You are on page 1of 27

ABSTRAK

----------------. Penerapan Pendekatan Kontekstual dengan Metode Inkuiri pada Bidang Studi Pendidikan Agama Islam dalam Meningkatkan Kreativitas dan Pemahaman Siswa Kelas V di SDN Muneng II Kediri. Skripsi, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri Malang. Pembimbing: Imron Rossidy, M.Th, M. Ed.

Kata Kunci: Pendekatan Kontekstual, Inkuiri, PAI, Kreativitas, Pemahaman.

Pendidikan Agama Islam di sekolah telah mengalami kegagalan. Pendekatan dan metode belajar yang digunakan tampak masih klasik, dalam arti masih mewariskan sejumlah materi pelajaran agama yang diyakini benar untuk disampaikan kepada anak didik tanpa memberikan kesempatan kepada mereka agar disikapi secara kritis. Metode yang digunakan masih bercorak menghafal, mekanis, dan lebih mengutamakan pengkayaan materi. Peserta didik kurang diberi kesempatan untuk memberikan alternatif jawaban-jawaban tertentu yang dapat menumbuhkembangkan kreativitasnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan merubah pendekatan dan metode dalam kegiatan belajar mengajar yang ada selama ini, dimana guru selalu diposisikan sebagai satu-satunya sumber meraih informasi (teacher centered) dan siswa bersikap pasif dalam mencari dan mengolah informasi tersebut, dengan membiasakan siswa secara kreatif (student centered) menkonstruksi sendiri pemahamannya melalui kegiatan belajar mereka. Dan pendekatan kontekstual dengan metode inkuiri merupakan salah satu alternatif untuk melakukan perubahan tersebut. Dengan penggunaan metode ini diharapkan membantu

melatih siswa untuk lebih peka pada dirinya dan lingkungannya, serta secara kreatif dapat menkonstruksi pemahamannya dengan lebih baik sehingga materi pelajaran Pendidikan Agama Islam dapat dengan mudah diinternalisasikan dan dapat meningkatkan kreativitas dan pemahaman siswa. Berangkat dari permasalahan di atas, maka secara umum permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini yaitu, apakah penerapan pendekatan kontekstual dengan metode inkuiri pada bidang studi PAI dapat meningkatkan kreativitas dan pemahaman siswa kelas V di SDN Muneng II Kediri? Bagaimana pola penerapan pendekatan kontekstual dengan metode inkuiri pada bidang studi PAI yang dapat meningkatkan kreativitas dan pemahaman siswa kelas V di SDN Muneng II Kediri? Penelitian ini dilakukan di SDN Muneng II Kediri. Dengan desain penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) jenis kolaboratif. Tahap penelitian ini mengikuti model yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart, yaitu berupa suatu siklus spiral yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu: (1) observasi; (2) pengukuran tes hasil belajar; dan xiii (3) dokumentasi. Data yang bersifat kualitatif yang terdiri dari hasil observasi dan dokumentasi dianalisis secara deskriptif kualitatif, sedangkan data yang berupa angka atau data kuantitatif cukup dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dan sajian visual. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa penerapan pendekatan kontekstual dengan metode inkuiri pada bidang studi PAI dapat meningkatkan kreativitas dan pemahaman siswa kelas V di SDN Muneng II Kediri. Peningkatan ditandai dengan meningkatnya kemampuan siswa untuk mencetuskan suatu gagasan yang unik atau

