You are on page 1of 23

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA

PERCOBAAN IX PENENTUAN PERSAMAAN LAJU (KINETIKA KIMIA)

NAMA NIM KELOMPOK HARI/TANGGAL PERC. ASISTEN

: SYADZA FIRDAUSIAH : H 311 08 276 : VII (TUJUH) : SENIN/1 MARET 2010 : TIUR MAULI

LABORATORIUM KIMIA FISIKA JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGEAHUAN ALAM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2010

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Bagi banyak ahli falsafah Yunani, tidak mungkin memiliki suatu pengetahuan tentang sesuatu yang dalam proses menjadi sesuatu yang lain. Dimana perubahan yang terjadi tidaklah tampak nyata. Perubahan yang terjadi ini yang disebut sebagai suatu reaksi kimia, dan kemudian dipelajari oleh banyak ahli kimia di dunia. Reaksi kimia ditentukan oleh tinjauan termodinamika dan kinetika. Termodinamika memberi informasi kearah mana reaksi atau perubahan kimia secara spontan dapat berlangsung. Sedangkan kinetika membahas permasalahan laju reaksi dan mekanisme reaksi. Laju reaksi adalah perubahan jumlah pereaksi dan hasil reaksi per satuan waktu. Karena reaksi berlangsung kearah pembentukan hasil, maka laju reaksi tak lain dari pengurangan jumlah pereaksi per satuan waktu, atau pertambahan jumlah hasil reaksi persatuan waktu. Salah satu faktor pada persamaan laju reaksi itu kecuali suhu, keadaan zat, katalisator, dan kepekatan pereaksi adalah tingkat reaksi atau orde reaksi. Tingkat reaksi ini ditentukan dari hasil percobaan yang menyatakan hubungan antara laju reaksi dengan kepekatan pereaksi tersebut masing-masing. Metode yang umum digunakan adalah melakukan pengubahan konsentrasi awal pereaksi, dimana pada pelacakan tingkat reaksi suatu pereaksi, maka pereaksi-pereaksi yang lain dibuat konstan. Untuk mengamati kesesuaian antara teori dengan aplikasi hasil percobaan dilaboratorium, serta menjadikan teori yang dimaksud lebih aplikatif dan mudah

dipahami, dilakukanlah percobaan penentuan hukum laju reaksi dari ionisasi aseton dalam air yang terkatalisis oleh suatu asam.

1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan 1.2.1 Maksud Percobaan Untuk mengetahui dan mempelajari metode penentuan hukum laju reaksi dengan metode kinetika kimia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.2.2 Tujuan Percobaan Menentukan hukum laju reaksi iodinasi aseton dalam larutan air yang terkatalisis oleh asam.

1.3 Prinsip Percobaan Penitaran larutan iod dalam larutan asam dengan Na2S2O3 dan indikator amilum hingga larutan berubah warna dari biru menjadi tidak berwarna, dengan pengambilan cuplikan dalam selang waktu tertentu sehingga dapat ditentukan berapa jumlah iod yang tidak terikat oleh aseton yang akan bereaksi dengan Na2S2O3 kemudian menentukan konsentrasi zat penyusun cuplikan berdasarkan volume Na2S2O3 yang digunakan untuk menentukan konstanta kecepatan reaksi dengan orde reaksi.

1.4 Manfaat Percobaan Penentuan persamaan laju reaksi iodinasi bermanfaat untuk mengetahui sifat dari reaksi tersebut, dan hal-hal yang mempengaruhi kecepatan suatu reaksi, sehingga dapat meramalkan dan menentukan kondisi reaksi yang tepat untuk suatu reaksi. Dengan demikian, kita dapat mengendalikan suatu reaksi, baik menghambat maupun mempercepatnya, dengan mengatur kondisinya dan jumlah pereaksinya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

The rate of a reaction is defined as the change in concentration of any of its reactants or products per unit time. There are 5 factors that affect the rate of a reaction (Goldberg, 2005): 1. The nature of the reactants. Carbon tetrachloride (CCl4) does not burn in oxygen, but methane (CH4) burns very well indeed. In fact, CCl4 used to be used in fire extinguishers, while CH4 is the major component of natural gas. This factor is least controllable by the chemist, and so is of least interest here. 2. Temperature. In general, the higher the temperature of a system, the faster the chemical reaction will proceed. A rough rule of thumb is that a 10C rise in temperature will approximately double the rate of a reaction. 3. The presence of a catalyst. A catalyst is a substance that can accelerate (or slow down) a chemical reaction without undergoing a permanent change in its own composition. For example, the decomposition of KClO3 by heat is accelerated by the presence of a small quantity of MnO2. After the reaction, the KClO3 has been changed to KCl and O2, but the MnO2 is still MnO2. 4. The concentration of the reactants. In general, the higher the concentration of the reactants, the faster the reaction. 5. The pressure of gaseous reactants. In general, the higher the pressure of gaseous reactants, the faster the reaction. This factor is merely a corollary of factor 4, since the higher pressure is in effect a higher concentration

