You are on page 1of 5

JAKARTA - Aksi teror bom yang muncul dalam waktu beberapa bulan, mengindikasikan adanya pergeseran ideologi dari

kelompok-kelompok yang selama ini dituding melakukan aksi teror.Bom bunuh diri yang terjadi di Masjid Mapolresta Cirebon dan serangkaian bom buku yang dikirim dan beredar di Jakarta, menjadi penanda pergeseran ideologi yang sekarang lebih condong ke aksi jihad yang bersifat individual dibandingkan organisasional, berbiaya rendah dan sasaran pembunuhannya berskala kecil daripada sebelumnya.Karena itu pemerintah diminta segera menyusun strategi-strategi pencegahan untuk mengurangi kemungkinan kelompok-kelompok semacam ini semakin menjamur. Orang-orang yang menyokong jihad organisasional percaya bahwa mereka tidak akan bisa mencapai cita-cita mereka mendirikan negara Islam tanpa organisasi besar serta pemimpin yang kuat. Karena itu mereka menganggap penting sekali untuk membangun dukungan publik.Daripada terlibat dalam aksi terorisme, kelompok-kelompok seperti JI dan JAT saat ini fokus pada upaya membangun sebuah basis massa, dengan mencari isu-isu yang dekat dengan target dakwah mereka.Semakin lama, hal ini akan membuat mereka fokus pada musuh-musuh lokal daripada asing, dengan sasaran para pejabat yang dilihat sebagai penindas, terutama polisi, kaum Nasrani, dan anggota aliran Ahmadiyah.

ANALISIS KASUS TERORISME DI INDONESIA DARI SUDUT PANDANG KETAHANAN NASIONAL

1.

Akar Masalah Terorisme Atas Nama Agama di Indonesia Menilik berbagai persoalan aktual yang ada dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dewasa ini, baik di lapangan ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum maupun ideologi dan agama, tampak sekali bahwa pemerintah dan negara ini telah gagal. Demikian disampaikan Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, kepada Rakyat Merdeka Online, beberapa saat lalu (Kamis, 26/1). Hal tersebut merupakan kelemahan yang terjadi di Negeri ini sehingga Teroris yang dengan kecerdasannya mampu memanfaatkan situasi Negara Indonesia yang lemah di berbagai lini. Itu pun disebabkan karena sasaran aksi teroris umumnya terhadap manusia maupun obyek lainnya bertujuan untuk menyoroti kelemahan sistem dan atau pilihan secara seksama untuk menghindari reaksi negatif dari publik atau telah dirancang untuk menghasilkan reaksi publik yang positif atau simpatik. 2. Peran Media Masa Terhadap Terorisme Media cukup efektif dalam membangun kesadaran warga mengenai suatu masalah (isu). Lindsey (1994) berpendapat, Media memiliki peran sentral dalam menyaring informasi dan membentuk opini masyarakat. Sedangkan para pemikir sosial seperti Louis Wirth dan Talcott Parsons menekankan pentingnya media massa sebagai alat kontrol sosial. Sedangkan menurut Timbul Siahaan, salah satu sasaran strategis teroris antara lain :

Menggunakan media masa sebagai alat penyebarluasan propaganda dan tujuan politik teroris. Sasaran fisik bangunan antara lain : Instalasi Militer, bangunan obyek vital seperti pembangkit energi, instalasi komunikasi, kawasan industri, pariwisata dan sarana transportasi,

3. Cara Ketahanan Nasional Mengantisipasi Atau Mencegah Terjadinya Terorisme Atas Nama Agama Tertentu Di Bumi Nusantara Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia Heriyadi Irawan mengatakan, terorisme merupakan bentuk penyerangan non militer, yang tidak terlihat dan dirasakan. Ini memerlukan kerja lebih dari sekedar berpolitik. Sebab, kerja terorisme tertutup dan dibutuhkan unit lainnya. Secara umum jaringan terorisme mempunyai jalur internasional. Masalahnya,

di Indonesia dan sejumlah kawasan terorisme membawa-bawa agama. Ini perlu pemahaman tentang gerakan ini, terangnya. Terorisme, menurutnya, dipahami suatu aktivitas yang lebih complicated dari sekedar idiologi semata, karena pelaku terorisme mencampur-adukan kaidahkaidah agama dengan idiologi. Terorisme di Indonesia dibahas di Jakarta International Defence Dialogue. Dijelaskannya, para intelijen harus melakukan operasi sesuai dengan karakter teroris. Karena itu, lanjutnya, perlu diselesaikan dengan segera RUU Intelijen agar dapat berjalan secara bersamaan. Sedangkan karakter teroris berdasarkan hasil studi dan pengalaman empiris dalam menangani aksi terrorisme yang dilakukan oleh PBB antara lain, sebagai berikut:

Teroris umumnya mempunyai organisasi yang solid, disiplin tinggi, militan dengan struktur organisasi berupa kelompok-kelompok kecil,dan perintah dilakukan melalui indoktrinasi serta teroris dilatihan bertahun-tahun sebelum melaksanakan aksinya. Teroris menganggap bahwa proses damai untuk mendapatkan perubahan sulit untuk diperoleh. Teroris memilih tindakan yang berkaitan dengan tujuan politik dengan cara kriminal dan tidak mengindahkan norma dan hukum yang berlaku. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologi yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.

Sedangkan sasaran strategis teroris antara lain :


Menunjukkan kelemahan alat-alat kekuasaan ( Aparatur Pemerintah ) Menimbulkan pertentangan dan radikalisme di masyarakat atau segmen tertentu dalam masyarakat. Mempermalukan aparat pemerintah dan memancing mereka bertindak represif kemudian mendiskreditkan pemerintah dan menghasilkan simpati masyarakat terhadap tujuan teroris. Menggunakan media masa sebagai alat penyebarluasan propaganda dan tujuan politik teroris. Sasaran fisik bangunan antara lain : Instalasi Militer, bangunan obyek vital seperti pembangkit energi , instalasi komunikasi, kawasan industri, pariwisata dan sarana transportasi, Personil Aparat Pemerintah, Diplomat ,Pelaku bisnis dan Personil lawan politik.

Jadi, sasaran aksi teroris yang umumnya terhadap manusia maupun obyek lainnya harus mampu dijaga dengan system yang lebih baik dari system teroris yang bertujuan untuk menyoroti kelemahan sistem dan atau pilihan secara seksama untuk menghindari reaksi negatif dari publik atau telah dirancang untuk menghasilkan reaksi publik yang positif atau simpatik, 4. Solusi Masalah Terorisme Atas Nama Agama Tertentu di Indonesia Beberapa aksi-aksi terror yang terjadi, telah mendorong Pemerintah Indonesia untuk menyatakan perang melawan terorisme dan mengambil langkah-langkah pemberantasan serius dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan, baik berupa Instruksi, Peraturan Pemerintah maupun Perundang-undangan, serta perangkat lainnya seperti pembentukan satuan anti teror di Polri dan anti teror lainnya yang telah terbentuk sebelumnya di TNI. Saat ini dituntut suatu pemahaman tentang pertahanan dan keamanan yang terintegrasi dari seluruh komponen bangsa serta adanya upaya yang sungguh untuk melakukan perubahan atas doktrin pertahanan dan keamanan serta pola pendekatan atas masalah pertahanan dan keamanan, guna mengantisipasi dan mencegah terulangnya aksi terroris di Indonesia. Ada sebuah pemikiran yang diilhami oleh pernyataan Menteri Pertahanan RI Prof. DR. Yuwono Sudarsono, MA. tentang Pertahanan Militer ( Military Defence) dan Pertahanan Nir Militer (Non Military Defence ). Pem-bangunan yang seimbang dari kedua hal tersebut dapat mencegah terjadinya kegiatan teroris di Indonesia, misalnya Pembangunan Pertahanan Militer yakni meningkatkan profesionalisme para perajurit TNI / Aparat Pemerintah dalam menjaga kedaulatan wilayah NKRI dari setiap ancaman termasuk ancaman teroris, tentunya pembangunan tersebut juga harus dilengkapi dengan alat peralatan antara lain peralatan yang dapat mendeteksi setiap keluar masuknya orang maupun barang yang dapat digunakan untuk aksi teror, disamping tentunya modernisasi alat utama sistem senjata. Sedangkan untuk pembangunan pertahanan nir militer dilaksanakan melalui pembangunan ketahanan nasional di bidang idiologi, politik, ekonomi dan sosial budaya yang pada akhirnya akan menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera, serta masyarakat yang cinta tanah air dan bangga atas dirinya sebagai anak bangsa Indonesia . Dengan kata lain pembangunan yang seimbang dari Pertahanan Militer dan Pertahanan Nir Militer merupakan pembangunan dibidang kesejahteraan dan pertahanan dan keamanan yang seimbang dan dapat menangkal aksi teroris di Indonesia.

You might also like