You are on page 1of 10

A.

Rasio Solvabilitas / Leverage Rasio solvabilitas atau leverage ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh mana aktiva perusahaan dibiaya dengan utang. Artinya berapa besar beban utang yang ditanggung perusahaan dibandingkan dengan aktivanya. Rasio solvabilitas juga digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila perusahaan dibubarkan. Menurut Fred Weston rasio solvabilitas memiliki beberapa implikasi berikut : a. Kreditor mengharapkan ekuitas sebagai marjin keamanan. Artinya jika pemilik memiliki dana yang kecil sebagai modal, risiko bisnis terbesar akan ditanggung oleh kreditor. b. Dengan pengadaan dana melalui utang, pemilik memperoleh manfaat, berupa tetap dipertahankannya penguasaan atau pengendalian perusahaan. c. Bila perusahaan mendapat penghasilan lebih dari dana yang dipinjamkannya dibandingkan dengan bunga yang harus dibayarnya, pengembalian kepada pemilik diperbesar. Dalam praktiknya, apabila dari hasil perhitungan, perusahaan ternyata memiliki rasio solvabilitas yang tinggi, hal ini akan berdampak timbulnya risiko kerugian lebih besar, tetapi juga ada kesempatan mendapat laba juga besar. Begitu pula sebaliknya, apabila rasio solvabilitas yang rendah maka risiko kerugian lebih kecil pula terutama pada perekonomian menurun. Dampak ini juga mengakibatkan rendahnya tingkat hasil pengembalian (return) pada saat perekonomian tinggi. Sehingga manajer keuangan harus mampu menyeimbangkan pengembalian yang tinggi dengan tingkat risiko yang dihadapi. Besar kecilnya rasio ini sangat tergantung pinjaman yang dimiliki perusahaan, di samping aktiva yang dimiliki (ekuitas). Pengukuran rasio solvabilitas dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu : 1. Mengukur rasio-rasio neraca dan sejauh mana pinjaman digunakan untuk permodalan. 2. Melalui pendekatan rasio-rasio laba rugi. Tujuan perusahaan dengan menggunakan rasio solvabilitas, yakni : 1. Untuk mengetahui posisi perusahaan terhadap kewajiban kepada pihak lainnya (kreditor). 2. Untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang bersifat tetap (seperti angsuran pinjaman termasuk bunga). 3. Untuk menilai keseimbangan antara nilai aktiva khususnya aktiva tetap dengan modal. 4. Untuk menilai seberapa besar aktiva perusahaan dibiayai oleh utang. 5. Untuk menilai seberapa besar pengaruh utang perusahaan terhadap pengelolaan aktiva. 6. Untuk menilai atau mengukur berapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan utang jangka panjang.

7. Untuk menilai berapa dana pinjaman yang segera akan ditagih, terdapat sekian kalinya modal sendiri yang dimiliki. Manfaat rasio solvabilitas atau leverage ratio adalah : 1. Untuk menganalisis kemampuan posisi perusahaan terhadap kewajiban kepadanpihak lainnya. 2. Untuk menganalisis kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban yang bersifat tetap. 3. Untuk menganalisis keseimbangan antara nilai aktiva khususnya aktiva tetap dengan modal. 4. Untuk menganalisis seberapa besar aktiva tetap perusahaan dibiayai utang. 5. Untuk menganalisis seberapa besar utang perusahaan berpengaruh terhadap pengelolaan aktiva. 6. Untuk menganalisis atau mengukur berapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan utang jangka panjang. 7. Untuk menganalisis berapa dana pinjaman yang segera akan ditagih ada terdapat sekian kalinya modal sendiri. Dengan rasio solvabilitas perusahaan akan mengetahui beberapa hal berkaitan dengan penggunaan modal sendiri dan modal pinjaman serta mengetahui rasio kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya. Setelah diketahui, manajer keuangan dapat mengambil kebijakan yang dianggap perlu guna menyeimbangkan penggunaan modal. Jadi dari rasio ini kinerja manajemen selama ini akan terlihat apakah sesuai tujuan perusahaan atau tidak. Jenis-jenis rasio solvabilitas antara lain : 1. Debt to asset ratio (debt ratio) Debt ratio merupakan rasio utang yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara total uatng dengan total aktiva. Dari hasil pengukuran, apabila rasionya tinggi artinya pendanaan dengan utang semakin banyak, maka semakin sulit bagi perusahan untuk memperoleh tambahan pinjaman karena dikhawatirkan perusahaan tidak mampu menutupi utang-utangnya dengan aktiva yang dimiliki. Standart pengukuran untuk menilai baik tidaknya rasio perusahaan, digunakan rasio rata-rata industri yang sejenis. Rumusan untuk menghitung debt ratio dapat digunakan sebagai berikut : Total Debt / total utang Total Assets / total aktiva