Laju reaksi didefinisikan sebagai perubahan konsentrasi suatu reaktan atau produk tiap satuan waktu. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi laju reaksi (Goldberg, 2005): 1. Sifat dasar reaktan. Karbon tetraklorida (CCl4) tidak terbakar dalam oksigen, tapi metana (CH4) terbakar dengan baik. Faktanya, CCl4 digunakan dalam alat pemadam api, sementara CH4 adalah komponen utama dari gas alam. Faktor ini paling tidak dapat dikontrol oleh ahli kimia, sehingga mendapat perhatian. 2. Temperatur. Umumnya, semakin tinggi temperatur sistem, semakin cepat reaksi kimia berlangsung. Rumus dasar untuk hal ini ialah bahwa tiap kenaikan suhu 10 oC akan menaikkan dua kali lipat kecepatan reaksi. 3. Penambahan katalis. Katalis adalah suatu zat yang dapat mempercepat (atau memperlambat) suatu reaksi kimia tanpa mengalami perubahan permanen pada komposisinya. Contohnya, dekomposisi KClO3 dengan panas yang dipercepat oleh penambahan sejumlah MnO2. Setelah reaksi, KClO3 telah diubah menjadi KCl dan O2, tapi MnO2 tetap dalam bentuk MnO2. 4. Konsentrasi reeaktan. Umumnya, semakin tinggi konsentrasi reaktan, semakin cepat reaksinya. 5. Tekanan reaktan gas. Umumnya, semakin tinggi tekanan reaktan gas, reaksi akan semakin cepat. Faktor ini sebagai akibat dari faktor 4, sebab semakin tinggi tekanan, maka konsentrasinya akan semakin tinggi. Untuk beberapa reaksi, laju reaksi dapat dinyatakan dengan persamaan matematik yang dikenal sebagai hukum laju atau persamaan laju. Perhatikan reaksi hipotetik, aA + bB + gG + hH + di mana a, b, merupakan koefisien reaksi. Laju reaksi dapat dinyatakan sebagai laju

= k[A]m[B]n.. Dalam rumusan tersebut, lambang [A], [B] merupakan konsentrasi molar. Pangkat m, n, merupakan angka-angka bulat yang kecil, walaupun dalam beberapa kasus dapat berupa pecahan ataupun negatif. Penting untuk diingat bahwa tidak ada hubungan antara pangkat m, n dengan koefisien reaksi a, b,. Bila dalam beberapa kasus keduanya identik (m = a, atau n = b), hal itu hanya suatu kebetulan, dan tidak dapat diharapkan. Pangkat-pangkat dalam persamaan laju dinamakan orde reaksi. Total jumlah pangkat m + n + merupakan orde reaksi total. Faktor k disebut tetapan laju. Faktor tersebut merupakan sifat khas dari suatu reaksi, dan hanya tergantung pada suhu. Laju reaksi biasa dinyatakan dalam satuan mol per liter per satuan waktu, misalnya, mol L-1 det-1 atau mol L-1 men-1. Satuan k tergantung dari orde reaksi (Petrucci, 1999). Consider a general reaction,

We describe the rate of the reaction in terms of the rate of disappearance of one of the reactants or the rate of appearance of the product,

The stoichiometry of the reaction tells us that in time interval t, [B] = 3 [A], [C] = - 2 [A]; furthermore, [A] and [B] are negative, [C] is positive. Thus we must include an appropriate sign and stoichiometric coefficient in expressing the rate of the reaction:

It is most common to express rates in terms of molar concentrations of species, even for gas-phase reactions. The usual units of a reaction rate are mol L-1s-1 (Rosernberg, 2000). Suatu reaksi umum, A + 3B 2C Kita menjelaskan kecepatan reaksi ini sebagai kecepatan berkurangnya reaktan atau bertambahnya produk.