asli (keaslian), membuat suatu pertanyaan

atau jawaban yang bervariasi (fleksibel),

memperinci dan mengembangkan suatu gagasan (elaborasi), serta mengemukakannya (ekspresif). Peningkatan pemahaman ditandai dengan meningkatnya kemampuan siswa untuk mencerna secara cermat dan tepat (penterjemahan), membedakan, menghubungkan dan menyusun kembali suatu gagasan (penafsiran), dan kemampuan siswa untuk menetapkan suatu konsekuensi atau membuat suatu kesimpulan (ekstrapolasi). Di samping itu, data empiris juga menunjukkan peningkatan. Jumlah nilai rata-rata peningkatan kreativitas siswa, yang semula dalam pre test sebesar 1,2 meningkat sebesar 1,4 atau sebesar 16% pada siklus I. Pada siklus II, meningkat menjadi 1,8 atau sebesar 50%. Sedangkan pada siklus III, meningkat menjadi 2,2 atau sebesar 83%. Perbandingan peningkatan siklus II dibandingkan siklus I meningkat sebesar 28%, sedangkan peningkatan pada siklus III dibandingkan siklus siklus II sebesar 22%, dan jika dibandingkan siklus I meningkat sebesar 57%. Jumlah nilai rata-rata peningkatan pemahaman siswa meningkat menjadi 2,25 atau sebesar 12% pada siklus I. Pada siklus II, meningkat menjadi 2,75 atau sebesar 37%. Pada siklus III, meningkat menjadi 3,25 atau sebesar 62%. Perbandingan peningkatan siklus II dibandingkan siklus I meningkat menjadi 22%, sedangkan peningkatan pada siklus III dibandingkan siklus II meningkat sebesar 18%, dan jika dibandingkan siklus I meningkat sebesar 44%. Dari hasil penelitian ini, peneliti memberikan beberapa saran sebagai bahan pertimbangan, antara lain: bagi guru PAI, agar dalam penerapan pendekatan kontekstual dengan metode inkuiri benar-benar efektif, guru harus secara konsisten menerapkan metode inkuiri, menggunakan media belajar, berusaha untuk mengubah kebiasaan belajar siswa dengan memberi pengertian tentang metode inkuiri, memodifikasi kegiatan belajar dengan antara lain dengan cara mengorganisir siswa untuk melakukan inkuiri secara kelompok,

memberikan variasi berupa simulasi, stimulus berupa hadiah (reward), dan pemberian motivasi.

xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Pendidikan mempunyai peranan yang amat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu. Oleh karena itu, pembaharuan pendidikan harus selalu dilakukan untuk

meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai melalui penataan pendidikan yang baik. Upaya peningkatan mutu pendidikan diharapkan dapat menaikkan harkat dan martabat manusia Indonesia (Nurhadi dkk, 2003: 1). Sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional yang tercantum pada Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yaitu: Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis.

Pendidikan dalam Islam dipahami sebagai sebuah proses transformasi dan internalisasi ajaran-ajaran Islam terhadap anak didik, melalui proses pengembangan fitrah, agar

memperoleh keseimbangan hidup dalam semua aspeknya (Muhaimin dkk, 2001: 136). Dengan demikian, fungsi pendidikan Islam pada hakikatnya adalah proses pewarisan nilainilai budaya Islam untuk pengembangan potensi manusia, dan sekaligus proses produksi nilai-nilai budaya Islam baru sebagai hasil interaksi potensi dengan lingkungan dan konteks zamannya. Oleh karena itu, kunci keberhasilan umat Islam, agar mampu menangkap ruh ajaran Islam yang sesungguhnya dan selalu konteks dengan kehidupan tiada lain adalah 1 melalui proses pendidikan. Fazlur Rahman (1996: 36-37), mengatakan bahwa setiap reformasi dan pembaharuan dalam Islam harus dimulai dengan pendidikan. Mastuhu (1994: 1) juga berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki daya akal dan kehidupan, maka ia harus membentuk

