You are on page 1of 21

A. PENDAHULUAN Perang salib bertitik tolak pada pembangunan pesat yang berlaku di Eropa Barat semasa abad pertengahan.

Ini sebenarnya berawal dari kedengkian orang - orang Kristen pada islam dan umat islam. Karena dalam perjalanan dinasti islam mengalami sebuah kecemerlangan yang luar biasa. Ini dapat dilihat dengan berhasilnya muslimin merebut wilayah-wilayah yang sangat strategis. Maka bara dendam tersulut dalam dada mereka dan menunggu waktu yang tepat untuk kembali merebut kekuasaan mereka. Mereka menunggu kesempatan untuk membalas dendam tehadap umat yang telah merobekrobek kerajaan Kristen. Maka ketika kesempatan itu datang dan kondisi umat islam dalam keadaan yang lemah, mereka pun bertubitubi menghancurkan islam dengan segala apa yang muslim miliki. Pertarungan yang sengit antar dua agama ini adalah awal dari permusuhan yang sangat berkepanjangan. Perang salib adalah perang keagamaan selama hampir dua abad yang terjadi reaksi umat Kristen di Eropa terhadap umat islam di Asia yang dianggap sebagai pihak penyerang. Sebenarnya benih-benih ini telah ada dan lebih tua dari perang itu sendiri. Perang ini terjadi karena sejak tahun (632 M) sampai meletusnya perang salib sejumlah kota-kota penting dan tempat suci umat Kristen telah diduduki oleh umat islam seperti Syuriah, Asia kecil, Spanyol dan Sicilia. Kemudian, setelah terjadinya perang salib dilanjutkan lagi dengan invasi pasukan Mongol terhadap wilayah-wilayah Islam yang merupakan tragedi besar yang tidak ada tandinggannya sebelum ini dan sesudahnya. Kendati sebelumnya didahului perang Salib, sesungguhnya perang Salib tidak ada apa - apanya jika dibandingkan dengan invasi pasukan Mongol. Betapapun banyaknya jumlah korban perang dari kaum muslimin pada keseluruhan perang salib, sesungguhnya itu masih relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah korban perang dari kalangan kaum muslimin pada satu perang diantara sekian banyaknya perang yang dilancarkan pasukan Mongol secara brutal dan sadis tersebut. Kaum muslimin mengalami kerugian yang tidak terhitung akibat kolonialisme modern, namun penghancuran oleh pasukan Mongol terhadap satu kota saja Bagdad misalnya.

Barangkali manusia tidak pernah melihat pembantaian, pembunuhan dan penghancuran yang sadis dan kejam dalam sejarahnya. Bangsa Mongol tersebut tidak menyisakan seorang pun, semuanya dibabat habis. Tidak ada pengecualian antara lakilaki, wanita dan ank-anak. Mereka belah perut wanita-wanita hamil kemidian membunuh bayi-bayinya. Invasi pasukan Mongol berimbas pada perubahan sosial, moralitas dan politik terhadap negeri-negeri Islam. Sebagaimana invasi pasukan Mongol mengakibatkan dampak negatif dalam masyarakat Islam, disamping itu juga mengakibatkan dampak positif bagi ummat Islam, yaitu membangun perasaan kaum muslimin terhadap pentingnya persatuan membuang jauh - jauh perpecahan. Jikalau ditelusuri historisnya, umat Islam pada waktu itu tersebar dimana-mana dari Jazirah Arab sampai eropa dibawah naungan Negara-negara Islamiyah, yang sudah barang tentu sistem pemerintahannya sudah mulai mendekati ideal, disamping itu pula, peradaban dan ilmu pengetahuan mulai berkembang pesat, ini menandakan bahwa pada waktu itu ilmuan dan cendikiawan musli mulai banyak seperti Ibnu Taimiah. Akan tetapi ironis sekali bila mana Negara Islam tatkala itu dikikis habis oleh negara Mongol.

B. PERANG SALIB Peristiwa penting yang dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Arp Arselan adalah peristiwa Manzikart tahun (1071 M). Tentara Arp Arselan dapat mengalahkan tentara Romawi. Peristiwa ini menamakan benih kebencian dan permusuhan orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian tersebut bertambah setelah Dinasti Seljuk dapat merebut Baitul Maqdis tahun (471 H). Orang Kristen merasa kesulitan dalam melakukan ziarah ke tanah sucinya. Untuk memperoleh kembali keleluasaannya, tahun (1095 M), Paus Urbanus II menyeru ummat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci.1 Perang ini di kenal dengan Perang Salib. Perang Salib Pertama dilancarkan pada (1095 M) oleh Paus Urban II untuk merebut serta membebaskan tanah kota suci Yerusalem yang juga merupakan tanah suci bagi umat Kristen dari umat Muslim yang pada saat itu terdapat perkembangan dan banyak kunjungan yang dilakukan oleh terutama para pedagang juga ulama muslim kaum seljuk Turki. perang salib pertama adalah tidak lebih dari suara - suara yang dilebih - lebihkan dari para ulama kristen yang diakibatkan oleh gangguan yang dilakukan oleh segelintir pedagang kaum seljuk Turki juga bukan mengatasnamakan agama yang dilakukan pada jalur perdagangan kaum kristiani. Keberangkatan atau migrasi dari pasukan salib pertama ini berubah dari misi atau tugas yang diberikan yaitu untuk melindungi dan merekonsiliasi antara tiga umat beragama disana menjadi sebuah usaha penaklukan, pembantaian terhadap umat non kristen dan yahudi serta penguasaan keseluruhan wilayah Yerusalem. Baik kesatria dan orang awam dari banyak negara di Eropa Barat, dengan sedikit pimpinan terpusat, berjalan melalui tanah dan laut menuju Yerusalem dan menguasai kota tersebut pada Juli 1099, serta mendirikan Kerajaan Yerusalem atau kerajaan Latin di Yerusalem. Meskipun penguasaan ini hanya berakhir kurang dari dua ratus tahun, Perang salib merupakan titik balik penguasaan dunia Barat, dan satu-satunya yang berhasil meraih tujuannya. Adapun yang menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya perang salib adalah agama, politik dan sosial ekonomi.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Pres, 1985, cetakan ke lima), hal 77,
1

