You are on page 1of 89

BAB I PENDAHULUAN

A. Judul Model UMKM B. Latar Belakang Masalah B.1. Pemberdayaan Masyarakat Manusia dalam pembangunan ekonomi adalah subyek ( pelaku ) yang sekaligus obyek ( penerima hasil pembangunan ). Sebagai subyek ia harus dilibatkan dalam proses pembangunan. Pemberdayaan berarti upaya apa yang perlu dilakukan agar masyarakat dapat secara langsung didorong ke posisi terlibat dalam proses tersebut. Pemberdayaan mempunyai arti yang lebih luas dibandingkan dengan penyediaan lapangan/ kesempatan kerja, karena meliputi faktor yang lebih kompleks antara lain alur pikir sistem, faktor nilai yang dianut, persepsi, motivasi, kualitas manusia, sumber daya alam dan iptek yang digunakan. Semua faktor tersebut harus dapat diintegrasikan melalui dimensi proses yang benar. Apabila pemberdayaan tidak bisa berjalan dengan lancar maka akan menimbulkan kesenjangan baik ekonomi maupun sosial. ( Syafaruddin Alwi, 1997). Kesenjangan ekonomi di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh masalah-masalah struktural, sehingga tindakan penanggulangan yang dilakukannjuga harus berdimensi struktural pula. Strategi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi harus diganti yang berorientasi pemerataan ekonomi dan pertumbuhan sosial. Pada masa mendatang penanggulangan kemiskinan harus disusun secara partisipatif dan terintegrasi dengan melibatkan seluruh stakeholder masyarakat di mana strategi penanggulangan kemiskinan yang disusun harus mengacu pada Sinergisitas Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis

Millenium Development Goals (MDGs).

Pembangunan Partisipatif yang

mengandung pengertian tumbuhnya pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses untuk meningkatkan aset dan kemampuan masyarakat terutama yang miskin dan terpinggirkan menuju keswadayaan dan kemandirian. Secara lebih detail, kemiskinan di Indonesia bisa ditunjukkan dengan diagram akar permasalahan kemiskinan sebagai berikut :

Ketidakberdayaan masyarakat miskin

Terhambatnya mobilitas sosial

Rendahnya keterlibatan dlm ekonomi produktif

Ketiadaan partisipasi dlm penentuan kebijakan publik

Terbatasnya kapasitas pengemb potensi diri

Kterasingan sosial

Rendahnya kmampuan akses kesempatan usaha

Menyempit nya kesempatan ekonomi/ usaha

Ketiadaan representasi si miskin

Terbatsanya ruang publik

Kondisi ksehatan & pendidikan Rendahnya motivasi pengemb diri Tertekannya ksadaran hak dasar

Lemahnya modal sosial Hilangnya kpercayaan sosial Disfungsi klembagaan lembaga sosial

Tbatasnya kepemilikan aset produktif Lemahnya sumber daya modal usaha Rendahnya tk kwirausahaan sosial

Kpincangan distribusi kekayaan Kecurangan praktek bisnis Degradasi sumber daya alam dan lingkungan

Lemahnya swa organisasi Krg berkembangn ya kepemimpina n kelompok Lemahnya jejaring kaum miskin

Birokrasi tll berkuasa Elit politik yg tidak responsif Tata pemerintahan yang otokratis

Sosio ekonomi Sosio kultural Gambar 1.1 Akar masalah

Kemiskinan Sosio politik

Akar masalah kemiskinan multi dimensional

Terdapat 3 dimensi pokok pemberdayaan masyarakat yaitu : 1. Inti : Investasi untuk meningkatkan aset dan kemampuan masyarakat miskin, baik sebagai individu maupun secara kolektif. Arah : Kemampuan memecahkan masalah secara swadaya dan meningkatkan daya tawar dalam hubungan kelembagaan. 2. Penunjang : Reformasi kelembagaan kepemerintahan menuju good gevernance pembangunan 3. Mekanisme : Merubah tata hubungan kekuasanaan melalui proses dialogis/ interaktif menuju tata hubungan berdasarkan kesetaraan , keadilan dan kemartabatan. Dari 3 dimensi pokok pemberdayaan masyarakat tersebut, maka penanggulangan kemiskinan harus komprehensif. Mulai dari peningkatan pendidikan dan ketrampilan, penyediaan kesempatan kerja dan berusaha sampai kepada penyiapan lembaga lembaga pendukung. Masyarakat didukung untuk mengembangkan wirausaha baru yang berbasis pada pengembangan ekonomi lokal. B.2. Peran Pemerintah dalam Pembinaan UMKM Pengembangan usaha mikro kecil menengah dan penumbuhan wirausaha baru merupakan suatu usaha nyata dalam kerangka penyuksesan RPJP ( Rencana Pembangunan Jangka Panjang ) tahun 2005 2025. Pembangunan bidang UKM, secara eksplisit ditujukan pada upaya untuk mewujudkan bangsa yang berdayasaing dalam rangka memperkuat perekonomian domestik dengan orientasi dan berdaya saing global. Selaras dengan RPJP tahun 2005-2025, pemerintah telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2005-2009 dan akuntabilitas publik, baik akibat tuntutan masyarakat maupun karena keharusan penyesuaian dengan pergeseran paradigma

yang memuat tiga agenda penting sebagai pijakan untuk mencapai tujuan pembangunan, salah satunya adalah mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera. Pemerintah melalui kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, secara tegas menyusun RPJM tahun 2004-2009, dengan 1. Mengembangkan usaha menetapkan prioritas dan arah kebijakan kecil dan menengah (UKM) agar pembangunan di bidang Koperasi dan UKM, pada: memberikankontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing; 2. Mengembangkan usaha skala mikro dalam rangka peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah; 3. Memperkuat kelembagaan dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik (good governance) dan berwawasan gender dengan cara memperbaiki lingkungan usaha dan menyederhanakan prosedur perijinan, memperluas akses kepada sumber permodalan khususnya perbankan, memperluas dan meningkatkan kualitas institusi pendukung yang menjalankan fungsi intermediasi sebagai penyedia jasa pengembangan usaha, teknologi, manajemen, pemasaran dan informasi; 4. Memperluas basis dan kesempatan berusaha serta menumbuhkan wirausaha baru berkeunggulan, termasuk mendorong peningkatan ekspor; 5. Meningkatkan UMKM sebagai penyedia barang dan jasa pada pasar domestik, khususnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak; dan 6. Meningkatkan kualitas kelembagaan koperasi sesuai dengan jati diri koperasi.

Pemerintah telah memberikan perhatian yang besar terhadap upaya pemberdayaan koperasi dan UKM. Konsekuensinya upaya pemberdayaan UKM menangung beban berat untuk membuktikan sebagai bagian penting dalam meningkatkan kesejahteraan dan daya saing ekonomi nasional. Secara lebih detail, pola pola pembinaan dan pengembangan UMKM yang dilakukan pemerintah berwujud sebagai berikut : 1. Program penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif. Program ini bertujuan untuk membukan kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian usahan dengan memperhatikan kaidah efisiensi ekonomi sebagai prasyarat untuk berkembangnya PKMK. Sedangkan sasaran yang akan dicapai adalah menurunnya biaya transaksidan meningkatnya skala usaha PKMK dalam kegiatan ekonomi. 2. Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif. Tujuan program ini adalah meningkatkan kemampuan PKMK dalam memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia. Sedangkan sasarannya adalah tersedianya lembaga pendukung untuk meningkatkan akses PKMK terhadap sumber daya produktif, seperti SDM, modal, pasar, teknologi dan informasi. 3. Program Pengembangan Kewirausahaan dan PKMK Berkeunggulan Kompetitif. Tujuannya untuk mengembangkan perilaku kewira-usahaan serta meningkatkan daya saing UKMK. Sedangkan sasaran adalah meningkatnya pengetahuan serta sikap wirausaha dan meningkatnya produktivitas PKMK. Dengan berbagai upaya dan program pemerintah yang tercantum dalam propenas ( program pokok pembangunan nasional ) tahun 2000 2004, khususnya dalam pembinaan UMKM yang disinergiskan dengan potensi dan peran yang strategis, maka UKM akan menjadi kekuatan untuk menggerakkan kegiatan

ekonomi masyarakat, dan sekaligus dapat menjadi tumpuan dalam meningkatkan kesejahteraannya. Setidaknya selama ini UKM telah mampu memberikan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja terbesar secara nasional dan meningkatkan ekspor, serta dalam pembentukan PDB nasional. Di sisi lain, struktur ekonomi Indonesia yang dalam kenyataannya didominasi oleh ekonomi rakyat, merupakan kekuatan ekonomi nasional yang sesungguhnya. Di sinilah UKM merupakan faktor penting untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional, yang selama ini terabaikan. Peran ini telah dijalankan UKM, setidaknya pada masa krisis ekonomi 2000-2008 menjadi katup pengaman perekonomian nasional, serta sebagai dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis. Salah satu keunggulan terbesar dari UMKM adalah kemauan mereka untuk memperjuangkan usaha yang dimiliki, misalnya ketika usaha skala besar masih terus merengek dengan tingkat bunga bank sebesar 18% per tahun, UMKM tetap dapat bertahan dengan tingkat bunga 5% / bulan atau hampir 60 % per tahun, dalam jeratan lintah darat. Hasil sensus ekonomi menunjukkan bahwa dari 22.727.441 usaha / perusahaan di Indonesia 12,8 juta perusahaan atau 56,5 % berusaha pada lokasi yang permanen dan 9,9 juta berusaha pada lokasi tidak permanen ( khususnya dilakukan oleh usaha mikro kecil. Kondisi di Jawa Tengah juga menunjukkan bahwa dari 3,69 juta usaha terdapat 2,22juta atau sekitar 60,26 % berusaha di lokasi permanen sedangkan sisanya yang 1,47 juta atau 39,74% berusaha pada lokasi yang tidak permanen atau berpindah pindah. Yang dimaksud dengan lokasi tidak permanen misalnya usaha keliling, usaha kakilima, usaha yang menggunakan fasum ( trotoar jalan, taman, pinggir rel KA, Bantaran sungai, dibawah jembatan layang ). Namun hal ini tidak mempengaruhi bahwa secara nyata mereka mampu menggerakkan roda perekonomian dan memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Menurut Hoselitz dalam Dwi Prasetyani ( 2008 ) menyebutkan bahwa kunci utama keberhasilan UMKM dalam bertahan menghadapi berbagai krisis adalah karena karakteristik UMKM yang cenderung berbiaya rendah. Selain itu letak dan produk UMKM yang spesifik juga membuat mereka berbeda serta memiliki pangsa pasar tersendiri. Dalam menproduksi barang maupun jasa mereka lebih mudah beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat. Fleksibilitas inilah yang menyebabkan mreka mampu bertahan dalam jangka waktu yang relatif panjang. Namun demikian UMKM secara mikro masih memiliki kinerja yang perlu ditingkatkan, antara lain: tingkat produktivitas usaha dan produktivitas tenaga kerja relatif rendah, nilai tambah produk rendah, pangsa pasar di dalam negeri dan ekspor rendah, jumlah investasi rendah, jangkauan pasar terbatas, akses informasi rendah, jaringan usaha terbatas, pemanfatan teknologi masih sangat terbatas, permodalan dan akses pembiayaan terbatas, kualitas SDM terbatas, dan manajemen yang umumnya belum profesional. Secara keseluruhan hal ini telah melemahkan peran dan kemampuan bersaing KUKM dibanding pelaku usaha lainnya. Secara individu UMKM memang mampu bertahan dari berbagai hantaman namun sebenarnya UMKM dapat tumbuh lebih cepat dan memberikan sumbangan yang signifikan terhadap PDRB apabila kelemahan kelemahan yang dimilikinya bisa dihilangkan atau dieliminir sekecil mungkin. Beberapa kelemahan dari usaha mikro kecil dan menengah meliputi 1. Kurangnya akses permodalan dan kredit, Bank Indonesia melalui divisi PKM telah memberikan banyak kesempatan bagi UMKM untuk menambah kemampuan modalnya dalam wujud kredit murah, namun sampoai saat ini masih sangat sedikit UMKM yang mampu membuat dirinya menjadi bankable. Hal ini disebabkan oleh belum tertatanya manajemen dan keuangan

2. Kurangnya penyuluhan dan alih tehnologi, Kondisi sumber daya manusia di UMKM yang masih terbatas menyebabkan mereka kurang mampu untuk menerima alih tehnologi dengan memanfaatkan berbagai macam tehnologi tepat guna yang saat ini banyak dikembangkan di perguruan tinggi. 3. Minimnya desain dan standarisasi produk. Kurangnya pengertian mengenai kualitas menyebabkan pengusaha dalam UMKM cenderung tidak responsif terhadap berbagai macam peningkatan desain dan mutu produk, di sisi lain standarisasi terhadap produk juga tidak pernah dilakukan sehingga akan merugikan aspek pemasarannya 4. Pembukaan akses pemasaran baik dalam maupun luar negeri. Pembukaan akses pasar bagi usaha mikro kecil dan menengah bukanlah hal yang mudah, mereka dihadapkan pada kendala belum menguasai tehnologi informasi dan kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi dengan pihak luar. Selama ini memang banyak sarana yang diberikan oleh pemerintah kaitannya dalam pengembangan pemasaran usaha mikro kecil dan menengah, namun lebih banyak yang berbiaya mahal atau informasinya kurang sampai kepada UMKM. Survey yang dilakukan oleh GTZ Red (Regional Economic Development), sebuah lembaga di bawah pemerintah Jerman, terhadap iklim usaha di kabupaten kota se Subosukawonosraten menunjukkan hasil bahwa 45 % pengusaha mikro dan menengah mengalami masalah dengan akses pasar, 20% mempunyai permasalahan mengenai peningkatan kualitas tenaga kerja di sektor usahanya dan 70% mempunyai permasalahan dengan akses permodalan. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak permasalahan permasalahan yang dihadapi oleh UMKM khususnya dalam membangun jejaring baik yang sudah terpotret dalam survey maupun belum.

Pertumbuhan ekonomi secara masyarakat khususnya melalui usaha mikro kecil menengah mambutuhkan peran serta dan bantuan dari segenap pihak baik pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat. Pola kemitraan ini harus dibangun dalam model sinergisitas yang mencakup pihak pihak yang berkompeten. Secara umum model yang direkomendasikan dalam pola pola kemitraan, adalah dengan memberikan peran yang setara antara tiga aktor pembangunan yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Peran stakeholder tersebut bisa diformulasikan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 1.3 Peran pemerintah, swasta dan masyarakat dalam proses pembangunan
Aktor Pemerintah Peran dalam pembangunan Formulasi dan penetapan policy (kebijakan), implementasi, monitoring dan evaluasi dan sebagai mediasi Bentuk output peran Kebijakan : Politik, umum, khusus/ sektoral, penganggaran, juknis, juklak, penetapan indikator keberhasilan, peraturan hukum dan penyelesaian masalah Swasta Kontribusi pada formula, implementasi, monitoring dan evaluasi sengketa Konsultasi dan rekomendasi kebijakan, tindakan dan langkah/ policy action, implementasi, donatur, private investment, Masyarakat Partisipasi dalam formulasi, implementasi, monitoring dan evaluasi pemeliharaan Saran, input, kritik, rekomendasi dan dukungan dalam kebijakan. Dana swadaya, partisipan dan pelaku utama dalam pelaksanaan serta menjadi social control Tenaga terdidik dan terlatih Dana, alat dan tehnologi, tenaga ahli Fasilitasi Sosialisasi, Dana, jaminan, alat, tehnologi, networking, sistem informasi manajemen, edukasi

Sumber : Kemitraan & modal pemberdayaan, Ambar Teguh Sulistyani,2004

10

Kegiatan pengembangan ekonomi lokal partisipatif ini lebih bersifat bottom up dan dikelola secara mandiri oleh kelompok dengan dibantu berbagai unsur terkait baik di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten. Inti utamanya adalah adanya partisipasi di mana masyarakat bertindak sebagai subyek bukan obyek. Dalam ekonomi partisipatif, masyarakat sebagai salah satu unsur stakaholder daerah akan menjadi penggerak utama dalam roda kegiatan ekonomi di daerah. Kegiatan utama yang dilakukan adalah dengan need assesment tentang kegiatan produktif apa yang akan dilakukan oleh daerah dan bagaimana peran masing masing stakeholder dalam pengembangan ekonomi. Dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi mulai dari perencanaan, sampai dengan evaluasi dilakukan dengan kemitraan, yaitu sinergisitas antara pemerintah, swasta, masyarakat dan elemen elemen lain seperti lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan legislatif. Salah satu contoh penting dalam pengembangan kemitraan yang mencakup sinergisitas adalah diberlakukannya CSR ( Corporate Social Resposibility ), yaitu semacam Kepedulian atau tanggungjawab moral dari perusahaan perusahaan besar untuk memberikan bantuan kepada masyarakat atau usaha kecil menengah dalam mengembangkan usahanya. Sebagai wujud kepedulian dan dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi guna ikut mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka pemerintah melalui Keputusan Menteri BUMN No 236/2003 mewajibkan kepada BUMN untuk menyisihkan 1 2 % laba bersih perusahaan untuk program PKKBL yaitu Program Kredit Kemitraan dan Bina Lingkungan. Terdapat 2 program yaitu Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil adalah program untuk meningkatkan kompetensi usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sedangkan Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat di wilayah usaha BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Program PKKBL merupakan tindak lanjut dari Program Pembiayaan Usaha Kecil dan

11

Koperasi ( PUKK ) yang didasari oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994. B.3. Kebijakan Pembinaan UMKM di era otonomi daerah Sejalan dengan kebijakan Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya maka pembinaan usaha kecil, m eneng ah dan koperasi harus melibatkan seluruh komponen di Daerah. Peran Pemerintah Daerah sebagai pelaksana kewenangan penyelenggaraan pemerintahan Daerah Otonom akan sangat menentukan bagi pembinaan UKMK. Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah maka pembinaan terhadap usaha kecil, menengah dan koperasi perlu dirumuskan dalam suatu pola pembinaan yang dapat memberdayakan dan mendorong peningkatan kapasitas usaha kecil, menengah dan koperasi tersebut. Pola pembinaan tersebut harus memperhatikan kondisi perkembangan lingkungan strategis yang meliputi perkembangan global, regional dan nasional. Disamping itu juga pola pembinaan tersebut hendaknya belajar kepada pengalaman pembinaan terhadap usaha kecil, m eneng ah dan koperasi yang telah dilaksanakan selama ini. Pola pembinaan terhadap usaha kecil, menengah dan koperasi yang ditawarkan untuk meningkatkan kapasitas dan daya saingnya dalam rangka Otonomi Daerah antara lain adalah :
a.

