You are on page 1of 22

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874.2 Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta3 Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah dikembangkan mengenai kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab, pengobatan, dan pencegahan lepra masih terus diteliti.3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya Mycobacterium leprae, yang bersifat intraselular obligats. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 3 2.2 Etiologi Kuman penyebab adalah mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan pada media artifisial. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 x 0,5 m, tahan asam dan alkohol serta positif gram.3 2.3 Epidemiologi Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin rendah sosial ekonomi rendah makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan. Pada tahun 1991 World Heath Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi dibawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di indonesia dikenal dengan Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT 2000). Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 baru tercatat 249.0007. distribusi tidak

merata, yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,73.3 2.4 Klasifikasi Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu: TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil Ti: tuberkuloid indefinite BT: borderline tuberculoid BB: mid borderline BL: borderline lepromatous Li: lepromatosa indefinite LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL2. Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks biposi (IB), ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi RidleyJoping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi Ridley-Joping2. bentuk yang labil

2.5 Patogenesis Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang.5 Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar, salah satunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap oleh akan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh M. leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis saja. Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal, maka barulah akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel imunokompeten oleh stimulasi antigan M. leprae.6 Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebahan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya.5

Gambar 2.1 Prinsip mekanisme imunitas non spesifik dan spesifik7

Gambar 2.2 Imunitas selular dan humoral pada respon imun spesifik7 Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, disamping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.5

Gambar 2.3 Mekanisme delayed type hypersensitivity yang diduga berkaitan dengan adanya lesi pada kulit sebagai reaksi terhadap lepromin7 2.6 Dasar Diagnosis
2.6.1 Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala klinis Pada kusta, didaptkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada, sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni : Lesi kulit yang anestesi , penebalan saraf perifer, dan ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif. Masa inkubasinya 2 40 tahun (rata-rata 5 7 tahun). Onset terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa macula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi ke kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pafda pertama kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas 6

yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuoing hidung, daun telinga, dan lutut.3 Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2) Kerusakan sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4) kerusakan sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan raba). 3 Pemeriksaan fisik
1. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)

Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih mampu melokalisir sehingga didapatkan gambran batas yang tegas. Mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plak, dan pada bagian tengah dapat ditemukam lesi yang regresi atau central clearing. Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak dapat sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan asimetris.

Gambar 2.1 Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular

Gambar 2.2 Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy1

Gambar 2.3 Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular inkomplit dengan papul satelit1 2. Borderline Leprosy Pada tipe BB borderline,meruapakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan lepromatous. Terdiri dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang khas.. Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.

Gambar 2.4 Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy1 3. Lepromatous Leprosy Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit drngan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya. Distribusi lesi hampir seimetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat predileksi. Tipe LL, jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm, simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem. Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif membentuk facies leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejalan stocking and glove anesthesia.1

10

Gambar 2.5 Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy1 Pada reaksi lepra tipe 1, terjadi inflamasi akut pada lesi kulit, terdapat edema dan nyeri, bisa ulserasi. Edema paling berat terjadi di wajah, tangan, dan kaki. Pada reaksi lepra tipe 2, terdapat nodul yang nyeri dan berwarna merah, bisa abses atau ulserasi. Paling sering timbul di wajah dan ekstremitas bagian ekstensor1. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan 1) ekstremitas: neuropati sensoris, ulserasi telapak kaki, infeksi sekunder, ulnar and peroneal palsies, sendi Charcot, 2) hidung: kongesti kronik, epistaksis, destruksi kartilago dengan deformitas saddle-nose, 3) mata: kelumpuhan nervus kranialis, lagoftalmus, insensitivitas kornea. Pada LL, dapat terjadi uveitis, glaucoma, pembentukan katarak. Kerusakan kornea dapat terjadi sekunder terhadap trichiasis dan neuropati sensoris, infeksi sekunder, dan paralisis otot, 4) testis: terjadi hipogonadisme pada pasien LL, 5) amiloidosis sekunder karena gangguan hepar/ ginjal1. Tabel 2.1 Gambaran klinis, Baakteriologik, Imunologik Kusta Multibasile (MB) SIFAT Lesi Bentuk LL Makula, Infiltrat BL Makula, Plakat, 11 BB Plakat, Dome

Difus, Papul, Nodul Tidak terhitung, Jumlah praktis tidak ada kulit sehat Distribusi Permukaan Batas Anestesia BTA Lesi kulit Simetris Halus Berkilat Tidak Jelas Biasanya Tak Jelas Banyak (ada globus)