1. Faktor Agama Dalam pandangan orang Kristen mereka sangat mengagungkan kekuatan suci gereja dan kemampuannya untuk menghapus dosa. Maka banyak dari mereka yang telah putus asa berbondong-bondong memanggil seruan ini. Ditambah lagi dinasti Seljuk yang merebut Baitul Maqdis dari tangan Fathimiyah pada tahun (1070 M), pihak Kristen merasa tidak bebas lagi menunaikan ibadah kesana. Hal ini disebabkan karena penguasa Seljuk menetapkan sejumlah peraturan yang dianggap mempersulit mereka yang hendak melaksanakan ibadah ke Bait Al-Maqdis.2 Bahkan mereka yang pulang berziarah sering mengeluh karena mendapat perlakuan jelek dari orang-orang Seljuk yang fanatik. Umat kristen merasa perlakuan para penguasa dinasti Seljuk sangat berbeda dengan para penguasa Islam lainnya yang pernah menguasai kawasan itu sebelumnya. 2. Faktor Politik Kekalahan Byzantium yang disebut Konstantinopel di Manzikar (Malazizkir) atau Malasyird, Armenia pada (1071 M) dan jatuhnya Asia kecil ke bawah kekuasaaan Seljuk telah mendorong Kaisar Alexius I Comnesus (Kaisar konstantinopel) untuk meminta bantuan pada Paus Urbanus II (1035 - 1099 M), menjadi paus dari (1088 1099 M) dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya di daerah-daerah pendudukan dinasti Seljuk. Paus Urbanus II bersedia membantu Byzantium karena adanya janji kaisar Alexius untuk dapat mempersatukan gereja Yunani dan Roma. Pada waktu itu Paus memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar tehadap raja-raja yang berada di bawah kekuasaannya. Ia dapat menjatuhkan sanksi kepada raja yang membangkang perintah Paus dengan mencopot pengakuannya sebagai raja. Dilain pihak, kondisi kekuasaan Islam pada waktu itu sedang lemah, sehingga orangorang Kristen di Eropa berani untuk ikut mengambil bagian dalam perang salib. Ketika itu, dinasti Seljuk di Asia kecil sedang mengalami perpecahan, dinasti fathimiyah di Mesir dalam keadaan lumpuh, sementara kekuasaan Islam di Spanyol semakin goyah. Situasi semakin bertambah parah karena adanya pertentangan segi tiga antara Khalifah Fathimiah di Mesir, khalifah Abasiyah di Baghdad dan Amir Umayah di
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al islam, Jilid IV, (Kairo: Maktabah Al Nahdhah Al Mishriah, 1967), hal 243-244.
2

Cordova yang memproklamasikan dirinya sebagai khalifah. Hal ini tampak dalam kondisi umat islam seperti berikut : 1. kelemahan dinasti Seljuk pasca wafatnya Malik Syah hingga mengakibatkan Seljuk terpecah-pecah. 2. Tidak adanya pemimpin kuat yang menyatukan perpecahan umat islam dan membentuk pasukan yang tangguh guna mengusir setiap lawan yang bermaksud jahat kepada islam. 3. Beberapa kabilah telah masuk agama Kristen dan hal ini menjadikan Eropa Kristen memiliki jaringan yang kuat di negara - negara timur. Maka situasi demikian yang sangat menguntungkan bangsa Eropa mendorong penguasa-penguasa Kristen di Eropa untuk merebut satu persatu daerah-daerah kekuasaan Islam yang telah begitu luas menguasai Eropa seperi dinasti - dinasti di Edessa (Arruha) dan Baitul Maqdis. 3. Faktor Sosial Ekonomi Keadaan ekonomi Eropa yang sebenarnya menjadi dorongan kuat pada masyarakatnya untuk ambil bagian dalam peperangan ini. Pandangan mereka yang selama ini terkukung oleh kemiskinan atas seruan kebebasan dan materi menjadikan mereka berduyun - duyun menyambut harapan itu. Maka semua lapisan baik raja, bangsawan, pendeta, saudagar, petani, dan semuanya mempunyai pandangan yang tidak berbeda terhadap perang salib. Oleh karenanya perang ini menjadi alat pemersatu yang sangat baik atas kesatuan Eropa melawan Islam. Terjadinya peperangan ini pula adalah karena ambisi para pedagang-pedagang besar yang berada di pantai timur laut tengah terutama yang berada di kota Venezia, Genoa, dan Pisa, untuk menguasai sejumlah kota-kota dagang di sepanjang pantai timur dan selatan laut tengah untuk memperluas jaringan dagang dan mempermudah jalur perdagangan itu sendiri karena mereka selama ini harus berhadapan denagn para penguasa Islam dalam melakukan perdagangannya. Untuk itu mereka rela menanggung sebagian dana perang salib dengan maksud menjadikan kawasan itu sebagai pusat perdagangan mereka apabila pihak Kristen Eropa memperoleh

kemenangan. Hal itu dimungkinkan karena jalur eropa akan bersambung dengan ruterute perdagangan di timur melalui jalur strategi tersebut. Selain permasalahan di atas, dalam kehidupan bangsa Eropa telah terbagi dalam kelas-kelas social masyarakat yang ketika itu terdiri dari tiga kelompok yaitu : kaum gereja, kaum bangsawan serta ksatria, dan rakyat jelata. Meskipun kelompok yang terakhir ini merupakan mayoritas di dalam masyarakat, tetapi mereka menempati kelas yang paling rendah. Kehidupan mereka sangat tertindas dan terhina. Mereka harus tunduk kepada tuan tanah yang sering bertindaksemena-mena dan mereka dibebani berbagai pajak dan sejumlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, ketika

merekadimobilisasi oleh pihak gereja untuk turut mengambil bagian dalam perang salib dengan janji akan diberikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik bila perang dapat dimenangkan, mereka menyambut seruan itu secaraspontan dengan berduyunduyun melibatkan diri dalam perang tersebut. Hal ini karena memang kebebasan yang sanagt berarti dalam kehidupan mereka. Penindasan yang selama ini mereka rasakan telah mengakibatkan mereka telah kehilangan hakekat hidup itu sendiri. Maka adanya seruan itu bukan karena mereka ingin memenuhi panggilan suci agama, bukan itulah sebab mereka mengikuti perang salib. Selain stratifikasi social masyarakat Eropa yang memberlakukan diskriminasi terhadap rakyat jelata, pada saat itu di Eropa berlaku hukum waris yang menetapkan bahwa hanya anak tertua yang berhak menerima harta warisan. Apabila anak tertua meninggal maka harta warisan harus diserahkan kepada gereja. Hal ini telah menyebabkan populasi orang miskin semakin meningkat. Akibatnya, anak-anak yang miskin sebagai konsekuensi hokum warisyang mereka taati itu beramai-ramai pula mengikuti seruan mobilisasi umum itu dengan harapan yang sama, yakni untuk mendapatkan perbaikan ekonomi. a. Perang Salib I (1094-1144 M) Periode pertama Perang Salib disebut sebagai periode penaklukan. Jalinan kerja sama antara Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II, berhasil membangkitkan semangat umat Kristen, terutama akibat pidato Paus Urbanus II, pada consili clermont pada tanggal 26 November 1095 M, yang intinya mewajibkan untuk melakukan Perang Salib bagi umat Kristiani sehingga terbentuk kaum Salibin. Gerakan ini merupakan gerakan spontanitas