Debt to asset ratio

Contoh : Komponen Laporan Keuangan Total Aktiva (total assets) Total Utang (total debt) 2005 4.200 2.050 2006 4.000 1.900

Untuk tahun 2005 : Rp. 2.050 = 0,488 dibulatkan (49%) Rp. 4.200 Rasio ini menunjukan bahwa 49% pendanaan perusahaan dibiayai dengan utang untuk tahun 2005. Artinya, bahwa setiap Rp 100,00 pendanaan perusahaan, Rp 49,00 dibiayai dengan utang dan Rp 41,00 disediakan oleh pemegang saham. Jika rata-rata industri 35%, debt to asset ratio perusahaan masih di bawah rata-rata industri sehingga akan sulit bagi perusahaan untuk memperoleh pinjaman. Kondi tersebut juga menunjukan perusahaan dibiayai hampir separuhnya utang. Jika perusahaan bermaksud menambah utang, perusahaan perlu menambah dulu ekuitasnya. Secara teoritis, apabila perusahaan dilikuidasi masih mampu menutupi utangnya dengan aktiva yang dimiliki. Debt to asset ratio = 2. Debt to equity ratio Debt to equity ratio ialah rasio yang digunakan untuk menilai utang dengan ekuitas. Rasio ini berguna untuk mengetahui jumlaah dana yang disediakan peminjam (kreditor) dengan pemilik perusahaan. Jadi rasio ini berfungsi untuk mengetahui setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan untuk jaminan utang. Bagi kreditor semakin besar rasio ini akan semakin tidak menguntungkan karena akan semakin besar risiko yang ditanggung atas kegagalan yang mungkin terjadi di perusahaan. Namun bagi perusahaan justru semakin besar rasio akan semakin baik. Sebaliknya dengan rasio yang rendah, semakin tinggi tingkat pendanaan yang disediakan pemilik dan semakin besar batas pengamanan bagi peminjam jika terjadi kerugian atau penyusutan terhadap nilai aktiva. Rasio ini juga memberikan petunjuk umum tentang kelayakan dan risiko keuangan perusahaan. Debt to equity ratio untuk setiap perusahaan berbeda-beda tergantung karakteristik bisnis dan keberagaman arus kasnya. Perusahaan dengan arus kas yang stabil biasanya memiliki rasio yang lebih tinggi dari rasio kas yang kurang stabil. Rumus untuk mencari debt to equity ratio : Total utang (Debt) Ekuitas (Equity)

Debt to equity ratio Contoh :

Komponen Laporan Keuangan Total Utang (Debt) Total Ekuitas (Equity) Untuk tahun 2005 : Debt to equity ratio =

2005 2.050 2.250

2006 1.900 2.100

Rp 2.050 Rp 2.250

0,911 % (91%)

Rasio ini menunjukan bahwa kreditor menyediakan Rp 91,00 tahun 2005 untuk setiap Rp 100,00 yang disediakan pemegang saham. Atau perusahaan dibiayai oleh utang sebanyak 91%.

Jika rasio rata-rata industri untuk debt to equity ratio sebesar 80%, perusahaan masih dianggap kurang baik karena berada di atas rata-rata industri. 3. Long term debt to equity ratio(LTDtER) LTDtER adalah rasio antara utang jangka panjang dengan modal sendiri. Tujuannya ialah untuk mengukur berapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan utang jangka panjang dengan cara membandingkan antara utang jangka panjang dengan modal sendiri yang disediakan oleh perusahaan. Rumusan mencari long term debt to equity ratio : Long term debt (utang jangka panjang) Equity (modal)

long term debt to equity ratio Contoh :

Komponen Laporan Keuangan Total utang jangka panjang Total equity Untuk tahun 2005 : LTDtER = Rp 1.300 Rp 2.250

2005 1.300 2.250

2006 1.150 2.100

0,577% (58%)

4. 5. 6. 7.