Stoikiometri dari reaksi menginformasikan bahwa interval t, [B] = 3 [A], [C] = 2 [A]; Dimana, [A] dan [B] bernilai negatif, [C] positif. Dengan demikian, kita harus memasukkan tanda yang tepat dan koefisien stoikiometri dalam pengungkapan kecepatan reaksi : Laju :
A] B] C]

Ini adalah pengungkapan yang kebanyakan digunakan pada konsentrasi molar suatu spesies, pun untuk reaksi fase gas. Satuan laju reaksi ialah mol L-1 s-1 (Rosernberg, 2000). Tahap penentu laju ialah tahap paling lambat dalam reaksi kimia yang melibatkan sejumlah langkah. Dalam reaksi seperti ini, sering kali ada satu tahap yang sangat lambat dibandingkan tahap lainnya, sehingga laju tahap lambat ini menentukan laju reaksi keseluruhan (Dainthith, 1994). Merubah konsentrasi dari suatu zat di dalam suatu reaksi biasanya merubah juga laju reaksi. Persamaan laju menggambarkan perubahaan ini secara matematis. Ada beberapa cara untuk mengukur laju dari suatu reaksi. Sebagai contoh, jika gas dilepaskan dalam suatu reaksi, kita dapat mengukurnya dengan menghitung volume

gas yang dilepaskan per menit pada waktu tertentu selama reaksi berlangsung. Bagaimanapun, untuk lebih formal dan matematis dalam menentukan laju suatu reaksi, laju biasanya diukur dengan melihat berapa cepat konsentrasi suatu reaktan berkurang pada waktu tertentu. Sebagai contoh, andaikan kita memiliki suatu reaksi antara dua senyawa A dan B. Misalkan setidaknya salah satu mereka merupakan zat yang bisa diukur konsentrasinya-misalnya, larutan atau dalam bentuk gas.

Untuk reaksi ini kita dapat mengukur laju reaksi dengan menyelidiki berapa cepat konsentrasi, katakan A, berkurang per detik. Kita mendapatkan, sebagai contoh, pada awal reaksi, konsentrasi berkurang dengan laju 0.0040 mol dm-3 s-1. Hal ini berarti tiap detik konsentrasi A berkurang 0.0040 mol per desimeter kubik. Laju ini akan meningkat seiring reaksi dari A berlangsung (Clark, 2004). Reaksi antara aseton dan iod dalam larutan air : CH3-CO-CH3 + I2 CH3-CO-CH2I Berjalan lambat tanpa katalis. Dalam suasana asam reaksi ini berlangsung dengan cepat dan hukum laju reaksinya dapat dinyatakan sebagai : k[aseton]a[I2]b[H+]c Dengan menggunakan aseton dan assam dalam jumlah berlebih, persamaan di atas dapat diubah menjadi : k[I2]b Dengan k = k[aseton]a[H+]c Reaksi ini dapat dimonitor dengan cara menentukan konsentrasi I2 sebagai fungsi terhadap waktu. Dari data ini ditentukan nilai b, yaitu orde reaksi terhadap iod. Orde reaksi terhadap aseton dan asam dapat ditentukan dengan cara mengubah konsentrasi awal kedua zat tersebut (Taba dkk., 2010).

BAB III METODE PERCOBAAN

3.1

Bahan Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah aseton p.a., larutan iod

0,1 M, larutan Na2S2O3 0,01 M, larutan asam sulfat 1 M, larutan CH3COONa 10%, larutan amilum 1%, akuades, tissue roll, aluminium foil.

3.2

Alat Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah labu erlenmeyer 300 ml, labu

erlenmeyer 100 ml, pipet volume 5 ml, pipet volume 10 ml, pipet volume 25 ml, gelas piala 200 ml, labu ukur 250 ml, stopwatch, botol semprot, magnetik stirrer, dan barr, kertas saring, batang pengaduk, bulb, pipet tetes, statif, klem, buret 50 ml..

3.3

Prosedur Kerja

A. Dimasukkan 25 ml aseton dan 10 ml H2SO4 1 M ke dalam labu ukur 250 ml dan diencerkan hingga tanda batas. Larutan ini dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer 300 ml bertutup dan diaduk dengan magnetik stirrer. Dipipet 25 ml larutan iod ke dalam larutan tersebut, sementara stopwatch dijalankan. Segera setelah reaksi, diambil 25 ml larutan, dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 100 ml yang berisi 10 ml CH3COONa dan 1 ml amilum, kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,01 M hingga titik akhir (tidak berwarna). Cuplikan berikutnya diambil dalam selang waktu 4 menit sebanyak lima kali. B. Diulangi percobaan A dengan diambil 10 ml aseton. Cuplikan-cuplikan diambil setiap 10 menit sebanyak 6 kali.