yang diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat Kristiani. Hasan Ibrahim (sejarawan penulis buku Tarikh Al-Islam) menggambarkan gerakan ini sebagai gerombolan rakyat jelata yang tidak mempunyai pengalaman berperang, gerakan ini dipimpin oleh Pierre Iermite. Di sepanjang jalan menuju Constantinople mereka membuat keonaran bahkan terjadi bentrok dengan penduduk Hongaria dan Byzantium. Dengan adanya fenomena ini Dinasti Salju menyatakan perang terhadap gerombolan tersebut, sehingga akhirnya gerakan pasukan Salib dapat mudah dikalahkan. Berawal dari kekalahan pihak kristiani Godfrey of Buillon mengambil alih kepemimpinan pasukan Salibin, sehingga mengubah kaum Salibin menjadi ekpedisi militer yang terorganisasi rapi. Dalam peperangan menghadapi pasukan Godfrey, pihak Islam mengalami kekalahan, sehingga mereka berhasil menduduki Palestina (Yerussalem) pada tanggal 07 Juni 1099 M. Pasukan Godfrey ini melakukan pembantaian besar-besaran selama satu minggu terhadap umat Islam disamping itu mereka membumi hanguskan bangunan-bangunan umat Islam, sebelum pasukan ini menduduki Baitul Maqdis, mereka terlebih dahulu menaklukkan Anatolia, Tartur, Aleppo, Tripoli, Syam, dan Acre. Kemenangan pasukan Salib dalam periode ini telah mengubah peta situasi Dunia Islam kawasan itu. Sebagai akibat dari kemenangan itu, berdirilah beberapa kerajaan Latin-Kristen di Timur, yaitu kerajaan Baitul Maqdis (1099 M) di bawah pemerintahan Raja Godfrey, Edessa (1098 M) diperintah oleh Raja Baldwin, dan Tripoli (1109 M) dibawah kekuasaan Raja Raymond.3 Perang Salib I ditandai oleh bangkitnya kerajaan Seljuk (Turki) yang memasuki Armenia, Asia kecil dan Syria, kemudian menyapu daerah kawasan Byzantium (Romawi) memporakporandakan angkatan perangnya di pertempuran Mazikert dan sepanjang laut tengah yang pada masa Alip Arselan dan Malik Syah, Yerussalempun dicaplok. Maka dari itu, Konstantinopel dibawah kepala gereja Hildeband yang menaiki tahta sebagai Pau Gregorius VII memohon bantuan dari para raja ksatria dan penduduk umumnya, sebab penakluk-penakluk dari Bani Seljuk itu dianggap berlaku kejam dan menindas orang-orang Kristen yang datang beribadah ke Baitul Maqdis. Akan tetapi pada tahun (1095 M) baru bisa menghimpun kekuatan sebesar 300.000 orang, atas usaha dari penggantinya yaitu Paus Urbanus II yang dibantu oleh guru bahasanya yaitu Peter, Sang Pertapa atau Peter
3

M. Yahya Harun, Perang salib dan Pengaruh Islam di Eropa, (Yogjakarta: Bina Usaha, 1987), hal

12-14.

Amiens. Peterlah yang menyerukan kepada seluruh raja dan pembesar raja Eropa Kriten bersatu untuk memerangi Islam atas nama agamanya yang suci. Peter terus berkelana sambil terus berkampanye untuk itu. Pada akhir tahun (1096 M) dan awal tahun (1097 M), sekitar 150.000 tentara Salib sampai di Konstantinopel dibawah pimpinan Gadefroy, Bohemond dan Raymond. Pada awal tahun (1097 M) tentara Salib mulai menyebrangi selat Bosporus lalu mengepung kota Niceae dan setelah dikepung selama sebulan, akhirnya kota jatuh ke tangan mereka pada tanggal 18 Juni 1097 M serta mereka dapat mengalahkan tentara Kalij Arsalan dari Bani Saljuk di Asia kecil. Pada tanggal 15 Juli 1099 M tentara Salib mengepung Yerussalem selama tujuh hari dengan menyembelih tak kurang dari 70.000 umat Islam, dan pada saat itu pula Yerusalem dan kota-kota sekitarnya takluk. Kemudian tentara Salib mendirikan empat kerajaan Kriten yaitu di tanah suci Baitul Maqdis, Enthiokhie, Raha dan Tripolisyam, sedangkan Nicola dikembalikan pada Kaisar Byzantium. b. Perang Salib II (1144-1193 M) Perang Salib II juga terjadi sebab bangkitnya Bani Seljuk dan jatuhnya Halab (Aleppo), Edessa, dan sebagian negeri Syam ke tangan Imaddudin Zanky (1144 M). Setelah Imaduddin meninggal, ia digantikan oleh puteranya yang bernama Nuruddin dan dibantu oleh Shalahuddin hingga tahun (1147 M). Perang Salib II ini dipimpin oleh Lode wiyk VII atau Louis VII (Raja Perancis), Bernard de Clairvaux dan Concrad III dari Jerman. Laskar Islam yang terdiri dari bangsa Turki, Kurdi dan Arab dipimpin oleh Nuruddin Sidi Saefuddin Gazi dan Mousul dan dipanglimai oleh Shalahuddin Yusuf ibn Ayyub. Pada tanggal 4 Juli 1187 M terjadi pertempuran antara pasukan Shalahuddin dengan tentara Salib di Hittin dekat Baitul Maqdis. Dalam pertempuran ini kaum muslimin dapat menghancurkan pasukan Salib, sehingga raja Baitul Maqdis dan Ray Mond tertawan dan dijatuhi hukuman mati. Kemenangan Shalahuddin dalam peperangan ini memberikan peluang yang besar untuk merebut kota-kota lainnya. Termasuk Baitul Maqdis, Yerussalem, Al Qudus. Pada saat kota Yerussalem direbut tentara Salib, mereka melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap orang Islam, tetapi ketika kota itu direbut kembali oleh Shalahuddin, kaum muslimin tidak melakukan pembalasan terhadap mereka, bahkan memperlakukan mereka dengan baik dan lemah lembut. Pada saat Baitul