Tangible assets debt coverage Current liabilities to net worth Times interest earned Fixed charge coverage (FCC) FCC atau lingkup biaya tetap merupakan rasio yang menyerupai Times Interest Earned Ratio. Rasio ini dilakukan apabila perusahaan memperoleh utang jangka panjang atau menyewa aktiva berdasarkan kontrak sewa (Lease Contract). Rumusan mencari FCC : Earning before tax + biaya sewa + kewajiban sewa/lease Fixed charge coverage = Biaya bunga + kewajiban sewa/lease Contoh : Komponen Laporan Keuangan 2005 2006 Earning Before Tax (EBT) 1.620 1.130 Biaya Bunga 180 170 Kewajiban sewa/lease 40 30 Untuk tahun 2005 : FCC = 1.650 + 180 + 40 180 + 40 2.130 + 170 + 30 170 + 30 = 8,5 kali

Untuk tahun 2006 : FCC = = 11,65 kali (12 kali)

Seandainya rata-rata industri untuk Fixed charge coverage adalah 10 kali, untuk tahun 2005, hanya 8,5 tahun dan ini dinilai kurang baik karena masih di bawah rata-rata industri dan tentu menyulitkan perusahaan akan memperoleh pinjaman. Sementara itu, untuk tahun 2006 dengan rasio 12 kali dianggap cukup baik karena berada di atas rata-rata industri sehingga memudahkan perusahaan untuk memperoleh pinjaman. B. Rasio Profitabilitas Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat efektivitass manajemen suatu perusahaan. Ini juga ditunjukan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi. Jadi penggunaan rasio ini menunjukan efisiensi perusahaan. Tujuan penggunaan rasio profitabilitas : 1. Untuk mengukur atau menghitung laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode tertentu. 2. Untuk menilai posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang. 3. Untuk menilai perkembangan laba dari waktu ke waktu. 4. Untuk menilai besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. 5. Untuk mengukur produktivitas seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal pinjaman maupun modal sendiri. 6. Untuk mengukur produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal sendiri. Manfaat penggunaan rasio profitabilitas : 1. Mengetahui besarnya tingkat laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode. 2. Mengetahui posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang. 3. Mengetahui perkembangan laba dari waktu ke waktu. 4. Mengetahui besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. 5. Mengetahui produktifitas dari seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal sendiri maupun modal pinjaman. Jenis-jenis rasio profitabilitas : 1. Profit margin (profit margin on sales) Rasio margin laba atas penjualan merupakan salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur margin laba atas penjualan. Terdapat dua rumus untuk mencari profit margin, yaitu : a. Untuk margin laba kotor dengan rumus : Penjualan bersih harga pokok penjualan Profit margin = sales Contoh : Komponen Laporan Keuangan 2005 2006 Penjualan (sales) 5.950 5.550 Harga pokok penjualan 4.050 3.850

Untuk tahun 2005 : 5.950-4.050 = 0, 319 dibulatkan (32%) 5.950 Jika rata-rata industri untuk profit margin adalah 30%, margin laba perusahaan tahun 2005 baik karena berada di atas rata-rata industri. Profit margin = b. Untuk margin laba bersih dengan rumus : Earning after interest and tax (EAIT) Net profit margin = Sales Contoh : Komponen Laporan Keuangan 2005 2006 Penjualan (Sales) 5.950 5.550 Earning After Interest and Tax (EAIT) 1.296 904 Untuk tahun 2005 : Net profit margin Untuk tahun 2006 : Net profit margin = Rp 906 Rp 5.550 = 0,1628 dibulatkan (16,3%) = Rp 1.296 Rp 5.950 = 0,2178 dibulatkan (21,8%)

