You are on page 1of 10

[Material]_Hardening

Rangkuman Diskusi Mailing List Migas Indonesia Online bulan Maret 2006 tentang material ini membahas mengenai Material Hardening. Apakah dengan menaikkan kekerasan material akan mengurangi elastisitasnya? Material yang dibahas adalah AISI 4140 yang digunakan untuk shaft. Secara prinsip semakin keras suatu material atau mengalami proses pengerasan, maka ductility a/ keuletannya akan menurun dan cenderung brittle/ rapuh/ mudah pecah, karena secara mikrostruktur kepadatan struktur semakin rapat sehingga tegangan muka antar atom nya tinggi, dan terjadi perubahan mikrostruktur, tapi hal ini dapat diminimalisasi setelah proses pengerasan, dilakukan proses anealing/ pemanasan ulang sampai titik transformasi, untuk menghilangkan tegangan antar atom juga mengembalikan struktur molekul kebentuk awal. Penyebab patahnya logam dapat diketahui lewat fractography, e.g. dengan mengamati permukaan patahan. Jika bentuk patahannya rata dan mengkilap, ini kemungkinan patah getas (brittle fracture). Patah getas ini biasanya disebabkan fatigue loading (baik amplitudo konstan atau amplitudo berubah). Jika patahannya berbentuk "cup and cone", ini kemungkinan patah ulet (ductile fracture). Hardening (dengan strain rate rendah) dan tempering (dalam durasi tertentu) dapat meningkatkan kekuatan logam. Kekuatan ini diukur dengan dua parameter, yaitu yield strength (kekuatan luluh) dan ultimate strength (kekuatan maksimum). Jika ingin melakukan hardening dan tempering, mungkin ada baiknya memperhatikan (1) temperatur, (2) yield strength increment, (3) durasi heat treatment. Pada saat operasi, mohon diamati besar pembebanan (load maksimum) yang dialami shaft. Diskusi lebih lengkap dapat dilihat dalam file berikut : Pertanyaan : Zulfahmi Dear All, Boleh sedikit pencerahan nya. Apakah dengan menaikan kekerasan material akan mengurangi elastisitas material. material : AISI 4140 material ini digunakan untuk shaft. Thanks Tanggapan 1 : amal ashardian Elastisitas ini constanta Pak.... elastisitas (young modulus) untuk steel 200 - 207 GPa........Konstanta ini berguna selama material melentur dalam batas elastis...yaitu yield point. Gunanya menghitung lenturan .... defleksi...elastisitas = stress / strain... Kekerasan ini gunanya untuk wear resistante... ketahanan terhadap keausan. Kalau material dikeraskan... biasanya yield point-nya juga naik (dengan asumsi seluruh body keras semua)...elastisitasnya sama saja. Tapi kalau terlalu keras... yaa yield pointnya... jadi nggak jelas....istilahnya materialnya jadi getas...tahu-tahu patah....aduhhh..