Maqdis kembal ke tangan Umat Islam kembalilah suara adzan berkumandang dan lonceng gereja berhent berbunyi serta Salib emas diturunkan dari kubah sakrah. Dalam periode ini disebut sebagai periode reaksi umat Islam atas jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib telah membangkitkan kesadaran kaum muslimin untuk menghimpun kekuatan guna menghadapi kaum Salibin. Di bawah komando Imaduddin Zangi, Gubernur Mousul, kaum muslimin bergerak maju membendung serangan pasukan Salib bahkan mereka berhasil merebut kembali Aleppo, Adessa (Ar-Ruha) pada tahun (1144 M). Setelah Imaduddin Zangi wafat, posisinya digantikan putranya Nuruddin Zangi, dia meneruskan perjuangan ayahnya untuk membebaskan negara-negara Timur dari cengkraman kaum Salib. Kota-kota yang berhasil dibebaskan antara lain Damascus (1147 M), Antiok (1149 M) dan Mesir (1169 M). Keberhasilan kaum muslimin meraih berbagai kemenangan, terutama setelah munculnnya Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (Salahuddin) di Mesir, yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis pada tanggal 2 Oktober 1187 M. Hal ini membuat kaum Salibin untuk membangkitkan kembali basic kekuatan mereka sehingga mereka menyusun kekuatan dan mengirim ekspedisi militer yang lebih kuat. Dalam ekspedisi ini dikomando oleh raja-raja Eropa yang besar, Frederick I (The Lion Hearted, Raja Inggris) dan Philip II (Augustus, Raja Prancis). Ekpedisi militer Salib kali ini dibagi dalam beberapa devisi, sebagian menempuh jalan darat dan yang lainnya menempuh jalur laut. Frederick yang memimpin devisi darat tewas tenggelam dalam

penyebrangannya di sungai Armenia, dekat kota Ar-Ruha, sebagian tentaranya kembali kecuali beberapa orang yang terus melanjutkan perjalanannya di bawah pimpinan putra Frederick. Adapun devisi yang menempuh jalur laut menuju Sicilia yang dipimpin Richard dan Philip II, disana mereka bertemu dengan pasukan Salahuddin, terjadilah peperangan sengit, karena kekuatan tidak berimbang, maka pasukan Salahuddin mundur, dan Kota Acre ditinggalkan oleh Pasukan Salahuddin dan menuju ke Mesir untuk mempertahankan daerah itu. Dalam keadaan demikian kedua belah pihak melakukan gencatan senjata dan membuat suatu perjanjian damai, inti perjanjian damai tersebut adalah: Daerah pedalaman akan menjadi milik kaum muslimin dan umat Kristen, yang akan berziarah ke Baitul Maqdis akan terjamin keamanannya, sedangkan daerah pesisir utara, Acre dan Jaffa berada di daerah kekuasaan tentara Salib. Tidak lama kemudian setelah perjanjian disepakati, Salahuddin wafat pada bulan Safar (589 H) atau (Februari 1193 M).

c. Perang Salib III (1193-1291 M) Perang Salib III ini timbul sebab bangkitnya Mesir dibawah pimpinan Shalahuddin, berkat kesuksesannya menaklukkan Baitul Maqdis dan kemampuannya mengatasi angkatan-angkatan perang Prancis, Inggris, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya. Kejadian tersebut dapat membangunkan Eropa-Barat untuk menyusun angkatan Perang Salib selanjutnya atas saran Guillaume. Perang Salib III ini dipimpin oleh Kaisar Fredrick I Barbarosa dari Jerman Philip II August (Raja Prancis dan Inggris), Richard The Lion Heart. Ketika itu pasukan Jerman sebanyak 100.000 orang dibawah pimpinan Frederick Barbarosa, tetapi nasibnya sangat malang, ketika ia menyeberang, sebuah sungai yang jeram di Sisilia-Armenia ia mati tenggelam sehingga pasukannya kehilangan pemimpin dan pasukannya patah semangat, akhirnya pasukan tersebut ada yang memilih kembali ke negerinya dan ada pula yang terus untuk bergabung dengan pasukan lainnya. Tentara Inggris dan Prancis bertemu di Saqliah dan disini juga terjadi perselisihan antara Philiph dengan Richard yang akhirnya mereka kembali sendiri-sendiri. Richard mengambil jalan melalui Cyprus dan Philiph langsung menuju Palestina dan mengepung Akka. Akhirnya Akka dan Yaffa jatuh ditangan tentara Salib tetapi tidak bisa menduduki Baitul Maqdis dan dibuatlah perjanjian damai antara kedua belah pihak di Ramlah atau dapat disebut perjanjian Ar-Romlah. Tidak lama setelah perdamaian tersebut Shalahuddin wafat, dan digantikan oleh saudaranya Sultan Adil. Shalahuddin wafat setelah berhasil mempersatukan umat Islam dan mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan umat Islam. Periode ini lebih dikenal dengan periode perang saudara kecil-kecilan atau periode kehancuran di dalam pasukan Salib sendiri. Hal ini disebabkan karena periode ini lebih disemangati oleh ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan dan sesuatu yang bersifat material, dari motivasi agama. Tujuan mereka untuk membebaskan Baitul Maqdis seolah-olah mereka lupakan, hal ini dapat dilihat ketika pasukan Salib yang disiapkan menyerang Mesir (1202-1204 M) ternyata mengubah haluan menuju Constantinople, kota ini direbut dan diduduki lalu dikuasai oleh Baldwin sebagai rajanya yang pertama. Dalam periode ini telah terukir dalam sejarah yaitu munculnya pahlawan wanita yang terkenal dan gagah berani yaitu Syajar Ad Durr, dia berhasil menghancurkan pasukan Raja Lois IX, dari Prancis dan sekaligus menangkap

