang wilayah Aceh. 2. Zona pemulihan / penanaman kembali hutan lindung ditargetkan 250.000 ha hutan sekunder pada elevasi yang lebih tinggi dan lereng curam belum mampu didorong dan tidak terbukti keberadaannya. 3. Zona produksi berbasis masyarakat/ hutan kemasyarakatan ditargetkan 350.000 ha cenderung hanya untuk kepentingan kelompok-kelompok elit tertentu. 4. Tata ulang pertanahan/ zona perkebunan petani kecil ditargetkan sekitar 250.000 ha cenderung mengubah tutupan hutan menjadi lahan perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan kelapa. 5. Penangkapan ikan dan budidaya tambak fokus kelembagaan dalam pengembangan sistem "Investasi Hijau" tidak menunjukkan perkembangan. Peran dalam pengelolaan hutan Aceh ke depan, baik sisi kebijakan, implementasi dan evaluasi capaian dalam mewujudkan pengelolaan hutan aceh yang lestari, berkelanjutan dan terhindar dari bencana harusnya semakin jelas dalam setiap tahapan rencana pembangunan Aceh jangka panjang. Diskusi para Rimbawan ini merupakan bagian dari konsolidasi masyarakat kehutanan/ Rimbawan yang dalam prosesnya berkembang berbagai ide dan pemikiran tentang bagaimana membangun kembali Aceh Baru dengan menetapkan Rimbawan 1

Aceh/Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan khususnya sebagai subyek pembangunan hutan dan kehutanan Aceh. Untuk itu para Komunitas Rimbawan Aceh sepakat dan diskusi mencari solusi dalam upaya membangun hutan dan kehutanan Aceh baru. Sehubungan dengan keinginan Pemerintah Aceh mengelola hutan yang lebih bijak, berkeadilan dan berbasis masyarakat dalam perlindungan kawasan hutan melalui GREEN VISION. Keinginan ini pula di dukung oleh kementrian BUMN untuk menghidupkan kembali industri sektor kehutanan serta keterlibatan Aceh dalam upaya pengurangan emisi melalui REDD + dan mitigasi bencana sedini mungkin. Untuk itu perlu rasanya ada pemikiran tentang upaya yang perlu didorong guna mengujudkan visi tersebut. melalui diskusi Komunitas Rimbawan Aceh, dengan Tema Pengelolaan Hutan Aceh dalam perspektif pengurangan risiko bencana yang dilaksanakan pada 1 - 2 Mei 2011, di Banda Aceh menghasilkan beberapa pemikiran sebagai berikut;

1. Pengelolaan SDH Berbasis Masyarakat Memeberikan hak kelola dalam hal ini mukim yang berada disekitar hutan khususnya hutan produksi. Masyarakat memiliki hak serta dilindungi oleh negara untuk dapat turut berperan serta dalam kegiatan pengusahaan hutan baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, pemerintah juga memiiki kewajiban untuk mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang pengusahaan hutan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk meningkatkan kesejahteraannya. Lembaga adat lokal yang ada di Aceh mampu mengatur pengelolaan sumberdaya alam dengan nilai-nilai yang ada seperti pengelolaan sumberdaya laut dengan lembaga adat panglima laot, begitu juga dengan lembaga adat Uteun dengan Pawang uteun nya. Prinsip-prinsip pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan sudah dikenal pada lembaga-lembaga adat tersebut namun dengan adanya penyeragaman (UU No. 5 Tahun 1979) semua kearifan lokal menjadi lumpuh bahkan hilang dan tidak berfungsi sama sekali dan semua peraturan berada di pemerintahan pusat. Oleh karenanya, revitalisasi serta penerapan kembali Hukum Adat dipandang sebagai sebuah kebutuhan dalam penyelesaian masalah-masalah pengelolaan sumber daya alam di Aceh. Kekuatan masyarakat dalam menjaga kearifan tradisional ini perlu dihidupkan kembali di masing-masing wilayah. Pengelolaan hutan Aceh oleh pemerintah selama ini tidak berhasil yang terlihat dari tingginya angka bencana dan degradasi hutan aceh selama rentang tahun 20082