Makanya hardening cuman di permukaan....tujuannya ya untuk wear resistante...misal sampai kedalaman 1mm dari luar. Dalamnya jangan ikut-ikutan keras............... Tanggapan 2 : Sudira, Andi Mas Zulfahmi, Secara prinsip semakin keras suatu material atau mengalami proses pengerasan, maka ductility a/ keuletannya akan menurun dan cenderung brittle/ rapuh/ mudah pecah, karena secara mikrostruktur kepadatan struktur semakin rapat sehingga tegangan muka antar atom nya tinggi, dan terjadi perubahan mikrostruktur, tapi hal ini dapat diminimalisasi setelah proses pengerasan, dilakukan proses anealing/ pemanasan ulang sampai titik transformasi, untuk menghilangkan tegangan antar atom juga mengembalikan struktur molekul kebentuk awal. Semoga terjawab. Tanggapan 3 : Zulfahmi Thanks mas andi, Sebenarnya ini berangkat dari kasus yang baru terjadi di plan kami. Kami baru mengganti gear box cooling tower. baru running 7 hari, shaft nya patah. Dalam proses pembuatan shaft nya kami lakukan hardening + tempering. Banyak dugaan untuk kasus ini dan salah satu nya ya pengaruh pengerasan dari material ini. thanks atas respon nya. Tanggapan 4 : aang Pak Zul; Kekerasan material dilihat dari f yield nya, dan kalo dilihat dari grafik antara stress dan axial strain maka nggak akan merubah elastisitasnya. yang berubah adalah yield nya saja. Tanggapan 5 : Ilham B Santoso Salam, Maaf baru ngikuti diskusi. Sebenarnya dari profil patahan material, sering kali dapat diketahui penyebab terjadinya patah tersebut. Apakah karena patah getas, atau karena ada initial crack, atau patah karena fatigue..dll. Mungkin ada baiknya, foto-foto pada daerah patahan diambil dengan detail..dan bisa dikirimkan ke moderator untuk dimuat dimilis ini. Siapa tahu bisa jadi bahan menarik untuk diskusi failure analysis. Tanggapan 6 : Arief Yudhanto Mungkin Pak Zulfahmi saat ini sudah menemukan data baru mengenai penyebab patahnya shaft. Saya hanya ingin urun rembug sedikit saja.

Sependapat dengan Pak Ilham, penyebab patahnya logam dapat diketahui lewat fractography, e.g. dengan mengamati permukaan patahan. Jika bentuk patahannya rata dan mengkilap, ini kemungkinan patah getas (brittle fracture). Patah getas ini biasanya disebabkan fatigue loading (baik amplitudo konstan atau amplitudo berubah). Jika patahannya berbentuk "cup and cone", ini kemungkinan patah ulet (ductile fracture). Hardening (dengan strain rate rendah) dan tempering (dalam durasi tertentu) dapat meningkatkan kekuatan logam. Kekuatan ini diukur dengan dua parameter, yaitu yield strength (kekuatan luluh) dan ultimate strength (kekuatan maksimum). Saran saya: jika ingin melakukan hardening dan tempering, mungkin ada baiknya memperhatikan (1) temperatur, (2) yield strength increment, (3) durasi heat treatment. Pada saat operasi, mohon diamati besar pembebanan (load maksimum) yang dialami shaft. Mudah2an selanjutnya tidak ada failure lagi. Mengenai istilah-istilah: Elastisitas bukanlah konstanta. Elastisitas ada sebuah terminologi untuk mendeskripsikan kemampuan suatu bahan untuk kembali ke kondisi awal setelah beban dipindahkan. Untuk mengukurnya, ada suatu besaran yang menghubungkan antara tegangan (gaya per satuan luas) yang diberikan kepada bahan dan regangan (selisih perpindahan dibagi ukuran awal), yaitu Young's Modulus. Kekerasan, pada umumnya, diterjemahkan dari kata hardness, yang menunjukkan ketahanan suatu bahan terhadap deformasi plastis. Kalau ada kekurangan, mohon maaf. Rekan2 lain mungkin ada yang menambahkan atau meluruskan. Terima kasih. Tanggapan 7 : farabirazy albiruni Sorry baru bergabung lagi coz ada pekerjaan yang cukup menyita waktu dan pas liat diskusi bidang material ternyata sudah cukup ramai lagi... Pertanyaan mengenai apakah elastisitas material berubah dengan dilakukan perlakuan panas, sampai saat ini saya belum menemukan literatur yang mengatakan terjadi perubahan elastisitas (perubahan modulus young) bila suatu material dilakukan proses perlakuan panas. (Kalo bapak2 menemukan dan sudah melakukan penelitian tentang ini, tolong dishare ke saya via japri please..). Yang saya tahu, elastisitas terkait dengan stiffness material yang hubungan secara kasar berbanding lurus dengan temperatur melting material. Dengan kata lain, semakin stiff material, maka nilai modulus youngnya makin tinggi dan temperatur meltingnya semakin tinggi (ex.Epolimer < E logam < E ceramic dan T melting Polimer < T melting logam < T melting ceramic). Kalau proses perlakuan panas merubah tensile stregth dan ductility itu pasti bila perlakuan panasnya dilakukan di atas`temperatur A1 (liat diagram Fe-Fe3C). kalaupun dilakukan di bawah temperatur A1, maka butuh waktu yang relatif lama untuk merubah fasa pearlite (kasus AISI 4140) menjadi spheroidise carbide. Lalu mengenai failure shaft dalam jangka waktu yang relatif pendek, ada 3 kemungkinan: 1. Material terlalu getas akibat tidak dilakukan proses tempering setelah hardening sehingga struktur mikro masih dalam kondisi untemperd martensite.