Jika rata-rata industri untuk net profit margin adalah 20%, margin laba perusahaan untuk tahun 2005 sebesar 21,8% baik karena berada di atas rata-rata industri. Namun, untuk tahun 2006 dengan margin laba hanya sebesar 16,3% dapat dikatakan kurang baik karena masih di bawah rata-rata industri. Ini juga berarti harga barang-barang perusahaan ini relatif rendah atau biaya-biayanya relatif tinggi atau keduanya. 2. Hasil Pengembalian Investasi / Return on investment (ROI) ROI adalah rasio yang menunjukan hasil (return) atas jumlah aktiva yang digunakan dalam perusahaan. ROI juga merupakan suatu ukuran tentang efektivitas manajemen dalam mengelola investasinya. Hasil pengembalian investasi menunjukan produktivitas dari seluruh dana perusahaan, baik modal sendiri maupun pinjaman. Semakin kecil rasio ini maka semakin kurang baik, demikian pula sebaliknya. Artinya rasio ini digunakan untuk mengukur efektivitas dari keseluruhan operasi perusahaan. Rumus mencari Return on Investment : Earning After Interest and Tax Return On Investment (ROI) = Total assets Contoh : Komponen Laporan Keuangan 2005 2006 Laba sesudah bunga dan pajak (EAIT) 1.296 904 Total aktiva 4.200 4.000

Untuk tahun 2005 : Return On Investment = 1.296 =0,308 dibulatkan (31%) 4200 Untuk tahun 2006 : Return On Investment = 904 = 0,226 dibulatkan (23%) 4.000 Perhitungan ROI tahun 2005 menunjukkan bahwa tingkat pengembalian investasi yang diperolehnya sebesar 31%. Kemudian, pada tahun 2006 turun menjadi hanya sebesar 23%. Artinya, hasil pengembalian investasi berkurang sebesar 8% dan ini menunjukkan ketidakmampuan manajemen untuk memperoleh ROI. Jika rata-rata industri untuk return on investment adalah 30%, berarti margin laba perusahaan untuk tahun 2005 cukup baik, kecuali tahun 2006 sebesar 23%, masih dibawah rata-rata industri. Rendahnya rasio ini disebabkan rendahnya margin laba karena rendahnya perputaran aktiva. 3. Hasil Pengembalian Investasi (ROI) Dengan Pendekatan Du Pont Untuk mencari hasil pengembalian investasi, selain dengan cara yang sudah dikemukakan di atas, dapat pula kita menggunakan pendekatan Du Pont. Hasil yang diperoleh antara cara seperti rumus di atas dengan pendekatan Du Pont adalah sama. Berikut ini adalah cara mencari hasil pengembalian investasi dengan pendekatan Du Pont ROI = Margin Laba Bersih x Perputaran total aktiva Berikut adalah contoh data pengukuran yang digunakan di ambil dari perhitungan rasio sebelumnya untuk tahun 2005 dan tahun 2006. Komponen hasil perhitungan rasio 2005 2006 Hasil pengembalian investasi (ROI) 30,8% 22,6% Margin Laba Bersih 21,78% 16,28% Perputaran total aktiva 1,416 kali 1,387 kali Dengan demikian, hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut 1. Untuk tahun 2005 ROI = Margin laba bersih x Perputaran total aktiva 30,8% = 21,78% x 1,416 Catatan: Hasil tersebut dibulatkan 2. Untuk tahun 2006: ROI = Margin laba bersih x Perputaran total aktiva 22,6% = 16,28% x 1,387 Catatan: Hasil tersebut dibulatkan 4. Hasil Pengembalian Ekuitas (Return on equity /ROE)

Hasil pengembalian ekuitas atau return on equity atau rentabilitas modal sendiri merupakan rasio untuk mengukur laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. Rasio ini menunjukkan efisiensi penggunaan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ini, semakin baik. Artinya posisi pemilik perusahaan semakin kuat, demikian pula sebaliknya. Rumus untuk mencari Return on Equity (ROE) dapat digunakan sebagai berikut. Return on Equity (ROE) = Earning After Interest and Tax Equity Contoh: Komponen Laporan keuangan 2005 EAIT 1.296 Total Equity 2.250

