You are on page 1of 5

CROUP1 Epidemiologi Croup atau laringotrakeobronkitis terjadi paling banyak pada anak-anak usia 3 bulan 3 tahun, dengan insidensi

i puncak pada anak-anak usia 2 tahun dan jarang terjadi pada anak usia di atas 6 tahun. Kebanyakan kasus terjadi pada musim gugur, dingin dan semi. Etiologi Parainfluenza tipe 1 3 mnerupakan age penyebab croup. Virus influenza, terutama tipe A, juga bisa menyebabkan croup dan dapat memiliki gejala klinis yang lebih parah. Adenovirus, rhinovirus, enterovirus, dan M. pneumoniae merupakan penyebab yang jarang. Gejala Klinis Demam, stridor inspirasi, batuk. Pada kasus yang lebih parah, bisa terjadi stridor inspirasi dan ekspirasi. Croup biasanya mengikuti onset gejala infeksi saluran pernapasan atas dalam 1-2 hari. Terapi Epinefrin nebulisasi memperlihatkan perbaikan klinis dalam waktu 30 menit dengan durasi kerja obat sekitar 2 jam. Anak-anak harus dipantau apakah timbul edema beberapa jam setelah terapi awal. Kortikosteroid juga bisa digunakan, dengan onset kerja obat dalam waktu 6 jam dan durasinya sekitar 12 jam. Dexamethasone oral atau intramuskular baik digunakan untuk croup sedang hingga berat, dan dosis tunggal dexamethasone oral baik untuk croup ringan. EPIGLOTTITIS 1 Akut epiglottitis (supraglottitis) merupakan suatu emergensi karena dapat dengan cepat menimbulkan obstruksi jalan napas. Epidemiologi Epiglottitis sudah menjadi penyakit yang jarang terjadi pada anak-anak sejak perkembangan vaksinasi melawan Haemophilus influenza tipe b (Hib) pada tahun 1985. Penyakit timbul dikarenakan kegagalan vaksinasi atau dikarenakan H. influenza lainnya yang merupakan kasus yang jarang terjadi.

Etiologi Kultur darah sering kali negatif dan kultur epiglottis sulit dan sangat beresiko untuk dilakukan, sehingga etiologinya seringkali tidak diketahui. Pathogen yang diisolasi dari kultur tenggorokan pada orang dewasa dengan supraglottitis meliputi H. influenzae, H. parainfluenzae, Streptococcus pneumoniae, group A streptococcus, dan Staphylococcus aureus. Patogenesis Epiglottitis dimulai dari sebuah selulitis di antara dasar lidah dengan epiglottis yang mendorong epiglottis ke arah posterior, kemudian diikuti dengan peradangan epiglottis yang membengkak dengan cepat dan menghambat jalan napas. Gejala Klinis Pada anak-anak, onset gejala muncul dengan cepat, biasanya dalam 6-12 jam. Gejala-gejalanya bisa berupa kejang, nyeri tenggorokan dan disfagia. Stridor inspirasi bisa terjadi, tapi tidak terdapat batuk menggonggong seperti pada croup. Remaja dan dewasa biasa memiliki onset yang lebih lama, biasanya sekitar 2-3 hari. Nyeri tenggorokan yang parah, odinofagia, dan demam merupakan gejala-gejala utama yang muncul pada 90% pasien dewasa. Penatalaksanaan Anak-anak yang dicurigai menderita epiglottitis harus dilakukan endoskopi langsung untuk melihat epiglottisnya. Pipa endotrakeal (atau nasotrakeal) harus segera dimasukkan jika terlihat epiglottis yang membengkak dan memerah untuk mempertahankan jalan napasnya. Jika diperlukan dapat dilakukan trakeostomi. Semua pasien dengan epiglottitis harus dimonitor di ICU. Anak-anak harus dilakukan intubasi untuk menjaga jalan napas. Antibiotik intravena spektrum luas seperti ampicillin-sulbactam harus diberikan. TRACHEITIS 1 Trakeitis merupakan suatu kelainan yang jarang, terkadang disebut juga sebagai croup membranosa, timbul secara akut seperti epiglottitis tetapi terutama menyerang bagian subglottis seperti croup. Epidemiologi

