You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Keperawatan merupakan suatu bentuk asuhan yang ditujukan untuk kehidupan orang lain sehingga semua aspek keperawatan mempunyai komponen etika. Pelayanan keperawatan merupakan bagian dari pelayanan kesehatan, maka permasalahan etika kesehatan menjadi permasalahan etika keperawatan pula. Saat ini masalah yang berkaitan dengan etika telah menjadi masalah utama disamping masalah hukum, baik bagi pasien, masyarakat maupun pemberi asuhan kesehatan. Masalah etika menjadi semakin kompleks karena adanya kemajuan ilmu dan tehnologi yang secara dramatis dapat mempertahankan atau memperpanjang hidup manusia. Pada saat yang bersamaan pembaharuan nilai sosial dan pengetahuan masyarakat menyebabkan masyarakat semakin memahami hak-hak individu, kebebasan dan tanggungjawab dalam melindungi hak yag dimiliki. Adanya berbagai faktor tersebut sering sekali membuat tenaga kesehatan menghadapi berbagai dilema. Setiap dilema membutuhkan jawaban dimana dinyatakan bahwa sesuatu hal itu baik dikerjakan untuk pasien atau baik untuk keluarga atau benar sesuai kaidah etik. Berbagai permasalahan etik yang dihadapi oleh perawat telah

menimbulkan konflik antara kebutuhan pasien (terpenuhi hak) dengan harapan perawat dan falsafah keperawatan. Contoh nyata yang sering dijumpai dalam praktek keperawatan adalah euthanasia, penolakan tindakan transfusi darah, dan penolakan transplantasi organ. Menghadapi dilema semacam ini diperlukan penanganan yang melibatkan seluruh komponen yang berpengaruh dan menjadi support system bagi pasien. Dokter dan perawar merasa mempunyai tanggung jawab untuk membantu menyembuhkan penyakit pasien, sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah. Masyarakat mempunyai hak untuk memilih yang harus dihormati, dan saat ini masyarakat sadar bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih hidup atau mati. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi 1

antara etika, moral, hukum dan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas tentang praktik

euthanasia yang mana melalnggar etika dalam keperawatan dan penyelesaiannya dengan pendekatan proses keperawatan.

1.2 TUJUAN PENULISAN 1. Untuk mengetahui definisi euthanasia 2. Untuk mengetahui klasifikasi dari euthanasia 3. Untuk mengetahui hak Pasien dalam kasus Euthanasia 4. Untuk mengetahui kewajiban perawat dalam kasus Euthanasia 5. Untuk mengetahui euthanasia dipandang dari etika 6. Untuk mengetahui hukum agama tentang euthanasia 7. Untuk mengetahui hukum Negara tentang euthanasia 8. Untuk mengetahui kasus euthanasia yang melanggar etika kesehatan

1.3 RUMUSAN MASALAH 1. Apa definisi dari euthanasia? 2. Bagaimana klasifikasi euthanasia? 3. Apa Hak Pasien dalam kasus Euthanasia? 4. Apa Kewajiban Perawat dalam kasus Euthanasia? 5. Bagaimana Euthanasia Di Pandang dari Etik? 6. Bagaimana hukum agama tentang euthanasia? 7. Bagaimana hukum Indonesia dan beberapa Negara lain tentang euthanasia? 8. Bagaimana contoh kasus euthanasia yang ada saat ini?

BAB II PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI EUTHANASIA Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, eu (mudah, bahagia, baik) dan thanatos (meninggal dunia) sehingga diartikan meninggal dunia dengan baik atau bahagia. Pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien. Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain. Menurut Oxfort English Dictionary eutanasia berarti tindakan untuk

mempermudah mati dengan tenang dan mudah. Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti pembunuhan tanpa penderitaan (mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh. Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti mati baik. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai mati cepat tanpa derita. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.

