You are on page 1of 56

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan kebaikanNya saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul SUMBATAN HIDUNG ini. Saya ingin menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada pembimbing, Dr. Fitriah, S. Sp.THT atas bimbingan yang diberikan sehingga saya dapat menyelesaikanreferat ini, serta kepada semua pihak yang telah membantu. Saya sangat menyadari bahwa pada referat ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan dalam penyusunan selanjutnya. Semoga referat ini dapat berguna bagi semua pihak yang membacanya.

Jakarta, 28 Maret 2011

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..1 DAFTAR ISI 2 PENDAHULUAN.3 ANATOMI HIDUNG...4 POLIP HIDUNG.17 KELAINAN SEPTUM....22 DEVIASI SEPTUM22 HEMATOMA SEPTUM24 ABSES SEPTUM....25 RINITIS ALERGI...27 RINITIS VASOMTOR.. 45 KESIMPULAN52 DAFTAR PUSTAKA...53

BAB I PENDAHULUAN

kongesti hidung adalah penyumbatan pada bagian hidung biasanya disebabkan lapisan membran hidung menjadi bengkak karena peradangan pembuluh darah. Hal ini juga dikenal sebagai hidung tersumbat.Hidung tersumbat memiliki banyak penyebab dan mengakibatkan gangguan ringan sampai suatu kondisi yang mengancam jiwa. Hidung tersumbat pada bayi dalam beberapa bulan pertama kehidupan dapat mengganggu proses menyusui dan menyebabkan gangguan pernapasan yang mengancam jiwa. Hidung tersumbat pada anak-anak yang lebih tua dan remaja sering hanya sebuah gangguan tetapi dapat menyebabkan kesulitan lain. Hidung tersumbat dapat mengganggu telinga, pendengaran, dan perkembangan berbicara. kemacetan yang signifikan dapat mengganggu tidur, penyebab mendengkur, dan dapat dikaitkan dengan apnea tidur . Pada anak-anak, hidung tersumbat dari pembesaran kelenjar gondok telah menyebabkan apnea tidur kronis dengan ketidakcukupan oksigen tingkat dan hipoksia , serta gagal jantung sisi kanan. Masalahnya biasanya sembuh setelah operasi untuk menghapus kelenjar gondok dan amandel.Hidung tersumbat juga dapat menyebabkan kepala ringan wajah dan nyeri , dan tingkat ketidaknyamanan.

BAB II HIDUNG

II.1. ANATOMI HIDUNG Berdasarkan anatominya, hidung dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hidung bagian luar dan bagian dalam. II.1.1. HIDUNG BAGIAN LUAR Hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Kerangka tulang rawan terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga kartilago alar mayor, beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.

Gambar 2.1 Anatomi hidung bagian luar tampak anterolateral dan inferior

II.1.2. HIDUNG BAGIAN DALAM Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di posterior yang memisahkan kavum nasi dengan nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah yang membagi kavum nasi menjadi dua bagian. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang bagian belakang disebut nares posterior atau koana. Koana menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. II.1.2.1. KAVUM NASI Kavum nasi memiliki 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan superior. 1. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawannya adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. 2. Pada dinding lateral hidung bagian depan terdapat suatu bagian licin yang disebut ager nasi. Sedangkan di bagian belakang terdapat 4 buah konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Konka inferior merupakan konka terbesar dan terletak paling bawah. Konka yang lebih kecil adalah konka media, lalu yang lebih kecil lagi adalah konka superior. Konka yang terkecil adalah konka suprema yang biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung, terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, meatus dibagi menjadi 3 yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid. 3. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os maksila dan os palatum.
5

4. Dinding superior atau atap hidung dibentuk oleh lamina kribriformis yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid. Tulang ini berlubang-lubang seperti saringan dan merupakan tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sphenoid.

Gambar 2.2 Dinding medial hidung

Gambar 2.3 Dinding lateral hidung

Gambar 2.4 Potongan koronal dari kavum nasi Rongga hidung dilapisi oleh mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated pseudo stratified columnar epithelium) dan di antaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga atas septum. Mukosa ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia (pseudostratified collumner non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel yaitu sel penunjang, sel basal, dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara, mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian, mukosa hidung menyerupai
7

jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom. II.1.2.2. SINUS PARANASAL Terdapat 4 pasang sinus paranasal mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai ostium ke dalam rongga hidung. Sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada sejak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun. Kompleks ostiomeatal merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur yang membentuk kompleks ostiomeatal adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, ager nasi, dan resesus frontal. Kompleks ostiomeatal merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal.

Sphenoidal sinus Maxillary sinus

Gambar 2.5 Sinus paranasal


8

Gambar 2.6 Kompleks Ostiomeatal II.1.3. PENDARAHAN HIDUNG Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor yang disebut plexus Kiesselbach atau Littles area. Plexus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak. Vena-vena di hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Gambar 2.7 Pendarahan dinding lateral hidung

Gambar 2.8 Pleksus Kiesselbach

10

Gambar 2.9 Suplai arteri hidung bagian luar II.1.4 PERSARAFAN HIDUNG Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan percabangan dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

11

Gambar 2.10 Persarafan Bagian Kepala

Gambar 2.11 Persarafan Hidung II.1.5. SISTEM LIMFATIK HIDUNG Pada sistem limfatik hidung terdapat jaringan pembuluh anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian anterior hidung yaitu vestibulum dan daerah prekonka. Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung, menggabungkan
12

ketiga saluran utama di daerah hidung belakang yaitu saluran superior, media, dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba eustachius dan bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok media berjalan di bawah tuba eustachius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna.

Gambar 2.12 Sistem Limfatik Kepala dan Leher II.2. FISIOLOGI HIDUNG Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung adalah fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal, fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu, fungsi fonetik untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma, dan pelindung panas. Yang terakhir adalah refleks nasal.

13

II.2.1. FUNGSI RESPIRASI Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan, aliran udara memecah, sebagian akan melalui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring. II.2.2. PENGATUR KONDISI UDARA Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat Celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. II.2.3.FUNGSI PENGHIDU Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.

Gambar 2.13 Fungsi Penghidu

14

II.2.4. PURIFIKASI UDARA Rambut hidung atau vibrissae pada vestibulum nasi yang berlapis kulit berperanan dalam filtrasi udara. Anatomi bagian dalam hidung yang ireguler menimbulkan arus balik udara inspirasi, dengan akibat penimbunan partikel dalam hidung dan nasofaring. Benda asing, termasuk bakteri dan virus akan diangkut melalui transport mukosiliar ke dalam lambung untuk disterilkan sekresi lambung. Gas-gas yang larut juga dikeluarkan dari udara saat melewati hidung. Makin larut air suatu gas, makin sempurna pengeluarannya oleh mukosa hidung. II.2.5. FUNGSI MUKOSILIAR Sistem transpor mukosiliar merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur, atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seruminosa submukosa. Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian permukaannya terdiri dari mucus yang lebih elastik dan banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG, IgM, dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA). Lapisan atas dari lapiran mucus yang amat tipis ini kaya akan glikoprotein, lebih kental, dengan kekuatan tegangan yang memungkinkan gerakan kaku silia ke depan untuk mempertahankan gerakan lapisan ke posterior dalam aliran kontinu. Lapisan bawah, lapisan perisiliaris lebih encer, menimbulkan sedikit hambatan terhadap gerak pemulihan selia. Lapisan mucus diperbaharui oleh kelenjar submukosa dua atau tiga kali dalam satu jam. Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi di dalam mukosa dengan memacu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri.