Pelaksana program-program pokok pengembangan UKMK yang telah diatur di dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 yang meliputi ; Program Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif, Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif, dan Program Pengembangan Kewirausahaan dan PKMK Berkeunggulan Kompetitif secara terpadu dan berkelanjutan.

12

b.

Pelaksanaan program-program pengembangan UKMK yang disusun dengan memperhatikan dan disesuaikan kondisi masing-masing Daerah, tuntutan, aspirasi dan kepentingan masyarakat, serta kemampuan Daerah.

c.

Keterpaduan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, masyarakat, lembaga keuangan, lembaga akademik dan sebagainya dalam melakukan pembinaan dan pengembangan usaha kecil, m eneng ah dan koperasi.

d.

Pemberdayaan

SDM

aparatur

Pemerintah

Daerah

agar

mampu

melaksanakan proses pembinaan dan pengembangan terhadap usaha kecil, m eneng ah dan koperasi.
e.

Pengembangan pewilayahan produk unggulan

sesuai potensi dan

kemampuan yang dimiliki dalam suatu wilayah bagi usaha kecil, m eneng ah dan koperasi dalama rangka meningkatkan daya saing.
f.

Mensinergikan semua potensi yang ada di Daerah untuk meningkatkan pengembangan usaha kecil, m eneng ah dan koperasi sehingga mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan implentasi kebijakan Otonomi Daerah.

g.

Sosialisasi tentang kebijakan perekonomian nasional dalam rangka memasuki era pasar bebas AFTA (ASEAN Free Trae Area), APEC ( Asia Pacific Cooperation) dan WTO (World Trade Organization) kepada seluruh kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi. Harapan yang diinginkan adalah bahwa melalui pola pembinaan yang

dikembangkan tersebut didapat outcomes yang yang bersinergi antara kebijakan pembinaan usaha kecil, menengah dan koperasi dengan kebijakan Otonomi Daerah. Sehingga antara kebijakan Otonomi Daerah dengan pembinaan usaha kecil, m eneng ah dan koperasi terdapat simbiosis mutualisma. Implementasi kebijakan Otonomi Daerah akan menentukan bagi keberhasilan pembinaan usaha kecil, m eneng ah dan koperasi serta sebaliknya pelaksanaan pembinaan UKMK akan

13

mendorong keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. C. Perumusan Masalah Banyak pihak saat ini memberikan perhatian serius dalam pengembangan usaha kecil menengah. Pemerintah baik pusat maupun daerah mislanya saat ini banyak memberikan angin segar dan peluang kepada usaha kecil menengah khususnya untuk pengembangan usahanya. Baik dalam dukungan dana, legalitas / perijinan usaha dan fasilitasi struktur serta infrastruktur lain yang mendukung. Lembaga Swadaya Masyarakat baik dalam maupun luar negeri juga memberikan berbagai kontribusi dalam pengembangan usaha kecil menengah misalnya Swiss Contact, Mercy Corp dan sebagainya. Swasta pun mulai bergerak dengan CSR maupun pola anak angkat dan bapak angkat yang dimilikinya. Berbagai macam program yang selama ini disusun untuk pengembangan UMKM, namun selama ini belum terukur secara nyata adanya hasil dari pengembangan UMKM yang bisa dilihat dari perkembangan ekonomi daerah secara keseluruhan. Banyak bantuan baik modal kerja maupun non modal kerja yang belum memberikan multiplier efek bagi pengembangan ekonomi daerah. Efek pengembangan dilihat dari PDRB (Produk Domestik Regioanl Bruto ) yang terjadi pada tahun tersebut dan juga nilai tambah dari kegiatan ekonomi yang sudah dilakukan. Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka permasalahan bisa dirumuskan menjadi : 1. Bagaimanakah efisiensi model sinergisitas antara usaha kecil menengah dengan stakeholder daerah dalam rangka pengembangan ekonomi lokal. 2. Bagaimana agroindustri ? tingkat efisiensi untuk industri manufaktur dan

14

3. Bagaimana Model sinergisitas yang paling cocok untuk pengembangan UMKM D. Tujuan Penelitian 1. Untuk melihat efisiensi model sinergisitas antara usaha kecil menengah dengan stakeholder daerah dalam angka pengembangan ekonomi lokal. 2. Untuk mengetahui tingkat efisiensi industri manufaktur dan agroindustri 3. Untuk menemukan model sinergisitas yang paling cocok dalam pengembangan ekonomi lokal berbasis UMKM E. Kontribusi Penelitian dan Pengabdian Selaras dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :

Adapun kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Program program kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah dalam Pengembangan ekonomi lokal bisa sesuai dengan kebutuhan khususnya dalam kebijakan yang bersifat makro 2. Tingkat efisien keberhasilan UMKM dalam pengembangan ekonomi lokal daerah bisa terukur sehingga akan bisa diketahui sisi atau sektor mana yang belum mencapai efisiensi.

F. KERANGKA PEMIKIRAN Berangkat dari latar belakang masalah , perumusan masalah dan tujuan yang hendak dicapai maka kerangka pemikiran dari penelitian ini disusun dalam dua kegiatan utama yaitu penilaian atau penghitungan efisiensi atas kegiatan ekonomi dan hasil yang dicapai oleh daerah, kemudian dari hasil analisis efisiensi akan dilakukan Focus Group Discussion untuk mencari format model yang paling ideal dalam pengembangan ekonomi lokal yang berbasis UMKM. Untuk itu, kerangka pemikirannya disusun sebagai berikut :

15

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran

a. Jumlah usaha/ perusahaan b. Jumlah kredit c. Jumlah tenaga kerja yaitu seluruh tenaga kerja yg bisa diserap d. Nilai tambah

Analisis efisiensi

Efisien

Tidak Efisien

Indept Interview untuk pembentukan model sinergisitas

16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Kondisi UMKM di Indonesia

Usaha kecil di negara maju didefinisikan sebagai usaha yang melayani pelanggan dalam cakupan yang lebih sempit khususnya dalam lingkup lokal (Pick dan Abrahamson, 1987). Menurut Steinhof (1977) usaha kecil memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) manajemen usaha kecil merupakan menajemen individu; 2) kepemilikan modal dimiliki secara individu dan/atau grup kecil; 3) area pemasaran usaha kecil adalah lokal daerah di sekitar usaha kecil; dan 4) ukuran kapasitas usaha relatif kecil. Meskipun dalam berbagai literatur teoritis definisi usaha kecil seperti yang tersebut di atas, namun khusus dalam aplikasi di Indonesia cakupan pengertian usaha kecil diperluas menjadi usaha mikro, usaha kecil dan menengah. Dalam implementasinya, konsep UMKM di Indonesia perdefinisi berbeda satu dengan yang lain. Beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa instansi memiliki pendekatan yang berbeda pula. Beberapa perbedaan definisi tersebut dapat dirangkum sebagai berikut: 1). BPS (Badan Pusat Statisitik) menggunakan dasar tenaga kerja yang dipekerjakan sebagai kriteria pembeda Usaha Mikro Kecil dan Menengah; 2). Departemen Perindustrian menggunakan dasar kriteria finansial dalam bentuk investasi barang modal dan investasiper tenaga kerja; 3). Bank Indonesia menggunakan kriteria aset dan finansial sebagai faktor pembeda antara jenis UMKM; 4). Departemen Perdagangan menggunakan faktor modal aktif usaha dagang sebagai pembeda jenis UMKM; selain itu terdapat kriteria komprehensi yang dibuat oleh Bank Dunia untuk membedakan UMKM dengan sekaligus menggunakan kriteria pekerja, aset dan omset secara bersamaan. Ikhtisar perbedaan definisi tersebut ditunjukkan oleh diagram di bawah ini: Tabel 2.1

17

Ragam Pengertian Umum Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Lembaga Istilah Pengertian Umum (1) (2) (3)
UU Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil Usaha Kecil Aset Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan. Omset Rp 1 Milyar / tahun Independen Pekerja < 5 orang, termasuk tenaga kerja keluarga Pekerja 5 9 orang Pekerja 20 99 orang Aset < Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan Omset < Rp 1 Milar/tahun Independen Aset > Rp 200 juta Omset: Rp 1 10 milyar per tahun Dijalankan oleh rakyat miskin atau dekat miskin, bersifat usaha keluarga, menggunakan sumber daya lokal, menerapkan teknologi sederhana dan mudah keluar masuk industri Aset < Rp 200 juta Omset < Rp 1 Milyar Untuk kegiatan industri, aset < Rp 5 milyar. Untuk lainnya (termasuk jasa), aset < Rp 600 juta di luar tanah dan bangunan Omset < Rp 3 milyar per tahun Pekerja < 10 orang Aset < $ 100.000 Omset < $ 100.000 per tahun Pekerja < 50 orang Aset < $ 3 juta Omset < $ 3 juta per tahun Pekerja < 300 orang Aset < $ 15 juta Omset < $ 15 juta per tahun

BPS

Usaha Mikro

Usaha Kecil Usaha Menengah Menteri Negara Koperasi dan Usaha Mikro UKM Usaha Menengah Bank Indonesia (PBI No.7/39/PBI/2005) Usaha Mikro

Usaha Kecil Usaha Menengah

Bank Dunia

Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menengah

Sumber : Dwi Prasetyani, 2008

18

Perbedaan dalam kriteria tersebut tidak mempengaruhi kondisi UMKM dan bagaimana cara pengembangannya. Secara umum perkembangan UMKM per sektor bisa ditunjukkan sebagai berikut Perkembangan jumlah UKM periode 20052006 mengalami peningkatan sebesar 3,88% yaitu dari 47.102.744 unit pada tahun 2005 menjadi 48.929.636 unit pada tahun 2006. Sektor ekonomi UKM yang memiliki proporsi unit usaha terbesar adalah sektor 1. 2. 3. 4. 5. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; 53,57%, Perdagangan, Hotel dan Restoran; dengan perkembangan 27,19 % Industri Pengolahan; dengan perkembangan 6,59 % Jasa-jasa; dengan perkembangan 6,06 % Pengangkutan dan Komunikasi dengan perkembangan 5,52% Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki proporsi unit usaha terkecil secara berturut-turut adalah sektor (1) Listrik, Gas dan Air Bersih; (2) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; (3) Bangunan; serta (4) Pertambangan dan Penggalian dengan pertumbuhan masing masing sektor tercatat sebesar 0,03%, 0,17%, 0,34% dan 0,54%. UU No 25 tahun 2000 tentang PROPENAS, menunjukkan bahwa pemerintah menekankan tentang pentingnya meningkatkan penciptaan iklim kondusif, akses kepada sumber daya yang produktif dan pengembangan dengan perkembangan

kewirausahaan. Kehadiran Usaha Kecil Menengah dengan konsep kewirausahaan menjadi peluang yang cukup menarik. Ketika terjadi krisis multidimensi pada tahun 1997, terbukti Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) mampu bertahan dengan segala cara. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dapat dipandang sebagai katup penyelamat dalam proses pemulihan ekonomi nasional. Perannya dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja diharapkan menjadi

19

langkah awal bagi upaya pemerintah menggerakkan sektor produksi pada berbagai lapangan usaha. Kinerja UMKM dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat. Besaran PDB yang diciptakan UMKM tahun 2003 mencapai nilai Rp 1.013,5 triliun (56,7 persen dari total PDB Nasional) dengan perincian 41,1 persen berasal dari UMK dan 15,6 persen dari UM. Pada tahun 2000, sumbangan UMKM baru mencapai 54,5 persen terhadap total PDB Nasional berasal dari UMK (39,7 persen) dan UM (14,8 persen). Jumlah unit usaha UMKM pada tahun 2003 adalah 42,4 juta naik 9,5 persen dibanding dengan tahun 2000, sedangkan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor UMKM pada tahun 2003 tercatat 79,0 juta pekerja yaitu lebih tinggi 8,6 juta pekerja dibanding tahun 2000 dengan 70,4 juta pekerja, atau selama periode 2000-2003 meningkat sebesar 12,2 persen atau rata-rata 4,1 persen per tahun. Pertumbuhan PDB UMKM sejak tahun 2001 bergerak lebih cepat dari total PDB Nasional dengan tingkat pertumbuhan masing-masing sebesar 3,8 persen tahun 2001, 4,1 persen tahun 2002, kemudian 4,6 persen tahun 2003. Sumbangan pertumbuhan PDB UMKM lebih tinggi dibandingkan sumbangan pertumbuhan dari Usaha Besar. Pada tahun 2000 dari 4,9 persen pertumbuhan PDB Nasional secara total, 2,8 persennya berasal dari pertumbuhan UMKM. Kemudian, di tahun 2003 dari 4,1 persen pertumbuhan PDB Nasional secara total, 2,4 persen diantaranya berasal dari pertumbuhan UMKM. Peranan Ekspor UMKM terhadap ekspor non migas tercatat 19,9 persen di tahun 2003, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan sumbangannya di tahun 2000 yaitu 19,4 persen. Data terbaru tahun tahun 2005 menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan atas peran UMKM dalam menyumbang atau penciptaan PDB nasional

20

menurutharga berlaku tercatat sebesar Rp. 1.491,06 triliun atau 53,54%, kontribusi Usaha Kecil tercatat sebesar Rp. 1.053,34 triliun atau 37,82% dan UM sebesar Rp. 437,72 triliun atau 15,72% dari total PDB nasional, selebihnya adalah usaha besar yaitu Rp. 1.293,90 triliun atau 46,46%. Sedangkan data pada tahun 2006 menyebutkan bahwa , peran UKM terhadap penciptaan PDB nasional menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp. 1.778,75 triliun atau 53,28% dari total PDB nasional, mengalami perkembangan sebesar Rp. 287,68 triliun atau 19,29% dibanding tahun 2005. Kontribusi Usaha Kecil tercatat sebesar Rp. 1.257,65 triliun atau 37,67% dan Usaha Menengah Besar. Disisi lain, pada tahun 2005 nilai PDB nasional atas harga konstan tahun 2000 sebesar Rp. 1.750,66 triliun, peran UKM tercatat sebesar Rp. 979,71 triliun atau 55,96 % dari total PDB nasional, kontribusi UK tercatat sebesar Rp. 688,91 triliun atau 39,35% dan UM sebesar Rp. 290,80 triliun atau 16,61%, UB berkontribusi sebesar Rp. 770,94 triliun atau 44,04 %. Pada tahun 2006, PDB nasional atas harga konstan tahun 2000 sebesar Rp. 1.846,65 triliun, kontribusi UKM sebesar Rp. 1.032,57 triliun atau 55,92% yang terdiri atas Usaha Kecil Rp. 725,96 triliun atau 39,31 % dan Usaha Menengah Rp. 306,61 triliun atau 16,60 % . Sedangkan kontribusi Usaha Besar dibandingkan tahun sebelumnya. Kontribusi UKM terhadap pembentukan total nilai ekspor nasional pada tahun 2005 tercatat sebesar Rp. 110,34 triliun atau 15,44%, kontribusi Usaha Kecil tercatat sebesar Rp. 28,05 triliun atau 3,92 % dan Usaha Menengah sebesar Rp. 82,29 triliun atau 11,51% selebihnya adalah Usaha Besar. Pada tahun 2006, peran UKM terhadap pembentukan total nilai ekspor nasional mengalami peningkatan sebesar Rp. 814,08 triliun atau 44,08%. Kontribusi UKM tersebut meningkat sebesar Rp. 52,86 triliun atau 5,40% sebesar Rp. 521,09 triliun atau 15,61%, selebihnya sebesar Rp. 1.559,45 triliun atau 46,72% merupakan kontribusi Usaha

21

sebesar Rp. 11,86 triliun atau 10,75% yaitu dengan tercapainya angka sebesar Rp. 122,20 triliun atau 15,70% dari total nilai ekspor nasional. Kontribusi Usaha Kecil tercatat sebesar Rp. 30,30 triliun atau 3,89% dan Usaha Menengah sebesar Rp. 91,90 triliun atau 11,81%, selebihnya adalah Usaha Besar. B. Kinerja UMKM Selama periode 2000-2003 peranan Usaha Kecil dalam penciptaan nilai tambah terus meningkat dari 39,7 persen pada tahun 2000 menjadi 41,1 persen pada tahun 2003. Sebaliknya peranan Usaha Besar semakin berkurang dari 45,5 persen pada tahun 2000 menjadi 43,3 persen pada tahun 2003. Sementara peranan Usaha Menengah relatif stabil berkisar 15 persen selama periode ini. Apabila dilihat sektor per sektor Usaha Kecil memiliki keunggulan dalam bidang usaha yang memanfaatkan sumber daya alam dan sektor-sektor tersier seperti pertanian tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan, perdagangan, hotel dan restoran. Di masing-masing sektor ini Usaha Kecil menciptakan nilai tambah lebih dari 75 persen selama periode 2000-2003. Sebaliknya Usaha Besar memiliki keunggulan dalam pengolahan lebih lanjut dari produk-produk primer seperti industri pengolahan, listrik dan gas kota, komunikasi, serta pertambangan. Di masing-masing sektor ini Usaha Besar menciptakan nilai tambah lebih dari 60 persen. Sedangkan Usaha Menengah memiliki peranan yang besar dalam penciptaan nilai tambah sektor hotel, keuangan, persewaan, jasa perusahaan dan kehutanan. Pada tahun 2000 pertumbuhan ekonomi Usaha Menengah sebesar 5,1 persen, sementara Usaha Kecil 4,1 persen dan Usaha Besar sekitar 5,6 persen. Pada tahun 2003 pertumbuhan ekonomi Usaha Menengah sebesar 5,2 persen, sementara

