You are on page 1of 10

2.2. Kualitas Tanah 2.2.1.Parameter fisika a.

warna tanah Menurut Hardjowigeno (1992) bahwa warna tanah berfungsi sebagai penunjuk dari sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat dalam tanah tersebut. Penyebab perbedaan warna tanah umumnya dipengaruhi oleh perbedaan kandungan bahan organik. Makin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah makin gelap. Sedangkan dilapisan bawah, dimana kandungan bahan organik umumnya rendah, warna tanah banyak dipengaruhi oleh bentuk dan banyaknya senyawa Fe dalam tanah. Di daerah berdrainase buruk, yaitu di daerah yang selalu tergenang air, seluruh tanah berwarna abu-abu karena senyawa Fe terdapat dalam kondisi reduksi (Fe2+). Pada tanah yang berdrainase baik, yaitu tanah yang tidak pernah terendam air, Fe terdapat dalam keadaan oksidasi (Fe3+) misalnya dalam senyawa Fe2O3 (hematit) yang berwarna merah, atau Fe2O3. 3H2O (limonit) yang berwarna kuning cokelat. Sedangkan pada tanah yang kadang-kadang basah dan kadang-kadang kering, maka selain berwarna abuabu (daerah yang tereduksi) didapat pula becak-becak karatan merah atau kuning, yaitu di tempat-tempat dimana udara dapat masuk, sehingga terjadi oksidasi besi ditempat tersebut. Keberadaan jenis mineral kwarsa dapat menyebabkan warna tanah menjadi lebih terang. Selain itu, Hanafiah (2005) mengungkapkan bahwa warna tanah merupakan indikator dari bahan induk untuk tanah yang beru berkembang, indikator kondisi

iklim untuk tanah yang sudah berkembang lanjut, dan indikator kesuburan tanah atau kapasitas produktivitas lahan. Secara umum dikatakan bahwa makin gelap tanah berarti makin tinggi produktivitasnya, selain ada berbagai pengecualian, namun secara berurutan sebagai berikut putih, kuning, kelabu, merah, coklatkekelabuan, coklat-kemerahan, coklat, dan hitam. Kondisi ini merupakan integrasi dari pengaruh: 1. kandungan bahan organik yang berwarna gelap, makin tinggi kandungan bahan organik suatu tanah maka tanah tersebut akan berwarna makin gelap, 2. Intensitas pelindihan (pencucian dari horison bagian atas ke horison bagian bawah dalam tanah) dari ion-ion hara pada tanah tersebut, makin intensif proses pelindihan menyebabkan warna tanah menjadi lebih terang, seperti pada horison eluviasi, dan 3. kandungan kuarsa yang tinggi menyebabkan tanah berwarna lebih terang. b. Tekstur tanah Tanah adalah akumulasi tubuh alam bebas, menduduki sebagian besar permukaan planet bumi, yang mampu menumbuhkan tanaman, dan memiliki sifat sebagai akibat pengaruh jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam keadaan relief tertentu selama jangka waktu tertentu pula (Darmawijaya, 1992). Menurut Darmawijaya (1992), profil tanah harus memenuhi syarat-syarat : tegak, baru, dan jangan memantulkan cahaya. Batasan horizon tanah dapat diamati dengan menggunakan panduan jelas tidaknya tanah dan topografi. 1. Jelas tidaknya (distinctness) tanah, dibedakan atas : - tegas (abrupt), jika tebal batas kurang dari 2,5 cm.