Biasanya infeksi ini menyerang anak-anak dengan rentang usia 3 minggu 13 tahun, dan jarang terjadi pada orang dewasa. Etiologi Kultur pada sekresi trakea memperlihatkan S. aureus pada 50% kasus. Organismeorganisme lainnya meliputi Streptococcus sp, S, S. pneumoniae, dan H. influenzae. Gejala Klinis Demam tinggi dengan onset yang akut, stridor, dan dyspnea. Dengan endoskopi, terlihat epiglottisnya normal, tetapi bagian subglottisnya dilapisi oleh eksudat yang tebal. Penatalaksanaan Kebanyakan pasien memerlukan intubasi segera, dan beberapa lainnya memerlukan trakeostomi. Lebih dari 60% pasien trakeitis juga menderita pneumonia. Antibiotik intravena spektrum luas yang secara aktif melawan S. aureus and H. influenza harus diberikan. SINUSITIS 2 Sinusitis adalah suatu reaksi inflamasi pada sinus dan paling sering mengenai sinus maxillaris, diikuti dengan sinus etmoidalis, frontalis, dan sphenoidalis. Sinus dapat menjadi terinfeksi ketika ostia sinus terobstruksi atau pada saat kerja silia terganggu. Sinusitis dapat dibedakan menjadi sinusitis akut dan kronik. Sinusitis akut Etiologi dan epidemiolgi Sinusitis dikatakan apabila durasi penyakitnya kurang dari 4 minggu, biasanya disebabkan oleh pathogen-patogen nonspesifik dari infeksi saluran pernapasan atas, seperti S. pneumoniae. H. influenza, dan pada anak-anak, Moraxella catarrhalis yang menyebabkan sinusitis bacterial akut. Kasus-kasus nosocomial yang berhubungan dengan intubasi nasotrakeal, umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan bacilli Gram-negatif dan sering kali berupa polimikroba yang memiliki resistensi yang tinggi terhadap antibiotic. Sinusitis fungal akut terjadi pada orang-orang yang kekebalan tubuhnya menurun.

Gejala klinis Manifestasi klinis yang lazim pada sinusitis akut antara lain, rinorea, kongesti nasal, nyeri fasial, sakit kepala, ingus purulent yang tebal, dan sakit gigi. Nyeri terlokasi tergantung pada sinus mana yang terkena dan memburuk ketika pasien berbaring. Penatalaksanaan Kebanyakan pasien sembuh tanpa terapi. Penanganan yang diberikan ditujukan untuk memfasilitasi drainase nasal, seperti dekongestan topikal atau oral. Pasien yang tidak membaik atau memperlihatkan gejala klinis yang berat harus diberikan antibiotik. Tindakan pembedahan harus dipertimbangkan pada pasien-pasien sinusitis berat atau dengan komplikasi intrakranial. Sinusitis kronik Sinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dikategorikan sebagai sinusitis kronik. Sinusitis kronik dibagi menjadi 2, yaitu: a. Sinusitis kronik bakterial Sinusitis kronik bacterial merupakan infeksi berulang yang dikarenan gangguan pada mekanisme pertahanan mukosilia. Pasien mengalami kongesti diberikan nasal secara yang konstan dan tekanan sinus yang progresif. pemberian Penatalaksanaannya berupa pemberian antibiotic selama 3-4 minggu dan berulang. Terapi tambahanny meliputi glukokortikoid, irigasi sinus, dan pertimbangan pembedahan. b. Sinusitis kronik fungal Sinusitis kronik fungal merupakan suatu penyakit yang non-invasif pada pasien-pasien imunokompeten, ringan, dan biasanya dapat disembuhkan tanpa agen-agen antifungal, dengan pembedahan endoskopi. FARINGITIS 2 Faringitis dapat disebabkan oleh virus dan bakteri: 1. Virus Virus-virus respiratorius umumnya menyebabkan faringitis ringan yang berhubungan dengan gejala-gejala infeksi saluran pernapasan atas yang

nonspesifik, adenopati servikal, dan demam minimal. Virus influenza dan adenovirus dapat menyebabkan faringitis eksudatif yang berat dengan demam. Herpes simplex virus (HSV) menyebabkan inflamasi faring dan eksudat dengan vesikel dan ulserasi di palatum. 2. Bakteri Group A streptococcus (GAS) merupakan penyebab 50-15% kasus faringitis pada orang dewasa namun bakteri ini merupakan penyebab utama pada anak-anak usia 5-15 tahun. Bakteri penyebab lainnya, meliputi streptococci grup C dan G, , Neisseria gonorrhoeae, Corynebacterium diphtheriae, bakteri anaerobik. Faringitis streptococcus dapat berkisar dari penyakit ringan hingga ditemukannya nyeri faringeal, demam, menggigil, dan membrane faringeal yang hiperemik dengan hipertrofi tonsil. Diagnosisnya ditetapkan melalui rapid test yang mendeteksi antigen Group A streptococcus. Jika hasil test negatif, pasien anak-anak direkomendasikan untuk kultur tenggorokan, tetapi tidak direkomendasikan untuk pasien dewasa karena insidensinya yang rendah.

1. Fishman, Alfred P., et al. 2008. Fishmans Pulmonary Diseases and Disorders, 4th Edition. New York : The Mc-Graw Hill Companies, Inc. 2. Kasper, Dennis L., et al. 2005. Harrisons Manual of Medicine, 16th Edition. New York : The Mc-Graw Hill Companies, Inc. Novia I11109079

You might also like