You are on page 1of 4

Satu Tahun Moratorium: Tantangan Yang Takterjawab

Disiapkan Oleh : Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi

Kehutanan : Rumah Konflik Bagi Warga Miskin dan Warga Rentan (Pembelajaran dari Jambi)
Bicara soal konflik tak akan pernah ada habisnya. Begitupun konflik di sector Kehutanan Indonesia. Dari catatan Yayasan CAPPA dalam pengelolaan SDA konflik disektor Kehutanan yang terjadi di provinsi Jambi menempati rating kedua setelah konflik di sector perkebunan. Selama rentang waktu 2 tahun (2010-2011) sedikitnya tercatat ada 57 konflik yang melibatkan masyarakat baik masyarakat miskin dan rentan dengan total luas lahan konflik mencapai 196,879 ha. Data konflik dapat dilihat dalam gambar berikut:
25 20 15 10 5 0

Tahun 2010 Tahun 2011

Sumber : Yayasan CAPPA, 2011

Pembakaran rumah petani karena diangap merambah kawasan hutan

Tidak pernah ada upaya serius dari pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik, sehingga upaya penyelesaian konflik yang sering ditempuh hanya terkesan pemenuhan atas kewajiban secara legal formal dengan menggunakan pendekatan legal formal yang tidak akan pernah menjawab substansi persoalan dan justru berujung pada tindakan-tindikan represif dan kriminalisasi. Dari catatan Yayasan CAPPA selama tahun 2010-2011 sedikitnya tercatat 13 orang warga yang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi dalam proses penyelesaian konflik lahan di sector Kehutanan baik melibatkan Taman Nasional, Inisiatif Restorasi dan Hutan Tanaman Industri. Alhasil, strategi penyelesaian konflik yang dilakukan tidak pernah mampu menyelesaikan persoalan hingga akar-akarnya.

Moratorium Hutan Senjata Hampa Tanpa Peluru


Kesepakatan kerja sama bilateral Indonesia Norwegia dalam menjalankan komitmen penyelamatan iklim dengan menekan laju deforestasi hutan berdampak terhadap lahirnya satu kebijakan yang sangat penting disektor Kehutanan. Yaitu munculnya kebijakan Moratorium Hutan yang direncanakan akan dijalankan selama 2 tahun terhitung sejak 1 Januari 2011 hingga 31 Desember 2012. Sasaran utama moratorium adalah hutan primer dan hutan rawa gambut. Meskipun gagasan Moratorium ini sudah mulai digaungkan sejak tahun 80-an tapi Kegamangan pemahaman dan cara pandang terkait moratorium masih saja terjadi sehingga satu tahun berjalannya inisiatif Moratorium belum ada hasil signifikan yang dapat disumbangkan dalam upaya menekan laju deforestsi dan penyelamatan iklim serta perbaikan tata kelola Kehutanan. Konsep moratorium terkesan Generik, hanya melihat gejala yang timbul tanpa mampu membedah akar persoalan secara mendasar. Moratorium hanya dilihat sebagai instrument penyelamat hutan dengan menekan laju deforestasi terukur yang diharapkan mampu menekan laju emisi GRK pada titik tertentu. Pemahaman yang Generik tersebut tentulah tidak akan pernah mampu menjawab persoalan kompleks Kehutanan yang penuh dengan persoalan yang masih bersifat laten. Konsep moratorium yang sejak semula diharapkan mampu menjadi intrumen dan alat bagi penyelamatan hak warga miskin dan rentan ternyata belum mampu memberikan efek yang signifikan dalam upaya penyelamatan hak warga miskin dan rentan. Sepanjang pelaksanaan moratorium, kekerasan, kriminalisasi serta kemerosotan hak ekologi bagi warga miskin dan rentan masih terus terjadi. Selain itu, kebijakan moratorium yang ditentukan dengan model top- down yang tidak mempertimbangkan kapasitas daerah dalam melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan ditingkat lapang tidak mampu menekan laju deforestasi hutan primer dan hutan rawa gambut. Konversi hutan gambut dan penebangan hutan alam primer untuk pembangunan hutan tanaman industry justru terjadi secara massif bersamaan dengan pelaksanaan moratorium yang digaas pemerintah Indonesia. Sebagai contoh, PT. WKS di provinsi Jambi masih terus melakukan pembabatan lahan gambut untuk kepentingan pembangunan Hutan Tanaman, PT. ALN masih terus mealakukan penebangan kayu dari hutan primer dalam rangka penyiapan lahan untuk hutan tanaman industry serta proyek-proyek konservasi yang digadang-gadangkan sebagai proyek penyelamat iklim juga masih terus melakukan upaya kriminalisasi, kekerasan dan intimidasi terhadap warga miskin dan warga rentan yang tinggal di sekitar dan didalam kawasan hutan.

Aktivitas Land Clearing PT. ALN

Aktivitas Land Clearing PT. WKS di lahan Gambut

Moratorium bukan jawaban atas: Konflik, Keselamatan Warga dan Pemenuhan Hak Ekologi Warga
Dengan melihat intensitas konflik disektor Kehutanan dengan grafik yang terus menanjak dan korban yang terus berjatuhan bersamaan dengan pelaksanaan kebijakan moratorium yang terus bergulir, menunjukkan bahwa Kebijakan Moratorium belum siap dijadikan sebagai salah satu model resolusi konflik. Kebijakan moratorium belum melihat konflik sebagai hal yang penting, tetapi hanya melihat konflik sebagai bagian kecil dari buruknya tata kelola Kehutanan di Indonesia. Kebijakan moratorium juga tidak mampu membongkar persoalan disektor Kehutanan secara mendasar. Selain konflik, Kebiajkan Moratorium juga belum melihat bahwa penyelamatan warga miskin dan warga rentan menjadi hal utama yang harus disiapkan mekanismenya. Dengan kata lain, memperjuangkan keselamatan warga bukan hal utama yang dibicarakan dalam kebijakan moratorium hutan. Kebijakan moratorium hanya bicara bagaimana proteksi kawasan hutan, dengan melihat intrumen didalamnya sebagai objek yang secara otomatis akan terproteksi jika kawasan hutan dapat diproteksi. Tapi tidak berbicara bagaimana pemulihan hak ekolgi warga pada kawasan-kawasan yang menjadi sasaran implementasi kebijakan ini. Tidak ada jawaban yang pasti atas hak pangan berkelanjutan, air bersih dan Lingkungan yang sehat bagi warga yang berada disekitar objek moratorium. Artinya Moratorium belum mampu memberikan jawasa atas kepastian penyelesaian konflik, jaminan atas keselamatan warga dan pemulihan hak ekologi warga rentan yang berada didalam dan disekitar kawasan hutan.

You might also like