15

Gambar 2.14 Silia II.2.6. FUNGSI FONETIK Pembentukan bicara merupakan suatu proses yang kompleks, melibatkan paru-paru sebagai sumber tenaga, laring sebagai pembentuk suara, dan struktur kepala dan leher seperti bibir, lidah, gigi, dan lain-lain sebagai artikulator untuk mengubah suara dasar dari laring menjadi pembicaraan yang dapat dipahami. Hidung membantu pembentukan konsonan nasal seperti m, n, ng. Pada pembentukan konsonan nasal tersebut, rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang sehingga suara terdengar sengau (rinolalia). II.2.7. REFLEKS NASAL Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Faal paru-paru normal bergantung pada pernapasan hidung. Tonus bronkus tergantung pada refleks nasopulmonaris yang menyebabkan perubahan tahanan dan perfusi paru-paru total. Suatu penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan vascular perifer juga dikaitkan dengan rangsangan membran hidung. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.

16

BAB III POLIP HIDUNG


III.1 Definisi Polip hidung adalah kelainan mukosa hidung dan sinus paranasal terutama kompleks osteomeatal (KOM) di meatus nasi medius berupa massa lunak yang bertangkai, bentuk bulat atau lonjong,berwarna putih keabu-abuan. Permukaannya licin dan agak bening karena banyak mengandung cairan.Sering bilateral dan multipel. Polip merupakan manifestasi dari berbagai penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rinitis alergi, asma, dan lain-lain.

III.2 Etiologi Polip Hidung Etiologi polip hidung belum diketahui secara pasti. Namun ada 3 faktor yang berperan dalam terjadinya polip nasi, yaitu : 1. Peradangan : Peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang kronik dan berulang. 2. Vasomotor : Gangguan keseimbangan vasomotor. 3. Edema : Peningkatan tekanan cairan interstitial sehingga timbul edema mukosa hidung. Terjadinya edema ini dapat dijelaskan oleh fenomena Bernoulli.Fenomena Bernoulli yaitu udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan menimbulkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya sehingga jaringan yang lemah ikatannya akan terisap oleh tekanan negatif
17

tersebut. Akibatnya timbullah edema mukosa. Keadaan ini terus berlangsung hingga terjadilah polip hidung. Ada juga bentuk variasi polip hidung yang disebut polip koana (polip antrum koana). Polip koana (polip antrum koana) adalah polip yang besar dalam nasofaring dan berasal dari antrum sinus maksila. Polip ini keluar melalui ostium sinus maksila dan ostium asesorisnya lalu masuk ke dalam rongga hidung kemudian lanjut ke koana dan membesar dalamnasofaring. III. 3 Patogenesis Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terbentukpolip. Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus medial III.4 Diagnosis Polip Hidung Cara menegakkan diagnosa polip hidung, yaitu : 1. Anamnesis 2. Pemeriksaan fisik : Terlihat deformitas hidung luar. 3. Rinoskopi anterior : Mudah melihat polip yang sudah masuk ke dalam rongga hidung.

18

4. Endoskopi : Untuk melihat polip yang masih kecil dan belum keluar dari kompleks osteomeatal. 5. Foto polos rontgen & CT-scan. Untuk mendeteksi sinusitis. 6. Biopsi : Kita anjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien berusia lanjut, menyerupai keganasan pada penampakan makroskopis dan ada gambaran erosi tulang pada foto polos rontgen. Anamnesis untuk diagnosis polip hidung : 1. Hidung tersumbat. 2. Terasa ada massa didalam hidung. 3. Sukar membuang ingus. 4. Gangguan penciuman : anosmia & hiposmia. 5. Gejala sekunder : Bila disertai kelainan jaringan & organ di sekitarnya seperti post nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal (bindeng), telinga rasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. III.5. Diagnosis Banding Diagnosis banding dari polip nasi adalah : a. Angiofibroma Nasofaring Juvenil Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan asal tumor ini mempunyai tempat perlekatan spesifik di dinding posterolateral atap rongga hidung. Dari anamnesis diperoleh adanya keluhan sumbatan pada hidung dan epistaksis berulang yang masif. Terjadi obstruksi hidung sehingga timbulrhinor hea kronis yang diikuti gangguan penciuman. Oklusi pada tuba Eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia menandakan adanya perluasan tumor ke intrakranial. Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi posterior terlihat adanya massa tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, diliputi oleh selaput lendir keunguan. Mukosa mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulcerasi. Pada pemeriksaan penunjang radiologik konvensional akan terlihat gambaran klasik disebut sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus Pterigoideus ke belakang.

19

Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak perluasan tumor dan destruksi tulang sekitarnya. Pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna akan memperlihatkan vaskularisasi tumor. Pemeriksaan PA tidak dilakukan karena merupakan kontra indikasi karena bisa terjadi perdarahan. Angiofibroma Nasofaring Juvenil banyak terjadi pada anak atau remaja laki-laki. b. Keganasan pada hidung Etiologi belum diketahui, diduga karena adanya zat-zat kimia seperti nikel, debu kayu, formaldehid, kromium, dan lain-lain. Paling sering terjadi pada laki-laki. Gejala klinis berupa obstruksi hidung, rhinorhea, epistaksis, diplopia, proptosis, gangguan visus, penonjolan pada palatum, nyeri pada pipi, sakit kepala hebat dan dapat disertai likuorhea. Pemeriksaan CT scan memperlihatkan adanya pendesakan dari massa tumor . Pemeriksaan PA didapatkan 85% tumor termasuk sel squamous berkeratin. III.6. Terapi Polip Hidung Ada 3 macam terapi polip hidung, yaitu : 1. Medikamentosa : kortikosteroid, antibiotik & anti alergi. 2. Operasi : polipektomi & etmoidektomi. 3. Kombinasi : medikamentosa & operasi. Berikan kortikosteroid pada polip yang masih kecil dan belum memasuki rongga hidung. Caranya bisa sistemik, intranasal atau kombinasi keduanya. Gunakan kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan dalam jangka waktu singkat. Berikan antibiotik jika ada tanda infeksi. Berikan anti alergi jika pemicunya dianggap alergi.Polipektomi merupakan tindakan pengangkatan polip menggunakan senar polip dengan bantuan anestesi lokal. Kategori polip yang diangkat adalah polip yang besar namun belum memadati rongga hidung. Etmoidektomi atau bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan tindakan pengangkatan polip sekaligus operasi sinus. Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang sangat besar, berulang,dan jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal. Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan sebelum dan sesudah operasi.Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk langkah profilaksis pasca operasi.

