You are on page 1of 14

BAB II TINJAUAN TEORITIS PENYAKIT KUSTA

I. KONSEP MEDIS A. DEFINISI Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.(Depkes RI, 1998) Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000) Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium leprae yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata,otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 ) Kusta adalah penyakit menular pada umunya mempengaruhi kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas. ( COC, 2003) B. ETIOLOGI Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari- 40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA. C. MANIFESTASI KLINIS Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut: 1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papula,dan nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. 2. BTApositif Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.

KLASIFIKASI n o Kelainan kulit & hasil pemeriksaan Bercak (makula) Jumlah Ukuran Distribusi Konsistensi Batas kehilangan rasa pada bercak kehilangan berkemampuan berkeringat, berbulu rontok pada bercak Infiltrat Kulit Membran mukosa tersumbat perdarahan di hidung

Pause Basiler 1-5 Kecil dan besar Unilateral atau bilateral asimetris Kering dan kasar Tegas Selalu ada dan jelas Bercak tidak berkeringat, ada bulu rontok pada bercak Tidak ada Tidak pernah ada

Multiple Basiler Banyak Kecil-kecil Bilateral, simetris Halus, berkilat Kurang tegas Biasanya tidak jelas, jika ada terjadi pada yang sudah lanjut Bercak masih berkeringat, bulu tidak rontok Ada, kadangkadang tidak ada Ada, kadangkadang tidak ada

central healing penyembuhan ditengah 3 Ciri hidung

4 5 6 7

Nodulus Penebalan saraf tepi Deformitas cacat apusan

Tidak ada Lebih sering terjadi dini, asimetris Biasanya asimetris terjadi dini BTA negatif

a) punched out lessionb. b) medarosisc. c) ginecomastiad. d) hidung pelanae. e) suara sengau Kadang-kadang ada Terjadi pada yang lanjut biasanya lebih dari 1 dan simetris Terjadi pada stadium lanjut BTA positif

Dibagi menjadi 2 untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan atas dua jenis yaitu: a. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid) Merupakan bentuk yang tidak menular.Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi. Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat pada saraf tepi , sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas. Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basah.

Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab.Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi b. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa) Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik diselaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain.Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta.Kelainan kulit bisa berupa bercak kemerahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga. Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung.Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit. Pada bentuk yang parah bisa terjadi muka singa (facies leonina). Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan(tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah. D. PATOFISIOLOGI Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Selain manusia, hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab. Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipinahingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan. Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanaya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di

penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schffer pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri.Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari. Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya bakteri. Rees dan Mc Dougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem imunnya. Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan. Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan. Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun. E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK o Pemeriksaan Bakteriologis Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut: 1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif. 2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat lain. 3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul. 4) Lokasi pengambilan sediaan apusan untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah: a. Cuping telinga kiri atau kanan b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain 5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena: a. Tidak menyenangkan pasien. b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidungapabila sedian apus kulit negatif. d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakteriokopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain

6) Indikasi pengambilan sediaan apusan kulit: a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta. b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat. d. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali 7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehlneelsen atau kinyoun gabett 8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zigzag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented),granula (granulates), globus dan clumps. o Indeks Bakteri (IB): Merupakan ukuran semi kuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapusan. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut: 0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang 1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang 2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang 3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang o Indeks Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantumenentukan resistensi terhadap obat. Catatan: TERAPI MEDIK Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut: a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :Rifampisin 600 mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif.Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan. b) Tipe MB ( MULTI BASILER)Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa: Rifampisin 600 mg/bln diminum didepan petugas.Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum dirumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah,Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT. c) Dosis untuk anak Klofazimin : Umur, dibawah 10 tahun : Bulanan100 mg/bln Harian 50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian 50mg/3kali/minggu, DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:10-15mg/Kg BB d) Pengobatan MDT terbaru Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400 mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24dosis dalam 24 jam. e) Putus obat pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

F. PENATALAKSANAAN MEDIK Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita. Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu menghalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit beta. Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi

kusta. Sulfas Ferrosus untuk penderita kusta dgn anemia berat. Vitamin A, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan bersisik (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I. Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh WHO/DEPKES RI (1981) dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment. Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperti claw hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan. Prinsip pengobatan reaksi Kusta yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 31 selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah. Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti reaksi dan pemberian obatobat kortikosteroid misalnya prednison. G. KOMPLIKASI Akibat langsung dari penyakit Morbus Hansen atau kusta ialah kerusakan urat saraf tepi, kecacatan,terjadinya kerontokan alis mata,menebalnya cuping telinga, kadang-kadang terjadi hidung pelana akibat dari kerusakan tulang rawan hidung,pada bentuk yang parah bisa terjadi wajah singa(faces leonina)

II.