2. Tidak dilakukan proses hardening sama sekali, dengan kata lain material berada dalam kondisi as anneal karena AISI 4140 bila sudah di (Hardening dan Tempering) disuplai dengan kode AISI 4140 HT dalam mill certificate-nya. 3. Ada takik yang cukup tajam misal pada step diameter shaft or pada keyway (takik tidak diberikan fillet radius untuk mengurangi notch stress). Lalu bagaimana cara efektif dan cepat untuk mengetahui penyebab kegagalan (1 dan 2)? Lakukan hardness test dan metalografi. Struktur as anneal, untempered martensite, maupun tempered martensite bisa dibedakan dengan mudah. Untuk penyebab no.3, cukup lihat fraktografinya saja, kalo memang fatigue penyebabnya, cukup amati permukaan shaft dimana inisiasi fatigue berasal. Barangkali paper saya di majalah Korosi & Material Indocor terbaru dengan judul "Failure of a Vertical Ammonia Transfer Pump" bisa jadi rujukan untuk kasus ini, dimana shaft patah dalam waktu 2000 jam saja. Tanggapan 8 : Arief Yudhanto "Material" yang dibahas Mas Abhi tentunya logam, dan Mechanical Metallurgy karangan Dieter adalah yg paling bagus dalam menjelaskan elastic moduli logam. Saya juga sempat membaca sumber lain, dan senada dengan Mas Abhi, bahwa perlakuan panas pada baja memberikan efek yg kecil pada perubahan modulus elastisitas. Sepengetahuan saya, modulus elastisitas ditentukan oleh degree of anisotropy. Untuk logam: (1) setelah mengalami cold working (rolling), stiffness bisa berbeda-beda untuk arah orientasi tertentu, (2) karena ukuran crystal carbon dan konsentrasinya di dalam baja sangat kecil, maka pengaruh carbon terhadap degree of anisotropy juga kecil (oleh karena itu modulus of elasticity juga tidak banyak berubah), (3) heat treatment sedikit sekali memberikan pengaruh terhadap slope elastic stress - strain curve. Untuk komposit: bahan komposit paling sederhana dikategorikan transversely isotropic, selebihnya anisotropic. Jika sudah meluas dan membahas masalah polymer, kita berada di luar jangkauan buku Dieter. Polymer bersifat viscoelastic, dimana modulus elastisitasnya merupakan fungsi dari applied stress, strain rate, time dan temperature. Modulus elastisitas polymer akan menurun jika temperatur yang diberikan pada polymer itu ditingkatkan. Pada temperatur rendah, polymer cenderung getas dan kaku, pada temperatur intermediate, polymer mengalami penurunan modulus secara drastis, dan pada temperatur tinggi polymer hampir seperti liquid dengan modulus yang sangat rendah. Material komposit juga sensitif terhadap temperatur (dan juga hygrothermal), tapi hal ini di luar scope diskusi. Tanggapan 9 : Hadi subiantoro Sedikit koreksi mas abi... stiffness tidak berbanding lurus dengan temperatur melting material .. sebagai contoh: Baja dengan kandungan karbon yang berbeda mempunyai temperatur melting yang berbeda beda ... semakin tinggi kadar karbonya maka temperatur meltinganya akan menurun ....(bisa dilihat diagram Fe-C) ,bagaimana stiffnesnya?,setau saya meningkat.