peradaban dan memajukan kehidupan melalui proses pendidikan. Namun pada kenyataannya pembelajaran pendidikan agama Islam yang selama ini berlangsung agaknya terasa kurang terkait atau kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah wajah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi makna dan nilai yang perlu diinternalisasikan dalam diri anak didik, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi mereka untuk bergerak, berbuat, dan berperilaku secara konkret-agamis dalam kehidupan praxis seharihari. Bila kita mengamati fenomena empirik yang ada dihadapan dan sekeliling kita maka tampaklah bahwa pada saat ini terdapat banyak kasus kenakalan di kalangan pelajar. Isu perkelahian pelajar, tindak kekerasan, premanisme, white collar crime (kejahatan kerah putih), konsumsi minuman keras, etika berlalu-lintas, perubahan pola konsumsi makanan, kriminalitas yang semakin hari kian menjadi, dan sebagainya, telah mewarnai halaman surat kabar, majalah, dan media massa lainnya. Timbulnya kasus-kasus tersebut memang tidak semata-mata karena kegagalan pendidikan agama Islam di sekolah yang lebih menekankan aspek kognitif, tetapi bagaimana semuanya itu dapat mendorong serta menggerakkan GPAI untuk mencermati kembali dan mencari solusi lewat pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam yang berorientasi pada pendidikan nilai (afektif) (Muhaimin dkk, 2001: 90). Muchtar Buchori (1992: 3), menilai bahwa pendidikan agama Islam di sekolah telah mengalami kegagalan, karena praktek pendidikannya menekankan aspek kognitif dalam menumbuhkan kesadaran beragama, belum menyentuh aspek afektif dan konatif-volutif, yakni kemauan dan kesadaran untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam. Menurut

Mastuhu (1999: 35), metodologi belajar yang digunakan tampak masih klasik, dalam arti

masih mewariskan sejumlah materi pelajaran agama yang diyakini benar untuk disampaikan kepada anak didik tanpa memberikan kesempatan kepada mereka agar disikapi secara kritis. Metode yang digunakan masih bercorak menghafal, mekanis, dan lebih mengutamakan pengkayaan materi. Praktek pendidikan di sekolah saat ini dianggap masih kurang menunjang bagi pertumbuhan kreativitas peserta didik. Peserta didik kurang diberi kesempatan untuk memberikan alternatif jawaban-jawaban tertentu yang dapat menumbuh kembangkan kreativitasnya. Pendidikan di Indonesia cenderung mematikan kreativitas anak serta mematikan sikap-sikap yang sedemikian mendasar seperti rasa ingin tahu, rasa ingin mengeksplorasi, rasa ingin mengkritik, dan kurang dialogis. Yang dibutuhkan adalah mutu pendidikan yang merangsang segala daya yang ada pada anak sehingga menjadi kreatif, kritis, dan percaya diri, dan memproduksikan apa yang sudah diberikan, daripada menjadi zombie atau robot (Magnis Suseno, 2004: 17). Kreativitas merupakan salah satu konsep penting yang tidak dapat diabaikan dalam praktek pendidikan baik di lembaga formal maupun non-formal, hal ini disebabkan karena pendidikan bertanggung jawab untuk memandu dan mengembangkan bakat kreatif dan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik sehingga menjadi lebih siap dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Menurut Prather dan Gundry (1996), yang dikutip Rahmat Aziz (2004: 17), masa kini dan masa mendatang, kehidupan akan didominasi oleh bidang industri barang dan jasa yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat cepat. Keadaan tersebut, menuntut setiap orang baik sebagai individu, pemimpin, maupun anggota masyarakat untuk memiliki kreativitas yang tinggi agar beradaptasi dengan perkembangan zaman. Suatu

penelitian yang dilakukan Jellen dan Urban yang dibantu oleh Utami Munandar (1995) tentang penggunaan tes kreativitas dengan melibatkan delapan negara di Asia dan di Afrika Selatan, menemukan bahwa Indonesia termasuk negara yang yang tingkat kreativitas siswanya paling rendah, berada di bawah Pilipina, India, dan Afrika Selatan. Hal tersebut merupakan suatu kenyataan yang menyakitkan sekaligus merupakan suatu tantangan besar bagi bangsa Indonesia untuk terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas bangsa, dengan cara meningkatkan kreativitas para peserta didik. Melihat kenyataan di atas, pembelajaran pendidikan agama Islam tidak mungkin dapat berhasil dengan baik sesuai dengan misinya bila hanya berkutat pada transfer atau

