You are on page 1of 22

Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Umum Universitas Mulawarman

Laporan Kasus

GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN STIMULANSIA (AMFETAMIN)

Oleh

Oleh :

Amilia Wahyuni
06.55352.00295.09 Pembimbing

dr. Denny J R, Sp.KJ


Diajukan Dalam Rangka Rotasi Kepaniteraan Klinik Muda Di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa Periode 16 Mei 11 Juni 2011

Lab/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN RSKD ATMA HUSADA MAHAKAM SAMARINDA 2011

BAB I PENDAHULUAN

Amf'etamin adalah salah satu obat terlarang yang banyak digunakan kedua setelah kanabis di Inggris Raya, Australia, dan beberapa negara di Eropa Barat. Di Amerika Serikat, penggunaan kokain saat ini dan sepanjang hidup masih melampaui penggunaan amfetamin nonmedis, beberapa studi melaporkan hingga 600.000 penyalahguna; selain itu, metamfetamin (turunan amfetamin) juga telah menjadi obat utama yang disalahgunakan. Indikasi yang disetujui saat ini oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk amfetamin terbatas pada gangguan pemusatan perhatian / hiperaktivitas dan narkolepsi. Amfetamin iuga digunakan dalam penanganan obesitas, depresi, distimia, sindrom kelelahan kronik, sindrom defisiensi imunitas didapat (AIDS) dan neurastenia sebagai terapi ajuvan untuk depresi yang resisten terapi obat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

NAPZA adalah bahan/zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan /psikologi seseorang (pikiran, perasaan, perilaku) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Intoksikasi obat adalah perubahan fungsifungsi fisiologis, psikologis, emosi, kecerdasan, dan lain-lain akibat penggunaan dosis obat yang berlebihan. Adiksi obat adalah gangguan kronis yang ditandai dengan peningkatan penggunaan obat meskipun terjadi kerusakan fisik, psikologis maupun sosial pada pengguna. Ketergantungan psikologis adalah keinginan untuk mengkonsumsi obat untuk memperoleh efek positif atau menghindari efek negatif akibat tidak mengkonsumsinya. Ketergantungan fisik adalah adaptasi fisiologis terhadap obat yang ditandai dengan timbulnya toleransi terhadap efek obat dan sindroma putus obat bila dihentikan Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetris, bukan narkotika, yang bersifat atau berkhasiat psiko aktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabjan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya. Pemakaian Psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan dan pembatasan pejabat kesehatan dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk, tidak saja menyebabkan ketergantungan bahkan juga menimbulkan berbagai macam penyakit serta kelainan fisik maupun psikis si memakai, tidak jarang bahkan menimbulkan kematian. Psikotropika terbagi dalam empat golongan yaitu Psikotropika gol. I, Psikotropika gol. II, Psyko Gol. III dan Psikotropik Gol IV. Psikotropika yang sekarang sedang populer dan banyak disalahgunakan adalah psikotropika Gol I, diantaranya yang dikenal dengan Ecstasi dan psikotropik Gol II yang dikenal dengan nama Shabu-shabu (amfetamin)

Preparat Amfetamin utama yang saat ini tersedia dan digunakan di Amerika Serikat adalah dekstroamfetamin (Dexedrine), metamfetamin (Desoxyn), campuran garam dekstroamfetamin-amfetamin (Adderall), dan metilfenidat (Ritalin). Obatobat ini memiliki nama jalanan yaitu es, kristal. crystal meth dan speecl. Sebagai suatu kelas urnum, golongan amfetamin juga disebut analeptic simpatomimetik, stimulan, dan psikostimulan. Amfetamin biasa digunakan untuk meningkatkan kinerja dan membangkitkan perasaan euforia contohnya oleh pelajar yang sedang belajar untuk ujian. pengendara truk jarak jauh dalam perjalanan, orang bisnis dengan tenggat waktu penting, serta atlet dalam kompetisi. Meski efek adiktifnya tidak seperti kokain, amfetamin kurang lebih tepat disebut obat adiktif. Zat lain yang menyerupai amfetamin adalah efedrin dan pseudoefedrin, yang tersedia bebas di Amerika Serikat sebagai dekongestan hidung. Fenilpropanolamin (PPA) adalah suatu psikostimulan yang meski potensinya tidak seperti amfetamin klasik, dan efedrin, dapat disalahgunakan, sebagian karena ketersediaannya mudah dan harganya murah. Obat-obat ini, terutama PPA secara berbahaya dapat mengeksaserbasi hiperlensi, mempresipitasi psikosis toksik, atau berakhir pada kematian. Batas aman PPA sempit, tiga sampai empat kali dosis normal dapat mengakibatkan hipertensi yang mengancam nyawa.