2010, dimana tercatat 679 kali bencana banjir, 152 kali bencana longsor yang diindikasikan sebagai indicator rusaknya kawasan hutan (data Walhi Aceh 2011). Pengelolaan sumberdaya hutan perlu diarahkan pada semua fungsi hutan (Kesatuan Pengelolaan Hutan) yang dilakukan dengan partisipatif dan berbasis masyarakat. Pemberdayaan masyarakat (termasuk pesantren/ dayah) secara langsung maupun tidak langsung akan memberi dampak pada adanya partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Untuk itu dalam pemberdayaan masyarakat tersebut dibutuhkan pengorganisasian dengan membangun kelembagaan masyarakat lokal yang tanggap bencana.

2. Green Vision Pemerintah Aceh Dalam empat (4) tahun terakhir ini Aceh telah wacanakan Green Vision. Ide penerapan Green Vision ini tidak jauh berbeda dengan keinginan Pemerintahan Provinsi Aceh menjadikan Green Province juga pernah di sampaikan oleh Azwar Abubakar sebagai PJ Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. Green Vision merupakan suatu istilah baru bagi masyarakat Aceh. Sebagian besar stakeholders belum memahami tentang pengertian, maksud dan tujuan serta konsep ini sehingga muncul pro dan kontra di antara stakeholders dalam menyikapi Green Vision tersebut untuk itu perlu sosialisasi yang terus menerus dan diharapkan green vision menjadi bagian gaya hidup masyarakat aceh. Untuk menyikapi pro dan kontra tentang wacana penerapan Green Vision, perlu terlebih dahulu dilakukan pengkajian dan analisis secara mendalam tentang konsep dan implementasi Green Vision dengan strategi selama periode yang sudah berjalan. Sehingga konsep dan implementasi dapat diterima oleh semua pihak. Untuk itu pengkajian ini perlu dilakukan oleh tim pakar yang terdiri dari para pihak (stakeholders).

3. Pengawasan Pelaksanaan HGU/HTI/HTR di Aceh Eksistensi Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Aceh sudah pernah mengalami masa-masa keemasannya yaitu pada masa orde baru berkuasa. Saat ini terdapat 7 konsesi HTI, 7 HPH, 202 HGU dan pencadangan HTR di lima Kabupaten yang masih berlaku saat ini. Sejak dimulainya perjanjian damai antara RI dengan GAM (perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005), Gubernur Aceh terpilih mengeluarkan kebijakan moratorium logging sebatas pada konsesi Pengelolaan Hutan alam skala besar, terutama untuk izin konsesi yang masih berlaku. 3

Untuk menjawab kebutuhan kayu lokal, para pihak perlu duduk bersama untuk menyampaikan visi tentang konsep pengelolaan hutan secara lestari. Penilaian kinerja industri kehutanan dan perkebunan di Aceh perlu didorong ke arah sertifikasi yang sustainable dan legal dengan melibatkan tenaga teknis dan profesional di bidangnya yang tergabung dalam Lembaga Penilaian Independen (LPI). Dalam jangka panjang perlu di bentuk dewan kehutanan daerah untuk mengkaji dan menganalisis secara mendalam tentang konsep dan implementasi pengelolaan hutan.

