You are on page 1of 4

HUKUM HUMANITER DAN KEJAHATA INTERNASIONAL

Konvensi Den Haag 2005

OLEH:

ELI SUPIANTO B 111 09 379

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

Latar Belakang Konvensi Konvensi Den Haag tahun 2005 mengenai Perjanjian-perjanjian Pilihan Forum (the Hague Convention on Choice of Court Agreements) merupakan Salah satu perjanjian internasional penting mengenai pilihan forum ini Sesuai dengan nama tempat konvensi, konvensi ini ditandatangani di Den Haag, tanggal 30 Juni 2005. Konvensi ini berlangsung atas inisiatif dan hasil kerja lembaga the Hague Conference on Private International Law. Konvensi ini merupakan hasil karya selama lebih dari 10 tahun dari badan the Hague Conference tersebut. Upaya merumuskan Konvensi mulai pada tahun 1992. Waktu itu Amerika Serikat mengusulkan agar perlu dirundingkannya suatu konvensi mengenai jurisdiksi dan pengakuan serta pelaksanaan putusan badan peradilan asing. Usulan ini disambut baik yang kemudian menghasilkan suatu rancangan konvensi tahun 1999. Rancangan konvensi dirundingkan lebih lanjut pada tahun 2001. Di tahun ini perundingan sempat muncul dan kekhawatiran terhadap keberhasilan konvensi menjadi surut. Menghadapi situasi ini, para perancang Konvensi kemudian memutuskan untuk membatasi muatan dan ruang lingkup konvensi dengan harapan negara-negara peserta dapat lebih menerima Konvensi Ada dua alasan utama mengapa Konvensi ini lahir. Alasan pertama adalah bahwa dewasa ini banyak pengadilan di berbagai negara di dunia memiliki pandangan berbeda mengenai status putusan pengadilan asing. Tidak sedikit pengadilan yang bahkan menolak untuk melaksanakan putusan asing tersebut dengan berbagai alasan. Alasan kedua adalah bahwa banyak pula pengadilan di berbagai negara yang tidak menghargai keberadaan klausul pilihan forum yang dipilih dan disepakati para pihak. Keadaan ini berbeda kontras dengan klausul arbitrase. Sudah menjadi prinsip umum bahwa klausul arbitrase memberikan kompetensi absolut kepada badan arbitrase dan mengenyampingkan kewenangan badan peradilan umum. Di samping itu pula, pada umumnya putusan arbitrase asing sudah umum diterima sebagai suatu putusan yang final dan mengikat serta dihormati dan dilaksanakan di negara lain. Hal ini dapat terlaksana berkat adanya Konvensi New York 1958 mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Konvensi ini dipandang pula sebagai konvensi pendamping dari Konvensi terpenting mengenai arbitrase tersebut di atas yaitu Konvensi New York 1958. Konvensi ini dipandang penting mengingat aturan-aturan dalam

konvensi ini dipandang sebagai instrumen hukum yang meletakkan aturan-aturan hukum untuk menegakkan kesepakatan atau perjanjian para pihak mengenai forum untuk menyelesaikan sengketa mereka, termasuk aturan-aturan untuk mengakui dan menegakkan (melaksanakan) putusan-putusan yang dikeluarkan oleh forum (badan pengadilan) yang dipilih para pihak.

Ruang Lingkup Konvensi Konvensi ini dirumuskan dengan asumsi bahwa keberadaan suatu Konvensi mengenai perjanjian pilihan forum ini dipandang perlu untuk memajukan perdagangan dan penanaman modalinternasional melalui adanya suatu kerjasama di bidang pengadilan [promote international trade and investment through enhanced judicial co-operation].6 Berlakunya aturan-aturan Konvensi terbatas pada transaksitransaksi berikut: 1. Konvensi berlaku hanya pada perjanjian atau kesepakatankesepakatan antara pengusaha (business-to-business agreements) yang di dalamnya terdapat pilihan suatu badan peradilan (tertentu) atau beberapa badan peradilan dalam suatu negara untuk menyelesaikan suatu sengketa (exclusive choice of court agreements); 2. Konvensi tidak mengatur kontrak yang salah satu pihaknya adalah konsumen (Pasal 2 (a); dan 3. Konvensi tidak mengatur kontrak nasional, di mana para pihak berdomisili di dalam wilayah suatu negara yang sama dan bahwa semua unsur yang terkait dengan sengketa terkait dengan negara tersebut (Pasal 1 (2)). 4. Konvensi tidak mengatur kesepakatan atau perjanjian di bidang ketenagakerjaan, masalah hukum kekeluargaan, persidangan mengenai kepailitan, kerusakan karena adanya aktivitas nuklir, tuntutan-tuntutan terhadap kerugian personal (personal injury claims) (Pasal 2). 5. Konvensi memuat aturan-aturan yang memberikan hak kepada suatu badan peradilan untuk tidak melaksanakan putusan badan peradilan asing apabila putusan tersebut ternyata tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum setempat (atau hukum di daerah tersebut). Misalnya saja, pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan tersebut akan ditolak

apabila putusan tersebutbertentangan dengan keteriban umum di negara di mana putusan tersebut dimintakan eksekusinya (pasal 9 (e)). 6. Konvensi membolehkan pula suatu pengadilan untuk menolak pelaksanaan suatu putusan badan peradilan yang memberikan atau mengabulkan suatu tuntutan ganti rugi yang tidak sesuai dengan kerugian yang nyata diderita oleh suatu pihak (Pasal 11). Pasal ini sematamata ditujukan untuk menolak suatu putusan yang di dalamnya memberikan ganti rugi yang berlebihan jumlahnya. 7. Konvensi juga membolehkan suatu pengadilan untuk tidak melaksanakan suatu putusan apabila ternyata terbukti bahwa salah satu pihak tidak menerima pemberitahuan persidangan atau apabila suatu pihak ternyata tidak memiliki kapasitas atau kecakapan untuk menandatangani suatu perjanjian (Pasal 9); 8. Alasan lain yang diberikan Konvensi untuk tidak dilaksanakannya suatu putusan adalah apabila perjanjian yang di dalamnya ada pilihan forum tersebut ternyata batal (null and void) berdasarkan hukum dari negara di mana pengadilan tersebut dipilih (Pasal 9); dan 9. Konvensi juga berlaku terhadap perjanjian asuransi dan reasuransi. Aturan ketentuan konvensi tetap berlaku terhadap sengketa tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dibayarkan bertalian dengan adanya tuntutan ganti rugi terhadap suatu gugatan yang secara substansi Konvensi tidak mengaturnya (Pasal 17)

You might also like