Papul Sukar dihitung, masih ada kulit sehat Hampir simetris Halus Berkilat Agak Jelas Tak Jelas Banyak Biasanya Negatif Negatif

Shaped (Kubah), Punched Out Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada Asimetris Agak Kasar/berkilat Agak Jelas Lebih Jelas

Agak Banyak Negatif Biasanya negatif

Sekret hidung Banyak (ada globus) Tes Lepromin Negatif

Tabel 2.2 Gambaran klinis, Baakteriologik, Imunologik Kusta Pausibasiler (PB) SIFAT Lesi TT BT I

12

Bentuk

Makula saja, makula dibatasi infiltrat

Makula dibatasi infiltrat

Hanya makula

Jumlah

Satu, dapat beberapa

Beberapa, atau satu Satu atau beberapa dengan satelit

Distribusi Permukaan Batas Anestesia BTA Lesi kulit

asimetris kering bersisik Jelas Biasanya Tak Jelas

Masih asimetris Kering bersisik Jelas Tak Jelas

variasi halus agak berkilat jelas/tidak tidak ada sampai tidak jelas

Negatif

Negatif/positif 1 Biasanya Negatif Positif lemah

Biasanya negatif Negatif Positi lemah sampai negatif

Sekret hidung Banyak (ada globus) Tes Lepromin Positif kuat (3+)

2.6.2 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae3. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP). 1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP 2+Bila 1 10 BTA dalam 10 LP 13

3+Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP 4+Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP 5+Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP 6+Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid. IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan. Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M. leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR. Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis3. 2.7 Diagnosis Banding

14

Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, ptiriasis versikolor, ptiriasis alba, Tinea korporis. Pada lesi papul, granuloma annulare, lichen planus. Pada lesi plak, tinea korporis, ptiriasis rosea, psoriasis. Pada lesi nodul, acne vulgaris, neurofibromatosis. Pada lesi saraf, amyloidosis, diabetes, trachoma3. 2.8 Penatalaksanaan Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.4 Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.4 Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.4 Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik. Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I. Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi: 1. Pausi Basiler (PB) 2. Multi Basiler (MB) 15

Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment. Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.3,4 Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).

Tabel 2.3 Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut WHO/DEPKES RI Rifampicin Dewasa (50-70 kg) Anak (5-14 th) 600 mg Ofloxacin 400 mg Minocyclin 100 mg

300 mg

200 mg

50 mg

16

PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat. Tabel 2.4 Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)2,3 Rifampicin Dewasa 600 mg/bulan Diminum Anak-anak (10-14 th) di Dapson 100 mg/hr diminum di rumah depan 50 mg/hari diminum di rumah depan

petugas kesehatan 450 mg/bulan Diminum di

petugas kesehatan MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun Tabel 2.5 Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)2,3 Rifampicin Dewasa 600 mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan Dapson Lamprene

100 mg/hari diminum 300 mg/bulan di rumah diminum di depan petugas kesehatan dilanjutkan dgn 50 mg/hari diminum di rumah

17

Anak-anak (10-14 th)

450 mg/bulan diminum di depan petugas

50 mg/hari diminum 150 mg/bulan di rumah diminum di depan petugas kesehatan dilanjutkan dg 50 mg selang sehari diminum di rumah

Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan Prinsip pengobatan Reaksi Kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

18

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari. Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon maksimal1,2,3.

Gambar 2.6 Regimen MDT

19

2.9 Prognosis Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang asien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun2.

BAB III KESIMPULAN Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya Mycobacterium leprae, yang bersifat intraselular obligats. Insidensi puncak pada usia 10-20 tahun dan 30-50 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Berdasarakan Ridley aand Jopling kusta dibagai menjadi TT,Ti,BT,BB,BI,Li,LL, dan menurut WHO dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler. Diagnosis Kusta dilakukan berdasarkam pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis. Penatalksanaan kusta dengan terapi regimen Multi Drug Treatment mulai diterapkan untuk mencegah kemungkinan timbul resistensi.

20

DAFTAR PUSTAKA 1. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. P 665671 2. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 17889-1796 3. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 6 Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2011; 73-88. 4. Lewis, Felisa S. Leprosy. http://emedicine.medscape.com/article/1104977overview, 21 Februari 2011.

21

5. Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi Pemula. 2000. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-67 6. Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotrans Pathologic Basic of Disease. 7th Edition. 2006. USA: McGraw Hill.

22

You might also like