pemberian ilmu pengetahuan agama sebanyak-banyaknya kepada anak didik, atau lebih menekankan aspek kognitif. Pembelajaran pendidikan agama Islam justru harus dikembangkan ke arah internalisasi nilai (afektif) dan yang dibarengi dengan aspek kognisi sehingga timbul dorongan yang sangat kuat untuk mengamalkan dan menaati ajaran dan nilai-nilai dasar agama yang telah diinternalisasikan dalam diri anak (psikomotorik) yang dapat memberikan pemahaman yang terbangun dari dalam diri siswa. Dan tak kalah pentingnya adalah memotivasi dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi siswa untuk mengembangkan kreativitas belajar mereka dalam menyikapi persoalan yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari dimana di masa sekarang, dengan kemajuan dan perubahan yang begitu cepat dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan, pendidik tidak mungkin dapat meramalkan dengan tepat pengetahuan macam apa yang dibutuhkan anak didik selewat beberapa tahun mendatang agar mampu menghadapi masalah-masalah kehidupan mereka kelak ketika dewasa. Menjejalkan bahan pengetahuan semata-mata tidak

akan banyak menolong anak didik, karena belum tentu di masa mendatang mereka akan dapat menggunakan informasi tersebut (Muhaimin dkk, 2001: 14).

BAB II KAJIAN TEORI

Pembelajaran Pendekatan Kontekstual Pengertian Pembelajaran Kontekstual Menurut Nurhadi, dkk (2003: 4-5), pendekatan kontekstual adalah suatu konsep dimana guru menghadirkan situasi nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Menurutnya, pendekatan kontekstual adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang menekankan pentingnya lingkungan alamiah diciptakan dalam proses belajar mengajar agar kelas bisa hidup dan lebih bermakna karena siswa mengalami sendiri yang dipelajarinya. Pendapat serupa dinyatakan oleh Kasihani (2003: 2), dia menyatakan pendekatan kontekstual adalah pendekatan yang memungkinkan siswa untuk menguatkan, memperluas dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan, baik di sekolah dan di luar sekolah. Berikut ini akan penulis kutip beberapa definisi tentang pembelajaran kontekstual menurut beberapa pakar pendidikan, antara lain:

a. Johnson (2002: 25) dalam Nurhadi, dkk (2003:12) Sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosial, 18 dan budayanya. b. Washington (2001: 3-4) dalam Nurhadi, dkk (2003: 12) Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar belakang sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada di dalam dunia nyata.

c. Menurut para penulis NWREL dalam Nurhadi, dkk (2003: 12) Menurut para penulis NWREL, ada tujuh atribut yang yang mencirikan CTL, yaitu kebermaknaan (meaningfullness), penerapan ilmu (aplication of knowledge), berfikir tingkat tinggi (higher order thinking), kurikulum yang digunakan harus standar (standar-based curiculum), berfokus pada budaya (cultures focused), keterlibatan siswa secara aktif (active engagement), dan penilaian sebenarnya (authentic assement).

d. TEACHNET dalam Nurhadi, dkk (2003: 12)

Proyek yang dilakukan oleh Center of Education and Work at the University of Wincosin-Madison, yang disebut TEACHNET, mengeluarkan pernyataan tentang CTL bahwasanya pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar.

Pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah, menggunakan cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam konteks, memperkuat pengajaran dalam berbagai macam konteks kehidupan siswa, menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan pola kelompok belajar yang bebas.

Latar Belakang Lahirnya Pembelajaran Kontekstual Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari paham progresivisme John Dewey, yang pada tahun 1916 mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa. Intinya, siswa akan belajar dengan baik apabila yang mereka pelajari berhubungan dengan apa

yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Pokok-pokok pandangannya adalah: Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksikan sendiri pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru. Anak harus bebas agar bisa berkembang wajar. Penumbuhan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar. Guru sebagai pembimbing dan peneliti. Harus ada kerjasama antara sekolah dan masyarakat. Sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan eksperimen (Nurhadi dkk, 2003: 8). Teori psikologi kognitif juga melatar belakangi filosofi pembelajaran kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat aktif dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. Siswa menunjukkan hasil belajar dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Belajar dipandang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi (Nurhadi dkk, 2003: 8-9). Menurut Nurhadi (2003: 9), filosofi konstruktivisme lahir dari dua pandangan tersebut di atas. Melalui landasan filosofi konstruktivisme, yang dasarnya, pengetahuan dan keterampilan diperoleh siswa dari konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, pembelajaran kontekstual dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar yang baru.