C. Diulangi percobaan A dengan diambil 5 ml H2SO4. Cuplikan-cuplikan diambil setiap 10 menit sebanyak 5 kali.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


Percobaan A 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 Titrasi Waktu (s) 0 240 480 720 960 0 600 1200 1800 2400 3000 3600 0 600 1200 1800 2400 Volume Na2S2O3 0,01 M (ml) 10,6 9,8 9,0 8,05 7,45 11,0 10,5 8,8 8,0 6,9 6,6 5,0 11,1 10,7 9 7,7 6,4

Ket : A : 25 ml aseton, 10 ml H2SO4 diambil setiap 4 menit B : 10 ml aseton, 10 ml H2SO4 diambil setiap 10 menit C : 25 ml aseton, 5 ml H2SO4 diambil setiap 10 menit

4.2 Reaksi 1. Reaksi Iodinasi aseton CH3-CO-CH3 + H+ CH3-C(OH)-CH3 + H2O CH3-C(OH)-CH3 CH3-C(OH)=CH2 + H+ CH3-C(OH)=CH2 + I2 CH3-C(OH)(I)-CH2I CH3-C(OH)(I)-CH2I CH3-CO-CH2I + HI 2. Reaksi iodometri 2Na2S2O3 + I2 Na2S4O6 + 2NaI

4.3 Perhitungan 4.3.1 Perhitungan mmol I2 mmol I2 2 mmol Na2S2O3

mmol Na2S2O3 = volume Na2S2O3 x M Na2S2O3 mmol I2 = mmol Na2S2O3 1. Percobaan A 1) mmol Na2S2O3 = x 10,6 ml x 0,01 M = 0,0530 mmol 2) mmol Na2S2O3 = x 9,8 ml x 0,01 M 3) mmol Na2S2O3 = x 9,0 ml x 0,01 M = 0,0490 mmol = 0,0450 mmol

4) mmol Na2S2O3 = x 8,05 ml x 0,01 M = 0,0403 mmol 5) mmol Na2S2O3 = x 7,45 ml x 0,01 M = 0,0373 mmol 2. Percobaan B 1) mmol Na2S2O3 = x 11 ml x 0,01 M = 0,0550 mmol

2) mmol Na2S2O3 = x 10,5 ml x 0,01 M = 0,0525 mmol 3) mmol Na2S2O3 = x 8,8 ml x 0,01 M 4) mmol Na2S2O3 = x 8,0 ml x 0,01 M 5) mmol Na2S2O3 = x 6,9 ml x 0,01 M 6) mmol Na2S2O3 = x 6,6 ml x 0,01 M 7) mmol Na2S2O3 = x 5,0 ml x 0,01 M 3. Percobaan C 1) mmol Na2S2O3 = x 11,1 ml x 0,01 M = 0,0555 mmol 2) mmol Na2S2O3 = x 10,7 ml x 0,01 M = 0,0535 mmol 3) mmol Na2S2O3 = x 9,0 ml x 0,01 M 4) mmol Na2S2O3 = x 7,7 ml x 0,01 M 5) mmol Na2S2O3 = x 6,4 ml x 0,01 M = 0,0450 mmol = 0,0385 mmol = 0,0320 mmol = 0,0440 mmol = 0,0400 mmol = 0,0345 mmol = 0,0330 mmol = 0,0250 mmol

4.3.2 Perhitungan konsentrasi I2 [I2] = Volume total = V CH3COONa + V amilum + V cuplikan + V Na2S2O3 = 10 ml + 1 ml + 25 ml + V Na2S2O3 = 36 ml + V Na2S2O3 1. Percobaan A 1) [I2]1 = 2) [I2]2 = 3) [I2]3 = 4) [I2]4 = 5) [I2]5 = 2. Percobaan B 1) [I2]1 = 2) [I2]2 = 3) [I2]3 = 4) [I2]4 = 5) [I2]5 = 6) [I2]6 = 7) [I2]7 = 3. Percobaan C 1) [I2]1 = =(
)

=( =( =( =( =(
)

=( =( =( =( =( =( =(
)

2) [I2]2 = 3) [I2]3 = 4) [I2]4 = 5) [I2]5 =

=( =( =( =(
)