Metamfetamin Metamfetamin (disebut juga "es") adalah bentuk zat murni yang disalahgunakan dengan cara dihirup, dihisap, atau injeksi intravena Efek psikologisnya berlangsung berjam-jam dan sangat kuat. Tidak seperti crack cocaine (lihat bagian 9.6), yang harus diimpor, metamfetamin adalah obat sintetik yang dapat dibuat secara domestik di laboratorium illegal.

Epidemiologi Pada tahun 2000, sekitar 4 persen populasi AS menggunakan psikostimulan. Kelompok usia 18 sampai 25 tahun merupakan pengguna tertinggi diikuti kelompok usia l2 sampai 17 tahun. Penggunaan amfetamin terjadi pada semua kelompok sosioekonomi dan penggunaan amfetamin meningkat di antara

professional kulit putih. Oleh karena amfetamin tersedia melalui resep dokter untuk indikasi spesifik. clokter yang meresepkan sebaiknya menyadari risiko penggunaan oleh orang lain, termasuk teman dan anggota keluarga pasien yang menerima amfetamin. Tidak ada data tersedia yang dapat diandalkan tentang epidemiologi penggunaan amfetamin Menurut desainer, namun prevalensi obat ini sangat dan

disalahgunakan.

DSM-IV-T&

ketergantungan

penyalahgunaan amfetamin seumur hidup adalah 1,5 persen; dan rasio pria terhadap wanita adalah 1.

Neurofarmakologi Semua amfetamin diabsorpsi cepat secara oral dan memiliki mula kerja yang cepat, biasanya dalam waktu I jam bila dikonsumsi per oral. Amfetamin klasik juga dikonsumsi secara intravena dan memiliki efek hampir seketika dengan rute ini. Amfetamin yang tidak diresepkan dan amfetamin desainerjuga dihirup ("snorting"). Toleransi terjadi baik pada amfetamin klasik maupun desainer meski pengguna amfetamin sering kali mengatasi toleransi dengan mengonsumsi lebih banyak lagi. Amfetamin tidak terlalu adiktif dibanding kokain yang dibuktikan melalui eksperimen pada tikus yaitu tidak semua hewan secara spontan memakai sendiri amfetamin dosis rendah. Amfetamin klasik (yi., dekstroamfetamin, metamfetamin, dan

metilfenidat) menirnbulkan efek primer dengan menyebabkan pelepasan katekolamin, terutama dopamin, dari terminal prasinaptik. Efeknya terutama poten untuk neuron dopamlnergik yang berjalan dari area tegmental ventral ke korteks serebri dan area limbik. Jaras ini disebut sebagai jaras sirkuit reward dan aktivasinya mungkin menjadi mekanisme adiktif utama untuk amfetamin. Amfetamin desainer (cth., MDMA, MDEA, MMDA, dan DOM) rnenyebabkan pelepasan katekolamin (dopamin dan norepinefrin) serta serotonin, neurotransmiter yang dianggap sebagai jaras neurokimiawi utama untuk halusinogen. Oleh karena itu, efek klinis amf'etamin desainer merupakan campuran efek amfetamin klasik dan halusinogen. Farmakologi MDMA paling baik dipahami dari kelompok ini. MDMA diambil di neuron serotonergik oleh transporter serotonin yang berlanggung jawab untuk reuptake serotonin. Bila telah

berada di neuron, MDMA menyebabkan pelepasan cepat bolus serotonin dan menghambat aktivilas enzim penghasil serotonin.

DIAGNOSIS DSM-IV-TR mencantumkan banyak gangguan terkait amfetamin (atau liramfetamin) (Tabel 9.3-l) namun hanya merinci kriteria diagnosis intoksikasi amfetamin (Tabel 9.3-2), keadaan putus amfetamin (Tabel 9.3-3), dan gangguan terkait amfetamin yang tak-tergolongkan (Tabel 9.3-4) pada bagian gangguan terkait amfetamin (atau lir-arnfetamin). Kriteria diagnosis gangguan terkait amfetamin (atau lir-amfetamin) lain tercantum dalam bagian DSM-IV-TR yang berhubungan dengan gejala fenomenologis primer (contohnya psikosis).