Hakikat teori konstruktivisme adalah bahwa siswa harus menjadikan informasi itu menjadi miliknya sendiri. Teori ini memandang siswa secara terus menerus memeriksa informasi-informasi baru yang melawan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Teori konstruktivistik menekankan pada keaktifan siswa, maka strateginya sering disebut dengan pengajaran yang berpusat pada siswa, peran guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip bagi diri mereka sendiri, dan bukannya memberi ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas. Masih menurut Nurhadi, dkk (2003: 9), salah satu prinsip yang paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak boleh semata-mata memberikan pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Tujuan pembelajaran konstruktivistik menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas yang kreatif dan produktif dalam konteks nyata. Dengan demikian, paham konstruktivistik menolak pandangan behavioristik. Beberapa proposisi yang dapat dikemukakan sebagai implikasi dari teori konstruktivistik dalam praktek pembelajaran di sekolah-sekolah adalah: a. Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru. b. Kebebasan merupakan unsur esensial dalam lingkungan belajar. c. Strategi belajar yang digunakan menentukan proses dan hasil belajar. d. Belajar pada hakikatnya memiliki aspek sosial dan budaya. e. Kerja kelompok dianggap sangat berharga (Nurhadi dkk, 2003: 10).

BAGI YANG MENGINGIKAN SKRIPSI INI SECARA LENGKAP DENGAN FORMAD WORD SILAKAN HUBUNGI SMS: 08970465065 Gratis konsultasi skripsi krim pertanyaan lewan sms dan alamat email, jawaban akan kamikirim lewat email anda. Mekanisme mendapatkan dengan krim judul yang anda inginkan dan alamat email anda, ganti uang ngenet /pulsa Rp. 20.000

Prinsip Penerapan Pembelajaran Kontekstual Penerapan pendekatan kontekstual, guru perlu memegang prinsip pembelajaran, sebagaimana berikut: Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental

(developmentally appropriate) siswa. Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung (independent learning groups). Menyediakan lingkungan yang mendukung learning). Mempertimbangkan keragaman siswa (disversity of student). Memperhatikan multi intelegensi (multiple intelligenses) siswa. Menggunakan teknik-teknik bertanya (questioning) untuk meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah, dan keterampilan berfikir tingkat tinggi. Menerapkan penilaian autentik (autentic assessment) (Nurhadi, 2003: 20-21). pembelajaran mandiri (self regulated

Karakteristik Pembelajaran Kontekstual

Ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran kontekstual, seperti dalam rincian berikut: a. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningfull conections) Dalam pembelajaran ini seharusnya siswa dapat mengatur dirinya sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing). b. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work) Dalam pembelajaran ini siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan anggota masyarakat. c. Belajar yang diatur sendiri (self regulated learning) Dalam pembelajaran ini siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusan dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produk yang bersifat nyata. d. Belajar berbasis proyek atau tugas terstruktur (project based learning) Dalam pembelajaran ini siswa dapat menggunakan tingkat berfikir yang lebih secara kritis dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan tingkat tinggi dan menggunakan logika dan bukti-bukti. e. Berfikir kritis dan kreatif (critical and creative) Dalam pembelajaran ini siswa dapat menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif, dan dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-bukti.

f. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual) Siswa memelihara pribadinya yaitu mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa, siswa menghormati temannya juga orang dewasa. g. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards) Dalam pembelajaran ini siswa mengenal standar yang tinggi, mengidentifikasi tujuan dan motivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut excellence. h. Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment) Dalam pembelajaran ini siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk tujuan yang bermakna. Misalnya siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa Inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah atau membuat perjanjian perihal emosi manusia (Nurhadi, 2003: 24). Pembelajaran kontekstual bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan secara fleksibel dan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dalam pembelajaran kontekstual siswa ditempatkan di dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebuAllah individual siswa dan peran guru. Menurut Rohmadi (Nurhadi, 2003: 13), pendekatan pembelajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut:

a.

Pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) Yaitu suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran.

b. Pengajaran autentik (autenthic instruction) Yaitu pendekatan pekerjaan yang menekankan siswa mempelajari konteks bermakna. Ia mengembangkan keterampilan berfikir dan pemecahan masalah yang penting dalam kehidupan nyata. c. Belajar berbasisi inkuiri (inquiry based learning) Yaitu pendekatan pengajaran yang mengikuti metodologi sains yang menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.

d. Belajar berbasis proyek atau tugas terstruktur (project based learning) Yaitu pendekatan pengajaran yang membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif dimana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran. e. Belajar berbasis kerja (work based learning) Yaitu pengajaran yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang

memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja. f. Belajar jasa layanan (service learning)

Yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut. g. Belajar kooperatif (cooperative learning) Yaitu pengajaran yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui

pengelompokan kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam kehidupan sehari-hari siswa. Dengan penekanan di atas, siswa benar-benar diawali dengan pengetahuan, pengalaman, dan konteks keseharian di kelas dan selanjutnya diimplementasikan dalam kehidupan keseharian mereka.

Tujuh Komponen Utama Pembelajaran Kontekstual Menurut Kasihani (2003: 5-12), ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran kontekstual di kelas. Yaitu, konstruktivisme (construktivisme), inkuiri (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat-belajar (learning community), pemodelan (modelling), refleksi (reflection), penilaian sebenarnya (authentic assessement). Penjelasan ketujuh komponen utama itu adalah: a. Konstruktivisme (Constructivisme) Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan

bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah yang siap dan diambil dan diingat. Manusia harus melakukan konstruksi pengetahuan dan memberikan makna melalui pengalaman nyata. Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu bagi dirinya sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-ide. Tugas pendidik tidak hanya menjejalkan sejumlah informasi ke dalam benak siswa, tetapi mengusahakan bagaimana agar konsepkonsep penting dan sangat berguna tertanam kuat dalam benak siswa.

b. Inkuiri (Inquiry) Inkuiri pada dasarnya adalah suatu ide yang kompleks, yang berarti banyak hal, bagi banyak orang, dalam banyak konteks ( a complex idea that means many things to many people in many contexs). Inkuiri adalah bertanya. Bertanya yang baik, bukan asal bertanya. Pertanyaan yang diajukan harus dapat dijawab sebagian atau seluruhnya. Pertanyaan harus dapat diuji dan diselidiki secara bermakna. c. Bertanya (Questioning) Bertanya adalah induk dari strategi pembelajaran kontekstual, awal dari pengetahuan, jantung dari pengetahuan, dan aspek penting dari pembelajaran. Orang bertanya karena ingin tahu, menguji, mengkonfirmasi, melakukan apersepsi,

mengarahkan/menggiring, mengaktifkan skemata, men-judge, mengklarifikasi, memfokuskan, dan menghindari kesalahpahaman. d. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Dalam masyarakat belajar hasil pembelajaran diperoleh dari bekerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dengan sharing antar teman, antar kelompok, dan antar mereka yang tahu ke mereka yang belum tahu. Berbicara dan berbagi pengalaman dengan yang lain, bekerjasama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan diri sendiri.

e. Pemodelan (Modelling) Komponen pembelajaran kontekstual selanjutnya adalah pemodelan. Maksudnya, dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan para siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswa melakukannya. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. f. Refleksi (Reflection) Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Refleksi merupakan gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja diterima. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang diterima. g. Penilaian sebenarnya (Authentic Assessement) Autentik assessemen adalah prosedur penilaian pada pembelajaran kontekstual. Assessemen adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran pada perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa

perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Melakukan penilaian yang sebenarnya, dari berbagai sumber dan dengan berbagai cara. Data kemajauan siswa dapat diperoleh dari partisipasi setiap siswa dalam kerja kelompok, lembar pengumpulan data deskriptif, dan cara siswa mempresentasikan temuannya. Suatu kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya.