4.Penerapan Moratorium Logging di Aceh Penerapan kebijakan moratorium logging di lapangan belum menghasilkan kinerja yang dapat menjamin kelestarian sumberdaya hutan. Moratorium ini hanya menghentikan / menutup kegiatan HPH, tetapi/belum mampu menghentikan pembukaan wilayah hutan dari sektor lain, perlu ada strategi yang jelas dalam menetapkan moratorium dan mempunyai rentang waktu serta ukuran dalam fungsi kawasan . Dalam mempertahankan kondisi kawasan hutan dari degradasi dan deforestasi yang selama ini merupakan tujuan moratorium logging membuahkan kontradiksi, karena tidak diikuti oleh kebijakan penghentian alih fungsi hutan dan lahan untuk kegiatan diluar sektor kehutanan seperti: perkebunan, pertambangan, infrastruktur dalam kawasan hutan. Redesign Hutan Aceh seperti yang diamanahkan dalam INGUB No. 5 tahun 2006 yang di tindak lanjuti dengan pembentukan TIPERESKA belum membuahkan konsep yang dapat dikonsumsi oleh publik sama sekali, sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap keberadaan TIPERESKA. INGUB No. 5 Tahun 2007 tentang Moratorium Logging perlu dievaluasi dan diberi batas ruang, kewenangan daerah dan waktu agar memberikan hasil yang dapat diukur.

5. SDM Kehutanan dan Profesionalisme Kapasitas SDM kehutanan Aceh masih rendah, dan profesionalisme belum dijunjung tinggi. Jumlah petugas kehutanan tidak pernah dianalisis dengan perbandingan cakupan hutan di samping beberapa faktor dalam pencapaian kapasitas SDM kehutanan yang juga belum memadai antara lain; Pola rekruitmen tenaga/staf bukan berdasarkan analisis kehutanan, tetapi lebih kepada keinginan dan kebutuhan pimpinan. Penetapan tenaga, mulai tingkat staf 4

sampai eselon belum seluruhnya berdasarkan kualifikasi dan profesionalisme sehingga SDM kehutanan tidak lagi menjadi leading di sektornya. Dukungan pemerintah Aceh terhadap pengembangan SDM sektor kehutanan sangat rendah yang dibuktikan dengan tidak terdapatnya formasi beasiswa pendidikan kehutanan di tingkat Magister dan Doktor, diharapkan pemerintah kedepan akan mengalokasikan formasi pendidikan kehutanan (tingkat magister dan doktor) sebagai prioritas utama peningkatan kualitas sumber daya manusia kehutanan Aceh yang terdistribusi sampai tingkat kabupaten.

6. Program Penanaman Kembali Lahan Kritis dan Penghijauan GNRHL/Gerhan ternyata belum sepenuhnya memberikan prestasi yang baik untuk keberhasilan program rehabilitasi lahan dan kawasan hutan, di mana pelaksanaan GNRHL/Gerhan bukan berdasarkan hasil kajian dan persoalan yang mendasar di lapangan. Hal ini diindikasikan dalam pemilihan spesies tanaman belum mengadopsi ekosistem (tapak). Pola Pelaksanaan kegiatan HTR dan KBR di Aceh, tidak jauh berbeda dengan polapola rehabilitasi lahan sebelumnya, seperti pola pembangunan hutan kredit rakyat, kegiatan reboisasi, pola padat karya, dan pola-pola lainnya, hanya istilah saja yang berbeda, tapi pelaksanaan sama. Pelaksanaan HTR dan KBR di Provinsi Aceh belum dilakukan secara partisipatif dan berbasis masyarakat. Masyarakat sekitar hutan hanya berperan sebagai buruh tanam, bukan sebagai subjek (pelaku utama dalam kegiatan ). Berdasarkan uraian di atas dalam rangka mewujudkan keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan di Provinsi Aceh, terutama melalui kegiatan HTR dan KBR perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut; Assesment secara mendalam terhadap semua tipe hutan dan pelaksanaan program harus partisipatif dan berbasis masyarakat. Mulai dari perencanaan sampai dengan implementasi di lapangan perlu dilibatkan Masyarakat dan diberi peran sebagai subjek (sebagai pelaku utama dalam menjalankan program). Perlu dilakukan evaluasi/penilaian secara komprehensif terhadap semua pola rehabilitasi lahan yang sudah pernah dilakukan di Aceh. Pemilihan jenis tanaman harus disesuaikan dengan varietas lokal serta lahan dan kondisi tanah (TAPAK) Perencanaan, progres, dan capaian implementasi tidak gambaran perkembangan dalam setiap tahapan pembangunan. menunjukkan 5