- jelas (clear), jika tebal batas 2,5 6,0 cm. - berangsur (gradual), jika tebal 6 15 cm. - kabur (diffuse), jika lebih dari 15 cm. 2. Topografinya, dibedakan atas : - rata (smooth). - berombak (wavy). - tak teratur (irreguler). - patah (broken). Tekstur adalah perbandingan relatif tiga golongan partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan antara fraksi-fraksi lempung (clay), debu (silt) dan pasir (sand). 1. Fraksi pasir (sand), diameternya 2 mm 0,05 mm. 2. Fraksi debu (silt), diameternya 50 m 2 m. 3. Fraksi lempung (clay), diameternya > 2 m. Segitiga tekstur merupakan suatu diagram untuk menentukan kelas-kelas tekstur tanah. Ada 12 kelas tekstur tanah yang dibedakan oleh jumlah persentase ketiga fraksi tanah tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dan table berikut ini

Gambar 1. Segitiga tekstur tanah (USDA, 2009) Tersedianya unsur hara dan air dalam tanah salah satunya ditentukan oleh tekstur tanah. Tanah bertekstur lempung berpasir mengandung liat 15%-20%, debu 0%-50%, dan pasir 50%-70%, sedangkan tanah bertekstur pasir berlempung mengandung liat 10%-15%, debu 0%-30%, dan pasir 70%-85%. Kandungan liat dan bahan organik dalam tanah berpengaruh pada kemampuan pertukaran kation tanah. Tanah bertekstur lempung berpasir mengandung koloid lebih banyak dan memiliki kemampuan menyerap kation lebih banyak daripada tanah pasir (Buckman dan Brady, 1982 dalam Widhijanto, 2008). c. salinitas tanah Salinitas tanah adalah jumlah total konsentrasi garam terlarut yang terukur dalam tanah, atau secara praktis merupakan nilai konduktivitas elektrik tanah, sebab kedua hal tersebut saling berkaitan erat (Rhoades et al, 1999). Tanah yang mengandung kadar garam disebut sebagai tanah salin. Tanah salin mempunyai kadar garam netral larut dalam air sehingga dapat mengganggu pertumbuhan kebanyakan tanaman. Kurang dari 15 persen dari Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah ditempati oleh natrium dan biasanya nilai pH kurang dari 8,5. Hal ini disebabkan garam yang terdapat dalam tanah adalah netral dan juga karena hanya sedikit natrium dijumpai (Soepardi, 2003). Poerwowidodo (2002) mengklasifikasikan jumlah kandungan garam terlarut dalam tanah berdasarkan nilai EC, seperti disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi kadar garam dapat larut dalam tanah menurut DHL jenuh Kelas kegaraman tanah Nilai EC (mS/cm) Bebas garam 02 Agak bergaram 24 Bergaram cukup 48 Bergaram agak banyak 8 15 Bergaram banyak > 15 Sumber : Poerwowidodo, 2002. d. suhu tanah Suhu tanah merupakan hasil dari keseluruhan radiasi yang merupakan kombinasi emisi panjang gelombang dan aliran panas dalam tanah. Suhu tanah juga disebut intensitas panas dalam tanah dengan satuan derajat Celcius, derajat Fahrenheit, derajat Kelvin dan lain-lain (Sosrodorsono, 2006). Suhu tanah jarang dianggap sebagai faktor pembatas yang penting di wilayah tropik, walaupun demikian suhu tanah sangat diperhitungkan oleh manusia dan segala kehidupan di dunia. Pada tanah yang bersuhu dingin, tingkat reaksi kimia dan biologisnya rendah, dekomposisi nyaris terhenti, dengan demikian tersedianya unsur-unsur hara di dalam tanah yang dingin menjadi terbatas (unsur N, P, S, dan Ca) (Kartasapoetra, 2005). Kemampuan tanah untuk menyerap energi panas matahari bergantung pada faktor-faktor, antara lain : 1. 2. 3. Perbedaan penyerapan energi panas, seperti warna tanah. Keragaman panas jenis tanah, seperti susunan dan kadar air tanah. Perbedaan konduktivitas tanah, seperti kerapatan tanah serta kelembaban tanah.