20

III.7. Prognosis Polip polip yang nasi multipel. dapat Polip tunggal muncul yang kembali besar seperti selama polip iritasi antral-koanal

alergi masih tetap berlanjut. Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila adanya jarang terjadi relaps III.8.Komplikasi terapi Komplikasi yang terbanyak meliputi :

SSP Kerusakan LCS , meningitis, perdarahan intrakranial, abses otak, hernisasi otak Mata - Kebutaan, trauma nervus opticus, orbital hematoma, trauma otot-otot mata bisa menyebabkan diplopia, trauma yang mengenai duktus lakrimalis dapat menyebabkan epiphora

Pembuluh darah trauma pada pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan. Kematian

BAB IV
21

KELAINAN SEPTUM

IV.1 DEVIASI SEPTUM IV.1.1 Definisi Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi septum dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi, yaitu: 1. Tipe I; benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara. 2. Tipe II; benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna. 3. Tipe III; deviasi pada konka media (area osteomeatal dan turbinasi tengah). 4. Tipe IV, S septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya). 5. Tipe V; tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih normal. 6. Tipe VI; tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga menunjukkan rongga yang asimetri. 7. Tipe VII; kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.

22

Bentuk-bentuk dari deformitas hidung ialah deviasi, biasanya berbentuk C atau S; dislokasi, bagian bawah kartilago septum ke luar dari krista maksila dan masuk ke dalam rongga hidung; penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina; sinekia, bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka dihadapannya. IV.1.2 Etiologi Penyebab deviasi septum nasi antara lain trauma langsung, Birth Moulding Theory (posisi yang abnormal ketika dalam rahim), kelainan kongenital, trauma sesudah lahir, trauma waktu lahir, dan perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum. Faktor resiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika berkendara. IV.1.3 Diagnosis Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada batang hidungnya. Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosisnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil pemeriksaan bisa normal. Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian, dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.

23

Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral atau juga bilateral. Keluhan lain ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. IV.1.4 Penatalaksanaan

Analgesik. Digunakan untuk mengurangi rasa sakit. Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung. Pembedahan.
o o

Septoplasti. SMR (Sub-Mucous Resection).

IV.1.5 Komplikasi Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip.

IV.2. HEMATOMA SEPTUM Sebagai akibat dari trauma, pembuluh darah submukosa akan pecah dan darah akan berkumpul diantara perikondriumdan tulang rawan septum dan membentuk hematoma pada septum IV.2.1. Gejala klinik Gejala yg menonjol: Sumbatan hidung Rasa nyeri

Pada pemeriksan ditemukan pembengkakan unilateral atau bilateral pada septum bagian depan, berbentuk bulat, licin dan berwarna merah dan bias menyebabkan obstruksi total. IV.2.2. Terapi

24

Drenase segera dilakukan dapat mencegah terjadinya nekrosis tulang rawan. Dilakukan pungsi, dan kemudian dilanjutkan dengan insisi pada bagian hematoma yang paling menonjol. Bila tulang rawan masih utuh dilakukan insisi bilateral. Setelah insisi, dipasang tampon untuk menekan perikondrium kea rah tulang rawan di bawahnya. Antibiotika diberikan untuk mencegah infekis sekunder. IV.2.3. Komplikasi Komplikasi hematoma septum yang mungkin terjadi: abses septum dan deformitas hidung luar sepertti hidung pelana(saddle nose).

IV.3 ABSES SEPTUM Kebanykan abses septum disebabkan oleh trauma yang kadang-kadang tidak disadari oleh pasien.seringkali didahului oleh hematoma septum yang kemudian terinfeksi kuman dan menjadi abses. IV.3.1. Gejala klinik Gejala abses septum adalah hidung tersumbat progresif disertai dengan rasa nyeri berat, terutama di puncak hidung juga terdapat keluhan demam dan sakit kepala. Pemeriksan dengan speculum hidung tampak pembengkakan septum yang berbentuk bulat dengan permukaan licin. IV.3.2. Terapi Abses septum harussegera diobati sebagai kasus gawat daruratkarena komplikasinya dapat berat yaitu dalam waktu yang tidak lama dapat menyebabkan nekrosis tulang rawan septum. Terapinya dilakukan insisi dan drenase nanah serta diberikan antibiotika dosis tinggi. Untuk nyeri dan demamnya diberikan analgetika. Untuk mencegah terjadinya deformitas hidung bila sudah ada destruksi tulang rawan perlu dilakukanrekonstruksi septum. IV.3.3. Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi adalah destruksi tulang rawan septum yang dapat menyebabkan perforasi septum atau hidung pelana (melesek). Juga dapat menyebabkan komplikasi intracranial atau septicemia.
25

BAB V RINITIS ALERGI

26

V.1. Definisi Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut (Von Priquet, 1986). Definisi menurut WHO ARIA (allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh Ig E. V.2. Patofisiologi Rinitis alergi merupakan suatu penyakit yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi /reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaituImmediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas)setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kompleks peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel Limfosit B, sehingga Limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (Ig E). Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan oleh Newly Formed Mediators
27

antara lain Prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL 3, IL 4, IL 5, IL 6, GMCSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor), dll). Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengikatan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan GM-CSF dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresposif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulanya seperti Eosinophillic Cationic Protein (ECP), Eosinophillic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophillic Peroxidase (EPO). Pada fase ini selain factor spesifik (allergen), iritasi oleh factor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau

28

yang

merangsang,

perubahan

cuaca,

dan

kelembaban

udara

yang

tinggi.

29

Gambar 3.1. Mekanisme imunologi yang terkait dalam rhinitis alergi

Gambar 3.2. Mekanisme Alergi

V.3. Cara Masuk Alergen Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya debu rumah

( D.pteronyssinus, D. farina, B. tropikalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass), serta jamur (Aspergillus, Alternaria). 2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan. 3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah. 4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosametik dan perhiasan. Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga member gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memeberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi.
30

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari: 1. Respons Primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekuder. 2. Respons Sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari system imunologik, maka reaksi ini akan berlanjut menjadi respon tersier. 3. Respons Tertier Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini menjadi 4 tipe, yaitu tipe 1 atau reaksi anafilasis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sititoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1 yaitu rhinitis alergi. V.4. Klasifikasi Rinitis Alergi V.4.1. Berdasarkan sifat berlangsungnya Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1.

Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak

dikenal dengan rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
2.

Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul

intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang
31

tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anakanak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi lebih persisten karena komplikasinya lebih sering ditemukan. Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu menurut sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
1.

Intermittent atau kadang-kadang : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau

kurang dari 4 minggu


2.

Persistent atau menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4

minggu V.4.2. Berat ringan penyakit Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi: 1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu. 2. Sedang-Berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas. V.5. Diagnosis V.1. Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Hamir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Unsur penting meliputi evaluasi sifat, durasi, dan waktu saja gejala; mungkin pemicu gejala; respons terhadap obatobatan; kondisi komorbiditas; riwayat keluarga penyakit alergi; eksposur lingkungan; kerja eksposur dan efek terhadap kualitas hidup. Anamnesis menyeluruh dapat membantu mengidentifikasi memicu tertentu, menunjukkan adanya etiologi untuk alergi rhinitis.

32

V.1.1. Melihat gejala dan kekambuhan


o

Menentukan usia munculnya gejala pertama kali dan apakah gejala terus-

menerus ada. Serangan rinitis alergi dapat terjadi hingga usia dewasa, bahkan sebagian besar pasien baru menunjukkan gejala pada umur 20 tahun.
o

Menentukan pola gejala dan apakah gejala-gejala muncul pada tingkat yang

konsisten sepanjang tahun (rhinitis persisten), hanya terjadi pada musim tertentu (rinitis musiman), atau kombinasi dari keduanya. Selama periode eksaserbasi, menentukan apakah gejala-gejala muncul setiap hari atau hanya pada episode tertentu saja. Tentukan apakah gejala hadir sepanjang hari atau hanya pada waktu tertentu di siang hari. Informasi ini dapat membantu menunjukkan diagnosis dan menentukan mungkin pemicu.
o

Menentukan sistem organ yang terkena dan gejala spesifik. Beberapa pasien

memiliki keterlibatan eksklusif hidung, sementara yang lain keterlibatan berbagai organ. Keluhan pada beberapa pasien bersin, gatal, lakrimasi, dan hidung berair, sedangkan yang lain mungkin hanya mengeluh hidung mampet. Keluhan mampet, terutama jika satu sisi, mungkin merupakan obstruksi struktural, seperti polip, benda asing, atau septum deviasi. Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC fan kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadangkadang disertai dengan banyak air mata yang keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. V.1.2. Faktor-faktor pemicu
o

Tentukan apakah gejala terkait faktor pemicu tertentu. Ini mungkin mencakup

pemaparan serbuk sari, jamur spora sambil melakukan pekerjaan halaman, binatang tertentu, atau debu ketika membersihkan rumah.
o

Iritan seperti asap, polusi, dan bau kuat dapat memperburuk gejala pada pasien Banyak pasien memiliki

dengan rhinitis alergi. Ini juga pemicu rhinitis vasomotor. keduanya.

33

Pasien lain mungkin menggambarkan kondisi rhinitis sepanjang tahun dengan

gejala yang tidak berhubungan dengan pemicu tertentu. Hal ini bisa konsisten dengan rinitis nonallergi, tapi dengan allergen abadi, seperti tungau debu atau binatang eksposur, juga harus dipertimbangkan dalam situasi ini. Jika terjadi pemaparan kronis dan gejala yang kronis, pasien mungkin tidak lagi dapat menghubungkan gejala yang dimiliki dengan pemicu tertentu. V.1.3. Terhadap pengobatan
o

Respon untuk pengobatan dengan antihistamin mendukung diagnosa rhinitis

alergi, meskipun bersin, gatal, dan rinore berhubungan dengan rhinitis nonallergic juga dapat mdihilangkan dengan antihistamin. V.1.4. Respon terhadap intranasal kortikosteroid Respon terhadap kortikosteroid intranasal mendukung diagnosa rhinitis alergi, meskipun beberapa kasus rhinitis juga berespon baik terhadap kortikosteroid. V.1.5. Kondisi komorbiditas
o

Pasien dengan rhinitis alergi atopik lain mungkin memiliki kondisi seperti asma

atau atopic dermatitis. Dari pasien dengan rhinitis alergi, 20% juga memiliki gejala asma. Rhinitis alergi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan asma memburuk atau bahkan dermatitis atopic
o

Menyelidiki riwayat medis dahulu, termasuk kondisi medis saat ini kondisi-

kondisi medis lainnya. Penyakit-penyakit seperti hipotiroidisme atau sarcoidosis dapat menyebabkan rhinitis nonallergic. V.1.6. Riwayat keluarga Pada kenyataannya, risiko rinitis alergi meningkat jika kedua orang tua memiliki riwayat atopik daripada jika salah satu orangtua yang atopik. Namun, penyebab rhinitis alergi multifaktor, sehingga orang yang tidak mempunyai riwayat keluarga sekalipun masih dapat memiliki rhinitis alergi.

34

V.1.7. Pajanan dari lingkungan dan pekerjaan


o

Anamnesis menyeluruh terhadap paparan dari lingkungan membantu untuk

mengidentifikasi pemicu alergi tertentu. Ini harus mencakup pemeriksaan faktor risiko abadi paparan alergen (misalnya, debu tungau, jamur, hewan peliharaan). Kelembaban yang tinggi dalam rumah adalah faktor risiko untuk eksposur cetakan alergen. Anamnesis mengenai hobi dan kegiatan rekreasi membantu menentukan risiko.
o

Kita juga harus menyelidiki tentang lingkungan tempat kerja atau sekolah. Ini

mungkin mencakup pemaparan alergen abadi biasa (misalnya, tungau, jamur, binatang peliharaan ketombe) atau allergen di tempat kerja (misalnya, laboratorium hewan, produkproduk hewani, biji-bijian dan bahan organik, debu kayu, lateks, enzim). V.1.8. Efek terhadap kualitas hidup
o

Penilaian yang akurat dari morbiditas rhinitis alergi tidak dapat diperoleh tanpa

mengetahui efek terhadap kualitas hidup pasien. Kuesioner spesifik tersedia untuk membantu menentukan efek terhadap kualitas hidup.
o o

Tentukan adanya gejala seperti kelelahan, malaise, mengantuk dan sakit kepala. Selidikilah kualitas tidur dan kemampuan untuk beraktivitas di tempat kerja.

V.2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik harus fokus pada hidung, tetapi pemeriksaan wajah, mata, telinga, oropharynx, leher, paru-paru, dan kulit juga penting. Cari temuan fisik yang mungkin konsisten dengan penyakit sistemik yang berhubungan dengan rhinitis. V.2.1. Wajah
o

Bayangan gelap di bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat

obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease.