2.2 KLASIFIKASI EUTHANASIA Dilihat dari aspek bioetis, eutanasia terdiri atas eutanasia volunter, involunter, aktif dan pasif. Pada kasus eutanasia volunter klien secara suka rela dan bebas memilih untuk meninggal dunia. Pada eutanasia involunter, tindakan yang menyebabkan kematian dilakukan bukan atas dasar persetujuan dari klien dan sering kali melanggar keinginan klien. Eutanasia aktif merupakan suatu tindakan yang disengaja yang menyebabkan klien meninggal misalnya pemberian injeksi obat letal. Eutanasia pasif dilakukan dengan menghentikan pengobatan atau perawatan suportif yang mempertahankan hidup (misalnya antibiotika, nutrisi, cairan, respirator yang tidak diperlukan lagi oleh klien. Eutanasia pasif sering disebut sebagai eutanasia negatif dapat dikerjakan sesuai dengan keputusan IDI. Selain itu, bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori: Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida. Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan. Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen 4

bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.

2.3 HAK PASIEN DALAM EUTHANASIA Penghormatan hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari seorang dokter terhadap pengobatannya.Hal ini berarti para dokter harus mendahulukan proses pembuatan keputusan yang normal dan berusaha bertindak sesuai dengan kemauan pasien sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan pertimbangan yang matang.Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberikan informasi yang cukup sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.Beberapa pasien tidak dapat menentukan pilihan pengobatan sehingga harus orang lain yang memutuskan apa tindakan yang terbaik bagi pasien itu.Orang lain disni tentu dimaksudkan orang yang paling dekat dengan pasien dan dokter harus menghargai pendapat-pendapat tersebut. Di bawah ini merupakan beberapa hak individu yang akan meninggal, antara lain: 1. Hak diperlakukan sebagaimana manusia hidup sampai ajal tiba 2. Hak untuk mempertahankan harapananya, tidak peduli apapun perubahan yang terjadi 3. Hak untuk mengekspresikan perasaan dan emosinya sehubungan dengan kematian yang sedang dihadapinya sesuai dengan kepercayaannya. 4. Hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan perawatannya 5. hak untuk memperoleh perhatian dalam pengobatan dan perawatan secara berkesinambunagn walaupun tujuan penyembuhannya harus diubah menjadi tujuan memberikan rasa nyama. 6. Hak untuk tidak meninggal dalam kesendirian 7. Hal untuk bebas dari rasa sakit 5

8. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaannya secara jujur 9. Hak untuk memperoleh bantuan dari perawat atau medis untuk keluarga yang ditinggal agar dapat menerima kematiannya 10. Hak untuk meninggal dalam keadaan damai dan bermartabat 11. Hak untuk tetap dalam kepercayaan atau agamanya dan tidak diambil keputusan yang bertentang dengan kepercayaan yang dianutnya 12. Hak untuk memperdalam dan meningkatkan kepercayaannya, apapun artinya bagi orang lain 13. Hak untuk mengharapkan bahwa kesucian raga manusia akan dihormati setelah yang bersangkutan meninggal.

2.4 KEWAJIBAN PERAWAT DALAM KASUS EUTHANASIA a. b. memfasilitasi klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya membantu proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang sedang dihadapinya. c. d. mengoptimalkan system dukungan membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang telah dihadapi. e. membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa sesuai dengan keyakinannya.

2.5 EUTHANASIA DIPANDANG DARI SUDUT ETIKA Kematian berdasar Kode Etik Indonesia, antara lain: 1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan bagi mereka yang beriman dengan menyebutkan nama Allah di bibir. 2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya obat penenang 3. Mengakhiri penderitaan hidup orang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. Selain itu, berdasarkan Hak asasi manusia yang selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. 6

Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

2.6 PANDANGAN AGAMA TENTANG EUTHANASIA Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.

2.7 PANDANGAN HUKUM INDONESIA DAN BEBERAPA NEGARA DI DUNIA TENTANG EUTHANASIA 2.7.1 Euthanasia di Indonesia Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter. Pasal 338 KUHP barang siapa dngan sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun. Pasal 340 KUHP Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, di hukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan

hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Pasal 359 Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. Selanjutnya juga dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia. Pasal 345 Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara. 8

2.7.2 Euthanasia di Belanda Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi Negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tidak dapat disembuhkan lagi, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam KItab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002,sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang Belanda, dimana seorang dokter yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

2.7.3 Euthanasia di Australia Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut Right of the terminally ill bill (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali. Dengan demikian menurut aturan hukum di Australia, tindakan euthanasia tidak dibenarkan.

2.7.4 Euthanasia di Belgia Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan birokrasi kematian.

Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika ). Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.

