You are on page 1of 13

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dunia pendidikan tak luput dari paradoks, yang berarti pujian semu. Kata paradoks berasal dari kata Bahasa Yunani paradoxon; para berarti semu dan doxon atau doxa berarti pujian, kemuliaan. Pendidikan dipuja-puji sebagai solusi terhadap masalah kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, diskriminasi, ketidakadilan, perkosaan terhadap martabat manusia, kesewenang-wenangan, kebohongan, dan konflik sosial. Pendidikan pun seringkali diharapkan dapat bernilai sebagai proses pembelajaran sekaligus sebagai pemberdayaan kemampuan (ability) dan kesanggupan (capability) peserta didiknya. Namun pada kenyataannya yang sampai kini terjadi adalah proses pendidikan di negeri ini seringkali justru menjadi sebuah beban bagi peserta didiknya selain melalui muatan-muatan kurikulumnya, juga melalui pendekatannya yang cenderung bersifat satu arah dan mengutamakan adanya pemaksaan keyakinan. Melalui proses pendidikan seringkali peserta didik dijadikan obyek dari sebuah proses tranfer pengetahuan dengan menghafal muatan-muatan pelajaran yang sangat padat. Pendekatan yang digunakan dalam proses pendidikan pun lebih menempatkan guru sebagai obyek dan peserta didik sebagai obyek, pun proses yang terjadi seringkali tidak memungkinkan adanya komunikasi dua arah yang sebenarnya antara guru dan peserta didiknya. Dalam kondisi yang demikian, maka nilai-nilai penghormatan terhadap kemanusiaan pun menjadi sulit untuk didiseminasikan kepada para peserta didik. Satu contoh misalnya dalam pendidikan humaniora, yang terutama diemban oleh mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn yang dulu bernama PMP). PPKn (PMP) bermula secara resmi pada 1978 dipuji karena berperan besar menjadikan manusia Indonesia sebagai penghayat dan pengamal nilai-nilai moral Pancasila. Namun ternyata nilai-nilai moral tersebut disampaikan dengan metode ceramah ataupun dihafal tanpa sosialisasi ke dalam praktek hidup sehari-hari. Proses penyampaian mata pelajaran ini masih jauh dari proses yang partisipatoris sehingga pelajaran PPKn menjadi verbalistis, bombastis, dan utopis meraih bintang di langit.

Sesungguhnya pendidikan sangat dipertimbangkan sebagai sektor yang strategis bagi bagian upaya diseminasi dan sosialisasi nilai-nilai hak asasi manusia, baik melalui muatan kurikulumnya maupun melalui pendekatan yang digunakan. Sehingga perlu dipertimbangkan adanya sebuah sistem pendidikan dengan muatan kurikulum yang mengutamakan pemahaman konteks dan penalaran melalui pendekatan yang partisipatif. Oleh sebab itu setiap manusia mempunyai hak asasi untuk mendapatkan pendidikan yang layak guna memgembangkan dirinya dan meraih kehidupan yang lebih baik. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana tanggapan masyarakat mengenai siswi yang sedang hamil untuk dapat diperbolehkan mengikuti dunia persekolahan? 2. Bagaimana solusi bagi siswi yang sedang hamil untuk dapat mengikuti Ujian Nasional (UN) ? 3. Apa sajakah yang dijadikan landasan-landasan teori dalam kasus hak bagi siswi yang sedang hamil diperbolehkan mengikuti Ujian Nasional (UN) susulan ? 1.3 Tujuan Penulisan 1. Mengetahui tanggapan-tanggapan yang berada di masyarakat sekarang ini. 2. Mengetahui solusi-solusi untuk siswi yang sedang hamil agar dapat mangikuti Ujian Nasional (UN) susulan. 3. Mengetahui landasan-landasan teori yang dapat dipergunakan dalam menangani kasusus siswi yang sedang hamil diperbolehkan mengikuti Ujian Nasional (UN) susulan.