Ketergantungan Amfetamin dan Penyalahgunaan Amfetamin Kriteria DSM-IV-TR untuk ketergantungan dan penyalahgunaan dapat diterapkan pada amfetamin dan zat terkait. Ketergantungan amfetamin dapat mengakibatkan penurunan spiral yang cepat dari kemampuan seseorang untuk menghadapi kewajiban dan stres yang berkaitan dengan keluarga dan pekerjaan. Seseorang yang menyalahgunakan amfetamin membutuhkan dosis tinggi amfetamin yang semakin meningkat untuk memeroleh rasa tinggi (high) yang biasa, dan tanda fisik penyalahgunaan amfetamin (contohnya penurunan berat badan dan ide paranoid) hampir selalu timbul dengan diteruskannya penyalahgunaan.

lntoksikasi Amfetamin Sindrom intoksikasi kokain (menghalangi reuptake dopamin) dan amfetamin (menyebabkan pelepasan dopamin) sifatnya serupa. Oleh karena penelitian tentang penyalahgunaan dan intoksikasi kokain dilakukan lebih teliti dan mendalam dibanding pada amfetamin, literatur klinis tentang amfetamin sangat dipengaruhi temuan klinis pada penyalahgunaan kokain. Pada DSM-IVTR, kriteria diagnosis intoksikasi amfetamin dan intoksikasi kokain terpisah namun hampir sama. DSM-IV-TR merinci gangguan persepsi sebagai gejala intoksikasi amfetamin. Bila tidak ada uji realitas yang intak, dipikirkan diagnosis

gangguan psikotik terinduksi amfetamin dengan awitan saat intoksikasi. Gejala intoksikasi amfetamin sebagian besar pulih setelah 24 jam dan umumnya akan hilang sepenuhnya setelah 48 jam.

Keadaan Putus Amfetamin Setelah intoksikasi amfetamin, terjadi uash dengan gejala ansietas, gemetar, mood disforik, letargi, kelelahan, mimpi buruk disertai tidur dengan rapid eye moventent yang berulang), sakit kepala, berkeringat hebat, kram otot, kram perut, dan rasa lapar yang tak terpuaskan. Gejala putus zat biasanya memuncak dalam 2 sampai 4 hari dan hilang dalam I minggu. Gejala putus zat yang paling serius adalah depresii yang terutama dapat menjadi berat setelah penggunaan amfetamin dosis tinggi terus-menerus dan dapat dikaitkan dengan ide atau perilaku bunuh diri. Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk keadaan putus amfetamin (Tabel 9.3-3) merinci bahwa mood disforik dan perubahan fisiologis diperlukan untuk diagnosis tersebut.

Delirium pada lntoksikasi Amfetamin Delirium yang disebabkan oleh penggunaan amfetamin biasanya muncul akibat amfetamin penggunaan dosis tinggi atau terus-menerus sehingga deprivasi tidur memengaruhi tampilan klinis. Kombinasi amfetamin dengan zat lain serta penggunaan amfetamin oleh orang dengan kerusakan otak yang,telah ada sebelumnya juga dapat menyebabkan timbulnya de lirium. Tidak jarang mahasiswa universitas yang menggunakan amfetamin untuk belajar kilat menghadapi uiian menunjukkan delirium jenis ini.

Gangguan Psikotik Terinduksi Amfetamin Kemiripan klinis psikosis terinduksi amfetamin dengan skizofrenia paranoid telah memicu penelitian intensif tentang neurokimiawi psikosis terinduksi amfetamin untuk menguraikan patofisiologi skizofrenia paranoid. Tanda gangguan psikotik terinduksi amfetamin adalah adanya paranoia. Gangguan psikotik terinduksi amfetamin dapat dibedakan dengan skizofrenia paranoid dengan sejumlah karakteristik pembeda yang ditemukan pada gangguan

psikotik terinduksi amfetamin, yaitu adanya predominasi halusinasi visual, afek yang secara umum serasi, hiperaktivitas, hiperseksualitas, kebingungan dan inkoherensi, serta sedikit bukti gangguan proses pikir (seperti asosiasi longgar). Pada beberapa studi, peneliti juga mencatat bahwa meski gejala positilgangguan psikotik terinduksi amfetamin dan skizofrenia mirip, gangguan psikotik terinduksi amfetamin biasanya tidak memiliki af'ek mendatar dan alogia seperti pada skizofrenia. Namun, secara klinis, gangguan psikotik terinduksi amf'etamin yang akut mungkin tidak dapat dibedakan dengan skizofrenia, dan hanya resolusi gejala dalam beberapa hari atau temuan positif pada uji tapis zat dalam urin yang akhirnya akan menunjukkan diagnosis yang tepat. Terapi pilihan untuk gangguan psikotik terinduksi amfetamin adalah penggunaan .jangka pendek obat antipsikotik seperti haloperidol (Haldol).