35

V.2.2. Hidung
o

Pemeriksaan hidung terbaik dengan memakai spekulum hidung (rinoskopi Mukosa dan konka hidung dapat tampak bengkak dan pucat, dengan warna abu-

anterior). Spesialis THT dapat menggunakan nasolaringoskop yang kaku atau fleksibel.
o

abu kebiruan. Ini merupakan gejala yang khas pada rinitis alergi. Namun tidak dapat membedakan antara alergi dan penyebab rhinitis nonallergi Beberapa pasien mungkin memiliki mukosa kemerahan, yang mirip pada rhinitis infeksi, atau rhinitis vasomotor
o

Menilai karakter dan jumlah lendir hidung. Tipis dan sekresi berair sering

dikaitkan dengan rinitis alergi, sedangkan sekresi purulen tebal dan biasanya terkait dengan sinusitis, namun lebih tebal, bernanah, lendir berwarna juga dapat terjadi dengan rhinitis alergi.
o

Septum nasal diperiksa untuk mencari setiap deviasi atau perforasi septum, yang

dapat hadir karena rhinitis kronis, penyakit granulomatosa, penyalahgunaan kokain, dekongestan topikal atau topikal steroid berlebihan.
o

Memeriksa rongga hidung, apakah terdapat massa seperti polip atau tumor.

Polip adalah massa abu-abu yang sering bertangkai, yang mungkin sulit terlihat. Setelah penyemprotan dekongestan topikal, polip tidak mengecil, sementara mukosa hidung sekitarnya menyusut V.2.3. Telinga, mata, dan orofaring
o

Menggunakan otoskop untuk melihat dan menilai membran timpani.

Penggunaan otoskop pneumatik dapat dipertimbangkan untuk mencari pergerakan normal membran timpani. Temuan ini dapat dikaitkan dengan rhinitis alergi, terutama jika terjadi sumbatan tuba estachius atau otitis media sekunder.
o

Pemeriksaan injeksi dan pembengkakan palpebral conjunctivae, dengan

kelebihan produksi air mata. Garis Dennie-Morgan (penonjolan lipatan di bawah kelopak mata inferior) yang berhubungan dengan rinitis alergi.
o

Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance)

yang menggambarkan jaringan limfoid berkas pada faring posterior), serta dinding lateral faring menebal. Hipertrofi tonsil juga dapat diamati. Malocclusion (overbite) dan langitlangit melengkung tinggi dapat diamati pada pasien yang bernapas dari mulut mereka secara berlebihan. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
36

sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Lidah seperti gambaran peta (geographical tongue). V.2.4. Leher: Mencari adanya limfadenopati atau penyakit tiroid. V.2.5. Paru-paru: Mencari karakteristik temuan asma. V.2.6. Kulit: Evaluasi untuk kemungkinan dermatitis atopi. V.2.7. Lain: Cari bukti penyakit sistemik yang dapat menyebabkan rhinitis (misalnya, sarcoidosis, hipotiroidisme, immunodeficiency, ciliary dyskinesia sindrom, penyakit jaringan ikat lainnya). V.3.Pemeriksaan Penunjang V.3.1. Pemeriksaan Laboratorium V.3.1.1. Tes Alergi: Pengujian untuk reaksi terhadap alergen yang spesifik dapat membantu untuk mengkonfirmasikan diagnosis rhinitis alergi, juga untuk menentukan pemicu terjadinya alergi. Jika pemicu terjadinya alergi diketahui, maka langkah-langkah pencegahan yang tepat dapat direkomendasikan. Penting untuk mengetahui alergen yang tepat untuk dilakukan immunotherapy (desensitisasi perawatan). Pengujian memberikan pengetahuan dari tingkat sensitivitas terhadap alergi tertentu. Yang paling sering digunakan metode untuk menentukan alergi terhadap zat tertentu adalah uji kulit alergi (tes reaksi hipersensitivitas langsung) dan in vitro diagnostik tes, seperti tes radioallergosorbent (RAST), yang secara tidak langsung mengukur jumlah IgE spesifik untuk antigen tertentu.
o

Skin test allergy (tes hipersensitivitas langsung) adalah metode dalam

menentukan vivo segera (IgE-mediated) hipersensitivitas alergen tertentu. Kepekaan terhadap hampir semua alergen yang menyebabkan rinitis alergi dapat ditentukan dengan tes kulit.

Dengan memperkenalkan suatu ekstrak alergen yang dicurigai Pengantar

percutaneously, segera (awal-fase) wheal-dan-suar reaksi dapat dihasilkan.

perkutan dapat dilakukan dengan menempatkan setetes ekstrak pada kulit dan menggaruk atau menusuk jarum melalui epidermis bawah tetesan ekstrak alergen. Tergantung pada teknik yang tepat digunakan, pengujian ini disebut Skin Prick test.
37

Antigen dalam ekstrak mengikat IgE pada sel mast kulit, menuju ke fase

awal (langsung-type) reaksi, yang menyebabkan pelepasan mediator seperti histamine. Hal ini biasanya terjadi dalam waktu 15-20 menit. Histamin yang dilepaskan menyebabkan reaksi ruam atau kemerahan (dihasilkan oleh infiltrasi cairan, dan sekitarnya eritema dihasilkan karena vasodilasi, dengan seiring gatal.). Ukuran reaksi ruam berkorelasi dengan tingkat sensitivitas terhadap alergi.

Ekstrak juga dapat diberikan secara intradermal (yaitu, disuntikkan ke

dalam dermis dengan jarum intradermal). Dengan teknik ini, ekstrak dapat memasuki jaringan dermal, termasuk sel mast kulit. Pengujian intradermal sekitar 1000-kali lipat lebih sensitif daripada pengujian perkutan. Namun hal ini harus dilakukan dengan hati-hati oleh orang yang memang ahli dibidangnya. Namun harus tetap diingat bahwa hasil positif palsu tinggi.
o

In vitro. Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula

pemeriksaan Ig E total (prist-paper radioimmuno sorbent test) seringkali menunjukan nilai normal kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan Ig E spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukan kemungkinan alergi inhalan. Juka basofil (>5 sel/Lap) mungkin disebabkan oleh alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. Tes ini memungkinkan penentuan IgE spesifik ke sejumlah alergen yang berbeda dari satu sampel darah, tetapi sensitivitas dan spesifisitas tidak selalu sebaik akurat tes kulit (tergantung pada uji laboratorium dan digunakan untuk RAST). Seperti pada pengujian kulit, hampir semua alergen yang menyebabkan alergi rhinitis dapat ditentukan dengan menggunakan RAST, walaupun tes untuk beberapa alergen kurang mapan dibandingkan dengan orang lain. V.3.1.2. Total serum IgE: Ini adalah pengukuran tingkat total IgE dalam darah. Sementara pasien dengan rinitis alergi lebih cenderung memiliki tingkat IgE total tinggi daripada populasi normal, tes ini tidak sensitif maupun spesifik untuk alergi rhinitis. Sebanyak 50% dari pasien dengan rhinitis alergi
38

memiliki tingkat normal dari total IgE, sementara 20% dari nonaffected individu dapat mengalami peningkatan kadar IgE total. Oleh karena itu, tes ini biasanya tidak digunakan sendiri untuk menetapkan diagnosis alergi rhinitis, tetapi hasilnya dapat membantu dalam beberapa kasus ketika digabungkan dengan faktor-faktor lain.