22

Usaha Kecil tumbuh 4,3 persen dan Usaha Besar hanya tumbuh 3,5 persen. Namun demikian pertumbuhan yang tinggi ini nampaknya tidak menjadikan Usaha Menengah sebagai kelompok yang memberikan sumbangan paling tinggi dalam pertumbuhan ekonomi mengingat peranannya dalam penciptaan nilai tambah nasional relatif kecil dibandingkan dengan kelompok usaha yang lain. Dari pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,1 persen di tahun 2003 hanya 0,69 persen saja merupakan sumbangan Usaha Menengah. Sebaliknya walaupun pertumbuhan kelompok Usaha Kecil dan Besar tidak secepat Usaha Menengah namun dengan peranannya yang cukup besar dalam penciptaan nilai tambah nasional, sumbangan kedua kelompok usaha ini menjadi cukup tinggi. Pada tahun 2003 sumbangan Usaha Kecil dan Besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional masing-masing sebesar 1,68 persen dan 1,73 persen. Tabel 2.1 Rata-rata Struktur PDB Usaha Mikro Kecil, Menengah dan Besar Tahun 2000-2003 (Persen) No. Lapangan Usaha Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Rata-rata 2000-2003 Kecil Menengah Besar Jumlah 85,74 6,73 15,14 0,52 43,88 75,60 36,69 9,09 2,96 12,98 6,80 22,57 20,81 26,64 5,17 90,30 71,89 92,68 33,55 3,59 36,67 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

1. Pertanian, Perkebunan, Peternakan, 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

16,80 46,47 36,73 Persh. 9. Jasa-jasa 35,59 7,16 57,25 PDB 40,55 15,22 44,24 PDB TANPA MIGAS 46,22 17,19 36,60 Sumber : Statistik UMKM, Kementrian Koperasi & UMKM 2005

23

Secara grafis, struktur PDB usaha mikro di Indonesia bisa ditunjukkan sebagai berikut : Gambar 2.3. Laju Pertumbuhan PDB UMKM Tahun 2000-2003

Sumber : Statistik UMKM, Kementrian Koperasi & UMKM 2005

Kemampuan tenaga kerja dalam menciptakan nilai tambah sangat berbeda antara satu kelompok usaha dengan lainnya dan menunjukan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah unit Usaha Kecil dan Menengah tahun 2003 sebesar 42,4 juta, naik 9,5 persen dibandingkan dengan tahun 2000. Sementara jumlah tenaga kerja pada tahun 2003 yang bekerja di sektor UMKM sebesar 79 juta pekerja, meningkat sebesar 8,6 juta pekerja dibandingkan tahun 2000 atau selama periode 2000-2003 meningkat sebesar 12,2 persen dengan ratarata 4,1 persen per tahun.

24

Produktivitas per tenaga kerja Usaha Kecil pada tahun 2000 sebanyak 8 juta rupiah per tenaga kerja per tahun. Nilai ini meningkat cukup besar pada tahun 2003 menjadi 10,5 juta rupiah per tenaga kerja per tahun. Sementara produktivitas kelompok Usaha Menengah dan Besar pada tahun 2000 masing-masing sebanyak 24,7 juta dan 1,5 miliar rupiah per tenaga kerja per tahun. Pada tahun 2003 meningkat masing-masing sebesar 31,8 juta rupiah dan 1,8 miliar rupiah. Nampaknya masing-masing kelompok usaha memiliki keunggulan dan saling melengkapi satu dengan lainnya. Kelompok Usaha Besar memiliki potensi sebagai motor pertumbuhan, sementara kelompok Usaha Kecil sebagai penyeimbang pemerataan dan penyerapan tenaga kerja. Dalam hal penyerapan tenaga kerja, peran UKM pada tahun 2005 tercatat sebesar 83.233.793 orang atau 96,28% dari total penyerapan tenaga kerja yang ada, kontribusi Usaha Kecil tercatat sebanyak 78.994.872 orang atau 91,38% dan Usaha Menengah sebanyak 4.238.921 orang atau 4,90%. Untuk Usaha Kecil sektor Pertanian, Peternakan, Perhutanan dan Perikanan tercatat memiliki peran terbesar dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebanyak 38.039.281 orang atau 48,15% dari total tenaga kerja yang diserap. Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki penyerapan tenaga kerja terbesar pada Usaha Menengah adalah sektor Industri Pengolahan yaitu sebanyak 1.727.038 orang atau 40,74%. Pada tahun 2006, UKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar 85.416.493orang atau 96,18% dari total penyerapan tenaga kerja yang ada, jumlah ini meningkat sebesar 2,62% atau 2.182.700 orang dibandingkan tahun 2005. Kontribusi Usaha Kecil tercatat sebanyak 80.933.384 orang atau 91,14% dan Usaha Menengah sebanyak 4.483.109 orang atau 5,05%. Untuk Usaha Kecil sektor Pertanian, Peternakan, Perhutanan dan Perikanan tercatat memiliki peran terbesar dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebanyak 37.965.878 orang atau 46,91% dari total tenaga kerja yang di serap. Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar

25

73.403 orang atau 0,19% dari tahun sebelumnya. Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki penyerapan tenaga kerja terbesar pada Usaha Menengah adalah sektor Industri Pengolahan yaitu sebanyak 1.827.073 orang atau 40,75%.

C. Investasi UMKM Selama 2000-2003 iklim investasi pada berbagai tingkat skala usaha masih belum berubah. Dalam kurun waktu 2000-2003 Usaha Kecil masih merupakan kelompok yang paling rendah penyerapan investasinya yaitu rata-rata sebesar 18,6 persen per tahun dan diikuti oleh Usaha Menengah rata-rata sebesar 23 persen per tahun. Secara keseluruhan penyerapan investasi pada Usaha Kecil dan Menengah hanya mencapai 41,6 persen per tahun. Bila hal ini dibandingkan dengan jumlah usaha yang demikian besar pada kelompok ini maka dapat dikatakan bahwa Usaha Kecil bukan merupakan usaha yang bersifat padat modal. Pada periode 2000-2003 secara rata-rata tingkat investasi pada Usaha Kecil adalah sebesar Rp 58,9 triliun per tahun dan Usaha Menengah sebesar Rp 73,2 triliun per tahun atau masing-masing setara dengan Rp 1,5 juta per usaha untuk kelompok kecil dan Rp 1,3 miliar per usaha untuk kelompok menengah. Hal ini sangat mencolok bila dibandingkan dengan Usaha Besar yang menyerap Rp 91,4 miliar per unit usaha. Pada tahun 2005, peran UKM terhadap pembentukan investasi nasional menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp. 302,45 triliun atau 45,99% dari total investasi nasional sebesar Rp. 657,63 triliun. Kontribusi Usaha Kecil tercatat sebesar Rp. 136,21 triliun atau 20,71% dan Usaha Menengah sebesar Rp. 166,24 triliun atau 25,28%. Pada tahun 2006, peran UKM mengalami peningkatan sebesar Rp. 67,37 triliun atau 22,28% menjadi Rp. 369,82 triliun. Kontribusi Usaha Kecil

26

tercatat sebesar Rp. 165,12 triliun atau 20,64%, sedangkan Usaha Menengah sebesar Rp. 204,70 triliun atau 25,59% dan selebihnya adalah Usaha Besar. Dari total nilai investasi UKM, pada tahun 2005 sektor Pengangkutan dan Komunikasi memberikan andil terbesar dengan kontribusi sebesar Rp. 78,81 triliun atau 26,06 %. Untuk skala Usaha Kecil, sektor yang sama juga memberikan kontribusi terbesar dengan nilai investasi sebesar Rp. 40,42 triliun atau 29,68%, pada skala Usaha Menengah sektor pengangkutan dan komunikasi masih merupakan kontributor terbesar dengan nilai investasi mencapai Rp. 38,39 triliun atau 23,10% dari total investasi Usaha Menengah. Pada tahun 2006, sektor Pengangkutan dan Komunikasi tetap memberikan kontribusi terbesar yaitu Rp. 94,45 triliun atau 25,54% dari total peran UKM. Kontribusi Usaha Kecil disektor tersebut tercatat sebesar Rp. 47,22 triliun atau 28,60%, sedangkan Usaha Menengah disektor yang sama memberikan kontribusi sebesar Rp. 47,23 triliun atau 23,07%. Pada tahun 2005, peran UKM dalam pembentukan investasi nasional menurut harga konstan tahun 2000 tercatat sebesar Rp. 178,05 triliun atau 45,29% dari total investasi nasional yang sebesar Rp. 393,18 triliun. Kontribusi Usaha Kecil tercatat sebesar Rp. 83,53 triliun atau 21,25 % dan Usaha Menengah sebesar Rp. 94,52 triliun atau 24,04%. Pada tahun 2006, peran UKM mengalami peningkatan sebesar Rp. 4,66 triliun atau 2,62% menjadi Rp. 182,71 triliun atau 45,16% dari total investasi nasional atas harga konstan tahun 2000 yang sebesar Rp. 404,61 triliun. Peran Usaha Kecil tercatat sebesar Rp. 85,63 triliun atau 21,16%, sedangkan Usaha Menengah sebesar Rp. 97,09 triliun atau 24,00% dan selebihnya adalah Usaha Besar. Dari total nilai investasi UKM, pada tahun 2005 sektor Pengangkutan dan Komunikasi memberikan andil terbesar dengan kontribusi sebesar Rp. 47,99 triliun atau 26,95 %. Untuk skala Usaha Kecil, sektor yang sama juga memberikan kontibusi terbesar dengan nilai investasi sebesar Rp. 28,00 triliun atau 33,52%, pada skala Usaha Menengah sektor Pengangkutan

27

dan Komunikasi masih merupakan kontributor terbesar dengan nilai investasi mencapai Rp. 19,99 triliun atau 21,14% dari total investasi Usaha Menengah. Pada tahun 2006, sektor Pengakutan dan Komunikasi tercatat memberikan kontribusi terbesar yaitu Rp. 49,44 triliun atau 27,06 % dari total peran UKM. Kontribusi Usaha Kecil pada sektor tersebut tercatat sebesar Rp. 28,79 triliun atau 33,63%, sedangkan Usaha Menengah sektor yang sama memberikan kontribusi sebesar Rp. 20,64 triliun atau 21,26%. D. Kebijakan Penanganan UMKM di Indonesia Pembangunan jangka panjang bidang koperasi dan UKM telah digariskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2005-2025. Pembangunan bidang koperasi dan UKM, secara eksplisit ditujukan pada upaya untuk mewujudkan bangsa yang berdaya-saing dalam rangka memperkuat perekonomian domestik dengan orientasi dan berdaya saing global. Selaras dengan RPJP tahun 2005-2025, pemerintah telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2005-2009 yang memuat tiga agenda penting sebagai pijakan untuk mencapai tujuan pembangunan, salah satunya adalah mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera. Terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, secara tegas RPJM tahun 2004-2009, telah menetapkan prioritas dan arah kebijakan pembangunan di bidang Koperasi dan UKM, pada: 1. Mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM) agar memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing; 2. Mengembangkan usaha skala mikro dalam rangka peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah;

28

3. Memperkuat

kelembagaan

dengan

menerapkan

prinsip-prinsip tata

kepemerintahan yang baik (good governance) dan berwawasan gender dengan cara memperbaiki lingkungan usaha dan menyederhanakan prosedur perijinan, memperluas akses kepada sumber permodalan khususnya perbankan, memperluas dan meningkatkan kualitas institusi pendukung yang menjalankan fungsi intermediasi sebagai penyedia jasa pengembangan usaha, teknologi, manajemen, pemasaran dan informasi; 4. Memperluas basis dan kesempatan berusaha serta menumbuhkan wirausaha baru berkeunggulan, termasuk mendorong peningkatan ekspor; 5. Meningkatkan UMKM sebagai penyedia barang dan jasa pada pasar domestik, khususnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak; dan 6. Meningkatkan kualitas kelembagaan koperasi sesuai dengan jati diri koperasi. Atas dasar agenda dan arah kebijakan pembangunan nasional jangka menegah tersebut, disadari bahwa pemberdayaan KUKM telah menjadi agenda pokok dalam pembangunan ekonomi nasional. Hal ini merupakan bukti bahwa pemerintah telah memberikan perhatian yang besar terhadap upaya pemberdayaan koperasi dan UKM. Konsekuensinya upaya pemberdayaan KUKM menangung beban berat untuk membuktikan sebagai bagian penting dalam meningkatkan kesejahteraan dan daya saing ekonomi nasional. Dengan potensi dan peran yang strategis, karena jumlahnya yang besar dan penyebarannya yang luas, KUKM merupakan kekuatan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus dapat menjadi tumpuan dalam meningkatkan kesejahteraannya. Setidaknya selama ini KUKM telah mampu memberikan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja terbesar secara nasional dan meningkatkan ekspor, serta dalam pembentukan PDB nasional. Di sisi lain, struktur ekonomi Indonesia yang dalam kenyataannya didominasi oleh ekonomi rakyat, merupakan kekuatan ekonomi nasional yang

29

sesungguhnya. Di sinilah UKM merupakan faktor penting untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional, yang selama ini terabaikan. Peran ini telah dijalankan KUKM, setidaknya pada masa krisis ekonomi 2000-2008 menjadi katup pengaman perekonomian nasional, serta sebagai dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis. Namun demikian UMKM secara mikro masih memiliki kinerja yang perlu ditingkatkan, antara lain: tingkat produktivitas usaha dan produktivitas tenaga kerja relatif rendah, nilai tambah produk rendah, pangsa pasar di dalam negeri dan ekspor rendah, jumlah investasi rendah, jangkauan pasar terbatas, akses informasi rendah, jaringan usaha terbatas, pemanfatan teknologi masih sangat terbatas, permodalan dan akses pembiayaan terbatas, kualitas SDM terbatas, dan manajemen yang umumnya belum profesional. Secara keseluruhan hal ini telah melemahkan peran dan kemampuan bersaing KUKM dibanding pelaku usaha lainnya. Penanggung jawab lancarnya kebijakan dan program kerja pemerintah dalam pengembangan UMKM adalah Kementrian Koperasi dan UKM yang saat ini dipegang oleh Surya Dharma Ali. Berangkat dari pentingnya tugas tersebut, maka kemnetrian ini memiliki visi dan misi yang kemudian diterjemahkan dalam rencana rencana strategis sebagai berikut : Visi, yaituMenjadi lembaga pemerintah yang kredibel dan efisien untuk mendinamisir pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam rangka meningkatkan produktivitas, daya saing dan kemandirian Penjabaran visi dirumuskan misi Kementerian Negara Koperasi dan UKM sebagai berikut: Memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan nasional melalui perumusan kebijakan nasional, pengkoordinasian perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kebijakan pemberdayaan di bidang Koperasi dan UMKM, serta peningkatan sinergi dan peran aktif masyarakat dan dunia usaha

30

dalam rangka meningkatkan produktivitas, daya saing dan kemandirian Koperasi dan UMKM secara sistematis, berkelanjutan dan terintegrasi secara nasional Visi dan Misi yang ditetapkan tersebut pada prinsipnya bertujuan untuk menjadikan Koperasi, usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai pelaku ekonomi utama dalam perekonomian nasional yang berdaya saing. Dari tujuan secara umum tersebut lebih lanjut dirumuskan tujuan Kementerian Negara Koperasi dan UKM, tahun 2005-2009 sebagai berikut: 1. Mewujudkan kondisi yang mampu menstimulsi, mendinamisasi dan memfasilitasi tumbuh berkembangnya 70.000 (tujuh puluh ribu) unit Koperasi yang sehat usahanya dan 6.000.000 (enam juta) unit UMKM baru. 2. Menumbuhkan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan usaha Koperasi dan UMKM pada berbagai tingkatan pemerintahan. 3. Meningkatkan produktivitas, daya saing dan kemandirian Koperasi dan UMKM pasar dalam dan luar negeri. 4. Mengembangkan sinergi dan peranserta masyarakat dan dunia usaha dalam pemberdayaan Koperasi dan UMKM. 5. Memberikan pelayanan publik yang berkualitas, cepat, tepat, transparan dan akuntabel. Untuk memberikan acuan program pembangunan Koperasi dan UKM yang sejalan dengan agenda pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu dalam jangka pendek, Kementerian Negara Koperasi dan UKM telah menyesuaikan dengan Rencana Kerja Pemerintah, dengan penetapan Rencana Kerja Kementerian. Untuk itu Kemnenterian Koperasi dan UKM telah menetapkan prioritas program yang dilakukan secara berkesinambungan, terpadu dan dinamis sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi. Mengingat masih terdapatnya berbagai persoalan yang dihadapi KUKM, terlebih dalam upayanya untuk menjalankan berbagai terobosan atas diberlakukannya pasar bebas.

31

E.