Temperatur (suhu) adalah salah satu sifat tanah yang sangat penting secara langsung mempengaruhi terhadap kelembapan, aerasi, stuktur, aktifitas mikroba, dan enzimetik, dekomposisi serasah atau sisa tanaman dan ketersediaan unsur hara. Temperatur tanah merupakan salah satu faktor yang penting sebagaimana halnya air, udara dan unsur hara. Proses kehidupan mikroba tanah secara langsung dipengaruhi oleh temperatur tanah (Hanafiah, 2005). Suhu tanah beraneka ragam dengan cara khas pada perhitungan harian dan musiman. Fluktasi terbesar dipermukaan tanah dan akan berkurang dengan bertambahnya kedalaman tanah. Kelembapan waktu musiman yang jelas terjadi, karena suhu tanah musiman lambat bantuk fluktasi suhu pada peralihan suhu diudara atau dibawah tanah yang lebih besar. Suhu total untuk semalam mungkin terjadi pada tengah hari. Dibawah 6 inch atau 15 inch terdapat variasi harian pada suhu tanah (Sostrodarsono, 2006). 2.2.1. Parameter kimia a. derajat keasaman (pH) Secara sederhana nilai derajat keasaman (pH) merupakan indikasi atau tanda kalau air bersifat asam, basa (alkali), atau netral. Skala pH adalah logaritmik, artinya setiap satu unit yang terhitung merupakan sepuluh kali perubahan konsentrasi ion. Oleh karena itu, kalau terjadi sedikit perubahan pada nilai pH maka hal ini berarti terjadi perubahan yang sangat besar pada perbedaan kandungan ion (Lesmana, 2001). Pada umumnya tanah yang telah berkembang lanjut pada daerah iklim basah mempunyai pH tanah rendah. Makin lanjut umurnya makin asam tanah tersebut.

Sebaliknya tanah di daerah iklim kering, penguapan menyebabkan tertimbunnya unsur-unsur basa di permukaan tanah karena besarnya evaporasi dibandingkan dengan presipitasi, menyebabkan pH-nya tinggi (Afrianto dan Liviawati, 1991). b. bahan organik Menurut Sutedjo (1987), tanah dikelompokkan menjadi kelompok tanah mineral dan tanah organik berdasarkan kandungan bahan organiknya, yaitu: 1. Tanah mineral, meliputi tanah-tanah yang kandungan bahan organiknya kurang dari 20 % atau tanah yang mempunyai lapisan organik dengan ketebalan kurang dari 30 cm (diukur sejak dari permukaan). 2. Tanah organik adalah tanah yang kandungan bahan organiknya lebih dari 65% (hingga kedalaman 1 meter apabila tanah belum diolah). Kandungan bahan organik dalam tanah-tanah mineral pada umumnya hanya menunjukkan kadar prosentase yang sedikit, tetapi peranannya tetap besar dalam mempengaruhi sifat kimia fisika tanah. Menurut Brady dalam Sutedjo (1987), sifat yang dipengaruhinya antara lain : kemantapan agregat tanah, dan selain itu sebagai penyedia unsur hara, tenaga maupun komponen pembentuk tubuh jasad dalam tanah. Sumber utama bahan organik dalam tanah ialah jaringan tanaman, baik yang berupa serasah atau sisa-sisa tanaman, yang setiap tahunnya dapat tersedia dalam jumlah yang besar. Selain dari tanaman bahan organik juga berasal dari hewan pemakan tanaman, kotorannya ataupun hewan yang telah mati yang nantinya akan dirombak oleh jasad renik dalam tanah (Sutedjo, 1987).