V.3.1.3. Total hitung eosinophil darah: Seperti dengan total serum IgE, yang ditinggikan menghitung eosinophil mendukung diagnosis alergi rhinitis, tetapi tidak sensitif maupun spesifik untuk diagnosis. Hasilnya kadang-kadang dapat membantu ketika digabungkan dengan faktor-faktor lain. V.3.2. Pencitraan V.3.2.1. Radiography: Meskipun tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis alergi rhinitis, mereka dapat membantu untuk mengevaluasi kemungkinan kelainan struktural atau untuk membantu mendeteksi komplikasi atau kondisi komorbiditas, seperti sinusitis atau adenoide hipertrofi.
o

Sinus film: 3 posisi (PA, Waters, dan lateral) dapat membantu dalam

mengevaluasi untuk sinusitis yang berkenaan dgn sinus maksila, sinus frontal, dan sinus sphenoid. Ethmoid sinus yang sulit untuk memvisualisasikan dengan jelas pada foto polos. Rontgen sinus ini dapat membantu untuk mendiagnosa sinusitis akut, tapi CT scan sinus lebih sensitif dan spesifik. Untuk sinusitis kronis, rontgen sering tidak meyakinkan, dan CT scan jauh lebih disukai.
o

Rotgen lateral leher dapat membantu ketika mengevaluasi untuk kelainan

jaringan lunak pada nasofaring, seperti hipertrofi adenoid. V.3.2.2. CT scan: CT scan koronal dari sinus gambar bisa sangat membantu untuk mengevaluasi sinusitis akut atau kronis. Secara khusus, terhalangnya kompleks ostiomeatal (sebuah pertemuan saluran drainase dari sinus) dapat dilihat dengan cukup jelas. CT scan juga dapat membantu

39

menggambarkan polip, konka yang membesar, kelainan septum (misalnya, deviasi), dan lainnya. V.3.2.3. MRI: Untuk mengevaluasi sinusitis, gambar MRI umumnya kurang membantu daripada CT scan gambar, terutama karena struktur tulang tidak dilihat dengan jelas pada gambar MRI. Namun, jaringan lunak yang divisualisasikan dengan cukup baik, membuat gambar MRI bermanfaat untuk mendiagnosis keganasan saluran udara bagian atas. V.3.3. Tes lain

Sitologi hidung: Sebuah sampel cairan dan sel dikorek dari permukaan mukosa hidung dengan menggunakan probe sampling khusus. Sekresi yang ditiup dari hidung tidak memadai. Hasil yang tidak sensitif maupun spesifik untuk alergi rhinitis dan tidak boleh digunakan secara eksklusif untuk menetapkan diagnosis.

VI. Penatalaksanaan

Pengelolaan rhinitis alergi terdiri dari 3 kategori utama perawatan, (1) lingkungan pengendalian dan penghindaran penyebab alergi, (2) farmakologis manajemen, dan (3) immunotherapy. VI.1. Penghindaran penyebab alergi Pengendalian lingkungan dan penghindaran penyebab alergi: Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan menghindari alergen atau iritasi, pemicu. Mempertimbangkan tindakan pengendalian lingkungan, cukup baik dalam semua kasus rhinitis alergi.
o

Serbuk sari : Tersebar luas di udara bebas, sehingga sangat sulit untuk dihindari.

Secara umum, serbuk sari pohon hadir di musim semi, rumput serbuk sari dari akhir musim semi menuju musim panas, dan gulma serbuk sari dari akhir musim panas sampai musim gugur. Cenderung lebih tinggi pada kering, cerah, berangin. Paparan terhadap udara bebas dapat dibatasi selama ini, tapi ini mungkin tidak dapat diandalkan karena dianggap dapat

40

dipengaruhi oleh beberapa faktor lain. Menjaga jendela dan pintu rumah dan mobil tertutup sebanyak mungkin selama musim tepung sari (dengan AC, jika perlu, pada modus sirkulasi) dapat membantu. Mandi setelah dari luar ruangan dapat membantu dengan membuang serbuk sari yang menempel di rambut dan kulit.

Alergen indoor: Tergantung pada penyebab alergi, pengendalian

lingkungan untuk alergen dalam ruangan bisa sangat membantu. Untuk tungau debu, menutupi kasur dan bantal dengan penutup yang rapat dapat membantu Penutup tempat tidur harus dicuci setiap 2 minggu di tempat yang panas (paling tidak 130 F) air untuk membunuh tungau hadir. juga melakukan pembersihan karpet dengan vakum. Karpet dapat diberi zat kimia yang membunuh tungau atau mengubah sifat sesuatu benda protein, tetapi kemanjuran agen ini tidak muncul secara tiba-tiba. Tungau debu berkembang dengan baik jika kelembaban di dalam ruangan di atas 50%.

Alergi hewan peliharaan, penghindaran total merupakan pilihan terbaik.

Bagi pasien yang tidak bisa, atau yang tidak mau untuk benar-benar menghindari binatang atau hewan peliharaan, maka dapat dilakukan dengan memindahkan hewan ke sebuah ruangan dan menjaga noncarpeted seluruhnya keluar dari kamar tidur dapat sangat menguntungkan. 18 Cat dengan tingkat alergen tinggi dalam rumah dapat dikurangi dengan filter partikulat udara (HEPA) dan dengan memandikan kucing setiap minggu (walaupun ini mungkin tidak praktis).
o

Pekerjaan berhubungan dengan alergen: Seperti halnya dengan alergen dalam

ruangan, penghindaran adalah ukuran terbaik. Bila hal ini tidak mungkin, masker atau respirator mungkin dibutuhkan.