Pengembangan UMKM di Era Otonomi Daerah Implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 tentang

Pemerintahan Daerah telah membawa paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah serta dalam hubungan antara Pusat dengan Daerah. Kebijakan Otonomi Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku. Dalam rangka implementasi kebijakan Otonomi Daerah, pembinaan terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi perlu menjadi perhatian. Pembinaan terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi bukan hanya menjadi tanggung jawab Pusat tetapi juga menjadi kewajiban dan tanggung jawab Daerah. UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan konsekwensi bahwa pemerintah pusat memberikan hak kepada daerah berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat tersebut merupakan prakarsa daerah sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan bukan lagi merupakan instruksi dari pusat. Sehingga daerah dituntut untuk responsif dan akomodatif terhadap tuntutan dan aspirasi masyarakatnya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 ditetapkan kewenangan Pemerintah (Pusat) di bidang perkoperasian yang meliputi : 1. Penetapan pedoman akuntansi koperasi dan pengusaha kecil dan menengah. 2. Penetapan pedoman tatacara penyertaan modal pada koperasi. 3. Fasilitasi pengembangan sistem distribusi bagi koperasi dan pengusaha kecil dan menengah.

32

4. Fasilitasi kerjasama antar koperasi dan pengusaha kecil dan menengah serta kerjasama dengan badan usaha lain. Sedangkan selain kewenangan tersebut di atas menjadi kewenangan Daerah, termasuk di dalamnya untuk pembinaan terhadap pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Sesuai dengan kewenangan Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat termasuk di dalamnya kepentingan dari pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah maka pembinaan terhadap usaha kecil, menengah dan koperasi perlu dirumuskan dalam suatu pola pembinaan yang dapat memberdayakan dan mendorong peningkatan kapasitas usaha kecil, menengah dan koperasi tersebut. Pola pembinaan tersebut harus memperhatikan kondisi perkembangan lingkungan strategis yang meliputi perkembangan global, regional dan nasional. Disamping itu juga pola pembinaan tersebut hendaknya belajar kepada pengalaman pembinaan terhadap usaha kecil, m eneng ah dan koperasi yang telah dilaksanakan selama ini. Pola pembinaan terhadap usaha kecil, menengah dan koperasi yang ditawarkan untuk meningkatkan kapasitas dan daya saingnya dalam rangka Otonomi Daerah antara lain adalah : 1. Pelaksana program-program pokok pengembangan UKMK yang telah diatur di dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 yang meliputi ; Program Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif, Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif, dan Program Pengembangan Kewirausahaan dan PKMK Berkeunggulan Kompetitif secara terpadu dan berkelanjutan.

33

2. Pelaksanaan program-program pengembangan UKMK yang disusun dengan memperhatikan dan disesuaikan kondisi masing-masing Daerah, tuntutan, aspirasi dan kepentingan masyarakat, serta kemampuan Daerah. 3. Keterpaduan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, masyarakat, lembaga keuangan, lembaga akademik dan sebagainya dalam melakukan pembinaan dan pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi. 4. Pemberdayaan SDM aparatur Pemerintah Daerah agar mampu melaksanakan proses pembinaan dan pengembangan terhadap usaha kecil, menengah dan koperasi. 5. Pengembangan pewilayahan produk unggulan sesuai potensi dan kemampuan yang dimiliki dalam suatu wilayah bagi usaha kecil, m eneng ah dan koperasi dalama rangka meningkatkan daya saing. 6. Mensinergikan semua potensi yang ada di Daerah untuk meningkatkan pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi sehingga mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan implentasi kebijakan Otonomi Daerah. 7. Sosialisasi tentang kebijakan perekonomian nasional dalam rangka memasuki era pasar bebas AFTA (ASEAN Free Trae Area), APEC ( Asia Pacific Cooperation) dan WTO (World Trade Organization) kepada seluruh kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi. Harapannya adalah melalui pola pembinaan yang dikembangkan tersebut didapat outcomes yang yang bersinergi antara kebijakan pembinaan usaha kecil, menengah dan koperasi dengan kebijakan Otonomi Daerah. Sehingga antara kebijakan Otonomi Daerah dengan pembinaan usaha kecil, menengah dan koperasi terdapat simbiosis mutualisma. Implementasi kebijakan Otonomi Daerah akan menentukan bagi keberhasilan pembinaan usaha kecil, menengah dan koperasi serta sebaliknya pelaksanaan pembinaan UKMK akan mendorong keberhasilan

34

pelaksanaan masyarakat.

Otonomi

Daerah,

dalam

rangka

mewujudkan

kesejahteraan

35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


1. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan studi terhadap efisiensi model sinergisitas antara pemerintah daerah dengan UMKM yang ada di daerah. Untuk membatasi masalah, daerah yang diambil sebagai sampel adalah eks karesidenan di Propinsi Jawa Tengah. Pemilihan eks karesidenan karena perekonomian suatu daerah tingkat II tidak hanya ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi daerah tersebut saja namun sangat ditentukan oleh daerah di sekitarnya. Misalnya kabupaten Karanganyar di eks karesidenan Surakarta, tergantung pada kota Solo sebagai media pemasaran dan pusat perdagangan hasil industri di kabupaten Karanganyar. Demikian juga kota Surakarta sangat tergantung pada kabupaten Klaten untuk pemenuhan bahan makanan atau hasil hasil pertanian. Sehingga yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah 1. 2. 3. 4. 5. 6. Karesidenan Banyumas Karesidenan Kedu Karesidenan Surakarta Karesidenan Pati Karesidenan Pekalongan Karesidenan Semarang

Pengukuran efisiensi model sinergisitas akan dihitung dengan menggunakan rasio dari penggunaan input terhadap penggunaan output. Terdapat 2 analisis yang akan dibahas di sini yaitu target yang diambil adalah menurunnya angka pengangguran dan meningkatnya nilai tambah dari sektor usaha/ perusahaan. Apabila target yang diinginkan adalah menurunnya pengangguran maka yang digunakan sebagai input dalam penelitian ini adalah jumlah usaha/ perusahaan

36

yang ada di wilayah eks karesidenan dan jumlah kredit yang diberikan untuk usaha. Sedangkan variabel outputnya adalah jumlah tenaga kerja dan jumlah nilai tambah yang dihasilkan. Apabila target yang diinginkan adalah petumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan nilai tambah, maka yang menjadi variabel input adalah Jumlah usaha, jumlah tenaga kerja dan jumlah kredit yang disalurkan sedangkan variabel outputnya adalah nilai tambah dari usaha/ perusahaan. 2. Jenis Data, Sumber dan Pengumpulannya Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diambil hasil sensus ekonomi tahun 2006. Serta beberapa sumber lain yang relevan. 3. Operasional Variabel Variabel yang digunakan dalam dalam penelitian ini terdiri atas variable input dan variable output. Variabel input merupakan variable masukan yang digunakan untuk mendapatkan variable output. Dalam penelitian ini variabel input dan output bisa didefinisikan sebagai berikut : a. Jumlah usaha/ perusahaan, yaitu keseluruhan jumlah usaha baik usaha mikro, kecil, menengah maupun besar selain sektor pertanian yang ada di eks karesidenan. b. Jumlah kredit yang disalurkan baik oleh lembaga keuangan bank maupun non bank. Maksud dari jumlah kredit yang diberikan ini adalah untuk menunjukkan adanya tambahan investasi yang masuk kepada usaha/ perusahaan di eks karesidenan. c. d. e. Alokasi dana APBD bagi UMKM Jumlah tenaga kerja adalah keseluruhan tenaga kerja yang bisa Nilai tambah yaitu keseluruhan nilai tambah yang bisa diciptakan

diserap oleh berbagai sektor yang ada di usaha/ perusahaan tersebut oleh sekor usaha/ perusahaan.

37

f.

Sumbangan sektor UMKM terhadap PDRB

4. Alat Analisis 4.a. Data Envelopment Analisis Dalam menjawab permasalahan pertama mengenai efisiensi kinerja, atau untuk mengukur efisiensi pengembangan usaha di daerah tersebut akan digunakan alat analisis DEA ( Data Envelopment Analysis ) terdiri atas variable input dan output serta diformulasikan dalam dua asumsi yaitu CRS (Constant Return to Scale ) dan VRS ( Variabel Return to Scale ). Di dalam penelitian ini asumsi yang dipakai adalah Constant Return to Scale karena dengan mempertimbangkan data yang digunakan adalah data akhir untuk setiap tahun sehingga sudah dilakukan penyesuaian atas perubahan perubahan yang mungkin terjadi dalam satu tahun tersebut. DEA digunakan untuk mengukur efisiensi suatu Unit Kegiatan Ekonomi (UKE). Ada tiga manfaat yang diperoleh dari pengukuran efisiensi dengan menggunakan DEA yaitu : a. b. c. Sebagai tolok ukur memperoleh efisiensi relative yang berguna Mengukur berbagai variasi efisiensi antar unit ekonomi untuk Menentukan implikasi kebijakan sehingga dapat meningkatkan Model yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan oleh Miller dan Noulas ( 1996 ). Efisiensi tehnis pada model pengembangan usaha mikro kecil menengah adalah dengan menghitung rasio antara input dan output yang berkaitan dengan pengembangan usaha/ perusahaan. DEA akan menghitung pengembangan usaha mikro kecil menengah yang menggunakan input n untuk menghasilkan

untuk mempermudah perbandingan antar unit ekonomi yang ada. mengidentifikasikan factor factor tingkat efisiensinya.

38

output m yang berbeda. Sehingga alat analisisnya dirumuskan menjadi sebagai berikut : m hs = ui yis / i=1 n vj xjs j=1 .(1)

di mana hs

: = adalah efisiensi tehnis model pengembangan usaha daerah s dalam hal ini adalah karesidenan

ys

= merupakan jumlah output I yang diproduksi oleh usaha/

perusahaan s xjs ui vj = adalah jumlah input j yang digunakan pada pengambangan usaha s = merupakan bobot output I yang dihasilkan oleh karesidenan s = adalah bobot input j yang diberikan oleh usaha/ perusahaan di karesidenan s dan i dihitung dari 1 ke m serta j dihitung dari 1 ke n Persamaan di atas menunjukkan adanya penggunaan satu variable input dan satu variable output. Rasio efisiensi (hs), kemudian dimaksimalkan dengan kendala sebagai berikut : m ui yir / i 1 Di = mana n vj x jr 1 untuk r = 1,N .(2) =1 N j menunjukkan jumlah karesidenan dalam sample.

Pertidaksamaan pertama menunjukkan adanya inefisiensi untuk UKE lain tidak lebih dari 1, sementara pertidaksamaan kedua berbobot positif. Angka rasio akan bervariasi antara 0 sampai dengan 1. Pengembangan usaha di karesidenan

39

dikatakan efisien apabila memiliki angka rasio mendekati 0 menunjukkan efisiensi pengembangan usaha di karesidenan yang semakin rendah ( Miller dan Noulas, 1996 ). Pada DEA, setiap karesidenan dapat menentukan pembobotnya masing masing dan menjamin bahwa pembobot menghasilkan ukuran usaha yang terbaik. Secara grafis pendekatan 1 input dan 1 output,dapat digambarkan sebagai berikut: C B K F G D V yang dipilih akan

Input X

Gambar 3.1 Efisiensi dengan menggunakan pendekatan 1 input & 1 output Tehnologi CRS ditunjukkan oleh frontier OC. Pengembangan usaha di karesidenan dikatakan efisien bila berada pada garis frontier , sedangkan yang berada di luar frontier dikatakan tidak efisien. Beberapa program linear ditransformasikann ke dalam program ordinary linear secara primal atau dual sebagai berikut :

m Maksimisasi hs = ui yis i=1 ..(3)

40

Kendala m ui yir n vj x jr 0 untuk r = 1,N ;

i=1 j=1 n vj x js = 1 di mana ui dan vj 0 (4) j=1 Efisiensi pada masing masing Karesidenan dihitung menggunakan programasi linear dengan memaksimumkan jumlah output yang dibobot dari bank s. Kendala jumlah input yang dibobot harus kurang atau sama dengan 0. Hal ini berarti semua Karesidenan akan berada di bawah referensi kinerja frontier yang merupakan garis lurus yang memotong sumbu origin Minimisasi s n Kendala : r yir yis I = 1 , r =1 m s x js - r xir 0, j = 1 , j =1 Variabel s merupakan efisiensi teknis dan bernilai antara o dan 1. Programasi linier pada persamaan di atas diasumsikan Constant Return to Scale. Efisiensi teknis ( s) diukur dengan menggunakan rasio KF / FS dan bernilai kurang dari 1 sementara (1- s) menerangkan jumlah input yang harus dikurangi untuk menghasilkan output yang sama sebagai bentuk efisiensi bank seperti yang ditunjukkan oleh titik F. Kedua perhitungan tersebut baik minimisasi input dan , n : 0 ; s bebas ,m . ( 5 )

41

maksimisasi output akan memberikan nilai yang relative sama. Dalam penelitian ini efisiensi akan dihitung dari sisi input oriented maupun output oriented.

4.b. Indept Interview Setelah ditemukan penghitungan dengan menggunakan DEA, maka akan diketahui karesidenan mana yang sudah efisiensi secara tehnis kaitannya dengan pengembangan UMKM. Selain itu karesidenan yang belum bisa efisien juga diketahui termasuk di dalamnya letak atau variabel yang menyebabkan terjadinya inefisiensi. Proses berikutnya adalah melakukan Indept interview atau wawancara mendalam dengan sampel kabupaten/ kota yang berada pada karesidenan yang sudah efisien dengan karesidenan yang belum efisien. Tujuan dilakukannya Indept Interview ( wawancara mendalam ) adalah untuk memperdalam dan lebih mengetahui akar permasalahan yang ada dan mencari alternatif solusi secara bersama sama dengan berbagai pihak terkait di daerah tersebut. Wawancara mendalam akan dilakukan pada satu kabupaten/ kota di wilayah karesidenan tersebut. Stakeholder yang akan dijadikan narasumber dalam indept interview adalah biro perekonomian, bupati atau walikota yang dalam hal ini diwakili oleh asisten bidang ekonomi dan pembangunan serta anggota legislatif. Indept interview ini diharapkan bisa memberikan masukan atas model yang ditawarkan oleh peneliti dalam pengembangan ekonomi daerah.

42

BAB IV PEMBAHASAN
A. Kondisi UMKM di Daerah Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan Propinsi Jawa Tengah sebagai sampel dengan menggunakan 6 eks karesidenan sebagai data analisis. Pemilihan eks karesidenan karena perekonomian suatu daerah tingkat II tidak hanya ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi daerah tersebut saja namun sangat ditentukan oleh daerah di sekitarnya. Misalnya kabupaten Karanganyar di eks karesidenan Surakarta, tergantung pada kota Solo sebagai media pemasaran dan pusat perdagangan hasil industri di kabupaten Karanganyar. Demikian juga kota Surakarta sangat tergantung pada kabupaten Klaten untuk pemenuhan bahan makanan atau hasil hasil pertanian. Kondisi pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah cenderung terus meningkat, dari 3,59% pada tahun 2001 menjadi 5,33% pada tahun 2006 tetapi lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi secara nasional yaitu 3,64% pada tahun 2001 dan 5,48% pada tahun 2006. Kontribusi perekonomian Jawa Tengah terhadap nasional dalam periode yang sama menunjukkan trend yang meningkat, walaupun relatif kecil antara 8,10 sampai 8,5%. Sedangkan 5 kabupaten / kota terbesar yang mempunyai penyebaran usaha menengah besar, terbesar adalah Kota Semarang, Kabupaten Jepara, kota Surakarta, kabupaten Banyumas dan kabupaten Klaten. Sedangkan 5 kabupaten kota dengan penyebaran usaha terkecil adalah kabupaten Purbalingga, kabupaten Banjarnegara, kota Salatiga, kabupaten Temanggung dan kota Magelang. Sedangkan untuk penyebaran usaha mikro kecil dengan penyebaran terbesar adalah kabupaten Banyumas, kabupaten Cilacap, kabupaten Brebes, kabupaten Kebumen, dan kota Semarang. Sementara penyebaran usaha mikro kecil

43

dengan jumlah terendah adalah Kabupaten Rembang, kota Pekalongan, kota Tegal, kota Salatiga dan kota Magelang. Perkembangan usaha perusahaan di Jawa Tengah dari tahun 1986 sampai tahun 1996 meningkat 37,71 % sedangkan dari tahun 1996 sampai tahun 2006 meningkat 29,82%. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor jasa dan keuangan sebesar 47,05% dari 291.990 usaha pada tahun 1996 menjadi 429.370 usaha pada tahun 2006. Sementara sektor sektor lainnya mengalami pekembangan yang paling kecil yaitu 12,92%. Hasil Sensus Ekonomi tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah usaha/ perusahaan di Jawa Tengah menunjukkan bahwa terdapat 3.692.277 unit usaha. Potensi tersebut menenpati urutan ketiga setelah Jawa Barat dan Jawa Timur. Berdasarkan kategori/ lapangan usaha, jumlah usaha/ kategori usaha perdagangan yang tercatat adalah 1,58 juta unit atau 42,28% dari jumlah usaha yang ada di Jawa Tengah. Lapangan usaha terbesar kedua adalah industri pengolahan yaitu sebanyak 834 ribu unit ( 22,59%). Sedangkan jumlah usaha terendah adalah lapangan usaha listrik, gas dan air minum yang hanya tercatat sebanyak 989 unit usaha atau sekitar 0,03% dari total usaha. Secara detail sebaran sektor usaha di Jawa Tengah menurut kategori adalah sebagai berikut :

44

Tabel 4.1 Sebaran Usaha menurut kategori / sektor usaha Kategori Pertambangan & penggalian Industri pengolahan Listrik gas dan air Konstruksi Perdagangan besar / eceran Akomodasi dan makan minum Transportasi, pergudangan dan komunikasi Perantara keuangan Real estate persewaan dan jasa perusahaan Jasa pendidikan Jasa kesehatan dan kegiatan sosial Jasa kemasyarakatan dan sosial budaya Jasa perorangan yang melayani rumah tangga Jumlah Sumber : Sensus Ekonomi 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Jumlah Usaha 63.961 834.035 989 10.607 1.581.020 451.876 320.418 14.634 78.251 53.135 29.274 240.326 13.751 3.692.277 Dist % 1,73% 22,59% 0,03% 0,29% 42,82% 12,24% 8,68% 0,40% 2,12% 1,44% 0,79% 6,51% 0,37% 100,00%