2.7.5 Euthanasia di Amerika Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya. Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. 10

2.6.6 Euthanasia di Swiss Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri. Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

2.6.7 Euthanasia di Inggris Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britains Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor kemungkinan hidup si bayi sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran. Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda). Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga. Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam skenario ini, maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selamalamanya empat tahun penjara.

11

BAB III PEMBAHASAN KASUS

3.1 CONTOH KASUS

Kasus Hasan Kusuma - Indonesia


Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya 3.2 KAJIAN KASUS Pemecahan kasus dilema etis a. Mengidentifikasi dan mengembangkan data dasar Mengidentifikasi dan mengembangkan data dasar yang terkait dengan kasus eutanasia meliputi orang yang terlibat klien, keluarga klien, dokter, dan pihak pengadilan. Seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan untuk melkaukan euthanasia.

12

Mengidentifikasi munculnya konflik Penderitaan nyonya Agian Isna Nauli, 33 tahun, yang tergolek koma selama 2 bulan dan ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan yang menyebabkan Tuan Hassan Kusuma ingin melakukan tindakan eutanasia pada istrinya. Konflik yang terjadi adalah pertama, eutanasia akan melanggar peraturan rumah sakit yang menyatakan kehidupan harus disokong, kedua apabila tidak memenuhi keinginan keluarga klien maka akan melanggar hak-hak klien dalam menentukan kehidupannya.

Menentukan tindakan yang direncanakan Mengajukan permohonan untuk melakukan eutanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengambilan keputusan yang tepat Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di luar keinginan pasien. Menjelaskan kewajiban perawat Kewajiban perawat seperti yang dialami oleh nyonya Agian Isna Nauli adalah tetap menerapkan asuhan keperawatan sebagai berikut: memenuhi kebutuhan dasar klien sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia, mengupayakan suport sistem yang optimal bagi klien seperti keluarga, teman terdekat, dan peer group. Selain itu perawat tetap harus menginformasikan setiap perkembangan dan tindakan yang dilakukan sesuai dengan kewenangan perawat. Perawat tetap mengkomunikasikan kondisi klien dengan tim kesehatan yang terlibat dalam perawatan klien nyonya Agian Isna Nauli.

13

BAB IV PENUTUP

4.1 KESIMPULAN Berbagai praktik kesehatan membawa pengaruh yang berbeda-beda. Hal ini menyangkut hubungan antara perawat dengan klien, baik dalam penanganan yang

menyangkut hidup pasien maupun menyangkut kematian pasien. Ada beberapa praktik kesehatan dimana hal tersebut melanggar etika dalam keperawatan, seperti adanya praktik euthanasia. Euthanasia yang metupakan suatu usaha untuk menghentikan hidup pasien baik dengan dengan persetujuan maupun tidak. Hal-hal seperti ini menyebabkan dilema etik bagi dokter maupun perawat. Dalam membuat keputusan terhadap masalah dilema etik, perawat dituntut dapat mengambil keputusan yang menguntungkan pasien dan diri perawat dan tidak bertentang dengan nilai-nilai yang diyakini klien. Pengambilan keputusan yang tepat diharapkan tidak ada pihak yang dirugikan sehingga semua merasa nyaman dan mutu asuhan keperawatan dapat dipertahankan.

4.2 SARAN Dalam hal ini perawat maupun mahasiswa keperawatan harus berusaha untuk meningkatkan kemampuan profesional secara mandiri dalam menghadapi berbagai masalah dalam dunia keperawatan. Selain itu perawat maupun mahasiswa keperawatan dapat secara bersama-sama menambah ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan suatu dilema etik yang ada saat ini.

14

DAFTAR PUSTAKA

Kozier, B., Erb G., Berman, A., & Snyder S. J. (2004). Fundamentalsof Nursing Concepts Process and Practice. (7th ed). New Jerney: Pearson Education Line. Priharjo, R. (1995). Pengantar Etika Keperawatan. Yogyakarta: Kanisius. Suhaemi, M.E. (2004). Etika Keperawatan: aplikasi pada praktik. Jakarta: EGC Taylor C., & Lemone P. (1997). Fundamentals of Nursing. Philadelphia: Lippincott. www.google.com//euthanasia// Diposkan oleh ummu latiffah di 02:53 pada Senin, 21 Maret 2011

www.wikipedia.co.id//euthansia//

15

You might also like