Gangguan Mood Terinduksi Amfetamin Awitan gangguan mood terinduksi amfetarnin dapat terjadi saat intoksikasi atau putus zat. Umumnya, intoksikasi rnenimbulkan gambaran manik atau mood campuran, sementara keadaan putus zat menimbulkan gambaran mood depresif.

Gangguan Ansietas Terinduksi Amfetamin Amfetamin, seperti kokain, clapat menginduksi gejala yang serupa dengan yang terlihat pada gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik, dan terutama, gangguan tbbia. Awitan gangguan ansietas terinduksi amfetamin juga dapat terjadi saat inloksikasi atau putus zat.

Disfungsi Seksual Terinduksi Amfetamin Amfetamin sering digunakan untuk meningkatkan pengalaman seksual; namun, dosis tinggi dan penggunaan jangka panjang dikaitkan dengan gangguan ereksi dan disfungsi seksual lain. Disfungsi ini diklasifikasikan dalam DSM-IVTR sebagai disfungsi seksual terinduksi amletamin.

Gangguan Tidur Terinduksi Amfetamin Intoksikasi amfetamin dapat mer.rimbulkan insomnia dan deprivasi tidur, sementara orang yang sedang mengalami keadaan putus amfetamin dapat mengalami hipersomnolen dan mimpi buruk.

Gangguan yang Tak-Tergolongkan Jika suatu gangguan terkait amfetamin (atau lir-amfetamin) tidak memenuhi kriteria satu atau lebih kategori yang didiskusikan di atas, gangguan tersebut dapat didiagnosis sebagai gangguan terkait amfetamin yang taktergolongkan (Tabel 9.3-4).

GAMBARAN KLINIS Pada orang yang sebelumnya tidak pernah mengonsumsi amfetamin, dosis tunggal 5 mg meningkatkan perasaan sehat dan menginduksi elasi, euforia, dan rasa bersahabat. Dosis kecil umumnya memperbaiki atensi dan meningkatkan kinerja pada tugas terlulis, oral, dan penampilan. Juga terdapat penurunan kelelahan, induksi anoreksia, dan peningkatan ambang nyeri yang dikaitkan dengan hal ini. Efek tak diinginkan timbul akibat penggunaan dosis tinggi dalam periode lama.

Efek Simpang Fisik. Penyalahgunaan amfetamin dapat menyebabkan efek simpang, yang paling serius mencakup efek serebrovaskular, kardiak, dan gastrointestinal. Di antara kondisi spesifik yang mengancam nyawa adalah infark miokardium, hipertensi berat, penyakit serebrovaskular, dan kolitis iskemia. Gejala neurologis yang berkepanjangan, dari kedutan, tetani, kejang, sampai koma dan kematian, dikaitkan dengan amfetamin dosis tinggi yang terus meningkat. Penggunaan amfetamin intravena dapat menularkan human immunodeficiency virus dan hepatitis serta menyebabkan perkembangan abses paru, endokarditis, dan angiitis nekrotikans lebih lanjut. Sejumlah studi menunjukkan bahwa penyalahguna amfetamin hanya mengetahui sedikit-atau tidak peduli-tentang praktik seks yang aman serta penggunaan kondom. Efek simpang yang tidak mengancam nyawa

mencakup semburat merah, pucat, sianosis, demam, sakit kepala, takikardia, palpitasi, mual, muntah, bruksisme (gigi gemeretuk), sesak nafas, tremor, dan ataksia. Wanita hamil yang menggunakan amfetamin sering melahirkan bayi dengan berat lahir rendah, lingkar kepala kecil, usia kehamilan dini, dan retardasi pertumbuhan. Psikologis. Efek simpang psikologis yang disebabkan oleh penggunaan amfetamin mencakup kegelisahan, disforia, insomnia, iritabilitas, sikap

bermusuhan, dan kebingungan Konsumsi amfetamin juga dapat menginduksi gejala gangguan ansietas seperti gangguan ansietas menyeluruh dan gangguan panik serta ide rujukan, waham paranoid, dan halusinasi.