Pemicu yang nonspesifik: Paparan dari rokok, parfum dan aroma yang

kuat, asap, perubahan suhu yang cepat, dan polusi udara terbuka dapat memicu pada pasien dengan rinitis alergi. Pertimbangkan untuk menghindari situasi ini atau pemicu jika tampaknya dapat memperburuk gejala. VI.2. Medikamentosa Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secar inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

41

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi 2 (non sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga slit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif menghambat reseptor H1 perifer dan tidak mempunyai sifat antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruktif hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi dalam dua golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan oleh karena repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, levoseterisin. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari rinitis medikamentosa. Preparat Kortikosteroid dipilih jika gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofik, mengurangi aktivitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak responsive terhadap rangsangan alergen (baik yang bekerja pada respon fase cepat maupun lambat). Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehiingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktivasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dicapai dengan pemberian sebagai profilaksis. VI.3. Operatif Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat
42

dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau Triklor Asetat. VI.4. Imunoterapi
o

Definisi Sebuah penelitian klinis telah menetapkan efektivitas suntikan alergi

dosis tinggi dalam mengurangi gejala dan pengobatan alergi, yang telah dibuktikan sensitivitasnya hingga 80-90% untuk alergen tertentu. Ini adalah proses jangka panjang; pantau perbaikannya dalam 6-12 bulan, dan, jika bermanfaat, terapi harus dilanjutkan selama 3-5 tahun. Imunoterapi bukan berarti terbebas dari risiko karena reaksi alergi sistemik yang parah kadang-kadang dapat terjadi. Untuk alasan ini, maka hasruslah berhatihati dalam mempertimbangkan risiko dan manfaat immunotherapy.
o

Indikasi: Imunoterapi dianggap dapat bekerja lebih kuat pada pasien dengan

penyakit alergi yang cukup parah dan pilihan-pilihan terhadap pengelolaan lainnya sangat minimal maupun adanya kondisi komorbiditas atau komplikasi. Immunotherapy sering dikombinasikan dengan obat-obatan dan pengendalian lingkungan.
o

Kondisi imunoterapi: Nilai immunotherapy untuk serbuk sari, debu tungau, dan
,

kucing sudah terbentuk dengan baik. kurang baik.


o

Nilai immunotherapy untuk anjing masih dirasa

Kontraindikasi: Immunotherapy hanya boleh dilakukan oleh individu-individu

yang telah terlatih oleh lembaga pencegahan yang sesuai, dan yang dilengkapi dengan profilaksis jika sampai terjadi alergi sistemik. VII. Komplikasi

Komplikasi rhinitis alergi yang sering adalah: 1. Polip Hidung Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu factor penyebab terbentuknya polip hidung. 2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak Rinitis yang berlangsung terus menerus mengakibatkan hipertrofi konka yang berakibat pada sumbatan hidung. Kondisi sumbatan ini juga dapat mengakibatkan terjadinya
43

sumbatan pada muara tuba eustachius yang berakibat peningkatan tekanan pada telinga tengah dan penumpukan cairan pada telinga tengah yang berakhir pada infeksi pada telinga tengah karena cairan pada telinga tengah menjadi tempat yang baik untuk pertumbuhan kuman. 3. Sinusitis paranasal. Konka yang hipertrofi dapat membuat meatus media menjadi lebih sempit, serta kondisi peradangan yang terus menerus dapat menjadi factor pemicu terjadinya polip yang akan ikut menjadi penyebab ostium sinus menjadi sempit. Sirkulasi pembuangan sekret yang tidak lancar akan mengakibatkan terbendungnya sekret serta terjadinya infeksi, karena sekretadalah tempat yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.

44

Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO Initiative ARIA 2001 (dewasa)1

Diagnosis Rinitis Alergi (Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, Tes Kulit)

Penghindaran alergen

intermittent

Persisten/menetap

ringan

Sedang/berat

ringan

Sedang/berat

-AH oral/topical, atau -AH + dekongestarn oral

-AH oral/topikal atau -AH + dekongestan oral atau -KS topikal atau -(Na kromoglikat) Gejala persisten membaik

KS topikal

Evaluasi setelah 2-4 minggu

Evaluasi setelah 2-4 minggu

Tidak ada

-Bila gagal: maju 1 langkah


-Bila th/berhasil: lanjutkan 1 bln

Th/ mundur 1 langkah dan th/ diteruskan untuk 1 bulan

-salah diagnosis -nilai kepatuhan pasien -komlikasi/infeksi -faktor kelainan anatomis

Pertimbangkan imunoterapi

Sumbatan hidung menetap

KS topikal ditingkatkan

Gatal hidung

rinore

Dekongestan (3-5 hari), atau KS oral (jangka pendek)

gagal

Kaustika konka/konkotomi

45

BAB VI RINITIS VASOMTOR

VI.1. Definisi

Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Rinitis vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik. Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga dengan vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis.

VI.2. Etiologi Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 1. obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal. 2. faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi dan bau yang merangsang. 3. faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hipotiroidisme. hamil dan

46

4. faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

VI.3. Patofisiologi Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi cairan, edema dan kongesti. Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari selsel seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin, prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi hidung, yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi. Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara, perfume, asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ). Dengan demikian, patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rinitis vasomotor yaitu : 1. meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis 2. mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis 3. mengurangi peptide vasoaktif 4. mencari dan menghindari zat-zat iritan.

47

Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh-pembuluh darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini merupakan refleks hipersensitivitas mukosa hidung yang non spesifik. Serangan dapat muncul akibat pengaruh beberapa faktor pemicu. 1. Latar belakang - adanya paparan terhadap suatu iritan memicu ketidakseimbangan sistem Saraf otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung pembuluh darah mukosa hidung hidung tersumbat dan rinore. - disebut juga rinitis non-alergi ( nonallergic rhinitis ) - merupakan respon non spesifik terhadap perubahan perubahan lingkungannya, berbeda dengan rinitis alergi yang mana merupakan respon terhadap protein spesifik pada zat allergen nya. - tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai oleh IgE ( IgE-mediated hypersensitivity ) 2. Pemicu ( triggers ) : - alkohol - perubahan temperatur / kelembapan - makanan yang panas dan pedas - bau bauan yang menyengat ( strong odor ) - asap rokok atau polusi udara lainnya - faktor faktor psikis seperti : stress, ansietas - penyakit penyakit endokrin - obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral VI.4.Gejala klinis vasodilatasi dan edema

48

Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok ( post nasal drip). Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2 golongan, yaitu golongan obstruksi ( blockers ) dan golongan rinore ( runners / sneezers ). Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya. VI.5. Diagnosis Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan disingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa. Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi dan berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal drip. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Test kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta kadar Ig E total dalam batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel neutrofil dalam sekret. Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor:
49

Riwayat penyakit - Tidak berhubungan dengan musim - Riwayat keluarga ( - ) - Riwayat alergi sewaktu anak-anak ( - ) - Timbul sesudah dewasa - Keluhan gatal dan bersin ( - ) Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - ) - Tanda tanda infeksi ( - ) - Pembengkakan pada mukosa ( + ) - Hipertrofi konka inferior sering dijumpai Radiologi X Ray / CT - Tidak dijumpai bukti kuat keterlibatan sinus - Umumnya dijumpai penebalan mukosa Bakteriologi - Rinitis bakterial ( - ) Test alergi Ig E total - Normal Prick Test - Negatif atau positif lemah RAST - Negatif atau positif lemah

VI.6. Penatalaksanaan Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam : 1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
50

2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) : - Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan hidung tersumbat. Contohnya : Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral ) serta Phenylephrine dan Oxymetazoline (semprot hidung ). - Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore. - Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone - Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray ) 3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) : - Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun secara elektrik ( electrical cautery ). - Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the inferior turbinate ) - Bedah beku konka inferior ( cryosurgery ) - Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection) - Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy ) - Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi.