Keunggulan Pembelajaran Kontekstual Berikut ini adalah perbedaan pendekatan kontekstual dengan pendekatan tradisional yang akan menunjukkan keunggulan pembelajaran kontekstual:

No 1.

Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran Tradisional adalah penerima

Siswa secara aktif terlibat dalam Siswa proses pembelajaran.

informasi secara pasif. belajar secara

2.

Siswa belajar dari teman melalui Siswa kerja kelompok, diskusi, saling individual. mengoreksi.

3.

Pembelajaran dikaitkan dengan Pembelajaran sangat abstrak kehidupan nyata dan atau masalah dan teoritis. yang disimulasikan.

4.

Perilaku dibangun atas kesadaran Perilaku

dibangun

atas

sendiri. 5.

kebiasaan.

Keterampilan dikembangkan atas Keterampilan dikembangkan dasar pemahaman atas dasar latihan

6.

Hadiah untuk perilaku baik adalah Hadiah untuk perilaku baik kepuasan diri. adalah pujian atau nilai

(angka) rapor. 7. Seseorang tidak melakukan yang Seseorang tidak melakukan jelek karena dia sadar hal itu yang keliru dan merugikan. 8. Bahasa diajarkan jelek karena takut

hukuman. dengan Bahasa diajarkan dengan

menggunakan

pendekatan pendekatan struktural: rumus

komunikatif, yakni siswa diajak diterangkan sampai paham, menggunakan konteks nyata. bahasa dalam kemudian dilatihkan (drill).

BAGI YANG MENGINGIKAN SKRIPSI INI SECARA LENGKAP DENGAN FORMAD WORD SILAKAN HUBUNGI SMS: 08970465065 Mekanisme mendapatkan dengan krim judul yang anda inginkan dan alamat email anda, KE 08970465065 Cukup bantu biaya oprasional kami bisa melalui tranfer ke rekening akan kami SMS-kan Untuk melihat lebih banyak judul yang lain

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muhammad. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 1998. Metodologi Research UGM Yogya: Andi Offset. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rhineka Cipta. Arsyad, Azhar. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Aziz, Rahmat.2004.el-Hikmah. Jurnal Pendidikan Fakultas Tarbiyah.Vol 1. No.2. Malang: Fakultas Tarbiyah UIN Malang. Buchori, Muchtar.1992. Posisi Dan Fungsi Pendidikan agama Islam Dalam Kurikulum Perguruan Tinggi. Malang: Makalah IKIP Malang. Campbell, David. 1986. Mengembangkan Kreativitas. Yogyakarta: Kanisisus. Daiien Amien. 1973. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Darajat, Zakiah, dkk. 1996. Ilmu Pendididkan Islam. Jakarta: Bumi Aksara dan Depag. Darmaningtyas. 1999. Pendidikan Pada dan Setelah Krisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Diana, Rachma. 1999. Hubungan antara Religiusitas dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah Umum. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Departemen Agama RI.1989. Al-Quran dan Terjemahnya. Surabaya: Jaya Sakti. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Drever, James.1986. Kamus Psikologi. Jakarta: Bina Aksara. Jalaluddin. 2001. Teologi pendidikan. Jakarta: Grafindo Persada.