BAB II
2

MASALAH
2.1 Hak Bagi Siswi Hamil Boleh Ikut UN Susulan Yayasan Hotline Pendidikan Jawa Timur memastikan seluruh siswi hamil yang ada di Surabaya bisa mengikuti ujian nasional hingga tuntas. Saat ini terdapat enam anak usia SMA yang hamil di luar nikah. Dari jumlah itu, dua di antaranya saat ini sedang menjalani ujian nasional "Awalnya sekolah melarang, tapi setelah kami lakukan pendekatan akhirnya para siswi yang hamil ini tetap bisa menjalani unas," kata koordinator Hotline Pendidikan Jawa Timur Isa Ansori usai bertemu dengan Komisi Kesejahteraan Dewan Perwakilan Rakyat daerah Jawa Timur, 19 april 2012 Menurut Isa, pelarangan siswi hamil mengikuti ujian sekolah bermula dari pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, Harun, yang meminta seluruh siswi hamil tidak usah mengikuti ujian nasional. Meski larangan ini belakangan dianulir Harun, banyak sekolah yang masih melarang para siswi hamil ini mengikuti ujian.

"Kami harus berkompromi dengan kepala sekolah. Mereka inginnya anak hamil ini tidak diberitahukan ke Dinas Pendidikan. Ya, kami siap saja yang penting mereka bisa ikuti unas," kata Isa Ansori. Untuk ujian nasional tingkat SMP yang akan digelar pada Senin mendatang, Hotline Pendidikan juga minta kepada kepala sekolah tetap mengizinkan para siswi hamil mengikuti ujian. Di Surabaya, kata Isa, terdapat seorang siswi hamil yang akan mengikuti ujian nasional pada senin mendatang. Ketua Komisi Kesejahteraan DPRD Jawa Timur Sugiri Sancoko berharap Dinas Pendidikan arif dalam menyikapi adanya siswi hamil yang akan mengikuti ujian. "Lebih baik Dinas Pendidikan tidak memperburuk psikis mereka (siswi hamil)," kata Sugiri.

Karena dianggap akan mencidera dunia pendidikan maka Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim melarang siswi yang hamil mengikuti ujian naisonal (UN). Jika ada sekolah yang tetap memperbolehkan siswi yang tengah berbadan dua mengikuti UN, berarti sekolah tersebut telah gagal dalam melakukan proses pendidikan.

Hal ini diungkapkan, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim, HArun kepada wartawan, Kamis (5/4). Bahkan, Harun juga menegaskan, pihaknya tidak memperbolehkan siswi mengikuti UN meski terdaftar sebagai peserta. "Kami tidak membolehkan siswi hamil ikut UN. Jika sekolah yang tetap mengikutsertakan siswi hamil berarti sekolah tidak berhasil dalam proses pendidikannya," jelasnya. Selain melarang, Harun juga menganggap sekolah yang mengizinkan siswi hamil mengikuti UN sebagai pelanggaran hakikat pendidikan. "Sekolah tempat mendidik anak menjadi baik. Untuk siswa berumahtangga, hamil atau kawin, bukan di lingkungan SD, SMP maupun SMA" ungkapnya. Harun juga beralasan, jika masalah siswi hamil dibiarkan mengikuti UN. Pihaknya mengkhawatirkan akan berdampak pada kemungkinan memberikan peluang yang sama pada keberlangsungan UN kedepan. "Usia sekolah adalah usia menuntut ilmu yang secara psikologis bukan merupakan usia menikah. Bahkan pemerintah sudah memberikan batasan usia menikah dengan aturan," tuturnya. Selain itu, lanjut Harun, umumnya siswi yang kedapatan hamil akan dikeluarkan dari sekolahnya. Namun, jika siswi tersebut tidak dikeluarkan karena kasusnya, maka siswi tersebut tetap diperkenankan mengikuti program ujian paket bukan UN. "Bagi mereka yg hamil mulai sekarang ikut ujian paket C," pungkasnya. Menjelang UN yang akan dimulai 16 April 2012 mendatang, Harun mengaku sampai saat ini pihaknya masih belum memperoleh laporan ada peserta UN yang hamil.( Gio)