10

raja tersebut. Dalam periode ini pasukan Salib selalu menderita kekalahan. Meskipun demikian mereka telah mendapatkan hikmah yang sangat besar, mereka dapat mengetahui kebudayaan dan peradaban Islam yang sudah sedemikian majunya, bahkan kebudayaan dari Timur Islam menyebabkan lahirnya renaisansce di Barat. d. Perang Salib IV (1202-1206 M) Tentara Salib berpendapat bahwa jalan untuk merebut kembali Baitul Maqdis adalah harus dikuasai terlebih dahulu keluarga Bani Ayyub di Mesir yang menjadi pusat persatuan Islam ketika itu. Oleh karena itu kaum Salib memusatkan perhatian dan kekuatannya untuk menguasai Mesir. Akan tetapi Perang Salib IV ini dilakukan atas kerja sama dengan Venesia dan bekas kaisar Yunani. Tentara Salib menguasai Konstatinopel (1204 M) dan mengganti kekuasaan Bizantium dengan kekuasaan latin disana. Pada waktu itu Mesir diperintah oleh Sultan Salib, maka dikuatkanlah perjanjian dengan orangorang Kristen pada tahun 1203 - 1204 M dan 1210 - 1211 M. Isi perjanjian itu adalah mempermudah orang Kristen ziarah ke Baitul Maqdis dan menghilangkan permusuhan antara kedua belah pihak. e. Perang Salib V (12171221 M) Perang Salib V tetap berada di Konstantinopel dan tidak henti-hentinya terjadi konflik dengan pihak Kaisar. Perang Salib V dipimpin oleh Jeande Brunne Kardinal Pelagius serta raja Hongaria, meskipun pada tanggal 5 November 1219 M kota pelabuhan Damietta mereka rebut, namun dalam perjalanan ke Kairo pada tanggal 24 Juli 1221 M mereka membuat kekacauan di Al Masyura ( tepi sungai Nil) kemudian mereka pulang ke daerah mereka. f. Perang Salib VI (12281229 M) Perang Salib VI dipimpin oleh Frederick II dari Hobiens Taufen, Kaisar Jerman dan raja Itali dan kemudian menjadi Raja muda Yerussalem lantaran berhasil menguasai Yerussalem tidak dengan perang tapi dengan perjanjian damai selama 10 tahun dengan Sultan Al-Malikul Kamil, keponakan Shalahuddin al-Ayyubi, namun 14 tahun kemudian

11

yakni pada tahun (1244 M) kekuasaan diambil alih Sultan Al Malikul Shaleh Najamuddin Ayyub beserta Kallam dan Damsyik. g. Perang Salib VII (12481254 M) Peperangan ini dipimpin oleh Raja Louis IX dari Perancis pada tahun (1248 M), namun pada tahun (1249 M) tentara Salib berhasil menguasai Damietta (Damyat). Dimasa inilah pemimpin angkatan perang Islam, Malikul Shaleh mangkat kemudian digantikan putranya Malikul Asraff Muzafaruddin Musa. Ketika Louis IX gagal merebut Antiock yang dikuasai Sultan Malik Zahir Bay Bars pada tahun 1267/1268 M, lalu hendak merebut Tunis, ia beserta pembesar-pembesar pengiringnya ditawan oleh pasukan Islam pada 6 April 1250 M dalam satu pertempuran di Perairan Mesir, setelah mereka memberi uang tebusan, maka mereka dibebaskan oleh Tentara Islam dan mereka balik ke negerinya. h. Perang Salib VIII (1270-1272 M) Dalam Perang Salib VIII yaitu pada tanggal 25 Agustus 1270 M ini Louis IX telah binasa ditimpa penyakit (riwayat lain menyebutkan ia terbunuh). Akhirnya pada tahun 1492 M Raja Ferdinad dan Ratu Isabella sukses menendang habis umat Islam dari Granada, Andalusia. Riwayat lain juga menjelaskan bahwa Perang Salib VIII ini tidak sempat terbentuk karena kota terakhir yakni Aere yang diduduki oleh tentara Salib malahan berhasil dikuasai oleh Malikul Asyraf (putra Malikul Shaleh). Dengan demikian terkuburlah Perang Salib oleh Perang Sabil. Tetapi meskipun Perang Konvensional dan Frontal itu sudah berakhir secara formal, namun sesungguhnya perang jenis lain yang kwalitasnya lebih canggih terus saja berlangsung seiring dengan kemajuan zaman. i. Perang Salib Lanjutan (1291-1344 M) Dalam Perang Salib lanjutan ini ada beberapa faktor yang melatar belakanginya yaitu ketika kaum muslimin mundur dari Cordova atau Granada oleh Ferdinand, Leon dan Castelin. Pada saat degradasi politik seperti itu Islam sedikit demi sedikit basic kekuatannya menurun. Adapun faktor lain yaitu; adanya perjanjian Tordessilas, yang menjadi semangat agama-agama katolik. Perjanjian itu ditetapkan pada 4 Mei 1493, yang menyatakan antara lain; Bahwa kepercayaan agama Katolik dan agama Kristen,

12

teristimewa pada zaman kita ini, harus dimulyakan dan disempurnakan, serta disebarkan dimana-mana dan harus mengambil alih Kerajaan Granada dari kelaliman para sara (muslimin). Dengan adanya perjanjian tersebut, Perang Salib dikobarkan lagi dan dilancarkan oleh orang-orang Portugis dengan tujuan bukan lagi mencari keuntungan, tetapi melakukan ekspansi politik dan ekspansi keagamaan dan musuh pertama yang dihadapi adalah negara Islam. Para pendeta dan lembaga-lembaga missionaris oleh orang-orang Dunia Islam dianggap sebagai imperialisme. Dan merupakan satu aspek usaha penyingkiran lembaga-lembaga pribumi atau Islam dengan menggantikan sejarah setempat dengan kurikulum Barat. Dalam peperangan lanjutan ini pihak Kristen juga mengalami kekalahan, akan tetapi orang-orang Kristen dengan segala bentuk dan cara berusaha menghancurkan Islam baik melalui politik, ekonomi dan pendidikan. C. INVASI MONGOL Asal mula bangsa Mongol adalah dari masyatakat hutan yang mendiami Siberia dan Mongol luar di sekitar danau pegunungan Altani tepatnya dibagian barat Laut Cina. Sebenarnya mereka itu bukanlah suku Nomad yang berpindah-pindah dari satu stepa yang lain, walaupun menaklukkan banyak stepa dengan ketangkasannya menunggang kuda. Pemimpin atau Khan bangsa Mongol yang pertama diketahui dalam sejarah adalah Yesugei (w. 1175). Ia adalah ayah Chinggis (Chingis atau Jengis). Chinggis aslinya bernama Temijin, seorang pandai besi yang mencuat namanya karena perselisihan yang dimenangkannya melawan Ong Khan atau Togril, seorang kepala suku Kereyt. Chinggis sebenarnya adalah gelar bagi Temujin yang diberikan kepadanya oleh sidang kepalakepala suku Mongol yang mengangkatnya sebagai pemimpin tertinggi bangsa itu pada tahun 1206, atau juga disebut Chingis Khan/Raya yang Agung,4 ketika ia berumur 44 tahun. Perlu diketahui juga, bahwasannya bangsa Mongol adalah bangsa yang pemberani dan tegar dalam berperang.5

Joesoef Souyb, Sejarah Daulat Abbasiyah III, (Jakarta : Bulan Bintang, Cetakan ke IV, 1981), hal Badri Yatim, Dr., MA., Sejarah Peradapan Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal

260.
5

111.