4.3.3 Kecepatan Reaksi v 1. Percobaan A 1) v1 = 2) v2 = 3) v3 = 4) v4 = 2. Percobaan B 1) v1 = 2) v2 = 3) v3 = 4) v4 = 5) v5 = 6) v6 = 6,8667.10-8 M/s 1,5672.10-7 M/s 1,4506.10-7 M/s 1,5250.10-7 M/s 1,3185.10-7 M/s 1,5568.10-7 M/s 2,8083.10-7 M/s 2,8604.10-7 M/s 3,0893.10-7 M/s 2,9046.10-7 M/s

3. Percobaan C 1) v1 = 2) v2 = 3) v3 = 4) v4 = 5,45.10-8 M/s 1,4858.10-7 M/s 1,6516.10-7 M/s 1,7649.10-7 M/s

4.3.4 Penentuan Hukum Kecepatan Reaksi 1. Untuk Percobaan A


[I2] 1,0699.10-3 1.10-3 9,1487.10-4 8,5846.10-4 Log [I2] -2,9707 -3 -3,0386 -3,0663 V (M/s) 2,8083.10-7 2,8604.10-7 3,0893.10-7 2,9046.10-7 Log v -6,5516 -6,5436 -6,5101 -6,5369 Log vreg -6,5478 -6,5403 -6,5304 -6,5233

y = -0,2565x - 7,3098 V = k[I2]b Log V = log k + b log [I2] Log k = -7,3098 k1 = 4,9 . 10-8 b = -0,2565 2. Untuk Percobaan B
[I2] 1,1290.10-3 9,8214.10-4 9,0909.10-4 8,0419.10-4 7,7465.10-4 6,0976.10-4 Log [I2] -2,9469 -4,9912 -3,0414 -3,0947 -3,1107 -3,2147 V (M/s) 6,8667.10-8 1,5672.10-7 1,4506.10-7 1,5250.10-7 1,3185.10-7 1,5568.10-7 Log v -7,1633 -6,8049 -6,8385 -6,8167 -6,8799 -6,8078 Log vreg -6,9146 -6,7815 -6,9084 -6,9049 -6,9039 -6,8971

y = -0,0651x - 7,1064 V = k[I2]b Log V = log k + b log [I2] Log k = - 7,1064 k2 = 7,8271.10-8 b = -0,0651

( 0,6260 = (2,5)a a = -0,5112

3. Untuk Percobaan C
[I2] 1,1456.10-3 1.10-3 8,8101.10-4 7,5472.10-4 Log [I2] -2,9409 -3 -3,0550 -3,1222 V (M/s) 5,45.10-8 1,4858.10-7 1,6516.10-7 1,7649.10-7 Log v -7,2636 -6,8280 -6,7821 -6,7533 Log vreg -7,1371 -6,9835 -6,8405 -6,6658

y = -2,5995x - 14,782 V = k[I2]b Log V = log k + b log [I2] Log k = - 14,782 k3 = 1,6519.10-15 b = -2,5995

( 2,9663.107 = (2)c c = 24,8222

4.4 Pembahasan Pada percobaan ini, dilakukan reaksi iodinasi aseton dalam larutan air yang terkatalisis dengan asam. Proses pada percobaan ini dimulai dengan mencampur aseton dengan larutan asam sulfat dan air. Dalam hal ini asam sulfat bertindak sebagai katalis yang mempercepat ionisasi aseton dengan memberikan ion H+ ke dalam larutan karena reaksi antara iod dan aseton dalam air berjalan lambat. Larutan tersebut kemudian ditambahkan dengan sejumlah iod, serta menjalankan stopwatch. Setelah itu dengan segera sebagian larutan diambil dan dimasukkan ke dalam larutan yang terdiri dari campuran natrium asetat dan amilum. Adapun natrium asetat berfungsi untuk memastikan reaksi berjalan sempurna, sedangkan amilum digunakan sebagai indikator untuk menunjukkan titik akhir titrasi. Larutan ini berwarna ungu sebab terbentuk kompleks iod dengan amilum. Selanjutnya larutan dititrasi dengan natrium tiosulfat untuk mengetahui konsentrasi iod diawal reaksi.