Dari hasil Sensus Ekonomi 2006, di Jawa Tengah terserap sejumlah 7,78 juta tenaga kerja yang tersebar di seluruh sektor ekonomi selain pertanian. Sektor Industri Pengolahan dan Perdagangan menyerap tenaga kerja terbanyak, masing masing 2,64 juta orang dan 2,43 juta orang. Kedua sektor ini menyerap hampir 65% dari seluruh tenaga kerja di Jawa Tengah. Secara detail tenaga kerja menurut kategori / sektor bisa ditunjukkan sebagai berikut :

45

Tabel 4.2 Tenaga Kerja menurut kategori / sektor di Jawa Tengah Kategori Pertambangan & penggalian Industri pengolahan Listrik gas dan air Konstruksi Perdagangan besar / eceran Akomodasi dan makan minum Transportasi, pergudangan dan komunikasi Perantara keuangan Real estate persewaan dan jasa perusahaan Jasa pendidikan Jasa kesehatan dan kegiatan sosial Jasa kemasyarakatan dan sosial budaya Jasa perorangan yang melayani rumah tangga Jumlah Sumber : Sensus Ekonomi 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Jumlah Usaha 98.306 2.622.078 21.015 59.471 2.432.552 709.913 418.635 117.662 168.470 591.692 108.551 409.379 17.576 7.775.300 Dist % 1,26% 33,72% 0,27% 0,76% 0,76% 9,13% 5,38% 1,51% 2,17% 7,61% 1,40% 5,27% 0,23% 100,00%

Di Propinsi Jawa Tengah apabila dilihat dari skala usaha, usaha mikro yang paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu mencapai 67,02%, disusul usaha kecil yang mencapai 19,74%. Kedua skala usaha tersebut ( mikro dan kecil ), telah menampung tenaga kerja 86,76 % dari kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Usaha menengah dan besar masing masing hanya menampung 5,12% dan 7,82%. Secara rata rata penyerapan tenaga kerja pada usaha kecil hanya menyerap sekitar 3,02 tenaga kerja. Artinya secara rata rata masing masing usaha kecil di Jawa Tengah menggunakan 3 orang tenaga kerja untuk melakukan proses produksinya. B. Pembahasan dengan Analisis Data Envelopment Analysis Pembahasan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis DEA yaitu dengan membandingkan antara input dengan output yang berpengaruh

46

terhadap perkembangan usaha di suatu daerah. Dalam penelitian ini terdapat 2 target yang ingin dicapai untuk itu akan dilakukan dua pembahasan secara terpisah. B.1. Target nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja Target yang ingin diraih adalah terserapnya tenaga kerja yang ada di daerah, sehingga untuk melihat tingkat efisiensi dalam pengembangan ekonomi di daerah yang digunakan sebagai variabel input adalah jumlah kredit yang dikucurkan dan jumlah usaha yang ada baik dalam skala besar menengah, kecil maupun mikro. Sedangkan yang menjadi variabel output adalah jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang ada di daerah. Pemilihan kredit sebagai variabel input dikarenakan kredit diharapkan akan bisa memberikan tambahan investasi yang ada di daerah dan digunakan untuk usaha produksi sehingga akan mampu menggerakkan roda perekonomian di daerah tersebut. Hal ini akan sinkron dengan jumlah UMKM yang ada di daerah. Dari data di lapangan diperoleh bahwa input dan otuput yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

47

Tabel 4.3 Data input output yang digunakan dalam analisis penelitian
No Nama Karesidenan Jml usaha 587947 614987 711418 470795 724789 582341 3692277 TK 1136796 1262518 1553798 1118785 1347222 1356181 7775300 Kredit 54934646 47239197 130757669 91685418 71411300 226093023 622121253 Nilai Tambah 39534725 18014529 34819409 35163487 26553634 44192866 198278650

1 Banyumas 2 Kedu 3 Surakarta 4 Pati 5 Pekalongan 6 Semarang Jumlah Propinsi

Sumber : Data lapangan diolah Keterangan : Variabel input Jumlah usaha dan kredit yang diberikan Variabel output jumlah tenaga kerja dan nilai tambah Setelah dilakukukan pengolahan dengan menggunakan analisis DEA

diperoleh hasil terdapat 2 daerah yang tidak efisien yaitu Karesidenan Surakarta dan Karesidenan Pekalaongan yang mempunyai tingkat efisiensi 93,08 % untuk karesidenan Surakarta dan 88,78% untuk karesidenan Pekalongan. Sumber inefisiensi terjadi baik pada variabel input maupun output. Inefisiensi yang terjadi pada variabel input menunjukkan bahwa terjadi pemborosan atau pengangguran dari masing masing variabel yang membentuk output, artinya di kedua daerah tersebut masih harus dilakukan optimalisasi. Kebijakan yang dilakukan dimasing masing kabupaten/ kota yang berada di wilayah karesidenan harus bisa disinkronkan agar bisa saling dukung untuk pengembangan bersama. Secara rinci hasil perhitungan analisis DEA bisa ditunjukkan dalam tabel berikut ini :

48

Tabel 4.4 Data input output yang digunakan dalam analisis penelitian
No Nama Karesidenan Efisiensi 100,00 % 100,00 % 93,08 % 100,00 % 88,78 % 100,00 % UKE 1 UKE 2 UKE 4 UKE 2 UKE 4 BENCHMARK

1 Banyumas 2 Kedu 3 Surakarta 4 Pati 5 Pekalongan 6 Semarang Jumlah Propinsi

Sumber : Data lapangan diolah Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa karesidenan Surakarta akan mencapai tingkat efisiensi bila mengacu pola pengembangannya pada Karesidenan Kedu dan Karesidenan Pati. Sementara karesidenan Pekalongan akan mencapai tingkat efisiensi maksimal apabila mengacu pada karesidenan Banyumas, karesidenan Kedua dan Karesidenan Pati. Apabila ditunjukkan satu persatu maka akan ditunjukkan hasil seperti dalam tabel sebagai berikut : Tabel 4.5 Hasil pengolahan data di karesidenan Pekalongan dengan menggunakan DEA Variabel Aktual Jumlah usaha 724.789 Kredit 71.411.300 Tenaga Kerja 1.347.222 Nilai Tambah 26.553.634 Sumber : Data lapangan diolah Target 681.731 67.168.954 1.427.256 28.131.111 To Gain 5,9 % 5,9 % 5,9 % 5,9 % Acheived 94,1 % 94,1 % 94,1 % 94,1 %

Dari hasil pengolahan data di lapangan bisa diketahui bahwa ternyata sumber inefisiensi di karesidenan Pekalongan terletak di setiap lini baik input

49

maupun output. Di mana Jumlah usaha yang ada yaitu sebesar 724.789 bisa menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi yaitu sebesar 28.131.111 dan juga bisa menyerap tenaga kerja yang lebih banyak yaitu sebesar 1.427.256. Atau bisa dikatakan dengan nilai tambah sebesar 26.553.634 bisa diciptakan hanya dengan jumlah usaha sebanyak 681.731. Artinya telah terjadi pemborosan atau tidak optimalnya usaha dalam menciptakan nilai tambah. Berikut ini hasil pengolahan data untuk karesidenan Surakarta Tabel 4.6 Hasil pengolahan data di karesidenan Surakarta dengan menggunakan DEA Variabel Aktual Jumlah usaha 711.418 Kredit 130.757.669 Tenaga Kerja 1.553.798 Nilai Tambah 34.819.409 Sumber : Data lapangan diolah Target 685.937 126.074.430 1.609.449 48.341.828 To Gain 3,6 % 3,6 % 3,6 % 38,00 % Acheived 96,4 % 96,4 % 96,4% 72,00%

Dari hasil pengolahan data di lapangan bisa diketahui bahwa ternyata sumber inefisiensi di karesidenan Surakarta terletak di setiap lini baik input maupun output. Dari sisi jumlah usaha yang ada yaitu sebesar 711.418 hanya menciptakan nilai tambah sebesar 34.819.309, padahal dengan kombinasi kredit yang diberikan diharapkan bisa mencapai target nilai tambah sebesar 48.341.828 . Dari sisi tenaga kerja dengan kombinasi kedua input tersebut seharusnya bisa menciptakan tenaga kerja 1.609.449 sementara yang saat ini tercapai baru 34.819.409. Atau bisa dikatakan untuk menciptakan nilai tambaha dan tenaga kerja sebesar aktul, cukup diperlukan jumlah usaha sebesar 685.937 unit usaha dan kredit investasi sebesar 126.074.430 juta. Artinya telah terjadi pemborosan atau tidak optimalnya usaha dan pemberian kredit dalam menciptakan nilai tambah dan membuka / menyerap tenaga kerja.

50

Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa tingkat efisiensi tidak ditunjukkan oleh besar kecilnya masing masing variabel input dn otuput namun lebih mengacu pada bagaimana masing masing variabel bisa bersinergi untuk menciptakan efisiensi sesuai dengan yang diharapkan. B.2. Target Pertumbuhan nilai tambah Pada penelitian dengan target ini, yang lebih ditekankan adalah besarnya nilai tambah yang ada di masing masing karesidenan yaitu dengan menggunaan variabel nilai tambah sebagai variabel keluaran atau output sementara variabel inputnya adalah jumlah usaha/ perusahaan yang ada di karesidenan tersebut, jumah kredit yang disalurkan dan jumlah tenaga kerja yang ikut masuk dalam usaha/ perusahaan tersebut. Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan alat analisis DEA maka bisa diketahui bahwa terdapat 3 karesidenan yang belum mencapai tingkat efisiensi yaitu karesidenan Kedu, karesidenan Surakarta dan kresidenan Pekalongan. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa masing masing karesidenan tersebut mempunyai tingkat efisiensi yang relatif rendah dibandingkan yaitu sebesar 52,99 % untuk karesidenan Kedu, 56,67% untuk karesidenan Pekalongan dan 68,19% untuk karesidenan Surakarta.

51

Tabel 4.7 Data input output yang digunakan dalam analisis penelitian
No Nama Karesidenan Efisiensi 100,00 % 52,99 % 68,19 % 100,00 % 56,57 % 100,00 % UKE 1 UKE 1 UKE 1 UKE 4 UKE6 BENCHMARK

1 Banyumas 2 Kedu 3 Surakarta 4 Pati 5 Pekalongan 6 Semarang Jumlah Propinsi

Sumber : Data lapangan diolah Dari hasil olahan data tersebut di atas, bisa diketahui bahwa masing masing daerah / karesidenan bisa mengacu pada daerah daerah benchmark bila akan mengoptimalkan inputnya agar bisa menghasilkan output yang efisien khususnya dalam pengembangan ekonomi daerah. Di dalam pembahasan berikutnya akan dilakukan dengan metode indept interview, dengan jajaran terkait. Untuk itu maka akan ditunjukkan satu persatu karesidenan yang belum mencapai tingkat efisiensi 100%, yaitu terdiri dari, karesidenan Kedu, karesidenan Surakarta dan karesidenan Pekalongan. Seperti dalam analisis sebagai berikut:

52

B.2.1. Karesidenan Kedu Pengolahan data di karesidenan Kedu diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 4.8 Hasil pengolahan data di karesidenan Kedu dengan menggunakan DEA Variabel Aktual Jumlah usaha 614.987 Tenaga Kerja 1.262.518 Kredit 47.239.197 Nilai Tambah 18.014.529 Sumber : Data lapangan diolah Target 350.228 677.166 32.723.482 23.550.054 To Gain 43 % 46,4% 30,7% 30,7% Acheived 56 % 53,6 % 69,3% 76,5%

Dari hasil pengolahan data di lapangan bisa diketahui bahwa ternyata sumber inefisiensi di karesidenan Kedu terletak di setiap lini baik input maupun output. Di mana dengan jumlah usaha yang ada yaitu sebesar 614.987 , jumlah tenaga kerja 1.262.518, Kredit sebesar 47.239.197 juta seharusnya bisa menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi yaitu sebesar 23.550.054 juta bukan hanya senilai 18.014.529 juta. Atau dengan kata lain untuk menciptakan nilai tambah sebesar 18.014.529 juta tersebut, cukup dengan jumah usaha sebesar 350.228, tenaga kerja 677.166 dan kredit sebesar 32.723.482 juta. Artinya telah terjadi pemborosan atau tidak optimalnya usaha , tenaga kerja dan kredit dalam menciptakan nilai tambah.

53

B.2.2. Karesidenan Pekalongan Pengolahan data di karesidenan Pekalongan diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 4.8 Hasil pengolahan data di karesidenan Pekalongan dengan menggunakan DEA Variabel Aktual Jumlah usaha 724.789 Tenaga Kerja 1.347.222 Kredit 71.411.300 Nilai Tambah 26.553.634 Sumber : Data lapangan diolah Target 504.097 974.673 47.100.218 33.896.535 To Gain 30,4 % 27,7 % 34 % 27,7 % Acheived 69,6 % 72,3 % 66 % 78,3 %

Dari hasil pengolahan data di lapangan bisa diketahui bahwa ternyata sumber inefisiensi di karesidenan Pekalongan terletak di setiap lini baik input maupun output. Di mana dengan jumlah usaha yang ada yaitu sebesar 724.789 , jumlah tenaga kerja 1.347.222, Kredit sebesar 71.411.634 juta seharusnya bisa menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi yaitu sebesar 33.896.535 juta bukan hanya senilai 26.553.634 juta. Atau dengan kata lain untuk menciptakan nilai tambah sebesar 26.553.634 tersebut, cukup dengan jumah usaha sebesar 504.097, tenaga kerja 974.673 dan kredit sebesar 47.100.218 juta. Artinya telah terjadi pemborosan atau tidak optimalnya usaha , tenaga kerja dan kredit dalam menciptakan nilai tambah.

54

B.2.3. Karesidenan Surakarta Pengolahan data di karesidenan Surakarta diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 4.8 Hasil pengolahan data di karesidenan Surakarta dengan menggunakan DEA Variabel Aktual Jumlah usaha 711.418 Tenaga Kerja 1.553.798 Kredit 130.757.669 Nilai Tambah 34.819.409 Sumber : Data lapangan diolah Target 576.849 1.259.889 106.024.190 41.405.677 To Gain 18,9 % 18,9 % 18,9 % 18,9 % Acheived 81,1 % 81,1 % 81,1 % 84,1 %

Dari hasil pengolahan data di lapangan bisa diketahui bahwa ternyata sumber inefisiensi di karesidenan Pekalongan terletak di setiap lini baik input maupun output. Di mana dengan jumlah usaha yang ada yaitu sebesar 711.418 , jumlah tenaga kerja 1.553.798, Kredit sebesar 130.757.669 juta seharusnya bisa menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi yaitu sebesar 41.405.677 juta bukan hanya senilai 34.819.409 juta. Atau dengan kata lain untuk menciptakan nilai tambah sebesar 34.819.409 tersebut, cukup dengan jumah usaha sebesar 576.849, tenaga kerja 1.259.889 dan kredit sebesar 106.024.190 juta. Artinya telah terjadi pemborosan atau tidak optimalnya usaha , tenaga kerja dan kredit dalam menciptakan nilai tambah. Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan DEA maka bisa diketahui bahwa di mana letak inefisiensi yang adalah dalam menciptakan output yang diharapkan. Kondisi di lapangan dari 6 karesidenan yang ada di Jawa Tengah, ternyata terdapat optimal. beberapa karesidenan yang belum mencapai efisiensi secara

C. Penghitungan Efisiensi pada sektor Industri dan Agro Industri

55

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang sangat berlimpah memerlukan pengelolaan yang cermat dan profesional. Sumber daya alam Indonesia belum banyak memberikan kontribusi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Bahan baku pertanian baik yang berupa hasil pertanian sendiri, hasil perikanan dan perkebunan merupakan modal besar untuk mengembangkan negara ini menjadi negara yang memiliki kekuatan pengalaman sangatlah untuk berkompetisi saat di yang perdagangan lalu, ternyata modern global. produk dan Berdasarkan pertanian di beberapa

memberikan kontribusi bagi perkembangan perekonomian negara, sehingga tepat pengembangan agroindustri profesional Indonesia saat ini. Sektor pertanian di Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan jumlah penduduk yang terus tumbuh, sektor Industri yang berkembang dengan cepat dan berubahnya pola pikir masyarakat di Indonesia. Dengan terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 1999 pertumbuhan penduduk yang dalam dasawarsa terakhir bisa ditekan dengan program Keluarga Berencana ( KB ) sampai mencapai angka 1,5% pertahun, kembali melonjak sampai mencapai 2,91% pada tahun 2001. Pertumbuhan jumlah penduduk tersebut mempunyai dua konsekwensi yang bertolak belakang yaitu menuntut pertambahan jumlah kebutuhan pangan dan yang kedua semakin dibutuhkannya sarana perumahan yang otomatis akan mengurangi lahan pertanian. Sementara sektor industri mempengaruhi pertanian dengan semakin banyaknya tenaga kerja yang memilih terjun di sektor industri dibandingkan sektor pertanian, juga dari sisi kebutuhan untuk lahan pabrik yang menyebabkan luas lahan untuk pertanian berkurang cukup banyak. Bagi Negara yang Sedang berkembang, di mana pertanian merupakan bidang yang multidimensional tidak saja menyentuh masalah ekonomi dan