13

Bangsa Mongol tidak memeluk salah satu agama samawi dari ketiga agama samawi. Padahal mereka hidup dan berinteraksi dengan pengikut agama Yahudi, Kristen dan Islam. Jengis Khan juga menyempurnakan moral masyarakatnya dengan undangundang yang dibuatnya, yaitu Ilyasa atau Yasaq. Kepercayaan keagamaan orang-orang Mongol dan praktek ritual ibadahnya adalah mengikuti faham Shamanism, yaitu menyembah matahari dan bersujud kepadanya ketika terbit, dan diantara syariatnya adalah tidak mengharmkan apapun kepada pengikutnya untuk makan hewan apa saja yang mereka temui meskipun sudah menjadi bangkai. Adapun agama-agama samawi yang sampai di tengah-tengah mereka karena factor invansi bangsa Mongol itu sendiri, Misalnya agama Islam pengaruh dari Persia dan daeah-daerah Golden Holde, agama Budha pengaruh dari Tibet dan Persia dan agama Kristen datang dari Eropa.6 Diantara ajaran yang terdapat dalam kitab Ilyasa adalah: 1) Barangsiapa yang melakukan hubungan diluar nikah, maka harus dibunuh, baik yang sudah pernah nikah atau belum. 2) Barngsiapa yang melakukan hubungan seksual akan dibunuh. 3) Barangsiapa yang berdusta dengan sengaja, maka dibunuh. 4) Barangsiapa yang menyihir, maka akan dibunuh. 5) Barangsiapa yang buang air kecil di air yang tidak bergerak, maka akan dibunuh.7 Disamping itu juga, Jengis Khan juga mengatur kehidupan beragama dengan tidak boleh merugikan antara satu pemeluk agama dengan yang lainnya. Sebagai konsekwensinya, rakyat Mongol harus menghormati rajanya6 tentara yang mau perperang harus diinspeksi terlebih dahulu dan perempuan harus siap membayar pajak jika lelakinya pergi berperang, ia juga mendirikan pos untuk mengetahui berita tentang kerajaanya, ia melarang penyerbuan terhadap agama, sekte agama dan mencegah

David Morgan, The Mongols (Cambridge : Black Well, 1986), hal 40-41. Ibnu Atsir, Al-Kamil Fi at-Tarikh (Beirut : Dar al-Fikr, 1986), Jilid XII. Hal 360.

14

terjadinya perbedaan dalam agama.8 Ternyata Jengis Khan ingin mengambil hati kaum muslimin dengan tidak mengusik kelompoknya, dan menghormati Nabi SAW, yang ketika itu Islam sudah meluas hingga ke wilayahnya, guna menghadapi tantangan dan meluaskan wilyah ke luar negeri, baik ke Cina maupun ke negeri-negeri Islam. Bangsa yang dipimpinnya itu meluaskan wilyah ke Tibet (Cina barat laut), dan Cina (1213 M), serta dapat menaklukkan Beijing tahun (1215 M). ia menundukkan Turkestan tahun (1218 M) yang berbatasan dengan wilayah Islam, yakni Khawarazm Syah. Invasi Gubernur Khawarazm membunuh para utusan Chinggis yang disertai oleh para saudagar Islam. Peristiwa tersebut menyebabkan Mongol menyerbu wilayah Islam, dan dapat menaklukkan Transoxania yang merupakan wilayah Khawarazm (1219-1220 M), padahal sebelummnya, mereka justru hidup berdampingan secara damai satu sama lain. Kota Bukhara di Samarkand yang di dalamnya terdapat makam Imam Bukhari, salah seorang perawi Hadits yang termasyhur, dihancurkan, Balk, dan kota-kota lain yang mempunyai peradapan Islam yang tinggi, di Asia Tengah juga tidak luput dari penghancuran. Jalaluddin, penguasa Khawarazm yang berusaha meminta bantuan kepada khalifah Abbasiyah di Bagdad, menghindarkan diri dari serbuan Mongol, ia diburu oleh lawannya hingga ke India (1221 M), yang akhirnya ia lari ke Barat. Toluy, salah seorang anak Chinggis, diutus ke Khurrasan sementara anaknya yang lain, yakni Jochi dan Chaghatay bergerak untuk merebut wilayah sungai Sir Darya Bawah dan Khawarazm. Wilayah kekuasaan Jengis Khan yang luas dibagi untuk empat orang putranya sebelum ia meninggal dunia tahun (624 H/1227 M). Pertama ialah Jochi, anaknya yang sulung mendapat wilayah Siberia bagaian Barat dan Stepa Qipchaq yang membentang hingga Rusia selatan, di dalamnya terdapat Khawarazm. Namun ia meninggal dunia sebelum wafat ayahnya Jengis, dan wilayah warisannya itu diberikan kepada anak Jochi yang bernama Batu atau Orda. Batu mendirikan Horde (kelompok) Biru di Rusia Selatan sebagai pilar dasar berkembangnya Horde putih di Siberia Barat. Kedua kelompok itu bergabung dalam abad ke 14 yang kemudian muncul sebagai ke khanan yang bermacam

Ali Mufrodi, Dr., Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.

128.