PENANGANAN DAN REHABILITASI Penanganan gangguan terkait amfetamin (atau lir-amfetamin) bersama dengan gangguan terkait kokain sama-sama mengalami kesulitan dalam membantu pasien untuk tetap abstinensi dari zat, vang sangat memperkuat dan mengindirksi ketagihan. Situasi rawat inap dan penggunaan rnetode terapeutik multipel (psikoterapi individual, keluarga, dan kelompok) biasanya dibutuhkan untuk mencapai abstinensi seterusnya. Penanganan gangguan spesifik terinduksi amfetamin (contohnya gangguan psikotik terinduksi amfetamin dan gangguan ansietas terinduksi amfetamin) dengan obat spesifik (contohnya antipsikotik dan ansiolitik) rnungkin diperlukan dalam jangka pendek. Antipsikotik dapat diresepkan untuk beberapa hari perlama Bila tidak ada psikosis, diazepam (Valium) berguna untuk menangani agitasi dan hiperaktivitas pasien. Dokter sebaiknya membangun aliansi terapeutik dengan pasien untuk mengatasi depresi atau gangguan kepribadian yang mendasari atau keduanya. Namun. karena banyak pasien sangat tergantung obat, psikoterapi terutama dapat sangat sulit. Kondisi komorbid seperli depresi dapat berespon dengan obat

antidepresan. Bupropion (Wellbutrin) dapat digunakan setelah pasien putus amfetamin. Obat ini memiliki efek menimbulkan perasaan sehat ketika pasien bergulat dengan disforia yang dapat menyertai abstinensi.

BAB III LAPORAN KASUS PSIKIATRI

Pemeriksaan dilakukan pada hari Senin, 23 Mei 2011 pukul 12.00 WITA, di POLI RSKD. Atma Husada Mahakam Samarinda. Sumber Alloanamnesis dengan kakek dan nenek pasien dan autoanamnesis dengan pasien sendiri.

1. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Suku Alamat :D : 18 Tahun : Perempuan : Islam : Kuliah : Mahasiswi : Sunda : Jl. Biawan

Pasien datang bersama kakek dan neneknya untuk berobat ke poli RSKD Atma Husada Mahakam Samarinda.

2. STATUS PRAESENS a. Status Internus Keadaan umum Kesadaran Tanda vital Tekanan darah Frekuensi nadi Frekuensi pernafasan Suhu Sistem Kardiovaskular Sistem Respiratorik Sistem Gastrointestinal Sistem Urogenital : 110/70 mmHg : 80 x/menit : 20 x/menit : Tidak dilakukan pemeriksaan : Tidak didapatkan kelainan : Tidak didapatkan kelainan : Tidak didapatkan kelainan : Tidak didapatkan kelainan : Baik : Compos Mentis

10

Ekstrimitas

: Tidak didapatkan kelainan

b. Status Neurologikus Panca indera Tanda meningeal : Tidak didapatkan kelainan : Tidak ada

Tekanan Intrakranial : Tidak didapatkan tanda-tanda peningkatan TIK. Mata Gerakan Persepsi Pupil Diplopia Visus c. Status Psikiatrikus Autoanamnesa Dan Alloanamnesis Alloanamnesis Diperoleh dari Usia Alamat Pekerjaan : Ny. A : 60 tahun : jl. Biawan, Samarinda : IRT : Normal : Normal : Isokor : Tidak didapatkan kelainan : Tidak dilakukan pemeriksaan

Hubungan dengan pasien : nenek pasien

Sebab utama datang ke RSKD AHM Samarinda : Mengkonsumsi SS

Riwayat perjalanan penyakit : Pasien dibawa oleh kakek dan neneknya ke poli RSKD Atma Husada Mahakam Samarinda karena ketahuan mengkonsumsi obat-obatan terlarang (jenis SS). Sebelumnya kakek dan nenek pasien tidak mengetahui kalau cucu mereka mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Mereka baru mengetahuinya 1 minggu yang lalu. Saat itu pasien habis bertengkar dengan temannya di telepon, dan menurut pengakuan pasien, karena sudah tidak tahan lagi, ia