56

perdagangan tetapi juga berkait dengan masalah sosial kultural, beberapa hasil keputusan tersebut dirasa sangat merugikan karena dengan tehologi yang masih sangat terbatas dengan kata lain masih kalah jauh dengan tehnologi di negara yang sudah maju, maka kebijakan tersebut akan menyebabkan hasil pertanian dalam negeri terpinggirkan diserbu oleh hasil produksi dari negara yang sudah maju. Untuk mensinergiskan pembangunan sektor pertanian, perikanan dan kehutanan, diperlukan rumusan strategi dan kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Revitalisasi pertanian mengan-dung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual; dalam arti menyegarkan kembali vitalitas; memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. Revitalisasi bukan dimaksudkan membangun pertanian at all cost dengan cara-cara yang top-dwon sentralistik; bukan pula orientasi proyek untuk menggalang dana; tetapi revitalisasi adalah menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir masyarakat melihat pertanian tidak hanya urusan bercocok tanam yang sekedar hanya menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi Dalam proses produksi pertanian, untuk dapat menghasilkan out put diperlukan penggunaan berbagai input. Input (Mosher, 1981) diartikan sebagai sesuatu yang digunakan dalam proses produksi untuk memperoleh hasil tertentu. Berbagai upaya yang telah ditempuh, pada kenyataannya hasil pengujian usaha tani dan penelitian teknis agronomis. Berbagai kendala yang belum dapat diatasi oleh petani, menyebabkan rendahnya produktivitas dan pendapatan di tingkat usaha tani. Sehubungan dengan (Soekartawi, 1990) tingkat teknologi yang diterapkan dalam berusaha tani belum memadai dalam memacu peningkatan produktivitas dan

57

kualitas produk komoditas pertanian untuk tujuan ekspor. Hal ini karena sistem produksi komoditas belum mendukung pengembangan agribisnis yang efisien. Para ekonom pembangunan mempunyai konsensus bahwa laju pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak hanya berkaitan dengan masalah jumlah tapi juga berkait erat dengan masalah kesejahteraan manusia, karena tidak hanya berdampak buruk terhadap suplai bahan pangan, namun juga semakin membuat kendala bagi pengembangan tabungan, cadangan devisa dan sumber daya manusia. Sebenarnya penurunan peranan sektor pertanian dan meningkatnya peranan industri pengolahan merupakan hal yang lazim dalam transformasi produksi. Namun menurut Agung Riyardi,2001, penurunan tersebut menimbulkan permasalahan karena alasan sebagai berikut : 1. Sektor pertanian terkait erat dengan kehidupan sebagian besar masyarakat. Bahkan sektor pertanian merupakan bagian integral dari ketahanan negara, yaitu melalui food security ( ketahanan pangan ). Apabila sektor tanaman
pangan mengalami penurunan dan rendahnya hasil produksi, maka kebutuhan

pokok berupa makanan tidak terpenuhi. Untuk menutupi kekurangan produksi maka dilakukan import yang dikhawatirkan akan menurunkan bargaining power negara kita. 2. Di dalam sektor pertanian sendiri, masih terdapat hal-hal yang perlu dipecahkan, yang muara permasalahnnya, menurut Mubyarto,1999, terdapat pada pembangunan sektor pertanian yang tidak berkelanjutan. Tanda bahwa pembangunan sektor pertanian ini tidak berkelanjutan adalah merosotnya harga hasil produksi sementara biaya produksi terus meningkat dan kedua masih sedikitnya kepedulian pemerintah terhadap sektor pertanian. Mubyarto dalam Reformasi Sektor Ekonomi, 1999, mengemukakan bahwa dalam pertanian rakyat, revolusi hijau yang membuka peluang petani kecil untuk mengadopsi berbagai tehnologi biologi dan kimia yang unggul ternyata juga

58

telah dijadikan ajang pengerukan keuntungan perusahaan obat-obatan dan pupuk kimia modern. Perusahaan modern agribisnis dan agroindustri ini melalui koneksi besar. Jadi dalam kegiatan pertanian yang mengacu pada ketahanan pangan, bukan hanya permasalahan intensifikasi ( untuk daerah Jawa dan Bali ) dan ekstensifikasi (Untuk daerah luar Jawa dan Bali ) yang terdiri atas penggunaan bibit unggul, pupuk dan obat obatan pemberantas hama, namun yang tidak kalah penting adalah pola distribusi sarana sarana tersebut untuk sampai kepada petani dengan menggunakan mekanisme pasar yang adil. Kompleksitas perolehan output (efektivitas) dan efisiensi faktor produksi dipengaruhi oleh faktor produk, lingkungan, manusia dan proses (Sinungan, 1987). Keempat faktor tersebut berlangsung secara fungsional, artinya peningkatan produktivitas ditentukan oleh kondisi optimal dari aplikasi keempat faktor tersebut yang saling mempengaruhi. a. Faktor Produk Aplikasi faktor produk bagi petani dapat memberikan tanggapan atau persepsi yang berbeda-beda. Dalam hal ini, apakah petani mengejar kualitas, atau kuantitas dan atau kombinasi keduanya. Semua faktor tersebut akan mempengaruhi produktivitas yang akan diperoleh. Faktor produk sangat berkaitan erat dengan penggunaan input antara lain benih tanaman, pemupukan, pengairan dan penggunaan sarana produksi yang lain, termasuk di dalamnya pemanfaatan tehnologi. Permasalahan yang tidak bisa ditinggalkan dalam faktor produk ini adalah pengolahan pasca panen sehingga produk pertanian bisa tahan lebih lama. dengan pejabat-pejabat pemerintah dengan berbagai cara berbisnis dengan petani padi dan tanaman lain dengan meraup keuntungan

59

b. Faktor Lingkungan Selanjutnya berkaitan dengan kemajuan tehnologi terdapat 2 dampak bagi kualitas hidup manusia. Yang pertama dengan adanya tehnologi maka peningkatan secara materiil terjadi, bertambahnya pendapatan yang berdampak pada peningkatan kualitas konsumsi seseorang yang pada gilirannya akan meningkatkan GNP suatu negara. Dengan semakin tingginya pendapatan nasional maka kemakmuran akan semakin tinggi, dan masyarakat akan semakin sadar akan kebutuhan lingkungan yang sehat dan bersih. Yang kedua merupakan dampak negatif dari kemajuan tehnologi yaitu adanya penurunan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh emisi rumah kaca dan limbah yang diakibatkan aktifitas produksi maupun konsumsi. Hal hal tersebut bisa memunculkan fenomena pemanasan global yang akan menurunkan kualitas atmosfer di bumi. Pada akhirnya akan kembali menurunkan kualitas hidup manusia. Faktor lingkungan harus mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah dan masyarakat agar pemanfaatannya bisa langgeng dan berwawasan ke depan. c. Faktor Manusia Pendidikan memberikan pengetahuan bukan saja yang langsung dengan pelaksanaan tugas, akan tetapi juga merupakan suatu landasan untuk mengembangkan diri serta kemampuan memanfaatkan semua sarana yang ada di sekitar kita untuk melancarkan pelaksanaan tugas, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi tingkat produktivitas kerja (Simanjuntak,1985). Petani yang melek huruf, yang sekurang-kurangnya mengenyam pendidikan dasar, dianggap lebih tanggap dalam menerima teknologi pertanian baru dibanding dengan petani-petani yang buta huruf (Todaro, 1987). Kemajuan dalam tingkat pendidikan tentu akan menuntun seseorang untuk meningkatkan pengalaman kerjanya, salah satu usaha untuk meningkatkan pendidikan tersebut ditempuh melalui penyuluhan. Dari segi lain pengalaman berusaha tani merupakan

60

guru yang paling baik, yang akan mempengaruhi perilaku seseorang di dalam meningkatkan produktivitas. Untuk mencapai tujuan pendidikan setiap yang belajar harus mendapatkan pengalaman yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk berlatih melakukan perilaku seperti yang dimaksudkan, dengan demikian pengalaman belajar akan mempengaruhi aktivitas dalam usaha tani (Sugarda, 1975). Penyuluhan berupa pemberian pendidikan dan pelatihan bagi petani merupakan hal sangat penting. Hal ini erat kaitannya dengan corak usaha tani yang subsistem, di mana kepala keluarga juga bertindak sebagai manajer usaha tani. Sebagai manajer usaha tani akan tetap berusaha sesuai dengan tingkat kemampuannya untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya termasuk modal usaha tani. d. Faktor Proses Faktor proses yang mempengaruhi produktivitas ditekankan pada penggunaan teknologi yang diterapkan petani dengan variasi-variasi tertentu. Pengukuran yang dilakukan adalah melalui efisiensi ekonomi faktor-faktor produksi yang bekerja sama dengan input lainnya secara multikatif. Pembangunan pertanian dalam kerangka system agribisnis merupakan suatu rangkaian dan keterkaitan dari : 1. Sub agribisnis hulu (upstream agribusiness) yaitu seluruh kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi bagi pertanian primer (usahatani); 2. Sub agribisnis usahatani (on-farm agribusiness) atau pertanian primer, yaitu kegiatan yang menggunakan sarana produksi dan sub agribisnis hulu untuk menghasilkan komoditas pertanian primer. Sub ini di Indonesia disebut pertanian;

61

3. Sub agribisnis hilir (down-stream agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi produk olahan baik bentuk produk antara (intermediate product) maupun bentuk produk akhir (finished product); 4. Sub jasa penunjang yaitu kegiatan yang menyediakan jasa bagi ketiga sub agribisnis di atas. Pengembangan usaha agribisnis merupakan upaya meningkatkan kuantitas, kualitas menajemen, dan kemampuan untuk melakukan usaha secara mandiri, dan memanfaatkan perluan pasar dari pelaku agribisnis. Pelaku utama agribisnis adalah petani dan dunia usaha meliputi usaha rumah-tangga, usaha kelompok, koperasi, usaha menengah, maupun usaha besar. Pelaku agribisnis tersebut merancang, merekayasa dan melakukan kegiatan agribisnis itu sendiri mulai dari identifikasi pasar yang kemudian diterjemahkan kedalam proses produksi. Pemerintah memberikan fasilitas dan mendorong berkembangnya usaha-usaha agribisnis tersebut. Salah satu industri agrobisnis besar di Indonesia adalah pada sektor pangan. Industri pangan merupakan industri yang merubah input dari hasil pertanian berupa produk pangan menjadi produk pangan yang bernilai tambah dan dapat diterima oleh konsumen. Industri pangan memegang peranan penting dalam memasok kebutuhan pangan suatu daerah serta meningkatkan perekonomian masnyarakat. Di Indonesia, industri pangan sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan Badan Pusat Statistik (BPS) pernah mengeluarkan hasil risetnya pada tahun 2004 bahwa sumbangsih perdagangan dalam negeri banyak diperankan oleh UKM. Dari seluruh produksi UKM yang sebesar Rp 1.107,54 triliun, sekitar Rp 439,86 triliun atau 39,72 persennya berasal dari nilai produksi yang diberikan UKM

62

berbasis pangan. Jadi, sudah seharusnya perhatian tertuju pada kekuatan UKM dalam membangun ketahanan pangan di Indonesia. Dunia umumnya dan Bangsa Indonesia khususnya saat ini sedang dilanda oleh kenaikan harga pangan. Menurut penelitian The Economic Research Service di AS yang dipublikasikan majalah Amber Waves terbitan 1 Februari 2008, fenomena global faktor penyebab naiknya harga pangan adalah: pertama, karena lebih banyak penduduk yang mampu mengonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih; dan kedua, karena beberapa komoditi pangan digunakan sebagai bahan bakar. Hal yang paling ditakutkan adalah kenaikan harga pangan yang terjadi saat ini dapat mempengaruhi stabilitas produksi industri pangan di Indonesia mengingat bahan baku industri pangan mengalami kenaikan. Apabila hal tersebut terjadi maka dapat mempengaruhi suplai produk pangan dari industri ke konsumen baik kuantas maupun kualitasnya. Bila stabilitas industri pangan di Indonesia menurun akibat kenaikan harga pangan maka dapat mengakibatkan penurunan pasokan produk makanan olahan serta dapat meningkatkan harga produk. Bila pasokan produk pangan rendah akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan daerah. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya masalah agrobisnis harus memperoleh tanggapan yang cukup serius dalam kerangka pengembangan ekonomi lokal. Pemerintah daerah menyadari hal tersebut sehingga menempatkan agro industri sebagai salah satu titik sentral pengembangan ekonomi. Namun banyak pendapat yang menyatakan bahwa bahwa agro industri belum mampu menyaingi industri manufaktur. Untuk itu maka akan dicoba untuk melakukan uji efisiensi terhadap kedua jenis industri tadi khususnya di Jawa Tengah. Berdasarkan data BPS bisa diketahui bahwa perkembangan industri dan agroindustri pada 5 tahun terakhir adalah sebagai berikut : Tabel 4.9

63

Perbandingan unit usaha menurut Jenis Industri di Jawa Tengah tahun 2002 2006
Jenis Industri Agroindustri Besar Kecil & Menengah Industri Besar Kecil & Menengah 2002 2003 2004 2005 2006 324.619 324. 709 324.778 324.796 324.836 220 225 254 262 268 324.399 324.484 324.524 324.534 324.568 319.599 319.645 319.660 319.905 319.948 469 470 472 486 496 319.130 319.175 319.188 319.419 319.452

Sumber : data Jawa Tengah Dalam Angka tahun 2007 Tabel di atas menunjukkan perbandingan jumlah unit usaha antara industri manufaktur dengan agroindustri. Secara jumlah agroindustri mempunyai jumlah unit usaha yang lebih banyak khususnya dalam industri kecil dan menengah. Namun untuk industri pada skala besar, jumlah unit usaha industri manufaktur lebih banyak bahkan hampir dua kali lipat dibandingkan agroindustri. Hal ini menunjukkan bahwa agroindustri lebih banyak dilakukan oleh usaha kecil menengah yang bersifat home industri. Pada tabel 4.10 berikut akan ditunjukkan perbandingan tenaga kerja antara industri manufaktor dan agroindustri. Ternyata penyerapan tenaga kerja untuk industri manufaktur lbih banyak dibandingkan dengan agroindustri. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, untuk industri manufaktur lebih banyak tenaga keja pada skala industri kecil menengah namun pada agroindutsri lebih banyak pada usaha besar. Hal ini menunjukkn bahwa industri besar pada manufaktu lebih cenderung bersifat pada modal sementara pada agroindustri lebih banyak pada padat tenaga kerja. Untuk lebih jelas bisa dilihat pada tabel 4.10 berikut ini : Tabel 4.10 Perbandingan banyaknya tenaga kerja menurut jenis industri di Jawa Tengah 2002 2006
Jenis Industri Agroindustri 2002 2003 2004 2005 2006 1.389.664 1.399.264 1.424.744 1.441.83 1.460.217 4

64

Besar Kecil Menengah Industri Besar Kecil Menengah

439.362 950.302 1.727.503 119.584 1.607.919

444.362 954.902 1.737.503 122.584 1.614.919

444.382 444.402 954.902 997.432 1.737.503 1.773.815 122.584 134.769 1.614.919 1.639.046

449.039 1.011.178 1.797.890 136.175 1.661.635

Sumber : data Jawa Tengah Dalam Angka tahun 2007 Tolok ukur input yang berikutnya dalah nilai investasi yang dimasukkan pada masing masing industri seperti ditunjukkan pada tabel 4.11 berikut ini. Dari data tersebut diperoleh bahwa nilai investasi untuk industri manufaktur khususnya skala besar jauh lebih banyak dibandingkan agrobisnis, hampir tiga kali lipat. Hal ini sejalan dengan analisis di atas bahwa pada sektor indutsri manufaktur lebih ditekankan pada padat modal, khususnya untuk alat alat dan pengembangan tehnologi. Secara lebih detail, data investasi akan ditunjukkan dalam tabel berikut ini :

Tabel 4.11 Perbandingan nilai investasi menurut jenis industri di Jawa Tengah 2002 - 2006
Jenis Industri Agroindustri Besar Kecil & Menengah Industri Besar Kecil & Menengah 2002 2003 2004 2005 2006 3.635.044 3.724.164 3.741.003 3.911.230 3.946.441 3.142.544 3.202.544 3.218.568 3.378.485 3.400.800 492.500 521.620 522.435 532.745 545.641 9.733.148 9.823.789 9.860.768 9.990.399 9.980.614 9.091.745 9.151.745 9.175.644 9.058.272 9.118.102 641.403 672.044 685.124 842.127 862.512

Sumber : data Jawa Tengah Dalam Angka tahun 2007 Pada sisi output akan dilihat dari nilai produksi yang berhasil dibukukan oleh masing masing jenis industri. Terjadi hal yang cukup menggembirakan bahwa meskipun nilai investasi kalah jauh dibandingkan dengan industri

65

manufaktur, namun dalam nilai produksi yang dihasilkan ternyata tidak terdapat selisih yang cukup signifikan antara industri manufaktur dengan agroindustri. Untuk lebih detail bisa ditunjukkan pada tabel berikut ini : Tabel 4.12 Perbandingan nilai produksi menurut jenis industri di Jawa Tengah 2002 - 2006
Jenis Industri Agroindustri Besar Kecil & Menengah Industri Besar Kecil & Menengah 2002 2003 2004 2005 2006 8.930.589 8.972.167 9.078.975 9.126.071 9.209.298 6.595.236 6.625.236 6.724.243 6.710.689 6.763.299 2.335.353 2.346.931 2.354.732 2.415.382 2.445.999 12.697.148 12.730.335 12.851.331 12.882.069 12.997.252 9.792.456 9.812.456 9.932.546 9.947.284 10.025.267 2.904.692 2.917.879 2.918.785 2.934.785 2.971.985