15

ragamnya di Rusia, Siberia dan Turkistan, termasuk di Crimea, Astrakhan, Qazan, Qasimov, Tiumen, Bukhara, dan Khiva. Syaibaniyah atau Ozbeg, salah satu cabang keturunan Jochi berkuasa di Khawarazm dan Transoxania dalam abad ke 15 dan 16. Kedua adalah Chaghatay, mendapat wilayah berbentang ke Timur, sejak dari Transocania hingga Turkistan Timur atau Turkistan Cina. Cabang barat dari keturunan Chaghatai yang bermukim di Tranxosania segera masuk ke dalam lingkungan pengaruh Islam, namun akhirnya dikalahkan oleh kekuasaan Timur Lenk. Sedangkan cabang timur dari keturunan Chaghatay berkembang di Semirechye, Ili, Tien Syan di Tamrin. Mereka lebih tahan terhadap pengaruh Islam, tetapi akhirnya mereka ikut membantu menyebarkan Islam di wilayah Turkistan Cina dan bertahan disana hingga abad ke XVII. Jatuhnya ibu kota Abbasiyah yang didirikan oleh Khalifah kedua, al- Mansur itu, berkaitan erat sekali dengan seseorang yang bernama Ibnu al-Qami (seorang perdana menteri yang beraliran Syiah Rafadh. Pada tahun (642 H/1244 M) ia berhasil merayu pasukan Mongol untuk menyerang Bagdad. Pada awal tahun (656 H / 1258 M), Hulako Khan mengirimkan pasukan ke Bagdad di bawah pimpinan dua amirnya sebagai pasukan awal sebelum kedatangannya, kemudian pada tanggal 12 Muharram pada tahun yang sama, pasukan yang berkekuatan dua ratus ribu personel dan dipimpin langsung oleh Hulako Khan tiba di Baghdad. Mereka mengepung Baghdad dari dua arah, barat dan timur, pada akhirnya diadakan perjanjian antara Hulako dan Mutashim. Mutashim dikawal tujuh ratus dari kalangan hakim, fuqoha, orang-orang sufi dan pejabat Negara. Pada akhirnya mereka semua dibunuh oleh Hulako Khan tidak tersisa sama sekali, hal ini atas permintaan Ibnu al-Qami dan Nashiruddin at-Thutsi. Demikian juga membunuh sebagian besar keluarga khalifah dan penduduk yang tak berdosa. Akibat pembunuhan dan kerusakan kota itu timbullah wabah penyakit, lantaran mayat-mayat yang bergelimpangan belum sempat dikebumikan. Hulako mengenakan gelar II Khan dan menguasai wilayah yang lebih luas lagi hingga ke Syiria Utara, seperti kota Aleppo, Hama, dan Harim. Khalifah dinasti Fathimiyyah, Mutashim Billah mengangkat perdana menteri dari aliran Syiah Rafadh. Perdana menteri ini sangat berambisi untuk merampas tahta khilafah dari tangan Abbasiyyah kemudian diserahkan kepada dinasti Fathimiyyah, dan

16

kesempatan emas dia peroleh tatkala pasukan Mongol menyerbu wilayah-wilayah Islam. Ia aktif mengadakan kontak dan korespondensi dengan pasukan Mongol dan mendukung mereka menyerang Baghdad. Jika ia mendapatkan surat balasan dari pasukan Mongol, maka surat tersebut ia rahasiakan dan tidak dia laporkan kepada khalifah. Sebaliknya hal yang berkaitan dengan khalifah Bani Abbasiyyah, ia beberkan secara transparan kepada pasukan Mongol. Puncak kemarahannya adalah ketika Baghdad pada (655 H / 1257 M). Kaum Suni dan Syiah Rafidh berperang, dan pada akhirnya dimenangkan oleh Sunni, kemuan orang-orang Sunni merampas rumah-rumah mereka termasuk rumah-rumah kerabat perdana menteri tersebut. Factor inilah yang memicu Ibnu al-Qami berkompromi dengan pasukan Mongol.9 Selanjutnya ia ingin merebut Mesir, tetapi malang, pasukan Mamluk rupanya lebih kuat dan lebih cerdik sehingga pasukan Mongol dapat dipukul di Ain Jalut, Palestina, thun (1260 M) sehingga mengurungkan niatnya melangkahi Mesir. Ia sangat tertarik pada bangunan dan arsitektur yang indah dan filsafat. Atas saran Nasiruddin at-Tusi, seorang Filosof Muslim besar. Ia membangun ovservatorium di Maragha tahun (1259 M). Hulako yang memerintah hingga thun (1265 M) digantikan oleh anaknya, Abaqa, (1265-1282 M). ia sangat menaruh perhatian kepada umat Kristen karena pengaruh janda ayahnya yang beragama Kristen Nestorian12, yakni Doqus Khatun. Orang-orang Mongol II Khaniyah ini bersekutu dengan orang-orang Salib, penguasa Kristen Eropa, Armenia Cilicia untuk melawan Mamluk dan keturunan saudara-saudaranya sendiri dari dinasti Horde keemasan (Golden Horde) yang telah bersekutu dengan Mamluk, penguasa Muslim yang berpusat di Mesir. Dinasti II Khaniyyah lama kelamaan renggang hubungannya dengan saudara-saudaranya yang berada di Timur, terutama setelah meninggalnya Qubulay Khan tahun (1294 M). bahkan mereka yang menguasai barat sampai Bagdad itu karena tekanan kultur Persia yang Islam, berbondong-bondong memeluk agama Islam seperti Ghazan Khan dan keturunannya. Penguasa II Khaniyyah terakhir ialah Abu Said. Ia berdamai dengan Mamluk tahun (1323 M), yang mengakhiri permusuhan antara kedua kekuasan itu untuk merebut Syiria. Perselisihan dalam tubuh II Khaniyyah sendiri menyebabkan terpecahnya kerajaan menjadi dinasti kecil-kecil yang bersifat lokal. Mereka hanya dapat
9

As-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, (Beirut : Dar al-Fikr, 1990), hal 465.

17

dipersatukan kembali pada masa Timur Lenk yang berbentuk dinasti Timuriyyah yang berpusat di Samarkand. Sebagian wilayah II Khaniyyah yang berada di kawasan kebudayaan Arab seperti Iraq, Kurdistan dan Azebaijan, diwarisi oleh dinasti Jalayiriyah. Jalayir adalah suku Mongol yang mengikuti Hulako ketika menaklukkan negeri-negeri Islam. Dinasti ini didirikan oleh Hasan Buzurg (Agung), yang dibedakan dengan Hasan Kuchuk (kecil) dari dinasti Chupaniya, musuh bubuyutannya yang memerintah sebagai Gubernur di Anatolia di bawah sultan Abu Said, penguasa terakhir dinasti II Khaniyyah. Hasan Buzurg akhirnya menundukkan Chupaniyah, walaupun ia masih harus mengakui kekuasaan II Khaniyah, dan memusatkan kekuasaanya di Bagdad. Dimasa Uways, pengganti Hasan Agung, Jalayiriyyah baru memiliki kedaulatan secara penuh. Ia dapat menundukkan Azerbaizan, namun mendapat perlawan dari dinasti Muzaffariyah dn Khan-Khan Horde keemasan. Mereka akhirnya dikalahkan oleh Qara Qoyunlu. Dari sini dapat dilihat, bahwa kultur Islam yang ada dikawasan budaya Arab seperti Iraq dan Syiria serta sebagian Persia sebelah barat, walaupun secara politis dapat ditaklukkan oleh Mongol, tetapi akhirnya Mongol sendiri terserap ke dalam budaya Islam. Dapatlah kiranya disimpulkan bahwa akar budaya Islam dikawasan budaya Arab dipemerintahan bukan hanya dynasti berbangsa Arab saja tetapi siapa yang kuat akan memerintah wilayah tersebut. Dinasti-dinasti silih berganti menguasai wilayah itu dan yang langgeng ialah kekuasaan dari bangsa Arab sendiri, baik pada masa klasik maupun masa modern ini.10 Apa dampak positif maupun negative kekuasaan Mongol terhadap wilayahwilayah Islam yang ditundukkannya ?. Dampak negative tentu lebih banyak dibandingkan dengan dampak positifnya. Kehancuran tampak jelas dimana-mana dari serangan Mongol sejak dari wilayah timur hingga ke barat. Kehancuran kota-kota dengan bangunan yang indah-indah dan perpustakaanperpustakaan yang mengoleksi banyak buku