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Tinjauan Pustaka Mengingat begitu pentingnya peranan pendidikan bagi kehidupan maka semua warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan baik itu pendidikan formal, informal, ataupun non formal. Peranan pendidikan sangat penting mengembangkan dirinya guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Seperti dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 menegaskan paling tidak terdapat dua tujuan Pendidikan Nasional, yaitu memiliki pengetahuan dan keterampilan. Menurut Soedijarto (1993: 70) pendidikan nasional selain bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa masih dituntut pula untuk : (1) meningkatkan kualitas manusia, (2) meningkatkan kemampuan manusia termasuk kemampuan mengembangkan dirinya, (3) meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia, dan (4) ikut mewujudkan tujuan nasional. Soedijarto (2000: 69) juga merekomendasikan bahwa untuk memasuki abad ke-21 dalam proses pembelajaran diperlukan: 1. learning to know, yaitu peserta didik akan dapat memahami dan menghayati bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh dari fenomena yang terdapat dalam lingkungannya. Dengan pendekatan ini diharapkan akan lahir generasi yang memiliki kepercayaan bahwa manusia sebagai kalifah Tuhan di bumi diberi kemampuan untuk mengelola dan mendayagunakan alam bagi kemajuan taraf hidup manusia, 2. learning to do, yaitu menerapkan suatu upaya agar peserta didik menghayati proses belajar dengan melakukan sesuatu yang bermakna, 3. learning to be, yaitu proses pembelajaran yang memungkinkan lahirnya manusia terdidik yang mandiri, dan 4. learning to live together, yaitu pendekatan melalui penerapan paradigma ilmu pengetahuan, seperti pendekatan menemukan dan pendekatan menyelidik akan memungkinkan peserta didik menemukan kebahagiaan dalam belajar. Selain itu dalam UU Pendidikan tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam
Pasal 5 ayat (1) dituliskan bahwa Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk

karena

dengan adanya pendidikan maka seseorang mendapatkan informasi-informasi dan dapat

memperoleh pendidikan yang bermutu. Dan ayat (2) yang berbunyi Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Di sini sangat jelas sekali maksud dari pasal 5 ayat 1 dan 2 tersebut bahwa memang setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan, baik itu pendidikan formal maupun non formal. Mereka yang mempunyai keterbatasan-keterbatasan fisik maupun mental juga mempunyai hak untuk memdapatkan pendidikan yang layak.

Menurut Mark dan Terence (2000) mengindikasikan bahwa kesadaran moral mengarahkan anak untuk mampu membuat pertimbangan secara matang atas perilaklunya dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah maupun di masyarakat. Mark dan Terence mengatakan "Morality is directed and constructed to perform a large range of independent functions to prohibit destruction and harm, to promote harmony and stability, to develop what is best in us. It promotes the social and economoc conditions that sustain mutually beneficial trust and cooperation, articulates ideals and excel lences, sets priorities among the activities that constitute our lives". Sedanngkan Kymlicka (2001) menegaskan bahwa relevansi penanaman kesadaran moral pendidikan yakni membentuk warga negara yang mempunyai rasa keadilan, kemampuan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mempunyai penghargaan akan hak-hak asasi manusia, bersikap toleran, dan memiliki rasa solider serta loyalitas terhadap yang lain. Benang merah yang dapat ditarik dari konsep Mark dan Terence adalah perlunya keseimbangan antara dimensi kognitif dan afektif dalam proses pendidikan. Artinya untuk membentuk manusia (Indonesia) seutuhnya tidak cukup hanya dengan mengembangkan kecerdasan berpikir atau IQ anak didik melalui segudang ilmu pengetahuan, melainkan juga harus dibarengi dengan pengembangan perilaku dan kesadaran moral. Tegasnya emotional intelligence (EI) atau kecerdasan emosional peserta didik yang terungkap dalam kemampuan anak membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, kesanggupan mengelola perasaan dengan baik sehingga terekspresikan secara tepat, efektif dan menyelaraskannya dengan pikiran, memiliki sikap ramah disertasi ketegasan serta kepekaan terhadap sesama di ruangan kelas seperti pernah diungkapkan oleh Daniel Goleman dalam buku "Emotional Intellegence"(1995) patut ditumbuh kembangkan dalam proses belajar secara berkelanjutan. Jadi, di dalam dunia pendidikan tidak hanya memberikan ilmu-ilmu atau pengetahuan-pengetahuan tetapi juga mengajarkan cara berperilaku dan membangun