7. Pemberantasan Illegal logging Pemberantasan illegal logging merupakan suatu upaya dan tindakan nyata untuk mencegah dan mengurang angka deforestasi. illegal logging ditengarai sebagai penyebab utama bencana banjir /banjir bandang di beberapa daerah. Kegiatan illegal logging juga mengganggu pemanfaatan ruang, sistem tata kelola dan tata guna lahan sehingga menimbulkan pemanfaatan yang tidak berkelanjutan. Pemberantasan illegal logging harus komprehensif, tidak boleh pandang bulu. Supremasi hukum harus ditegakkan. Penebangan yang cenderung exploitative dan tidak terkendali tanpa aturan yang pernah diikuti akan terus memberikan dampak terhadap masyarakat terutama banjir dan longsor. Pengoptimalisasian pengamanan hutan melalui fungsi dan peranan polisi hutan, Pawang Uteun dan rangers harus diberikan kewenangan mutlak dalam pelaksanaan penegakan hukum dan monitoring hutan Aceh serta mendapat dukungan pembiayaan. Sebagai indicator dapat digunakan titik kegiatan illegal logging, jumlah temuan dan jumlah kasus yang mendapat keputusan hukum/pengadilan. Perlunya mendorong para pihak yang tertuang dalam ingub untuk mejalankan fungsinya, baik tingkat provinsi maupun Kabupaten agar semua pihak mempunyai tanggungjawab bersama dan tidak menjadi beban kebijakan sepihak oleh Pemerintah Aceh tingkat Gubernur.

8. Pengelolaan Hutan Model Pengelolaan hutan model adalah suatu model pengelolaan sumberdaya hutan yang partisipatif dan berbasis masyarakat yang dilakukan oleh para pihak bersama masyarakat, dengan mempertimbangkan kesesuaian karakteristik sumberdaya alam dan karakteristik sumberdaya masyarakat setempat. Pengembangan pembangunan hutan model Aceh bersama masyarakat sekitar hutan lebih bersifat program, dalam jangka waktu tertentu dengan pemilihan komoditi yang sesuai dengan tapak dan juga dapat memperkecil dampak serta bencana. Hutan model dibangun dengan berdasarkan karakteristik kawasan, geografis (fisik lahan, social dan budaya masyarakat) agar ada ukuran yang dapat digunakan dalam menentukan ketersediaan sumber daya hutan baik kayu maupun non-kayu melalui model plot yang dapat mewakili inovasi pengembangan industri kehutanan dalam memenuhi kebutuhan lokal di masa yang akan datang. Ini akan menjadi peluangan bagi aceh menjawab berbagai tantangan kehutanan dan pemenuhan kebutuhan SDH dengan pendekatan bermacam model pengelolaan dan pengembangan sumber daya hutan. 6

9. REDD + REDD + (Dedradasi, deforestasi, Konservasi, SFM, Perluasan stok Karbon) sebagai salah satu skema pemanfaatan pohon dan hutan yang diharapkan mampu memberi kontribusi signifikan terhadap manfaat ekonomi hutan bagi masyarakat dan penghentian laju kerusakan hutan dan kawasan hutan. Diperkirakan emisi karbon sebagai akibat deforestasi dan degradasi hutan mencapai 20% dari seluruh emisi gas rumah kaca per tahun, dan jumlah ini juga lebih besar dari emisi yang dikeluarkan oleh sektor transportasi secara global. Perlu didorong terbukanya informasi, transparansi, akuntabelitas dan pembagian peran dalam proses REDD dalam tiap tahapan. Mekanisme REDD yang belakangan menjadi isu publik adalah Voluntary dan G to G (Mandatory), yang kemudian membuat banyak perkembangan terhadap REDD itu sendiri yaitu REDD, REDD +, REDD ++ yang belum mampu menjawab tantangan secara tegas terhadap kerusakan hutan dan kesejahteraan masyarakat. Umpan balik positif sebagai sebuah siklus sebab akibat ketika hutan semakin banyak hilang maka konsentrasi CO2 di atmosfer akan menyebabkan suhu menjadi lebih panas yang akan memicu kekeringan sehingga peka terhadap kebakaran, kondisi ini akan merusak keseimbangan ekosistem yang secara perlahan dan pasti akan mengundang bencana. REDD diharapkan akan mampu mengurangi frekuensi bencana untuk jangka panjang dengan mengajak masyarakat untuk konsisten menjaga dan mengelola hutan dan kawasan hutan secara lestari dan meningkatkan kemampuan serapan emisi.