Sumber : data Jawa Tengah Dalam Angka tahun 2007 Dari data data di atas, akan diuji dengan menggunakan analisis DEA sebagai berikut dengan menggunakan variabel input berupa jumlah usaha, jumlah tenaga kerja dan nilai investasi sementara untuk variabel outputnya adalah nilai produksi yang dibukukan. Sebagai data yang akan diuji akan digunakan data tahun terakhir yaitu tahun 2006. Untuk unit kegiatan ekonomi akan dibedakan menjadi 4 yaitu usaha kecil menengah untuk agroindustri, usaha besar untuk agroindustri, usaha kecil menengah untuk industri manufactur dan usaha besar untuk industri manufactur. Dari hasil pengolahan data diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 4.13. Hasil pengolahan data untuk industri manufaktur & agroindustri
No Jenis Usaha Efisiensi 100,00 % 100,00 % 100,00 % 97,29 % UKE 1 UKE 2 BENCHMARK

1 Agro besar 2 Agro kecil menengah 3 Manufaktur besar 4 Manufaktur kecil menengah

Sumber : data diolah

66

Dari hasil pengolahan data di lapangan diperoleh bahwa ketiga jenis usaha sudah efisien, hanya untuk usaha kecil menengah pada industri manufaktur belum efisien dengan tingkat inefisiensi sebesar 2,61%. Sedangkan sumber sumber inefisiensinya adalah pada semua lini baik input maupun output. Untuk lebih jelas akan ditunjukkan pada tael 4.14 berikut ini :

67

Tabel 4.14 Hasil pengolahan data industri manufaktur skala kecil menengah dengan menggunakan DEA Variabel Aktual Jumlah usaha 319.452 Tenaga Kerja 1.661.635 Nilai Investasi 862.512 Nilai Produksi 2.971.985 Sumber : Data lapangan diolah Target 315.072 1.023.906 850.686 3.012.733 To Gain 1,4% 38,4% 1,4% 1,4% Acheived 98,6% 61,6% 98,6% 98,6%

Dari hasil pengolahan data di lapangan diperoleh bahwa ternyata inefisiensi yang dialami oleh industri manufaktur pada skala kecil adalah pada semua lini baik input yang terdiri atas jumlah usaha, tenaga kerja dan nilai investasi maupun out yaitu pada nilai produksi. Sedangkan sumber inefisiensi terbesar adalah pada tenaga kerja. Secara lebih detail terdapat perbandingan antara aktual dengan target seperti di atas, untuk jumlah usaha, seharusnya untuk memperoleh output sebesar 2.971.985, cukup dengan menggunakan jumlah usaha sebesar 315.072, tenaga kerja sebesar 1.023.906 dan nilai investasi 850.686. Atau bisa juga dengan mengatakan bahwa dengan menggunakan variabel input jumlah usaha sebesar 319.452, tenaga kerja 1.661.635, nilai investasi sebesar 862.512 seharusnya bisa memperoleh target nilai produksi sebesar 3.012.733. Sumber inefisiensi terbesar pada industri manufaktur skala kecil menengah tersebut adalah pada input tenaga kerja. Ini berkaitan langsung bahwa seharusnya industri manufaktur lebih tepat untuk padat kapital yaitu tehnologi dan mesin mesin dibandingkan dengan padat tenaga kerja.

D. Analisis dengan menggunakan Indept Interview

68

Dari hasil pembahasan tersebut di atas diperoleh bahwa ternyata karesidenan yang belum mencapai optimal atau efisiensi 100 % adalah Karesidenan Kedu, Pekalongan dan Surakarta. Sedangkan yang usdah efisien adalah Karesidenan Banyumas, Karesidenan Semarang dan Karesidenan Pati. Setelah dilakukan pemilihan sampel dengan metode random, maka berhasil terpilih bahwa kabupaten Semarang akan mewakili karesidenan Semarang dan kabupaten Sragen akan mewakili karesidenan Surakarta. Indept interview di kabupaten Semarang melibatkan kepala biro perekonomian Ir Agus; Kusnanto Soepardjo, SH ; Humas Kabupaten Semarang ; Dwi staf dinas Pemberdayaan masyarakat dan desa. Sedangkan untuk

kabupaten Sragen adalah dengan Bupati Sragen Untung Wiyono, Asisten II bidang Ekonomi dan Pembangunan Dra Endang dan kepala biro perekonomian Budi Trapsilo. Mekanisme yang dilakukan dalam indept observation adalah dengan memberikan beberapa alternatif perencanaan pengembangan ekonomi lokal yang selama ini telah digagas baik oleh pemerintah pusat maupun oleh lembaga lain. Beberapa model yang ditunjukkan adalah sebagai berikut : 1. Model Pengembangan Ekonomi Lokal Pasrtisipatif. Merupakan model yang digagas oleh PDPP ( Program Dasar Pembangunan Partisipatif ) kerjasama antara pemerintah daerah dengan US Aid. Dalam model ini, pola pengembangan ekonomi lokal yang partisipatif tersebut di atas, menempatkan usaha mikro kecil menengah menjadi basis atau dasar di mana tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan usaha mikro kecil menengah dengan berbagai fasilitas pendukung meliputi lembaga keuangan, pelayanan bisnis, trading house, Non Government Services, Asosiasi, Pendidikan dan penelitian. Adapun pelibatan masyarakat dalam model ini adalah sebagai subyek utama dalam pengembangan ekonomi melalui musyawarah mufakat antar berbagai

69

stakeholder yang ada di daerah. Urutan kegiatan dalam Pengembangan ekonomi lokal partisipatif ini adalah sebagai berikut : a. Pemilihan klaster, Klaster diterjemahkan sebagai suatu lingkungan kegiatan sejenis yang secara luas terhampar, tersistem dan mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang lain dalam bentuk kemitraan.. Pendekatan klaster adalah kelompok kegiatan ekonomi melalui integrasi memberdayakan

vertikal yaitu membina jaringan kemitraan dari produsen primer, pengumpul, produsen barang ( baik barang jadi, maupun setengah jadi ) hingga eksportir. Tahapan pemilihan klaster dimulai dengan identifikasi potensi ekonomi daerah yang merupakan penjabaran dari program program kunci atau unggulan di masing masing kabupaten/ kota. b. Identifikasi regulasi di daerah. Dalam pengembangan ekonomi lokal tentu tidak akan terlepas dari kebijakan kebijakan yang ada di daerah, untuk itu diperlukan adanya identifikasi berbagai regulasi baik yang mendukung pengembangan ekonomi lokal khususnya yang berbasis UMKM ataupun justru yang menghambat pengembangan ekonomi lokal. c. Identifikasi permasalahan yang ada di lapangan mulai dari bahan baku, permodalan, proses produksi, pemasaran sampai dengan pengembangan sumber daya manusianya serta berbagai sarana pendukung atau fasilitasi yang ada di daerah. d. Upaya upaya atau alternatif yang bisa digunakan dalam menyelesaikan ekonomi lokal berbagai permasalahan dalam pengembangan

70

e. Pembentukan kemitraan antar stakeholde ryang ada di daerah f. Melakukan promosi cluster dengan berbagai upaya mulai dari pameran, pembuatan website, trading house dan sebagainya g. Pembuatan repliksi cluster manakala cluster awal sudah dianggap berhasil. Apabila digambarkan secara diagram pola kerjasama kemitraan yang direncanakan dalam PDPP adalah seperti di bawah ini :

Kemitraan Swasta, Masyarakat, Pemda

angan ga Keu Lemba

Pelayanan Bisnis

Tra ding Hou se

Cl us ter s

ia os ss : A SM S L NG

, si.

Eksport er Pengusaha

Pe n Pe did ne ik lit an ian ,

UMKM/ Pengrajin
Dana Program

Pengemb Lifeskills

Pemerintah Perencana, regulator, donatur

Gambar 4.1. Pengembangan ekonomi lokal partisipatif 2. Model Pemberdayaan masyarakat dengan Program Lifeskills Instrumen,
penyalur dana PTN, PTS,LSM, Implementator

Pendampingan pelatihan pelaksanaan & pengembangan usaha

Administratif

Usaha Ekonomi Produktif dari masyarakat

71
Masyarakat Obyek & subyek

Gambar 4.2. Pola pemberdayaan dengan Lifeskills Program lifeskills adalah suatu suatu pola yang memberikan keahlian kepada masyarakat sasaran dalam hal ini adalah pemuda - pemuda yang produktif namun pada posisi menganggur atau setengah menganggur. Mereka dibekali dengan berbagai ketrampilan sesuai dengan kondisi daerah, khususnya pada ketersediaan bahan baku. Wujud program ini adalah masyarakat diberikan pelatihan produksi dan peningkatan kualitas produk, sampai dengan pemasaran. Kemudian, peserta akan diberikan dana bergulir bagi modal awal produksi. Sehingga diharapkan di akhir program masyarakat bisa mandiri dan menjadi wirausaha baru.

3. Model pemberdayaan masyarakat dengan tabungan kesejahteraan dan kredit usaha ( Takesra Kukesra )

72

Program Takesra dan Kukesra dimaksudkan untuk memberikan bantuan kepada keluarga miskin namun bukan berada di daerah yang miskin. Bentuk bantuan bukan berupa pemberian uang secara tunai namun dengan pinjaman atau berupa tabungan. Program ini dimaksudkan untuk merangsang masyarakat miskin untuk tidak hanya berperilaku konsumtif namun juga produktif. Mekanisme ini mengkaitkan masyarakat dengan budaya menabung. Adapun skema atau pola kemitraan dalam program Takesra Kukesra adalah :

Pemerintah, Perencana

Swasta, perorangan & prusahaan

YDSM Donatur

Masyarakat, subyek & obyek

Bantuan Takesra Rp 2000 bonus Rp 2000

Usaha Ekonomi Produktif

Aktivitas menabung Rp 25.000

BRI Implementator & Penyeleksi

Pinjaman Kukesra Rp 250.000,-

73

Dalam indept interview, pemerintah daerah ditunjukkan 3 model tersebut dan dilakukan wawancara serta diskusi secara mendalam dengan pihak pihak terkait model manakah yang paling sesuai dengan program pengembangan ekonomi yang sudah dilakukan oleh masing masing pemerintah daerah. Ataukah pemerintah daerah mempunyai satu model tertentu dalam pemberdayaan ekonomi masyarakatnya. Dari indept interview diperoleh hasil sebagai berikut : D.1. Kabupaten Sragen Pada masa pemerintahan Bupati Untung Wiyono, pengembangan ekonomi partisipatif diberikan satu tempat tersendiri. Program program yang menyebabkan ketergantungan masyarakat seperti bantuan langsung tunai, dan beras untuk rakyat miskin dipangkas dan digantikan program program yang bersifat produktif. Sumber sumber pendanaan untuk program diperoleh dengan partisipasi masyarakat dan gotong royong. Terdapat beberapa program yang partisipasi masyarakat antara lain : a. Jimpitan yaitu penyisihan beras yang dilakukan oleh masyarakat tanpa kecuali dan hasilnya digunakan untuk berbagai kepentingan umum. Pada kondisi ini, maka pemberian beras untuk rakyat miskin dikelola oleh masyarakat setempat dengan memanfaatkan beras jimpitan yang diperoleh dari warga. Apabila ternyata dalam masyarakat tersebut tidak terdapat rumah tangga miskin maka beras jimpitan akan dikumpulkan dalam bentuk uang yang akan digunakan sebagai kas RT atau dana pembangunan desa. b. Ukirwati, yaitu sumbangan sukarela dengan besaran Rp 1.000 perhari yang dikumpulkan oleh PNS di lingkungan Pemkab Sragen. Dana tersebut akan digunakan ntuk sosial yang bersifat produktif, sebagai wujud bantuan bagi masyarakat yang akan membuka usaha mandiri. Dana tersebut

74

ternyata jumlahnya cukup banyak dan signifikan bagi pengembangan usaha masyarakat. c. BAZ, Badan Amil Zakat, yang dikelola oleh pemerinatha daerah khususnya dalam pengumpulan zakat maal, infaq dan shodaqoh. Dana ini digunakan sebagai sarana untuk pegentasan kemiskinan. Selain ketiga kegiatan yang bersifat permodalan atas partisipasi masyarakat, pemerintah kabupaten Sragen juga memberikan berbagai kemudahan dalam memperoleh dana dari perbankan dengan membentuk satgas KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank ) yang bekerjasama dengan Bank Indonesia dan jajaran Perbankan Umum khsususnya yang Sragen. Sebagai wujud komitmen pembangunan yang berwawasan ekspor, maka pemerintah Kabupaten Sragen membentuk Cluster cluster, khususnya untuk Batik, di daerah Masaran dan Meubel / furniture di Kalijambe. Kedua Cluster tersebut dilengkapi dengan faslitas trading house dan show room yang akan mendekatkan hubungan antara produsen dengan buyer ( pembeli ). Cluster tersebut sudah berjalan cukup bagus dan memiliki nilai ekspor yang cukup tinggi dan bisa menggiatkan ekonomi daerah. Bertitik tolak dari hasil indept interview tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa Kabupaten Sragen mengadopsi model pemberdayaan ekonomi lokal partisipatif pada nomor 1 tersebut di atas dengan memberikan modifikasi pada penguatan pendanaan melalui partisipasi masyarakat yang bersifat sukarela. D.2. Kabupaten Semarang Kabupaten Semarang merupakan kabupaten yang cukup unik karena mempunyai wilayah yang sangat luas dan terpencar pencar sehingga memiliki ola yang berbeda beda untuk setiap bagian wilayahnya. Misalnya daerah Ungaran., mempunyai wilayah kerja di kabupaten

75

Bergas, Pringapus dan Bawen yang terkenal memiliki industri besar maupun menengah yang sangat banyak, yang nadi perekonomiannya banyak tersentral pada industri. Meskipun konsekwensinya adalah padat modal atau lebih banyak menggunakan alat alat tehnologi sehingga tidak berorientasi pada padat tenaga kerja. Sebagai gambaran industri besar yang menyerap investasi lebih dari 3 trilyun rupiah ternyata hanya mampu menyerap tenaga kerja sejumlah 55.275 orang, sementara industri kecil yang hanya menyerap investasi sebesar 1 milyar rupiah ternyata mampu mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 21.003 tenaga kerja. ( www.semarang.go.id. 2008). Sedangkan beberapa daerah di kabupaten Semarang merupakan daerah pertanian, misalnya Ambarawa yang diperkuat dengan dibangunnya Sub Terminal Agribisnis yang berfungi menjembatani pertemuan antara produsen (dalam hal ini petani ) dengan pedagang. Selain itu pemerintah juga menerapkan adanya program PUSPAHATI ( Pos Usaha Pelayanan Agensia Hayati ) yang dimaksudkan untuk melayani petani dalam membuat pestisida nabati dan agensia hayati. Berangkat dari perbedaan yang cukup mencolok tersebut maka pemerintah kabupaten Semarang yang mempunyai visi Intanpari, mencoba mengembangkan pola pengembangan ekonomi lokal partisipatif namun belum disertai dengan komitmen pemerintah terhadap pendanaan dan juga partisipasi masyarakat dalam hal bantuan pendanaan. Dari hasil uraian tersebut di atas, maka terlihat bahwa kabupaten Sragen yang mewakili karesidenan Surakarta mencoba memperbaiki taraf hidup masyarakatnya dengan mengembangkan ekonomi lokal partisipastif berbasis pada swadaya masyarakat. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya kesadaran bahwa kabupaten Sragen merupakan daerah yang secara geografis kurang strategis dan secara sumber daya alam juga kurang bagus, sehingga mereka lebih giat dalam mengembangkan kemampuan daerahnya agar mampu untuk bersaing dengan

76

wilayah kabupaten / kota yang lain. Dalam kerangka pegembangan efisiensi, pemerintah kabupaten Sragen juga membuka pelayanan OSS ( One Stop Service ) yang diharapkan akan merangsang mengambangkan usaha di kabupaten Sragen. Sedangkan kabupaten Semarang dengan sumberdaya alam dan potensi ekonomi yang kuat ternyata kurang bergairah dalam pengembangan ekonomi lokal dan pemerintah daerahnya kurang memiliki komitmen dalam pengembangan usaha kecil menengah dibandingkan dengan kabupaten Sragen. Hal ini mungkin juga disebabkan karena kondisi daerah yang sudah mencapai titik efisiensi. bagi investor untuk masuk dan

77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN

Penelitian untuk melihat bagaimana model sinergisitas yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam kerangka pengembangan ekonomi lokal partisipatif ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Di Propinsi Jawa Tengah dengan menggunakan karesidenan untuk mengukur tingkat efisiensi diperoleh bahwa ternyata apabila target outputnya adalah tenaga kerja dan nilai tambah ternyata terdapat dua karesidenan yang belum efisien yaitu Karesidenan Pekalongan dan Karesidenan Surakarta. 2. Apabila dilakukan pengujian dengan DEA untuk sektor industri manufaktur dan agrobisnis baik dalam skala usaha besar maupun dalam skala usaha kecil menengah, diperoleh hasil bahwa ternyata yang belum mencapai titik efisien adalah industri manufaktur dengan skala kecil menengah 3. Hasil pemilihan model sinergisitas dengan menggunakan indept terhadap dua kabupaten terpilih yaitu kabupaten Sragen dan kabupaten Semarang diperoleh hasil bahwa pilihannya adalah pada model pemberdayaan ekonomi lokal partisipastif namun dengan menggunakan beberapa modifikasi. Untuk kabupaten Sragen modifikai yang dilakukan adalah dengan pendanaan dari perbankan menggunakan satgas KKMB dan pendanaan swadaya masyarakat dengan BAZ, Ukirwati dan jimpitan. Untuk daerah kabupaten Semarang,namun belum memasukkan unsur pendanaan baik dengan komitmen pemerintah maupun dengan partidipasi masyarakat B. SARAN Dari hasil uraian di atas. Maka bisa diberikan saran sebabagi berikut :

78

1. Karesidenan yang belum efisien harus berusaha untuk meningkatkan tingkat efisiensi pada masing masing kabupaten / kota seperti yang telah dilakukan oleh kabupaten Sragen. Sedangkan untuk daerah yang sudah mempunayi efisiensi 100% jangan terlena untuk tidak melakukan pengembangan usahanya. 2. Industri manufaktur pada skala kecil menengah belum mencapai tingkat efisinesi 100% dikarenakan kelemahan di sisi tenaga kerja. Sehingga diperlukan adanya berbagai macam pelatihan dalam kerangka peningkatan kapabilitas dan kompetensi tenaga kerja itu sendiri. Dengan pengkatan kompetensi diharapkan akan mampu memenuhi target seperti yang diharapkan. 3. Model sinergisitas yang dipilih oleh dua kabupaten mengharuskan adanya peran utuh dari semua stakeholder daerah yang terlibat. Untuk diperlukan Komitmen komitmen pemerintah, yang harus dibangun dalam rangka mengembangkan ekonomi lokal yang bersifat partisipatif.