moral yang baik sehingga diharapkan setiap warga negara Indonesia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mempunyai moral yang baik dan berperilaku dengan baik pula di dalam masyarakat sehingga dapat memperkecil kasus-kasus yang terjadi yang menimpa anak-anak sekolah contohnya seperti kasus hamil di luar nikah yang terjadi pada siswi-siswi yang masih duduk di bangku sekolah. Dalam UU Pendidikan pasal 26 ayat 1,2,5,6 tentang pendidikan non formal, yang berbunyi: (1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. (2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Dan pasal 27 ayat 1 dan 2 tentang pendidikan informal yang berbunyi : (1) (2) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan Oleh sebab itu dari penjelasan pasal-pasal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan informal maupun pendidikan non formal mempunyai fungsi yang sama yaitu tetap memberikan pembelajaran dan memberikan pengetahuan atau informasi-informasi yang dibutuhkan seseorang atau anak didiknya untuk dapat mengembangkan dirinya.

Seperti yang dituliskan juga dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Hak Mengembangkan Diri) yaitu pasal 12 yang berbunyi setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memeproleh pendidikan, memcerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, dan bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia. Serta pasal 14 ayat I yang berbunyi setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memproleh infomasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkunngan sosialnya. Dari kedua pasal tersebut sangat jelas bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan dan memperoleh informasi-informasi yaitu berupa pengetahuanpengetahuan melalui proses belajar di dunia persekolahan dan itu merupakan hak asasi bagi setiap manusia. Jadi bagi pihak manapun yang secara langsung maupun tidak langsung menghentikan seseorang dari sekolah dengan alasan apapun maka itu sudah termasuk kedalam melanggar UU yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

BAB IV ANALISIS
8

4.1 Analisis Beberapa hari belakangan ini, perhatian masyarakat terfokus pada isu penanganan siswi hamil diluar pernikahan. Jika yang berbadan dua adalah seorang mahasiswi, tentu perkaranya akan biasa saja, karena usia mereka sudah dewasa untuk memasuki jenjang perkawinan. Namun kasusnya menjadi heboh, apabila yang hamil adalah siswi SMA atau bahkan siswi SMP. Karena semakin seringnya isu tersebut beredar di kalangan masyarakat, maka DPRD membentuk Panitia Khusus (Pansus) Pendidikan, guna membahas secara khusus kebijakan adil bagi siswi yang diketahui hamil, ketika mereka masih berada di bangku sekolah. Apakah mereka mesti dikeluarkan dari sekolah, atau akan muncul kebijakan yang mengarahkan para siswi hamil tadi untuk masuk ke jalur pendidikan non formal? Ada beberapa pendapat masyarakat yang tetap menginginkan adanya sanksi tegas berupa pemberhentian siswi hamil dari sekolah. Namun tidak sedikit pula yang berharap, siswi hamil masih diberi kesempatan untuk menuntaskan masa belajar di sekolahnya. Mereka berpendapat bahwa apabila siswi yang sedang hamil tidak dikenakan sanksi tegas berupa pengeluaran dari sekolah, maka itu bisa menjadi preseden buruk. Kelak akan lebih banyak lagi siswi yang bertindak nekat, dan tidak takut-takut lagi melakukan seks bebas dengan pasangan masing-masing. Dan jelas hal itu merupakan pelanggaran. Mereka bukan saja telah melanggar norma atau aturan sekolah. Lebih dari itu, siswi bersangkutan sudah rontok moralnya, sehingga memang pantas jika diberi ganjaran. Akan tetapi ada juga yang kurang sependapat jika ada siswi yang sedang hamil langsung dikeluarkan dari sekolah. Semua harus dilihat kasus per kasus. Sebab tidak semua siswi melakukan perbuatannya itu dengan sadar. Ada yang terpaksa dan ada pula yang dipaksa oleh pasangan masing-masing. Untuk menjawab beda pendapat di tengah-tengah masyarakat, Panitia Khusus Pendidikan DPRD kembali mempertegas ketentuan mengenai hak pendidikan siswi yang diketahui sedang hamil. Pasal 9 Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) Pendidikan tentang norma dan agama menyatakan, bahwa hak seorang siswi menuntut ilmu di sekolah formal akan hilang atau gugur bila yang bersangkutan diketahui berbadan dua. Namun, ketentuan tersebut sempat mencuatkan perdebatan sengit dalam pembahasan Raperda Pendidikan DPRD. Hal ini semata-mata dilatarbelakangi oleh pertimbangan kesamaan hak setiap warga menuntut ilmu.