11

menceritakan masalahnya kepada neneknya termasuk mengenai masalah ia mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Kakek dan neneknya ini kemudian membujuk pasien agar mau berobat dan menjalani rehabilitasi untuk terlepas dari narkoba. Saat anamnesa dengan pasien, pasien bercerita banyak mengenai keadaannya. Dari anamnesa tersebut, diketahui bahwa pasien sudah mengkonsumsi narkoba sejak dari SMA. Pasien mengatakan bahwa saat itu ia diajak oleh teman-temannya untuk mengkonsumsi narkoba. Pasien

mengkonsumsi beberapa jenis obat. Jenis narkoba yang dikonsumsi saat itu antara lain LL, inex, dan beberapa jenis obat-obatan lainnya (pasien lupa namanya). Pasien juga meminum alcohol. Pasien mengatakan ia sempat berhenti mengkonsumsi obat-obatan sekitar 1 tahun yang lalu karena pada saat itu pasien mengalami kecelakaan motor akibat balapan liar yang diikutinya. Namun 2 bulan yang lalu, pasien kembali mengkonsumsi obatobatan terlarang karena ajakan pacarnya. Pasien mengatakan bahwa selama 2 bulan terakhir ini obat yang dikonsumsi hanya SS. Pasien mengatakan bahwa ia mengkonsumsi obat-obatan tersebut untuk lari dari masalah-masalah yang ia hadapi. Menurut pasien masalah yang paling berat yang dihadapinya adalah masalah keluarga. Pasien berasal dari sebuah keluarga yang broken home. Pasien sudah tidak tinggal bersama kedua orangtuanya sejak umur 3 tahun. Saat itu kedua orangtuanya hampir bercerai, tetapi tidak jadi. Kedua orangtuanya kemudian pindah ke bandung dengan meninggalkan pasien yang berusia 3 tahun di tempat kakek dan nenek dari pihak ibu. Menurut pasien, kedua orangtua pasien tidak mempedulikannya. Saat terlibat masalah, ibunya pernah mengatakan bahwa pasien memalukan keluarga. Pasien juga mengatakan, bahkan ketika ia sedang mengalami kecelakaan parah 1 tahun yang lalu (kecelakaan motor akibat balapan liar) orangtuanya tidak menjenguknya, dan hanya menanyakan kabar via telepon kepada kakek dan neneknya. Pasien mengatakan bahwa saat SMP, ia pernah mencoba bunuh diri. Sejak mengkonsumsi SS, pasien merasa menjadi lebih temperamental, sering sulit tidur, menggigil, badan terasa sakit, nafsu makan menurun, dan ada

12

penurunan berat badan ( 3 kg). Pasien juga kadang-kadang merasa dirinya diolok-olok dan kadang-kadang melihat bayangan putih melintas. Pasien menjadi sering merasa ketakutan, terutama bila sedang sendirian.

Riwayat penyakit dahulu o Riwayat trauma (-), kejang (-), penyakit infeksi (-) o Riwayat merokok (-) o Riwayat rawat jalan di RSJ (-)

Gambaran Kepribadian Supel, mudah bergaul, mempunyai kepribadian yang membangkang, memiliki cita-cita untuk menjadi pengacara.

Riwayat Pendidikan Pasien saat ini sedang menjalani kuliah di fakultas hukum Waktu SMP pernah 6 kali pindah sekolah karena tidak betah dengan lingkungan sekolah yang bersangkutan. Riwayat sosial ekonomi Berasal dari keluarga ekonomi yang mampu.

Riwayat penyakit keluarga Tidak ada diantara keluarganya yang memiliki penyakit kejiwaan Riwayat religius Pasien tidak rajin beribadah.

Hubungan dengan keluarga dan lingkungan Pasien merupakan anak pertama dari 2 bersaudara Pasien tidak dekat dengan orangtuanya, namun memiliki hubungan yang dekat dengan kakek dan neneknya

13

Genogram Pasien merupakan anak ke-1 dari 2 saudara.

Keterangan :

: laki- laki tanpa gangguan jiwa

: Perempuan tanpa gangguan jiwa

: Pasien

STATUS PSIKIATRI Kesan umum Kontak Kesadaran : rapi, tenang, kooperatif : Kontak verbal (+), kontak visual (+) : CM, Orientasi tempat, orang dan waktu tidak ada gangguan, Atensi (+). Emosi/Afek Proses berfikir Intelegensia Persepsi Anxietas Kemauan Psikomotor : Stabil/ Afek sesuai : Cepat, koheren, waham (-) : Cukup : Halusinasi (+) dan ilusi (-) : (-) : Normal : Normal

