You are on page 1of 8

LAPORAN INDIVIDU TUTORIAL ASISTENSI AGAMA ISLAM

SKENARIO 1

EUTHANASIA DITINJAU DARI ASPEK AGAMA DAN ILMU KEDOKTERAN

OLEH : NISAU LUTHFI NUR AZIZAH G00011151

ASISTEN : DYAH LISTYORINI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2011

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sejauh ini tidak ada peraturan atau hukum yang mengatur diperbolehkannya euthanasia di Indonesia. Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang walaupun atas permintaan dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Namun, praktik euthanasia dalam kehidupan sekitar kita dapat dikatakan lumayan sering terjadi dan menjadi suatu perdebatan mengenai diperbolehkan atau tidaknya euthanasia. Beberapa kalangan menyetujui euthanasia dan terdapat pula pihak yang tidak setuju euthanasia. Dalam skenario dijelaskan bahwa setelah 2 bulan opname di RS tingkat Propinsi yang peralatan medisnya cukup lengkap dan canggih, suami pasien dengan perasaan sedih dan lemas melapor pada dokter yang merawat isterinya: Dok, mohon maaf kami terpaksa akan membawa pulang isteri saya. Kami ucapkan banyak terima kasih atas perawatan dokter selama ini. Segala resiko yang terjadi akan kami tanggung. Suami pasien seorang buruh tani, keadaan sosial ekonomi rendah, umur pasien 45 tahun. Untuk keperluan opname isterinya di RS ia telah menjual tanah pekarangannya, sedang ia masih menanggung kedua anaknya yang masih sekolah SD dan SMP. Pasien dirawat dengan coma karena cirrhosis hepatis. Berdasarkan data yang telah diperoleh dari skenario diatas, keluarga pasien telah siap untuk merelakan pasien meninggal dikarenakan tidak sanggupnya keluarga pasien menanggung biaya pengobatan pasien. Sehingga keluarga meminta dokter untuk melakukan euthanasia pasif dengan menghentikan pengobatan. Dalam pengambilan keputusan dilakukannya euthanasia dokter harus mempertimbangkan aspek etika, moral, medikolegal, profesionalisme serta keselamatan pasien. Dalam menganalisis skenario ini, penulis berusaha membahas euthanasia

dari sudut pandang agama, hukum, dan etika, penatalaksanaan euthanasia, serta mencari jalan keluar dalam menangani kasus yang melibatkan keluarga tidak mampu. Diharapkan kelak dalam mengaplikasikan ilmu kedokteran di masyarakat, penulis telah siap apabila telah menemui kasus yang setipe dengan kasus dalam skenario ini, dan bisa menjalankan profesi kedokteran dengan professional

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pandangan semua kasus diatas menurut Al-Quran? 2. Bagaimana pandangan semua kasus diatas menurut Al-Hadist? 3. Bagaimana pandangan semua kasus diatas menurut ilmu kedokteran? 4. Apakah menetujui kepulangan pasien termasuk dalam euthanasia? 5. Euthanasia dilihat dari aspek etik, medikolegal, moral, SKP, dan ekonomi?

C. Tujuan 1. 2. Mengetahui penanganan pasien dari keluarga ekonomi tidak mampu. Mengetahui prosedur dan aturan euthanasia dilihat dari aspek etika,agama dan hukum.

D. Manfaat Mampu memutuskan keputusan mengenai apa yang akan diambil jika terjadi kasus seperti skenario.

BAB II

STUDI PUSTAKA
Euthanasia adalah pengakhiran hidup atas dasar kasihan; mengakhiri kehidupan seseorang secara sengaja karena menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. (Kamus Kedokteran Dorland) Asal istilah euthanasia bermula dari bahasa Yunani, yaitu euthanatos. Eu berarti baik tanpa derita dan Thanatos artinya adalah mati. Ada seorang penulis Yunani bernama Suetonius dalam bukunya Vitaceasarum menjelaskan anti euthanasia sebagai mati cepat tanpa derita. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) mendefinisikan euthanasia sebagai berikut: Euthanasia dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk

memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri. Di dalam ilmu kedokteran, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu: a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, buat yang beriman degan menyebut nama Tuhan; b. Waktu hidup akan berakhir, diiringi penderitaan si pasien dengan memberikan obat penenang; c. Mengakhiri penderitaan hidup seorang pasien dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Dengan demikian euthanasia dalam ilmu kedokteran dapat dibedakan dalam dua macam pengertian yaitu: a. Euthanasia aktif adalah tindakan terapi yang sengaja dilakukan dengan suatu harapan untuk mempercepat kematian pasien; Euthanasia pasif adalah perbuatan membiarkan pasien meninggal dengan cara menghentikan terapi.