Pengelompokkan bahan organik tanah berdasarkan (segi) kimiawi tanah dapat meliputi senyawa karbohidrat, protein dan lignin, serta sejumlah kecil senyawa lainnya seperti minyak, lilin dan lain-lain. Senyawa karbohidrat meliputi gula (dalam keadaan sederhaana) dan zat tepung, akan tetapi yang lebih banyak terdiri dari polisakarida yang tersusun atas gula heksosa, gula pentosa, dan asam uronik, yang kesemuanya ini mudah dan cepat dirombak oleh jasad renik tanah (Sutedjo, 1987). Secara kenyataannya kadar bahan organik dalam tanah pada suatu tempat dengan tempat lainnya adalah berlainan atau cukup beragam. Bentuk hasil perombakan bahan organik (limbah nabati) di dalam tanah relatif tahan terhadap pelapukan adalah humus. Bahan ini mempunyaai kapasitas pengikatan hara maaupun air yang tinggi, melampaui kapasitas liat (Sutedjo, 1987). Pembentukkan humus itu merupakan proses biokimia majemuk, di mana jaringan yang terdapat di dalam tanah mengalami panas dan lembab, dan dalam keadaan demikian kemudian diserang dengan hebat oleh bermacam-macam jasad, yang selanjutnya melalui tahapan terakhir dari prosesnya akan berubah merupakan senyawa sederhana yang melarut. Humus itu memiliki kekhususan koloidal dan amorf, memiliki permukaan luas berkapasitas absorpsi lebih besar dibanding dengan liat (Sutedjo, 1987). Tanah mengandung kompleks liat-humus, koloidal anorganik atau liat akan lebih mantap terhadap pengaruh cuaca, kegiatannya terutama kegiatan pertukaran kation, sedang humus (koloidal anorganik) tidak tetap dapat terdekomposisi oleh

alam ataupun jasad renik, memiliki kegiatan ganda pertukaran kation dan pembebasan hara (Sutedjo, 1987). Lapisan atas tanah (top soil) yang ketebalan solumnya sekitar 20 35 cm merupakan tanah yang relatif lebih subur jika dibandingakan dengan sub-soil, banyak mengandung bahan organik. Pada tanah-tanah yang bertekstur halus biasanya kegiatan jasad renik dalam perombakan bahan organik akan mengalami kesulitan dikarenakan tanah-tanah yang bertekstur demikian berkemampuan menimbun bahan-bahan organik lebih tinggi yang kemudian terserap pada kisi-kisi mineral, dan dalam keadaan terserap pada kisi-kisi mineral terserap tersebut jasad renik akan sulit merombaknya. Tentang kadar bahan organik, makin tinggi kandungan bahan organiknya maka warna tanah akan makin kelam/gelap, sebaliknya makin rendah/kurang kandungan bahan organik tanah itu, warna tanah makin terang (Sutedjo, 1987).

USDA. 2009. Soil Survey Manual. United States Department of Agriculture. soils.usda.gov.

Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Divisi Buku Perguruan Tinggi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 360 halaman. Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 233 halaman. Kartasapoetra. 2005. Teknologi Konservasi Tanah. Rineka jaya. Jakarta. Sosrodorsono. 2006. Variasi Tanah. Rineka Jaya. Bogor. Afrianto, E., dan Liviawati E. 1991 Pengendalian Hama& Penyakit Ikan. Cetakan Pertama. Penerbit Kanisisus. Yogyakarta Darmawijaya, M.I.1992. Klasifikasi Tanah. Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah dan Pelaksanaan Pertanian di Indonesia. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Lesmana, D. S.2001.Budidaya Ikan Hias Air Tawar Populer. Penebar Swadaya. Jakarta Widhijanto, W.B. 2008. Pengaruh waktu pemupukan dan tekstur tanah terhadap produktivitas rumput. Jurnal. Politeknik Negeri Jember.Jember Rhoades, J. D., F. Khanduvi, dan S. Lesch, 1999, Soil Salinity Assesment, FAO, Roma Soepardi, G, 2003, Sifat dan Ciri Tanah, IPB Press, Bogor Poerwowidodo, 2002, Metode Selidik Tanah, Usaha Nasional, Surabaya. Sutedjo, M.M., 1987. Pupuk dan cara Pemupukannya. Rineka cipta. Jakarta

You might also like