14

A. Diagnosis Formulasi diagnosis Seorang wanita berumur 18 tahun,beragama Islam, seorang mahasiswi, tinggal di jl. Biawan. Pasien datang ke poli RSKD Atma Husada Mahakam Samarinda pada hari senin, 23 Mei 2011 pukul 12.00 WITA. Pasien datang karena ketahuan mengkonsumsi obat-obatan terlarang (jenis SS). Saat anamnesa dengan pasien, pasien bercerita banyak mengenai keadaannya. Dari anamnesa tersebut, diketahui bahwa pasien sudah mengkonsumsi narkoba sejak dari SMA dan sempat berhenti

mengkonsumsi obat-obatan sekitar 1 tahun yang lalu karena pada saat itu pasien mengalami kecelakaan motor akibat balapan liar yang diikutinya. 2 bulan yang lalu, pasien kembali mengkonsumsi obat-obatan terlarang karena ajakan pacarnya. Pasien mengatakan bahwa selama 2 bulan terakhir ini obat yang dikonsumsi hanya SS. Pasien mengatakan bahwa ia mengkonsumsi obat-obatan tersebut untuk lari dari masalah-masalah yang ia hadapi. Menurut pasien masalah yang paling berat yang dihadapinya adalah masalah keluarga. Menurutnya, kedua orangtua pasien tidak mempedulikannya. Bahkan, pasien

mengatakan bahwa saat SMP, ia pernah mencoba bunuh diri. Sejak mengkonsumsi SS, pasien merasa menjadi lebih temperamental, sering sulit tidur, menggigil, badan terasa sakit, nafsu makan menurun, dan ada penurunan berat badan ( 3 kg). Pasien juga kadang-kadang merasa dirinya diolok-olok dan kadang-kadang melihat bayangan putih melintas. Pasien menjadi sering merasa ketakutan, terutama bila sedang sendirian. Berasal dari keluarga ekonomi yang mampu. Pasien memiliki hubungan yang kurang baik dengan kedua orangtuanya. Pada pemeriksaan psikiatri didapatkan kesadaran composmentis,

penampilan rapi, sikap saat pemeriksaan kooperatif, emosi stabil, afek normal, orientasi (+), proses fikir (cepat), persepsi halusinasi (+) dan ilusi (-), kemauan normal, anxietas (-).

15

B. Diagnosis Multiaksial Aksis I : F15 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia (Amfetamin) Aksis II : Tidak ada diagnosis pada aksis ini

Aksis III : Tidak ada diagnosis pada aksis ini Aksis IV : masalah berkaitan dengan primary support group Aksis V : GAF 90-81 gejala gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah harian biasa.

C. Pengobatan Psikofarmakologi : Observasi perilaku

Psikoterapi : Memotivasi pasien untuk menjalani proses rehabilitasi untuk melepaskan diri dari ketergantungan obat Mendengarkan keluhan pasien dan mengarahkan untuk tidak melakukan lagi perbuatannya. Membangun kepercayaan diri pasien bahwa dia bisa merubah perilakunya. Memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai masalah yang sedang dihadapi pasien. Menyarankan kepada keluarga untuk terus memotivasi dan mendukung pasien agar bisa lepas obat.

D. Prognosis Dubia ad bonam Kemauan yang kuat dari pasien untuk lepas obat Dukungan keluarga

16

PEMBAHASAN

A. Diagnosis Seorang wanita usia 18 tahun, mahasiswi, datang dengan keluhan mengkonsumsi SS sejak 2 bulan yang lalu. Pasien mengatakan bahwa ia mengkonsumsi obat-obatan tersebut untuk lari dari masalah-masalah yang ia hadapi. Menurut pasien masalah yang paling berat yang dihadapinya adalah masalah keluarga. Sejak mengkonsumsi SS, pasien merasa menjadi lebih temperamental, sering sulit tidur, menggigil, badan terasa sakit, nafsu makan menurun, dan ada penurunan berat badan ( 3 kg). Pasien juga kadang-kadang merasa mendengar dirinya diolok-olok dan kadangkadang melihat bayangan putih melintas. Pasien menjadi sering merasa ketakutan, terutama bila sedang sendirian. Hubungan dengan keluarga kurang baik, karena pasien merasa orangtuanya tidak perhatian pada pasien. Pada pemeriksaan psikiatri didapatkan kesadaran composmentis, penampilan rapi, sikap saat pemeriksaan kooperatif, emosi stabil, afek normal, orientasi (+), proses fikir (cepat), persepsi halusinasi (+) dan ilusi (-), kemauan normal, anxietas (-) SS merupakan psikotropika jenis methamphetamine merupakan golongan stimulant yang dapat merangsang fungsi tubuh dan

meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini dapat membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat.1 Penggunaan amphetamine biasa ditemui pada pelajar, supir truk, atlet, dan orang yang menginginkan untuk selalu terjaga dan perhatian.1 Efek pada perilaku : terjaga, banyak bicara, euphoria,

hiperaktivitas, agitasi, cenderung paranoid, impotensi, halusinasi visual dan taktil.1,2,4 Efek pada fisik : midriasis, tremor, halitosis, mulut kering, takikardi, hipertensi, penurunan berat badan, aritmia, demam kejang.1,2,4 Tanda gangguan psikotik terinduksi amfetamin adalah adanya paranoid. Gangguan psikotik terinduksi amfetamin dapat dibedakan dari skizofrenia paranoid dengan sejumlah karakteristik pembeda yang

ditemukan pada gangguan psikotik terinduksi amfetamin, yaitu adanya

17

predominasi

halusinasi

visual,

afek

yang

secara

umum

serasi,

hiperaktivitas, hiperseksualitas, kebingungan dan inkoherensi, serta sedikit bukti gangguan proses berpikir (seperti asosiasi longgar).1 Ketergantungan amfetamin dapat mengakibatkan penurunan spiral yang cepat dari kemampuan seseorang untuk menghadapi kewajiban dan stress yang berkaitan dengan keluarga dan pekerjaan.1

B. Pengobatan dan prognosis Pengobatan pada ketergantungan methamphetamine bersifat simtomatik.1 Diazepam diberikan jika pasien gelisah dan hiperaktivitas.1 Kondisi komorbid seperti depresi dapat berespon dengan obat

Antidepressan seperti bupoprion dapat digunakan (wellbutrin) dan fluoxetine (prozac) dapat digunakan terapi maintenance setelah

detoksifikasi (putus obat). Obat ini memiliki efek menimbulkan perasaan sehat ketika pasien bergulat dengan disforia yang dapat menyertai abstinensi.1 Pada pasien ini belum dibutuhkan adanya pengobatan

farmakologis. Yang utama dilakukan terlebih dahulu adalah memotivasi pasien untuk mau menjalani program rehabilitasi supaya dapat terlepas dari penggunaan obat. Dalam hal ini faktor keluarga yang ikut membantu memotivasi dan mendukung pasien untuk lepas obat juga sangat penting. Penanganan gangguan terkait amfetamin mengalami kesulitan untuk membantu pasien untuk tetap abstinensi dari zat, yang sangat memperkuat dan menginduksi ketagihan. Situasi seperti rawat inap dan penggunaan terapi terapeutik multiple (psikoterapi individual, keluarga dan kelompok) biasanya dibutuhkan untuk mencapai abstinensi seterusnya.3 Dalam terapi, pasien membahas isu-isu yang berkaitan dengan motivasi, keterampilan untuk menolak NAPZA, mengganti kegiatan penggunaan NAPZA dengan kegiatan-kegiatan yang konstruktif dan memuaskan tanpa NAPZA, dan memperbaiki kemampuan menyelesaikan masalah. Terapi perilaku juga memfasilitasi hubungan interpersonal dan

18

kemampuan individu untuk dapat berfungsi dalam keluarga dan komunitasnya.1,3 Prognosis pasien ini sangat dipengaruhi oleh Kemauan yang kuat dari pasien untuk lepas obat sangat berperan penting dalam proses rehabilitasi. Dan juga dipengaruhi oleh adanya dukungan keluarga pasien sendiri.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, Sadock. 2010. Sinopsis psikiatri. Ilmu pengetahuan perilaku psikitri klinis edisi 10. Alih bahasa: Widjaja kusuma. Jawa barat: Binarupa aksara 2. Departemen Kesehatan R I. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ). Edisi ke III. Jakarta. 3. Kusminarno, Ketut. 2002. Penanggulangan penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Cermin dunia kedokteran no. 135 hal 17-20. Jakarta. 4. Badan Narkotika Provinsi Kalimantan timur. 2008. Pengenalan Jenis-Jenis Narkoba. Available at : http://bnpkaltim.blogspot.com/. Diakses tanggal 3 Juni 2011.

20

LAMPIRAN

21

You might also like