51

VI.7. Komplikasi 1. Sinusitis 2. Eritema pada hidung sebelah luar 3. Pembengkakan wajah

VI.8. Prognosis Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik dengan tiba tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan.

52

KESIMPULAN

obstruksi hidung adalah gejala yang umum seperti rhinitis alergi, polip hidung, kelainan septum nasi. Obstruksi diciptakan oleh peradangan mukosa hidung, yang merupakan hasil dari jaringan kompleks interaksi antara berbagai mediator, sitokin, kemokin, dan molekul adhesi sel, bereaksi terhadap paparan alergen terus menerus. Teknik pengukuran dinamis dan statis kuantitatif sumbatan hidung yang tersedia. Pengukuran ini sangat membantu untuk penilaian objektif dalam menentukan patologi struktural saluran hidung. Saat ini pilihan yang baik dari obat-obat untuk menghilangkan gejala dan mengurangi obstruksi yang dapat secara efektif digunakan pada pasien kebanyakan. Pedoman terbaru menyarankan pengobatan antiinflamasi IGC sebagai lebih efektif daripada pengobatan simtomatik saja, tetapi biaya dan kepatuhan mungkin tidak selalu memungkinkan opsi ini untuk digunakan. Dalam beberapa, immunotherapy operasi pasien,, atau keduanya akan diperlukan. Pada anak muda dan pada kehamilan, pengobatan sumbatan hidung lebih sulit, karena keterbatasan obat yang tersedia. Dalam rangka untuk mencapai kepatuhan pengobatan yang baik dan hasil yang optimal, program pendidikan tentang strategi pengobatan yang paling efektif harus dirancang untuk kedua dokter dan pasien mereka.

53

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2006. 2. Bosquet J, Cauwenberge P, Khaltaev N, Bachert C, Durham SR, Lund V, Mygind N. Management of Allergic Rhinitis and its impact on Asthma (ARIA). ARIA Workshop Report. J All Clin Immunol (Suppl) 108; 5: 2001 3. Peter H. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam: Effendi H, editor. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi Keenam. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 1997. Hal 173-89. 4. Blumenthal N. Kelainan Alergi Pasien THT. Dalam: Effendi H, editor. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi Keenam. Philadelphia: W.B.Saunders Company. 1997. Hal 190-99 5. Krouse JH, Marbry RL. Skin testing for Inhalant Allergy 2003 : current strategies. Dalam: Otolaryngology Head and Neck Surgary. Philadelphia: Mc Graw Hill, 2003. hal. 34-9. 6. Rusmono N. Diagnosis Rinitis Alergi secra invivo dan invitro. Dalam : Kursus dan Pelatihan Alergi dan Imunologi. Konas XIII Perhati KL. Bali, 2003. hal. 56-60
7. Togias AG. Systemic immunologic and inflammatory aspects of allergic rhinitis. J

Allergy Clin Immunol. Nov 2000;106(5 Suppl):S247-50. [Medline]. 8. Druce HM. Allergic and nonallergic rhinitis. In: Middleton EM Jr, Reed CE, Ellis EF, Adkinson NF Jr, Yunginger JW, Busse WW, eds. Allergy: Principles and Practice. 5th ed. St. Louis, Mo: Mosby Year-Book; 1998:1005-16. 9. Blaiss MS. Quality of life in allergic rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol. Nov 1999;83(5):449-54. [Medline]. 10. Thompson AK, Juniper E, Meltzer EO. Quality of life in patients with allergic rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol. Nov 2000;85(5):338-47; quiz 347-8. [Medline]. 11. Rhinitis vasomotor:http://www.icondata.com/health/pedbase/files/RHINITI1.HTM

54

12. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed. Otolaryngology Head and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp, 1993.p. 269 87. 13. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000 14. Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta 2000 15. Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 114. Penerbit Media Aesculapius FK-UI 2000 16. Diktat Anatomi Hidung FK Usakti hal. 1 12 17. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia 1989 18. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea & Febiger 14th edition. Philadelphia 1991. 19. Meltzer EO, Grant JA. Impact of cetirizine on the burden of allergic rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol. Nov 1999;83(5):455-63. [Medline]. 20. Nayak AS. The asthma and allergic rhinitis link. Allergy Asthma Proc. NovDec 2003;24(6):395-402. [Medline]. 21. Dykewicz MS, Fineman S, Skoner DP, Nicklas R, Lee R, Blessing-Moore J. Diagnosis and management of rhinitis: complete guidelines of the Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy, Asthma and Immunology. American Academy of Allergy, Asthma, and Immunology. Ann Allergy Asthma Immunol. Nov 1998;81(5 Pt 2):478518. [Medline]. 22. Banov CH, Lieberman P,. Efficacy of azelastine nasal spray in the treatment of vasomotor (perennial nonallergic) rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol. Jan 2001;86(1):28-35. [Medline]. 23. Boulet LP, Turcotte H, Laprise C, Lavertu C, Bedard PM, Lavoie A. Comparative degree and type of sensitization to common indoor and outdoor allergens in subjects with allergic rhinitis and/or asthma. Clin Exp Allergy. Jan 1997;27(1):52-9. [Medline]. 24. Siracusa A, Desrosiers M, Marabini A. Epidemiology of occupational rhinitis: prevalence, aetiology and determinants. Clin Exp Allergy. Nov 2000;30(11):151934. [Medline]. 25. Kang B, Vellody D, Homburger H, Yunginger JW. Cockroach cause of allergic asthma. Its specificity and immunologic profile. J Allergy Clin Immunol. Feb 1979;63(2):806. [Medline].
55

26. McDonald LG, Tovey E. The role of water temperature and laundry procedures in reducing house dust mite populations and allergen content of bedding. J Allergy Clin Immunol. Oct 1992;90(4 Pt 1):599-608. [Medline]. 27. Korsgaard 28. Weber J. House-dust with mites and absolute indoor humidity. Allergy. Feb 1983;38(2):85-92. [Medline]. RW. Immunotherapy allergens. JAMA. Dec 10 1997;278(22):18817. [Medline]. 29. De Weck AL, Derer T, Bahre M. Investigation of the anti-allergic activity of azelastine on the immediate and late-phase reactions to allergens and histamine using telethermography. Clin Exp Allergy. Feb 2000;30(2):283-7. [Medline]. 30. Chervinsky P, Philip G, Malice MP, Bardelas J, Nayak A, Marchal JL. Montelukast for treating fall allergic rhinitis: effect of pollen exposure in 3 studies. Ann Allergy Asthma Immunol. Mar 2004;92(3):367-73. [Medline]. 31. Patel P, Philip G, Yang W, et al. Randomized, double-blind, placebo-controlled study of montelukast for treating perennial allergic rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol. Dec 2005;95(6):551-7. [Medline].

56

You might also like