BAB III PEMBAHASAN


Menurut PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, & atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Berdasarkan pada arti kematian tersebut, euthanasia diperbolehkan untuk dilakukan jika sel saraf batang otak pasien telah mati. Namun, dalam pelaksanaan euthanasia diperlukan persetujuan dari keluarga, wali, ataupun orang yang mengurus pasien. Dalam agama Islam, pelaksanaan euthanasia diharamkan. Hal ini merujuk pada QS. Al-Mulk ayat 2, yang artinya, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. Selain itu dalam QS. An-Nisa ayat 29, yang artinya, Janganlah membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. QS Al-anam: 151: dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar" Ditegaskan pula dalam Q.S. Al-Isra:33 : Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan Dan hanya Allah yang berhak melakukan tindakan untuk mengakhiri hidup seseorang, bukan orang lain atau diri sendiri (QS. Yunus ayat 56). Hal ini juga dinyatakan dalam Q.S Al-Hijr ayat 23, yang artinya Dan sesungguhnya Kami yang menghidupkan dan yang mematikan dan juga dalam QS. An-Najm ayat 44. Dalam hadis, Rasulullah secara tegas melarang tindakan bunuh diri, seperti bunyi hadits-hadits berikut ini:

a.

Rasulullah bersabda, Barangsiapa mencekik lehernya, ia akan mencekik leher pula dalam neraka dan barangsiapa menikam dirinya, ia juga akan menikam diri pula dalam neraka. (HR. Bukhari dan Muslim) Rasulullah bersabda, Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal, yaitu jiwa ditebus dengan jiwa, janda yang melakukan zina dan orang yang meninggalkan agama. (HR. Bukhari dan Muslim) Jika alasan dilakukannya euthanasia dikarenakan merasa kasihan terhadap

b.

pasien, tetap saja tidak dibenarkan. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda, Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu. (HR Bukhari dan Muslim). Bersabda Nabi Muhammad SAW Ada diantara umat sebelum kalian seorang laki-laki yang terluka parah, sehingga ia tak tahan menahan sakit, maka ia mengambil pisau dan memutuskan urat nadinya, maka tumpahlah darahnya sampai ia mati. Maka berfirman Allah SWT: Hamba-Ku telah berani mendahului (keputusan) Ku, maka Aku haramkan surga baginya. (HR. Bukhari dan Muslim) Sehingga dalam agama Islam tidak dapat diterima dilakukannya euthanasia baik itu euthanasia aktif maupun pasif. Hukum di Indonesia juga melarang dilakukkannya euthanasia. Hal ini tercantum pada pasal-pasal KUH Pidana, sebagai berikut: a. Pasal 338: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya lima belas tahun. b. Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan

berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun. c. Pasal 344: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun. d. Pasal 345: Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri. e. Pasal 359: Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun Dalam Kode etik kedokteran Indonesia (KODEKI) pasal 2 dijelaskan bahwa Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi. Sehingga seorang dokter dalam melakukan profesi kedokterannya harus sesuai dengan ilmu kedokteran, hukum dan agama. Dalam KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani. Artinya setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup (quality of life) dan berusaha mencegah kematian (mortalitas) dini. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, etika dan disiplin ilmu. Sehingga menurut kode etik kedokteran euthanasia dilarang dengan pengecualian jika sel saraf batang otak pasien telah tidak berfungsi dan alat bantu medis beserta bantuan medis lainnya hanya bersifat menunjang kehidupan, maka euthanasia boleh dilakukan dengan melepaskan alat bantu medis. Upaya pemerintah dalam membantu pengobatan masyarakat kurang mampu adalah dengan menyediakan bantuan berupa Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin), dan lain-lain.

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN
Euthanasia dari sudut pandang hukum, kode etik, maupun agama melarang dilakukannya euthanasia. Namun, terdapat pengecualian dimana euthanasia diperbolehkan, yaitu jika sel saraf batang otak pasien telah tidak berfungsi dan alat bantu medis beserta bantuan medis lainnya hanya bersifat menunjang kehidupan, maka euthanasia boleh dilakukan dengan melepaskan alat bantu medis.

B. SARAN

You might also like