keep writing mas abi Tanggapan 10 : farabirazy albiruni Thanx Pak Hadi buat masukannya. Akhirnya setelah buka2 referensi, saya nemu juga (Mechanical Metallurgy by George E Dieter SI Metric Edition Tahun 1988 hal 280): "The modulus of elasticity is determined by binding forces between atoms. Since these forces cannot be changed without changing the basic nature of the material, it follows that the modulus of elasticity is one of the most structure-in-sensitive of the mechanical properties. It is only slightly affected by alloying additions, heat treatment, or cold work". Selain itu dalam Materials Science and Engineering as an Introduction by Wiiliam D Callister, Jr, 6th Ed. tahun 2003 hal 119): " On the atomic scale, macroscopic elastic strain is manifested as small changes in the interatomic spacing and the streching of interatomic bonds. As consequences, the magnitude of the modulus of elasticity is a measure of the resistance to separation of adjacent atoms, that is, the interatomic bonding forces". Dengan kata lain, secara kasar, nilai modulus young atau stiffness material berbanding lurus dengan melting temperaturnya. Penambahan paduan (ex carbon dalam diagram Fe-Fe3C), mungkin hanya merubah sedikit nilai modulus young ini. Tanggapan 11 : ir_winarto Dear MILIS MIGAS Yth. Cukup menarik diskusi tentang "Hubungan antara KEKERASAN vs ELASTISITAS" yang dilontarkan dari Bapak ZULFAHMI tentang permasalahan patahnya poros (shaft) Gear Box Cooling Tower yang terbuat dari baja AISI 4140 dan patah dalam waktu cuma 7 hari. Permasalahan tsb dibahas oleh beberapa anggota Komunitas Migas Indonesia (KMI) yaitu: - Pak Andi Sudira - Pak Amal Ashardian - Pak R. gautama - Pak Raharjo - Pak Ilham Budi Santoso - Pak Arief Yudhanto (KBK Material) - Pak Hadi - Pak Farabirazy A (Abhie) Saya ingin sedikit memberikan tanggapan dan masukan dari diskusi tersebut yaitu bahwa : Antara KEKERASAN dan ELASTISITAS (atau biasa disebut MODULUS ELASTISITAS - E) merupakan dua hal yang cukup berbeda dilihat dari Definisinya. KEKERASAN (HARDNESS) The Metals Handbook defines hardness as "Resistance of metal to plastic deformation, usually by indentation. However, or to resistance to scratching, abrasion, or cutting. It