10. Tata Ruang dan Tata Batas Tata Ruang Aceh harus segera disahkan, Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan hal vital dalam pembangunan sebuah daerah yang secara umum memuat paradigma pembangunan sebuah generasi di daerah dengan memperhatikan potensi sumberdaya dan daya dukung. Rencana Tata Ruang wilayah yang kurang/tidak memperhatikan kaidah ekologi dan lingkungan akan menyebabkan banyak kerugian bagi sebuah wilayah, dengan paradigma pembangunan eksploratif seperti sekarang ini terutama untuk kawasan hutan (pertambangan dan perkebunan) dapat dipastikan akan menghasilkan bencana dengan frekuensi dan kuantitas yang tidak dapat diperkirakan. Tata guna kawasan kehutanan harus memperhatikan perubahan iklim global dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan perekonomian masyarakat (Negara) dalam 7

pembangunan kawasan dengan melakukan perencanaan partisipatif oleh profesional kehutanan bersama masyarakat sekitar hutan dan masyarakat sekitar DAS yang dapat diidentifikasikan sebagai penerima dampak pembangunan kawasan dan langsung bencana serta terjadinya konflik satwa. Permasalahan lain yang dihadapi kehutanan adalah tentang Tata Batas hutan dan kawasan hutan yang tidak pernah diselesaikan oleh pemerintah. Hal ini memicu persoalan over lapping kawasan antar sektor institusi pemerintah seperti antara sektor kehutanan dengan sektor perkebunan, sektor kehutanan dengan sektor pertambangan dan sektor kehutanan dengan sektor pertanian. Permasalahan tata Batas memicu konflik antara masyarakat dengan perusahaan, masyarakat dengan pemerintah dan masyarakat-pemerintah-perusahaan. Tata batas yang tidak jelas dalam sektor kehutanan yang jika dihubungkan dengan kebencanaan adalah dalam sistem/prinsip pengelolaan kawasan karena sistem pengelolaan antar sektor adalah berbeda, seperti pertambangan, perkebunan, dan pertanian. Dalam 5 Tahun kedepan Pemerintah Aceh secara bertahap menjadikan penyelesaian batas kawasan/tata batas dilakukan pada setiap fungsi hutan di seluruh Aceh.

11. Pembangunan Infrastruktur dalam Kawasan Hutan Permasalahan lain yang dapat memicu degradasi hutan dan dapat menimbulkan bencana adalah pembangunan infrastruktur dalam kawasan hutan. Pembukaan jalan di kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi sebagai salah satu bentuk pembangunan infrastruktur sudah memberikan dampak kerusakan ekologi yang signifikan, karena dengan adanya jalan tersebut membuka akses ke dalam kawasan hutan yang masih memiliki nilai ekonomi kayu seperti pembangunan jalan Ladia Galaska, pembangunan jalan Jantho Lamno dan Mako Brimob Seulawah. Pembangunan infrastruktur dalam kawasan hutan harus mempertimbangkan aturan perundang-undangan yang berlaku dan memperhatikan karakteristik kawasan (fisik dan sosial masyarakat) agar tidak menimbulkan kerugian ekologis dan bencana.

Banda Aceh, Mei 2011 TIM PERUMUS

You might also like