2006 904 2.100

Untuk tahun 2005: Return on Equity (ROE) = 1.296 = 57,6 dibulatkan (58%) 2.250 Untuk tahun 2006: Return on Equity (ROE) = 904 = 43 2.100 Perhitungan ROI tahun 2005, menunjukkan bahwa tingkat pengembalian investasi yang diperolehnya sebesar 58%. Kemudian, tahun 2006 turun menjadi hanya sebesar 43%. Artinya hasil pengembalian investasi berkurang sebesar 15% dan ini menunjukkan ketidakmampuan manajemen untuk seiring dengan menurunnya ROI. Namun, jika rata-rata industri untuk ROE adalah 40%, berarti kondisi perusahaan cukup baik karena keduanya masih di atas rata-rata industri. 5. Hasil Pengembalian Ekuitas (ROE) Dengan Pendekatan Du Pont Sama dengan ROI, untuk mencari hasil pengembalian ekuitas, selain dengan cara yang sudah dikemukakan di atas, juga dapat pula digunakan pendekatan Du Pont. Hasil yang diperoleh antara cara seperti rumus di atas dengan pendekatan Du Pont adalah sama. Berikut ini adalah cara untuk mencari hasil pengembalian ekuitas dengan pendekatan Du Pont, yaitu sebagai berikut. ROE = Margin laba bersih x perputaran total aktiva x pengganda ekuitas Berikut adalah contoh data pengukuran yang digunakan diambil dari perhitungan rasio sebelumnya untuk tahun 2005 dan tahun 2006. Dengan demikian, hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut. Komponen perhitungan 2005 2006 rasio ROE 57,6% 43%

Margin laba bersih Perputaran total aktiva Total aktiva/ekuitas

21,78% 1,416 kali 4.200/2.250 = 1,866 kali

16,28% 1,387 kali 4.000/2.100 = 1,904 kali

Dengan demikian hasil yang diperoleh: 1. Untuk tahun 2005 ROE = Margin laba bersih x Perputaran total aktiva x pengganda ekuitas 57,6% = 21,78% x 1,416 x 1,866 Catatan: Hasil tersebut dibulatkan 2. Untuk tahun 2006: ROE = Margin laba bersih x Perputaran total aktiva x pengganda ekuitas 43% = 16,28% x 1,387 x 1,904 Catatan: Hasil tersebut dibulatkan 6. Laba per lembar saham biasa (Earning per Share of Common Stock) Rasio laba per lembar saham atau disebut juga rasio nilai buku merupakan rasio untuk mengukur keberhasilan manajemen dalam mencapai keuntungan bagi pemegang saham. Rasio yang rendah berarti manajemen belum berhasil untuk memuaskan pemegang saham, sebaliknya dengan rasio yang tinggi, kesejahteraan pemegang saham meningkat. Dengan pengertian lain, tingkat pengembalian yang tinggi. Keuntungan bagi pemegang saham adalah jumlah keuntungan setelah dipotong pajak. Keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham biasa adalah jumlah keuntungan dikurangi pajak, dividen, dan dikurangi hak-hak lain uuntuk pemegang saham prioritas. Rumus untuk mencari laba per lembar saham biasa adalah sebagai berikut. Laba per Lembar Saham = Laba saham biasa Saham biasa yang beredar 2005 1.296.000 1.600 2006 904.000 1.600

Contoh: Komponen Laporan keuangan Keuntungan Jumlah saham biasa yang beredar

Untuk tahun 2005: Laba Per Lembar Saham = 1.296.000 = Rp.810,00 1.600 Untuk tahun 2006: Laba Per Lembar Saham = 904.000 = Rp.565,00 1.600 Dari hasil perhitungan tersebut di atas, terlihat bahwa kesejahteraan pemegang saham menurun, sehubungan dengan menurunnya laba per lembar saham yang dihasilkan perusahaan. Penurunan ini cukup lumayan besar, yaitu Rp. 255,00 per lembar saham.

Apabila di dalam perusahaan tersebut, di samping saham biasa, juga terdapat saham prioritas, kita dapat menentukan mana yang menjadi hak pemegang saham prioritas setelah dikurangkan dari laba yang diperoleh. Baru kemudian menghitung laba per lembar masing-masing saham.

You might also like