memperburuk situasi ummat Islam. Pembunuhan terhadap umat Islam terjadi, bukan
Nourouzzaman Shiddiq, H., Dr., Pengantar Sejarah Muslim, (Yogyakarta : Mentari Masa Yogyakarta, Cetakan ke II, 1989), hal 74.
10

18

hanya pada masa Hulako saja yang membunuh khalifah Abbasiyyah dan keluarganya, tetapi pembunuhan dilakukan juga terhadap umat Islam yang tidak berdosa. Seperti yang dilakukan oleh Argun Khan ke empat pada dinasti II Khaniyyah terhadap Takudar sebagai Khan ketiga yang dihukum bunuh karena masuk Islam, Argun Syamsuddin, seorang administrator dari keluarga Juwaini yang tersohor dihukum mati tahun (1284 M), Syihabuddin penggantinya juga dibunuh tahun (1289 M), dan Said ad-Daulah yang orang Yahudi itu dihukum mati pula pada tahun (1289 M). Bangsa Mongol yang asal mulanya memeluk agama nenek moyang mereka, lalu beralih memeluk agama Budha, rupanya bersimpati kepada orang- orang Kristen yang bangkit kembali pada masa itu dan menghalang-halangi dakwah Islam di kalangan Mongol, yang lebih fatal lagi ialah hancurnya Baghdad sebagai pusat dinasti Abbasiyyah yang di dalamnya terdapat berbagai macam tempat belajar dengan fasilits perpustakaan, hilang lenyap dibakar oleh Hulako. Suatu kerugian besar bagi khazanah ilmu pengetahuan yang dampaknya masih dirasakan hingga kini. Ada pula dampak positif dengan berkuasanya dinasti Mongol ini setelah para pemimpinnya memeluk agama Islam. Mengapa mereka dapat menerima dan masuk ke agama Islam? Antara lain adalah disebabkan karena mereka berasimilasi dan bergaul dengan masyarakat Muslim dalam jangka panjang, seperti yang dilakukan oleh Gazan Khan (1295-1304 M) yang menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan, walaupun ia pada mulanya beragama Budha. Rupanya ia telah mempelajari ajaran agama-agama sebelum menetapkan keislamannya, dan yang lebih mendorongnya masuk Islam adalah karena pengaruh seorang menterinya, Rasyiduddin yang terpelajar dan ahli sejarah yang terkemuka yang selalu berdialok dengannya, dan Nawruz, seorang Gubernurnya untuk beberapa propinsi Syiria. Ia menyuruh kaum Kristen dan Yahudi untuk membayar Jizyah, dan memerintahkan mencetak uang yang bercirikan Islam, melarang riba, dan menyuruh para pemimpinnya menggunakan sorban. Ia gemar pada seni dan ilmu pengetahuan, menguasai beberapa bahasa seperti Mongol, Arab, Persia, Cina, Tibet dan Latin. Ia mati muda ketika berumur 32 tahun, karena tekanan batin yang berat sehingga ia sakit yang menyebabkan kematiannya itu ketika pasukannya kalah di Syiria dan munculnya sebuah komplotan yang berusaha untuk menggusurnya dari kekuasaannya. Sepeninggal Gazan

19

digantikanlah oleh Uljaitu Khuda Banda (1305-1316 M) yang memberlakukan aliran Syiah sebagai hukum resmi kerajaanya. Ia mendirikan ibu kota baru yang bernama Sultaniyyah dekat Qazwain yang dibangun dengan arsitektur khas II Khaniyyah. Banyak koloni dagang Italia terdapat di Tabriz, dan II Khaniyyah menjadi pusat pedagangan yang menghubungkan antara dunia Barat dan India serta Timur Jauh. Namun perselisihan dalam keluarga dinasti II Khaniyyah menyebabkan runtuhnya kekuasaan mereka.

20

D. KESIMPULAN Dalam penyebaran pasukan Salibin terhadap umat Islam, menjadi fenomena yang disertai timbulnya sentimen keagamaan yang kuat. Dengan adanya motif ini, maka membawa pengaruh besar terhadap hubungan antar pemeluk agama Islam dan Kristen dalam waktu yang panjang (Al-Ghozali). Melihat dari beberapa gambaran yang ada maka dapat disimpulkan bahwa, meskipun Perang Salib sudah berakhir namun pada hakekatnya belum berakhir, hal ini karena adanya perkembanganperkembangan selanjutnya, yang walaupun tidak dalam bentuk yang lain, yang sekaligus merupakan suatu hubungan yang sulit untuk dipisahkan. Adapun hubungan Perang Salib dengan gerakan-gerakan yang dimaksud antara lain: 1. Orientalisme 2. Kolonialisme 3. Kristenisasi Sesungguhnya invansi pasukan Mongol terhadap Negara-negara Islam adalah tragedi besar yang tidak ada tandingannya sebelum ini dan sesudahnya. Kendati sebelumnya di dahului oleh perang Salib, apalagi melihat peristiwa hancurnya ibu kota Dinasti Abbasiyah yaitu Baghdad. Faktor yang menyebabkanya diantaranya adalah : 1. Terjadinya perpecahan dan konflik internal kaum muslimin. 2. Setiap amir atau khalifah hanya perhatian kepada wilayahnya saja, tanpa beban ketika ada suatu wilayah Islam lainya jatuh di tangan musuh. 3. Kurang professional dalam mengangkat pejabat Negara, terutama dalam bidang politik dan militer. 4. Kurangnya jiwa revolosioner di kalangan ummat Islam, mereka banyak terjun di dunia sufi, fiqh, dan teologi.

21

You might also like