Rahman, Fazlur.1984. Islam. Terj.Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka. Razak, Nazrudin. 1989. Dienul Islam. Jakarta: Al-Maarif. Magnis Suseno, Franz.2002. Gerbang Pendidikan. Volume 7. No 33 Majalah Pendidikan. Jakarta: Lentera. Hadis, Abdul. 1996. Ilmu Pendidikan. Jakarta. Remaja Rosdakarya. Hasyim, Umar. 1991. Cara Mendidik Anak dalam Islam. Surabaya: Bina Ilmu. Hartatiek, dkk. 2002 Rumus Data Kuantitatif Dalam Penelitian Tindakan Kelas. Lembaga Pengabdian Masyarakat.Universitas Negeri Malang. Margono. 2000. Metodologi Penelitian Pendidikan: Komponen MKDK. Jakarta: Rhineka Cipta. Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. ,1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos. Muhaimin, dkk. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya. , 2001. Paradigma Pendidikan Islam Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah. Surabaya: PT. Remaja Rosda Karya. Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Munandar, Utami. 1988. Kreativitas Sepanjang Masa. Jakarta: Sinar Harapan. , 1999. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rhineka Cipta. , 2000. Kreativitas Anak dan Strategi Pengembangannya. Indonesian Psycological Journal. Vol. 15. No. 4. 390-394. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Moleong, Lexy.J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Narbuko, Cholid. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Nasution, Noehi, Dkk. 1994 Psikologi Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka. Nasution, Harun.1995. Islam Rasional.Bandung: Mizan. Malang:

Nurhadi, dkk. 2002. Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. Sardiman. 1994. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Pedoman bagi guru dan Calon Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sudarsono.2002. Filsafat Pendidikan. Jakarta: PT. Rhineka Cipta. Sudjana, Nana. 1989. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Sudjana, Nana. 1989.Penelitian Dan Penilaian Pendidikan.Bandung: Sinar Baru. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung: Sinar Baru. Sudarminta. 1990. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: IKIP Sanata Darma. Sudirman Dkk. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta. Remaja Rosdakarya. Suharnan. 2000. Pengaruh Pelatihan Imajeri dan Penalaran Terhadap Kreativitas. Psicological Journal.Jakarta: Anima Indonesia. Saputro, Suprihadi. 1993. Dasar-Dasar Metodologi Pengajaran Umum: Pengembangan Proses Belajar Mengajar. IKIP Malang. Syamsudin Makmun, Abin.2003. Psikologi Kependidikan, Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tafsir, Ahmad.1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. Uhbiyati, Nur. 1998. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Reseach. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. 1991. Statistik. UGM Yogya: Andi Offset. Hamdani, A. Saepul. 2003.Nizamia.Jurnal Pendidikan Dan Pemikiran Islam.Vol.6. No.20. Surabaya: Fak.Tar. IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Kasihani. 2003. Pembelajaran Berbasis CTL. Makalah. Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Sudarminta. 1990. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: IKIP Sanata Darma. Sardiman. 1994. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Pedoman bagi guru dan Calon Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Ratna, Wilis Dahar. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Roestiyah, NK. 1989. Masalah-Masalah Keguruan. Jakarta: Bina Aksara. Sudirman, dkk. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta. Remaja Rosdakarya. Suharnan. 2000. Pengaruh Pelatihan Imajeri dan Penalaran Terhadap Kreativitas. Psicological Journal.Jakarta: Anima Indonesia. Soedarsono, FX. 2001. Aplikasi Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Tadjab. 1994. Ilmu Jiwa Pendidikan. Surabaya: Karya Abditama. Undang-Undang Dasar 1945. Surabaya: Jaya Sakti. Undang Undang RI No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Bandung: Citra Umbaran. Soemanto, Wasty.1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Rhineka Cipta. Yaljan, Miqdad 1987. Potret Rumah Tangga Islami.Jakarta: Pustaka Mantiq. Wycoff, Joyce. 2002. Menjadi Super Kreatif Melalui Metode Pemetaan Pemikiran. Bandung: Kaifa.

Zuhairini, dkk. 1991. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Zuhairini, dkk. 1993. Metodologi Pendidikan Agama. Solo: Ramadhani. Zuhairini, dkk. 1999. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

You might also like