Pada awalnya, perdebatan tadi muncul menyusul sikap sejumlah sekolah yang mengaku terpaksa berempati kepada salah satu siswinya bila diketahui sedang hamil. Mereka memberikan dispensasi kepada yang bersangkutan untuk dapat meneruskan pendidikan, khususnya terhadap siswi yang telah memasuki masa ujian akhir. Akan Tetapi Apabila kita membela satu anak hamil, maka ke depan akan berdampak pada anak lainnya untuk melakukan hal sama. Oleh sebab itu bukan berarti hak siswi hamil untuk bersekolah serta merta menjadi hilang. Mereka tetap dapat melanjutkan sekolah melalui jalur Pendidikan Non Formal. Dan bagi siswi hamil yang hanya tinggal menunggu untuk mengikuti ujian nasional pemerintah daerah setempat akan mengupayakan solusi untuk masalah tersebut yaitu memperbolehkan mengikuti UN susulan pada akhir April mendatang bersamasama siswa-siswi lain yang berhalangan tetap saat jadwal UN tingkat SMU/SMKK/MA, 17-19 April 2007 atau ujian paket C setara UN. Karena apabila seorang siswi yang sedang hamil tidak diperbolehkan untuk mengikuti ujian nasional (UN) maka siswi tersebut tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Dengan kata lain siswi tersebut tidak dapat mengembangkan dirinya serta memperoleh informasi untuk guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Oleh sebab itu fungsi Ujian Nasional sangat penting dalam proses pendidikan saat ini. Ujian akhir adalah evaluasi yang dilakukan pada akhir program di setiap satuan dan jenjang pendidikan, termasuk program Paket A, Paket B dan Paket C, yang berfungsi: 1. Sebagai pengendalian mutu dalam sistem pendidikan. Hal ini berarti ujian akhir diharapkan menjadi salah satu mekanisme dan instrumen pengendalian mutu lulusan agar sesuai dengan kualifikasi atau standar minimal yang telah ditetapkan. 2. Ujian akhir dapat digunakan sebagai instrumen akuntabilitas, untuk menyampaikan informasi kepada orang tua dan masyarakat mengenai keberhasilan dan manfaat dari dana yang dikeluarkan untuk pendidikan dan menginformasikan kemajuan dan kemunduran prestasi akademik para lulusan setiap tahunnya, sehingga dengan demikian pertanggungjawaban sekolah tidak hanya kepada Dinas Pendidikan tetapi juga kepada masyarakat, baik prestasi akademik maupun peringkat sekolah. 3. Hasil ujian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk seleksi, penempatan, dan penjurusan peserta didik. Nilai ujian akhir dapat digunakan 10