Cuplikan-cuplikan selanjutnya diambil dalam selang waktu 4 menit sejak pertama kali penambahan iod ke dalam larutan aseton. Konsentrasi iod didalam larutan sejalan dengan bertambahnya waktu akan terus mengecil, yang ditandai dengan berkurangnya volume natrium tiosulfat yang digunakan untuk menitrasi cuplikan. Oleh karenanya hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa selang waktu tersebut memiliki hubungan berbanding terbalik dengan volume natrium tiosulfat. Sementara larutan yang terdiri dari campuran aseton dan iod, sejalan dengan bertambahnya waktu akan mengalami perubahan warna yang semakin bening. Hal ini dikarenakan iod yang memberikan warna pada larutan diawal, konsentrasinya semakin berkurang sejalan dengan berlangsungnya proses reaksi dengan aseton. Dengan mengetahui volume natrium tiosulfat untuk titrasi, maka dapat dihitung konsentrasi iod dalam larutan melalui persamaan reaksi yang terjadi. Konsentrasi iod yang diperoleh sebagai fungsi terhadap waktu digunakan untuk menentukan hukum laju reaksi dengan variabel tetapan laju (k) dan orde reaksi yang dapat ditentukan. Selain menentukan orde reaksi terhadap berkurangnya iod untuk menentukan hukum laju reaksi, pada percobaan ini juga ditentukan orde reaksi terhadap berkurangnya aseton dan pengaruh katalis asam terhadap laju reaksi. Hal inilah yang coba diuraikan pada percobaan B dan C. Dimana pada percobaan B dan C pengerjaan yang dilakukan hampir sama, namun pada percobaan B volume aseton yang digunakan lebih kecil dari yang digunakan sebelumnya. Sedangkan untuk percobaan C, karena pengaruh asam sebagai katalis yang akan diamati, maka volume asam sulfat yang digunakan dibuat lebih kecil dari sebelumnya. Metode ini dikenal metode laju awal. Dari hasil grafik yang diperoleh pada percobaan A, B, dan C terlihat bahwa saat konsentrasi iod besar dalam larutan maka laju reaksi ionisasi aseton juga semakin

besar. Hal ini mengindikasikan untuk mempercepat laju reaksi dapat dilakukan dengan memperbesar konsentrasi reaktan, dalam hal ini iod dan aseton. Pada percobaan A diperoleh nilai tetapan laju reaksi (k) 4,9.10-8 dan b sebagai kemiringan -0,2565. Percobaan B diperoleh nilai tetapan laju reaksi (k) 7,8271.10-8 dan a sebesar -0,5112. Pada percobaan C diperoleh nilai tetapan laju reaksi (k) 1,6519.10-15 dan c sebesar 24,8222. Sehingga, persamaan laju reaksinya dapat dituliskan sebagai V = k[aseton]-0,5112[I2]-0,2565[H+]24,8222. Persamaan laju yang diperoleh memiliki kejanggalan, dimana orde reaksi untuk aseton dan I2 bernilai negatif, yang berarti bersifat menurunkan laju reaksi dengan penambahan konsentrasi. Hal ini tidak sesuai dengan teori, dimana penambahan konsentrasi pereaksi seharusnya dapat meningkatkan laju reaksi. Kesalahan ini dapat disebabkan adanya ketidaktelitian pada percobaan, baik dalam menghitung waktu, memindahkan cairan, menitrasi, maupun dalam pembacaan skala pada buret.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Dari percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa hukum laju reaksi iodinasi aseton dalam air yang terkatalis oleh asam ialah

V = k[aseton]-0,5112[I2]-0,2565[H+]24,8222.

5.2 Saran Saran pada percobaan ini yaitu sebaiknya pada percobaan berikutnya asisten lebih proaktif lagi dalam menjelaskan tujuan dan perhitungan dari percobaan ini, agar praktikan lebih baik dalam memahami percobaan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Clark, J., 2004, Order Reaksi dan Persamaan Laju Reaksi, (online) (http://www.chemis-try.org/artikel-kimia/order-reaksi-dan-persamaan-laju-reaksi/) diakses pada tanggal 23 Maret 2010. Daintith, J., 1994, Kamus Lengkap Kimia, Erlangga, Jakarta. Goldberg, D. E., 2005, Theory and Problems of Beginning Chemistry 3rd ed., McGraw Hill Inc., New York. Petrucci, R. H., 1999, Kimia Dasar, Erlangga, Jakarta. Rosernberg, J. L., 2000, College Chemistry, McGraw Hill Inc., New York. Taba, P., Fauziah, St., dan Zakir, M., 2010, Penuntun Praktikum Kimia Fisika, Laboratorium Kimia Fisika Jurusan Kimia FMIPA UH, Makassar.

LEMBAR PENGESAHAN

Makassar, 5 April 2010 Asisten Praktikan

Tiur Mauli

Syadza Firdausiah

You might also like