is the property of a metal,which gives it the ability to resist being permanently, deformed (bent, broken, or have its shape changed), when a load is applied. The greater the hardness of the metal, the greater resistance it has to deformation. In mineralogy the property of matter commonly described as the resistance of a substance to being scratched by another substance. In metallurgy hardness is defined as the ability of a material to resist plastic deformation. ELASTISITAS (biasa disebut : Modulus of Elasticity) modulus of elasticity - the ratio of the applied stress to the change in shape of an elastic body The relationship between stress and strain is expressed in terms of a property called the Modulus (or Young Modulus, named after the originator). The linear portion of the stress-strain curve can be used to determine the modulus which correspond to the slope of the curve before the yield point, up to which all deformation is elastic and, therefore, recoverable. In other words, The slope (modulus) at any point in the linear portion of the line gives the same result. The modulus, in effect, denotes stiffness or rigidity for any kind of applied load, i.e. tension, compression or shear. Stiff materials have a high modulus. This means that the deformation (strain) resulting from the applied force (stress) is low. Flexible materials have a low modulus. They undergo large deformations with relatively low applied forces, normally. Dari dua definisi tsb diatas, saya simpulkan bahwa : 1. Kekerasan adalah ukuran sifat mekanis material yang diperoleh dari DEFORMASI PLASTIS (deformasi yang diberikan dan setelah dilepaskan, tidak kembali ke bentuk semula akibat indentasi oleh intan untuk uji Vickers & Rockwell atau oleh bola baja keras untuk uji Brinell), sedangkan 2. Elastisitas (Mod Elastisitas) adalah ukuran sifat mekanis material yang diperoleh dari DEFORMASI ELASTIS (deformasi yang diberikan dan setelah dilepaskan akan kembali ke bentuk semula) Sehingga, Secara PRINSIP keduanya hampir tidak dapat (sulit) untuk dikaitkan satu sama lain. Namun, Kekerasan (Hardness) secara empiris ada hubungannya dengan KEKUATAN TARIK (Ultimate Tensile Strength-UTS), mengingat kekuatan tarik diukur pada saat benda mengalami DEFORMASI PLASTIS. Sesuai dengan beberapa literatur bahwa : UTS(MPa) = 3.38 x HB (untuk HB>175) atau UTS(MPa) = 3.55 x HB (untuk HB <= 175) (REferensi : http://www.calce.umd.edu/general/Facilities/Hardness_ad_.htm#6) APA PENGARUH HEAT TREATMENT DARI BAJA AISI 4140 (HARDENING & TEMPERING) Terhadap SIFAT MEKANIS, Akibat Heat treatment tsb, kekuatan (UTS & Yield) dan kekerasan baja akan meningkat, tetapi elongasi (keuletan) akan Menurun. Ukuran Keuletan (elongasi) tidak sama dengan ukuran elastisitas dan kedua hal tersebut sering terjadi salah dalam pemakaian kosa katanya. Karena elongasi umumnya diukur pada saat terjadi deformasi plastis (plastic elongation). Jadi secara prinsip semakin tinggi kekerasan & Kekuatan Baja, kecenderungan material akan mengalami kegetasan (brittleness) semakin tinggi, karena keuletannya menurun. separti yang Pak Andi Sudira jelaskan.

Mengenai patahnya POROS (shaft) AISI 4140 banyak kemungkinan penyebabnya (seperti yang dijelaskan oleh Pak Arief Y dan Pak Ilham BS dan Pak Abhie) dan dengan analisa kerusakan (Failure Analysis) maka penyebab utama (root cause) kerusakan dapat diketahui dengan mengikuti Prosedure Analisa kerusakan yang berlaku. Mengenai kemungkinan-kemungkinan penyebab kerusakan (patah) shaft tersebut seperti Proses heat treatment yang salah, material dasarnya (chemical dan internal defects) atau design-nya (notch, key-way, sharp corner) (telah dijelaskan oleh Pak Abhie) dan untuk itu Pak Zulfahmi dapat melakukan uji lab untuk material tsb atau dapat langsung di analisa oleh Pihak ke 3 (seperti lembaga uji di LUK dengan Pak Tri Wibowo dkk atau ke CMPFA FTUI di departemen Metalurgi FTUI atau LAPI ITB via Departemen Mesin - PS. Material - Maaf sebelumnya kalau informasi tsb dianggap sebagai Iklan terselubung). Demikian penjelasan saya semoga bermanfaat dan apabila ada yang mohon untuk dikoreksi. Tanggapan 12 : amal ashardian Pak winarto..saran yang bagus Saya juga beberapa kali memanfaatkan LUK untuk nge-test material... Kalau ada foto..patahan dan juga Juga jika ada gambar as built dari shaft... Material seperti ini kalau salah heat treatment juga bisa menyebabkan chromium berdifusi keluar...menyebabkan retakan halus...yang menyebabkan stress intensity di daerah reatakan. Tanggapan 13 : Budhi S. Ini ada 3 foto mengenai patahan shaft tersebut kiriman dari Sdr. Zulfahmi. Untuk menghemat bandwidth, maka resolusi foto saya perkecil dan disatukan dalam format PDF. Silahkan bila ada anggota milis yang dapat memberikan pencerahan terhadap problem shaft yang patah ini. Lihat Attachment : Foto Patahan Shaft.pdf Tanggapan 14 : Zulfahmi Makasih Pak atas masukan nya, Maaf saya terlambat respon balik karena ada ganggaun pada PC saya. Photo dari patahan ini akan saya coba lagi kirim karena selalu gagal. Pak Amal, menarik dari masukannya, salah heat treatment menyebabkan chromium berdifusi keluar. boleh sedikit penjelasan nya salah heat treatment seperti apa ya ? karena salah satu suspect saya memang kearah sana disamping radius dari stap shaft yang tidak sempurna. Ada scracth yang memungkinkan kosentrasi stress pada scracth tersebut dan suspect yang lain . Mengenai uji lab, uji apa saja ya yang perlu dilakukan ? Tanggapan 15 : raharjo_wida kurang jelas