sebagai bahan pertimbangan dalam penjurusan seorang lulusan. Di samping itu, nilai ini dapat dimanfaatkan pula sebagai bahan pertimbangan untuk menerima atau menolak seorang lulusan yang mendaftar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau melamar pekerjaan. 4. Hasil ujian akhir dapat dijadikan sebagai alat diagnostik, berupa analisis statistik terhadap ujian akhir sebagai alat untuk mengevaluasi sistem maupun kebijakan yang telah diambil, serta mengidentifikasi variabel-variabel yang menentukan keberhasilan pada suatu kebijakan maupun pada sistem secara keseluruhan. 5. Ujian sebagai evaluasi eksternal, diharapkan berfungsi sebagai alat pendorong atau pemberi motivasi kepada peserta didik untuk belajar lebih sungguhsungguh dan memotivasi guru untuk mengajar lebih sungguh-sungguh dalam mencapai standar nasional minimal yang telah ditetapkan. Ujian diharapkan pula berfungsi sebagai alat pendorong kepada orang tua murid dalam mempersiapkan masa depanya (Badan Litbang Depdiknas 2003). Kelima fungsi tersebut sejalan dengan adanya pergeseran paradigma evaluasi pendidikan dari process oriented ke outcomes oriented. Outcomes dalam hal ini dapat dilihat dari kompetensi peserta didik, dan hasil belajar yang dinilai. Sedangkan Ujian paket C adalah pendidikan kesetaraan. Biasanya, peserta paket ini adalah mereka-mereka yang telah bekerja dan membutuhkan ijazah SMA untuk kepentingan legitimasi di kantor, seperti naik pangkat atau penyesuaian gaji. Jadi, paket ini pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai legitimasi untuk memasuki perguruan tinggi. Akan tetapi sekarang Paket C dipaksakan menjadi pintu masuk ke perguruan tinggi. Maka dari itu perbedaan ujian paket C dengan ujian ulangan tidak ada lagi perbedaan. Artinya, ujian paket C tahun ini sama dengan ujian ulangan.

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan

11

Dewasa ini banyak sekali kasus-kasus yang menimpa siswi-siswi yang masih duduk dibangku sekolah, salah satu contoh kasusunya adalah kasus siswi hamil di luar nikah. Banyak masyarakat yang kontrofersi atas kasus tersebut salah satunya adalah apakah siswi yang sedang hamil tersebut diperbolehkan mengikuti Ujian Nasional atau tidak?. Seperti dalam dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Hak Mengembangkan Diri) yaitu pasal 12 yang berbunyi setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memeproleh pendidikan, memcerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, dan bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia. Serta pasal 14 ayat I yang berbunyi setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memproleh infomasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkunngan sosialnya. Dari penjelasan kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan informasi atau pengetahuan-pengetahuan khususnya di dalam bangku persekolahan. Jadi siswi yang sedang hamil pun diperbolehkan untuk mendapatkan pendidikan baik itu pendidikan formal, informal, maupun non formal karena itu sudah menjadi haknya sebagai warga negara Indonesia dan mereka juga berhak untuk mengembangkan dirinya demi meraih kehidupan yang lebih baik lagi di masa depan. Oleh karena itu solusi bagi siswi yang sedang hamil untuk mendapatkan haknya adalah diperbolehkan mengikuti UN susulan pada akhir April mendatang bersama-sama siswa-siswi lain yang berhalangan tetap saat jadwal UN tingkat SMU/SMKK/MA, 1719 April 2007 atau ujian paket C setara UN.

5.2 Saran Diharapkan pemerintah dapat lebih memperhatikan nasib dan hak-hak bagi siswi yang sedang hamil untuk dapat mengikuti dunia persekolahan kembali dan dapat mengikuti Ujian Nasional (UN) untuk dapat mengembangkan dirinya guna meraih kehidupan atau masa depan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
www.google.com UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

12

13

You might also like