KONSEP KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN 1) BIODATA Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah. 2) RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadangkadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh. 3) RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi. 4) RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular. 5) RIWAYAT PSIKOSOSIAL Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. 6) POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan. 7) PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik. a. Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik,kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok. b. Sistem swpernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan. c. Sistem persarafan: 1. Kerusakan fungsi sensorik : Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Akibat kurang/ mati

rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip. 2. Kerusakan fungsi motorik : Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos). 3. Kerusakan fungsi otonom: Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecahpecah. d. Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi. e. Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

B. Penyimpangan KDM

Etiologi micobakterium leprae, bersifat (BTA) dan obligat intraseluller

Menyerang saraf perifer, kulit, mukosa saluran pernafasan bagian atas

Derajat imunitas tinggi

Derajat imunitas rendah

Tuber koloid

deformitas

Kelainan

kulit

berupa

bercak putih, bercak tampak kering dan perasaan kulit hilang sama sekali

Kelainan kulit berupa bercak merah

G3 saraf tepi, saraf perifer

Benjol kecil-kecil diseluruh tubuh disertai rontoknya alis mata,cuping telinga, hidung pelana,wajah singa

Nyeri, kerusakan jaringan kulit dan saraf

Kecacatan akibat kerusakan jaringan tubuh

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi 2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan 3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik 4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh

D. INTERVENSI Diagnosa 1 Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur sembuh. Kriteria hasil: 1. Menunjukkan regenerasi jaringan 2. Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi Intervensi: 1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka Rasional:Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi. 2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi Rasional:menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar. 3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar Rasional :Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi. 4. Bersihkan lesi dengan sabun pada waktu direndam Rasional:Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi 5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan Diagnosa 2 Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti danberangsur-angsur hilang Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapatberkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang Intervensi: 1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri Rasional:Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi. 2. Observasi tanda-tanda vital Rasional:Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien 3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri 4. Atur posisi senyaman mungkin Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri

5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi Rasional:menghilangkan rasa nyeri Diagnosa 3 Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi danaktivitas dapat dilakukan Kriteria hasil 1. Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari 2. Kekuatan otot penuh Intervensi: 1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas 2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas 3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi 4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas 5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan Rasional: menampilkan keluarga / orang terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan Diagnosa 4 Tujuan :setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimaldan konsep diri meningkat Kriteria hasil: 1. Pasien menyatakan penerimaan situasi diri 2. Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif Intervensi 1. Kaji makna perubahan pada pasien Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal 2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri. Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan 3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang salah Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas 4. Berikan penguatan positif Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif 5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium leprae. Kusta dibagi dalam 2 bentuk yaitu kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid) dan kusta bentuk basah (tipe lepromatosa). Micobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligatintraseluller, menyerang saraf perifer,kulit,dan organ lain,seperti mukosa salurannapas bagian atas, hati, sumsum tulang, kecuali susunan saraf pusat.Micobakterium leprae masuk kedalam tubuh manusia,jika orang tersebut memiliki respon imunitas yang tinggi maka kusta akan lebih mengarah pada tuberkuloid, namun jika respon imunitas dari tubuh orang tersebut rendah maka kusta akan lebih mengarah pada lepromatosa. Manifestasi klinik dari penderita kusta adalah adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien kusta yang perlu dilakukan adalah melakukan pengkajian,pemeriksaan fisik,manentukan diagnosa keperawatan, kemudian memberikan tindakan perawatan yang komprehensip. B. Saran Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya pemerintah mengadakan suatu program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan sebagai penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan matarantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi akan kusta diberikan penyuluhan tentang cara menghindari,mencegah,dan mengetahui gejala dini pada kusta untuk mempermudah pengobatanya . Karena di dunia kasus penderita kusta juga masih tergolong tinggi maka perlu diadakanya penelitian tentang penanggulangan penyakit kusta yang efektif

DAFTAR PUSTAKA

Graber,Mark A.1998.Buku Saku Kedokteran university of IOW.EGC:Jakarta Mansjoer, Arif,.2000 . Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III ,.media Aeuscualpius:Jakarta. Juall, Lynda.1999.Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II. EGC.:Jakarta Hansen.02/2010.Asuhan Keperawatan-Hansen.http://asuhankeperawatans.blogspot.diakses pada tanggal 1 Oktober 2011 jam 07:30 WITA.

You might also like