79

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Ghofur, 2004. Analisis Potensi Usaha pengrajin Sentra Industri Kecil Garmen. Jurnal Bisnis dan Manajemen. Program Magister Manajemen Universitas muhammadiyah Jakarta (UMJ), Jakarta.
Ahmad Passay, 1989, Implikasi Sosial ekonomi Penduduk di Indonesia yang menua 1980 2000 Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta Ambar Teguh Sulistyani, 2004, Kemitraan dan Model Model Pemberdayaan, Gaya Gava Media, Yogyakarta Arief Sritua, 2000, Ekonomi Kerakyatan : Pemberdayaan Masyarakat secara nasional dan daerah, Mei 2000

Ibrahim, Maulana. 2004. Mendorong Peran UMKM Dalam Pertekonomian Indonesia di Masa Depan. Makalah pada Debat Ekonomi ESEI 2004, Jakarta Convention Centre 15-16 september 2004. Krisna Wijaya, 2005 Kredit Mikro Bukan Hibah, Harian Kompas, Selasa, 1 Maret.
Lincolin Arsyad, 1999, Ekonomi Pembangunan, STIE YKPN, Yogyakarta Pusat Antar Universitas (PAU) UGM, 2005. Modul Metodologi Penelitian Empiris DEA, Yogyakarta

Rudjito, 2003, Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Otonomi Daerah Guna Menggerakkkan Ekonomi Rakyat dan Menanggulangi Kemiskinan: Studi Kasus Bank Rakyat Indonesia, Jurnal Keuangan Rakyat Tahun II, Nomor 1, Jogjakarta Sofyan, I. 1999. Skema Pengembangan Entrepreneurship dan Usaha Kecil Melalui Program Inkubator Bisnis di Perguruan Tinggi. Usahawan. 7(28): 14-19.

80

Sondakh, Lucky W, 1994, Pembangunan Daerah Dan Perekonomian Rakyat, Beberapa Ketimpangan Antar kelompok Masyarakat, Agustus 1994 Todaro Michael, 1999, Pembangunan Ekonomi di dunia Ketiga, Ghalia Indonesia, Jakarta TKP3 KPK, 2004, Akar Kemiskinanan Ketidakberdayaan Masyarakat, Jakarta TKP3 KPK, 2004, Informasi Dasar Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD), Jakarta TKP3 KPK, 2004, Masalah Kemiskinan dan Kompleksitas Penanggulangannya, Jakarta

Tim PPKP. 2000. Penelitian Potensi, Preferensi dan Perilaku masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. LPP UNDIP: Semarang Tim PSEKP. 2004. Identifikasi Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya LDR di Daerah Istimewa Yogyakarta. PSEKP UGM: Yogyakarta. Wijono, Wiloejo W. 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan. Kajian Ekonomi dan Keuangan. www.bps.go.id www.detik.com www.google.co.id www.kompas.com www.mapi.or.id Abstraksi

81

Pembangunan bidang UKM, secara eksplisit ditujukan pada upaya untuk mewujudkan bangsa yang berdaya-saing dalam rangka memperkuat perekonomian domestik dengan orientasi dan berdaya saing global. Selaras dengan RPJP tahun 20052025, pemerintah telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2005-2009 yang memuat tiga agenda penting sebagai pijakan untuk mencapai tujuan pembangunan, salah satunya adalah mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera. Pemerintah telah memberikan perhatian yang besar terhadap upaya pemberdayaan koperasi dan UKM. Konsekuensinya upaya pemberdayaan UKM menangung beban berat untuk membuktikan sebagai bagian penting dalam meningkatkan kesejahteraan dan daya saing ekonomi nasional, yaitu pertama Program penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif. Kedua Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif. Ketiga Program Pengembangan Kewirausahaan dan PKMK Berkeunggulan Kompetitif. Selain komitmen dan perencaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, juga dibutuhkan adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam menentukan model sinergisitas dalam rangka pengembangan ekonomi di daerah. Penelitian ini dilakukan secara bertahap, tahap pertama adalah dengan melakukan uji secara DEA yaitu untuk menentukan daerah mana yang sudah mencapai efisiensi 100% dalam pengembangan ekonominya dan daerah mana yang belum. Dalam penelitian ini yang menjadi obyek penelitian adalah karesidenan. Setalah ditemukan daerah tersbut maka akan dilakukan indept interview pada masing masing daerah sampel terpilih dengan melibatkan unsur pemerintahan dan stakeholder yang lain. Dari hasil pengujian dengan menggunakan DEA diperoleh bahwa karesidenan yang belum mencapai titik efisiensi adalah karesidenan Surakarta dan karesidenan Pekalongan. Untuk itu dilakukan indept interview kepada daerah yang sudah efisien dan belum . Dari hasil pemilihan diperoleh sampel daerah yang belum efisien adalah kabupaten Sragen, sementara yang sudah efisien adalah kabupaten Semarang. Hasil indept interview kepada stakeholder daerah menunjukkan bahwa kabupaten Sragen memilih model pengembangan ekonomi lokal partisipatif dengan menambah modifikasi pada permodalan baik swadaya atau partisipasi masyarakat maupun melalui Perbankan Umum. Sedangkan kabupaten Semarang dengan menggunakan model yang sama namun tanpa adanya komitmen untuk akses pada permodalan. Hal ini dimungkinkan karena kesadaran dari pemerintah Sragen sehingga menggairahkan roda perekonomian, sementara kabupaten Semarang terlena oleh kekayaan sumber daya alamnya sehingga tidak terlalu aktif dalam pengembangan ekonomi lokal. Kata Kunci : DEA, Pengembangan ekonomi lokal, Indept Interview

82

HALAMAN PENGESAHAN PENELITIAN KOMPETITIF FAKULTAS EKONOMI UNS DIPA TAHUN 2008
1 a. Judul Penelitian :

Model Pengembangan

Sinergisitas Ekonomi

Dalam Lokal

Berbasis UMKM
2 b. Bidang Ilmu Ketua Tim peneliti pengusul a. Nama b. Jenis Kelamin c. NIP d. Pangkat/ Jabatan e. Fakultas/ Jurusan Jumlah tim peneliti Lokasi Kegiatan Waktu Penelitian Biaya penelitian Mengetahui : : : : : : : : : : Ekonomi Izza Mafruhah, SE, Msi Perempuan 132 300 215 III C / Lektor Ekonomi/ Ekonomi Pembangunan 2 orang Jawa Tengah Tahun 2008 Rp 19.350.000 Surakarta, 25 Agustus 2008 Ketua Peneliti

3 4 5 6

Ketua P4M

DR. Rahmawati, M.Si, Akt NIP.


Menyetujui Ketua LPPM UNS

Izza Mafruhah, SE, MS.i NIP. 132 300 215 Mengetahui Pembantu Dekan I FE UNS

Prof DR Sunardi, MSc NIP. 130 605 279

Drs Sutomo, MS NIP 131 387 888

83

LAPORAN PENELITIAN

Model Sinergisitas Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis UMKM

Oleh : Izza Mafruhah, SE, Msi Siti Khoiriyah, SE, M.Si Dibiayai DIPA Fakultas Ekonomi UNS Tahun 2008 FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA April 2008

84

CURRICULUM VITAE KETUA PENELITI


Nama Lengkap Tempat/ Tanggal lahir Alamat 593263 Jenis kelamin Agama Status Pekerjaan Pendidikan terakhir RIWAYAT ORGANISASI
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 TAHUN 2003 - skrg 2003 - skrg 2003 - skrg 2004 - skrg 2005 - 2006 2006 - 2007 2007 - 2009 2007 - 2009 ORGANISASI Masyarakat Ekonomi Syariah Surakarta (MES ) Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah (PIPW) LPM UNS Pusat Pengembangan Ekspor ( PPE ) Fak Ekonomi UNS Jaringan Insan Mandiri Pusat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat LPPM UNS Pusat pengembangan Sumber Daya Manusia LPPM UNS Tim Pengembang LPPM UNS Kantor Humas dan Kerjasama Universitas Sebelas Maret Surakarta JABATAN Bendahara Anggota Bendahara Dewan Manajemen Sekretaris Sekretaris Pengembangan investasi Task Force bidang Kerjasama Dalam Negeri RIWAYAT PENDIDIKAN NO 1 TAHUN 2000 PENDIDIKAN Pasca sarjana dalam Ekonmi Pembangunan konsentrasi pengembangan ekonomi regional TEMPAT Universitas Gadjah Mada

: Izza Mafruhah, SE, M.Si : Yogyakarta, 23 Maret 1972 : Jl Mayor Sunaryo no 32 Sukoharjo phone ( 0271 ) : Perempuan : Islam : Kawin : Dosen Universitas Sebelas Maret Surakarta : Pasca sarjana

85

1994

Sarjana dalam Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Kegiatan profesional / judul karya Ilmiah yang pernah ditulis


PENELITIAN & TULISAN ILMIAH

NO
1 2 Didanai DIPA LPPM UNS

JUDUL TULISAN
Analisis Daya Dukung Lahan dan kualitas Lingkungan di Kabupaten Karanganyar. Pembuatan Naskah akademik bagi Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanian di kabupaten Karanganyar, didanai DPRD Kabupaten Karanganyar ( dalam proses finishing )

TAHUN 2006

Analisis Efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia Departemen Pendidikan Nasional

Berdasarkan rating 20 bank

2006

dengan kinerja sangat baik tahun 2005, Di danai Dirjen Pendidikan Tinggi, 4 Kajian Pemanfaatan Subsidi Langsung Tunai di Daerah Pertanian ( Jawa Tengah). Didanai Deputi I Bidang Kesejahteraan Sosial, Kementrian Koordinator Bidang 5 6 Kesejahteraan Rakyat RI Pembuatan naskah akademik bagi Rancangan Peraturan Daerah tentang Kemitraan di Kabupaten Boyolali, didanai DPRD Kabupaten Boyolali ANALISIS PEMBENTUKAN UNI MONETER ASEAN-5 DENGAN PENDEKATAN PARITAS INTERNASIONAL DALAM HUBUNGAN KESEIMBANGAN NILAI TUKAR JANGKA PANJANG (1980 2002), Di danai 7 8 Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Analisis Efisiensi Kinerja Perbankan ( Perbandingan antara Bank Swasta dan Bank Pemerintah ) tahun 2005 didanai Diknas Jateng Pengaruh Faktor faktor ekonomi dan non ekonomi dalam Penawaran Tenaga Kerja Wanita Indonesia ke luar negeri di kabupaten Karanganyar didanai Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional 9 Analisis Faktor factor yang mempengaruhi pola konsumsi masyarakat se eks karesidenan Surakarta selama krisis ( tahun 1998 2001). Di danai Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional 2004 2005 2005 2006 2005 2006

86

10 11 12 13

Analisis Kesiapan Propinsi Kalimantan Timur dalam Implementasi pelaksanaan otonomi Daerah, Studi Kasus Kabupaten Kutai, 2000 Hubungan Antar Variabel pada Instrumen kebijakan Fiskal, Studi Kasus Negara Singapura Analisis Daya Dukung Lahan dan Indeks Kualitas Hidup Manusia, Studi Kasus Kabupaten Magelang Faktor Faktor yang mempengaruhi penawaran tenaga kerja wanita di Kotamadya Surakarta Didanai Kopertis Wilayah V Yogyakarta ARTIKEL DAN BUKU DIPUBLIKASIKAN / DITERBITKAN

2000 1999 1998 1998

NO 1

JUDUL ARTIKEL Analisis efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia ( Studi Perbandingan bank swasta & nasional ) di jurnal Optima Vol 3 No 2 Pengujian Kausalitas Granger dan Simultanitas Terhadap Hubungan Antar Variabel Dalam Instrumen Kebijakan Fiskal : Studi Kasus Negara Singapura

JURNAL ISSN 1693-5888. Terakreditasi SK 55/DIKTI/ Kep/ 2005 Jurnal Ilmu Ekonomi & Pembangunan FE UNS ISSN : 1412-2200 Vol 3 N0 1 Jurnal Ekonomi Pembangunan FE UMS ISSN : 1411-6081 Vol 3 No 2 Jurnal Ekonomi Pembangunan FE UMS ISSN : 1411-6081 Vol 3 No 2 Jurnal Ekonomi Pembangunan FE UMS ISSN : 1411- 6081 Vol 1 N0 1 Diterbitkan UNS Press ISBN : 979-498-220-2 Diterbitkan UNS Press

TAHUN Maret 2006 Nov 2003

Membumikan Konsep Syariah dalam Ekonomi Berbasisi Kerakyatan ( Baitul Maal Wat Tamwil Sebagai Sebuah Solusi )

Des 2002

Perubahan Paradigma Pembangunan Daerah di Indonesia

Des 2001

Kemiskinan dan Kesejahteraan

Juni 2000

6 7

Buku Profil Pengusaha di Daerah Binaan LPM UNS, Desa Serenan Buku Matematika Bisnis ( sudah cetakan kedua )

Desember 2004 Januari

87

8 9 10

Buku Kajian Pemanfaatan Subsidi Langsung Tunai di daerah Pertanian ( Propinsi Jawa Tengah ) Naskah Akademik Raperda Pertanian Kabupaten Karanganyar Naskah Akademik Raperda Pendidikan Kabupaten Karanganyar

ISBN : 979-498-238-5 Diterbitkan UNS Press, ISBN 979-498-306-3 Dtiterbitakan UNS Press, ISBN 979-498-339-X Dtiterbitakan UNS Press, ISBN 979-498-342-X

2005 Juni 2006 Des 2006 Jan 2007

SEMINAR / LOKAKARYA / PELATIHAN


NO NAMA KEGIATAN STATUS KEIKUT SERTAAN TAHUN

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Pelatihan Pembentukan BMT Tingkat Dasar kerjasama MES ATC Pelatihan Pembentukan BMT Tingkat Menengah Kerjasama MES ATC Pelatihan Ekonomi Islam kerjasama KEI FE UNS BSM Pelatihan AMOS-LISREL Pelatihan Digital Workshop Perbankan Syariah Pelatihan Usaha Kecil Menengah Tk Dasar Pelatihan Usaha Kecil Menengah Tk Menengah Seminar Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi dan Ketegaran Tingkat Upah serta Implementasinya dalam Perekonomian Daerah Workshop Strategi Penanggulangan Kemiskinan Nasional dan Daerah ( SPKN & SPKD ) tingkat regional III ( Jawa, Kalimantan dan Bali ) Focus Group Disscussion Usaha Mikro Kecil Menengah LPM UNS Penyusunan Potensi daerah kerjasama UNS dengan BAPEDA Klaten Penelitian kerjasama FE UNS dengan British Council dalam Management Based School di 4 Kabupaten di Jawa Tengah Program Lifeskill Peningkatan Ketrampilan Pengrajin Handycraft di Serenan Klaten Pendampingan Program Dasar Pembangunan Partisipatif pada Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif di

Instruktur Instruktur Instruktur Peserta Peserta Peserta Instruktur Instruktur Peserta

2003 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004 2004

10

Tim pemateri

2004

11 12 13

Penyaji Supervisor Koordinator surveyor

2004 2003 2003

14 15

Koordinator kegiatan Pendamping

2004 2004

88

Kabupaten Klaten, Kerjasama CPP PIPW LPPM UNS 16 Perform RTI Pemda Klaten Pendampingan Program Dasar Pembangunan Partisipatif pada Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif di Kabupaten Magelang, Kerjasama CPP PIPW LPPM 17 UNS Perform RTI Pemda Magelang Pendampingan Program Dasar Pembangunan Partisipatif pada Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif di Kabupaten Purworejo, Kerjasama CPP PIPW LPPM 18 19 20 21 22 23 24 UNS Perform RTI Pemda Purworejo Survey The Cost of Doing Bisnis, kerjasama dengan LPEM FE UI Penyusunan Data Base Profil pengusaha di daerah Serenan Survey Management Based On School kerjasama FE UNS-British Council- LPRM UI Pembentukan Integrasi line Bisnis dan Pusat Pelatihan Perkayuan dan kewirausahaan LPPM UNS Diskusi Ilmiah Menuju Perusahaan Negara yang sehat Bussines Meeting Pengembangan Wirausaha Baru Program Lifeskills Pola 100 juta dengan judul Pemanfaatan Limbah Kayu menjadi Kerajinan Handicraft didanai Dirjen PLS Departemen Pendidikan 25 Nasional tahun 2005 Program Lifeskills Pola 300 juta dengan Judul pembentukan Information Training And Consulting Based On Information technology and Communication. Didanani Dirjen PLS Departemen Pendidikan Nasional 26 27 tahun 2006 Talk Show Strategi Meraih Kerja yang Prospektif, Himaseta Pertanian UNS Seminar Nasional Ekonomi Syariah Revitalisasi Sistem Ekonomi Syariah untuk Memberdayakan Ekonomi Bangsa Dalam Rangka Dies Natalis UNS ke 31 tahun 2007 Pembicara Pembicara 2005 2007 Koordinator 2006 Supervisor Ketua Tim Supervisor Koordinator Ketua panitia Ketua Panitia Koordinator 2005 2004 2003 2005 2005 2005 2005 Pendamping 2004 Pendamping 2004

89

You might also like