Numpang komentar pak Zul, Mungkin tergantung bagaimana cara heat treatment-nya. Untuk shaft, pengerasan yang diminta biasanya hanya pada permukaan saja, bukan pada keseluruhan shaft. Untuk itu heat-treatmentnya bisa pake cara IQT (Induction Quenching Tempering)dimana kekerasannya bisa mencapai 2x lipat sampai 50 HRC dan kedalaman bisa 3mm. Besaran temperatur dan waktu tergantung material dan ukuran shaft tsb. Tanggapan 16 : Sadikin, Indera Pak Zul, Tanpa analisis perlakuan panas material dan mekanika retakan yang rumit, secara visual ada 2 kesalahan mendasar pada rancangan poros: 1. Radius transisi leher poros terlalu kecil 2. Ujung saluran pasak (keyway) terlalu dekat dengan leher poros Masing2 merupakan sumber konsentrasi tegangan dan kelihatannya kegagalan berawal dari titik dimana kedua sumber konsentrasi tegangan tersebut bertemu. Mungkin ada pendapat lain dari rekan2 milis. Thanks. Tanggapan 17 : M Razi Rekan-rekan, Melihat visual, saya sependapat dengan analisis dair Pak Indera. Mendukung keadaan ini, terlihat bahwa titik kritis terjadi persis pada saluran pasak. Ada pengaruh dari proses pengerjaan mekanik untuk membuat alur pasak. Terlihat bahwa alur tersebut dibuat dengan proses milling (frais) secara horizontal dan dimungkinkan: a. kecepatan potong (rotation/min) dan gerak pemotongan (mm/det) tinggi b. cutter terjepit c. jenis cutter Bila menggunakan cutter carbide, kecepatan potong dipastikan tinggi. Bila tidak menggunakan pendingin, dengan sendirinya bagian shaft ini sudah mengalami proses pemanasan, struktur pun berubah. Setelah itu dilakukan pemanasan lagi (hardening) titik itu terjadi perubahan stuktur drastis dan patah. Mungkin ada pendapat lain.. silakan untuk disempurnakan. Terima kasih. Tanggapan 18 : Anshori Budiono Kasus: Ganti Gearbox Cooling Tower Shaft baru AISI 4140 HT + Tempered 7 hari running, shaft patah pada daerah shaft transisi. Apakah pembuatan shaft benar-benar dilakukan sendiri termasuk heat treatment nya? Melihat visual foto patahan shaft, dugaan saya terjadi overload pada shaft.

Saran saya: Tahap-1 Check dengan design/engineering team, apakah design shaft sudah benar dari sisi kekuatan design (diameter, radius pada transisi ukuran shaft, dan material selectionnya AISI 4140). Jangan lupa tanyakan kondisi akhir kekuatan AISI 4140 yang diminta (Material Stength atau Yield Strength) karena kondisi akhir kekuatan material AISI 4140 bisa bermacam-macam, tergantung dari perlakuan panas (heat treatment) yang dilakukan. Tahap-2 Check apakah shaft benar material shaft tersebut adalah AISI 4140. Bisa dilihat dari Mill certificate dan jangan lupa harus ada juga CCT curve-nya untuk panduan heattreatment. Kalau pada Tahap-1 dan Tahap-2 sudah confirm bahwa designnya benar dan shaft material juga AISI 4140, maka lanjut ke tahap-3, yakni: Tahap-3: Check apakah heat-treatment dilakukan dengan benar. Apakah temperatur heat-treatment sudah benar dan rata untuk setiap bagian? Apakah temperature sensor dan recordnya sudah terkalibrasi dengan baik? Apakah dilakukan micro hardness test setelah selesai keseluruhan proses heattreatment untuk pengechekan secara cepat bahwa kondisi akhir kekuatan material shaft sesuai dengan permintaan design engineer? Apakah dilakukan die-penetrant test untuk daerah-daerah kritis (daerah transisi shaft dan daerah pasak). Seperti diinformasikan, heat-treament-nya adalah heat-treament + tempering. Maksudnya apakah: 1. Dilakukan dua tahap yakni Hardening (quenching) dan kemudian proses pemanasan kembali untuk proses tempering, atau 2. Hanya satu tahap saja yakni proses austempering? Asumsi saya yang dilakukan adalah proses hardening dua tahap yakni quench hardening dan dilanjutkan dengan tempering. Sangat kecil kemungkinan kesalahan pada proses quench-hardening yang akan menghasilan martensitic formation pada AISI 4140. Tetapi harus hati-hati untuk proses tempering karena temperatur tempering yang dipilih bisa bermacam-macam. Praktisnya seharusnya hasil akhir proses heat-traetment harus di check minimal dengan micro hardeness test untuk mengechek kekerasan material pada hasil akhir heat-treatment dan die penetrant untuk melihat apakah terjadi crack akibat proses heat-treatment (karena process quenching). Die penetrant juga sebaiknya dilakukan sebelum heat-teatment untuk melihat apakah terjadi crack pada daerah-daerah kritis pada shaft akibat proses machining (meski ini terjadinya crack ini sangat kecil sekali kemungkinannya). Dari beberapa literature di dapat informasi sebagai berikut. Saya sendiri detailnya micro strucuture itu sudah agak-agak lupa karena ini pelajaran kampus tempo dulu. Cuma saya cenderung menekankan menggunakan hal-hal praktis seperti pengecheckan dengan die penetrant dan micro-hardness test untuk kasus ini. Pada proses tempering dengan temperatur 150 - 400 deg C (sangat bagus dilakukan di hot oil batch), maka diharapkan structure troostite akan terbentuk.

Pada proses temperatur dengan temperatur 400 - 700 deg C (sangat bagus dilakukan di hot nitrate salt batch), maka diharapkan structure sorbite akan terbentuk. Note : Kalau hanya dilakukan satu tahap dengan proses austempering, maka diharapkan structure bainite akan terbentuk Pada proses tempering, kira-kira seperti berikut ini kejadiannya: Pada temperature 200 - 350 deg C, mulai terjadi presipitasi alpha-iron carbide, terjadi dekomposisi retained austenite, tetragonality mulai hilang sebagian pada structure martensite, dan alpha-iron carbide berganti menjadi cementite. Pada temperature di atas 350 deg C, cementite menjadi kasar dan menjadi bulat (spherizoidal), rekristatalisasi ferrite mulai terbentuk.

Dilihat dari aspek elektrokimia, korosi merupakan proses terjadinya transfer elektron dari logam ke lingkungannya. Logam berlaku sebagai sel yang memberikan elektron (anoda) dan lingkungannya sebagai penerima elektron (katoda).Reaksi yang terjadi pada logam yang mengalami korosi adalah reaksi oksidasi, dimana atom-atom logam larut kelingkungannya menjadi ion-ion dengan melepaskan elektron pada logam tersebut. Sedangkan dari katoda terjadi reaksi, dimana ion-ion dari lingkungan mendekati logam dan menangkap elektron-elektron yang tertinggal pada logam.

You might also like