You are on page 1of 11

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT. Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga. Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabdaPernikahan itu merupakan suatu akad untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diridhoi oleh Allah SWT. Dari pengertian itu dapat kita ketahui bawasanya untuk menciptakan kehidupan keluarga yang yang bahagia , kemudian menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan, membangun rumah tangga yang tentram atas dasar cinta dan kasih saying, sebagaimana yang dianjurkan Allah SWT dalam surat Ar-Rum, 21 :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Dari segi agama Islam syarat sahnya perkawinan penting sekali terutama untuk menentukan sejak kapan sepasang pria dan wanita itu dihalalkan melakukan hubungan kelamin sehingga terbebas dari dosa perzinaan. Zina merupakan
1

perbuatan yang sangat kotor dan dapat merusak kehidupan manusia. Oleh sebab itu dalam agama Islam zina adalah perbuatan dosa besar yang bukan saja menjadi urusan pribadi yang bersangkutan dengan Tuhan belaka tetapi juga termasuk kejahatan (pidana) di mana negara melindungi dan wajib memberi sanksi-sanksi terhadap yang melakukannya. Apalagi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam maka hukum Islam sangat memengaruhi sikap moral dan kesadaran hukum masyarakatnya. Faktor di atas antara lain yang menjadikan agama Islam menggunakan azas atau tata cara perkawinan yang sederhana, dengan tujuan agar seseorang tidak terjebak atau terjerumus ke dalam perzinaan. Tata cara yang sederhana itu nampaknya sejalan dengan Undang-Undang No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi:
Perkawinan adalah sah apabila di lakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Perkawinan sudah sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Bertemunya rukun dengan syarat inilah yang menentukan syahnya suatu perbuatan secara sempurna. Adapun yang termasuk dalam rukun perkawinan adalah sebagai berikut: 1. Pihak-pihak yang melaksanakan aqad nikah yaitu mempelai pria dan wanita 2. Adanya aqad (sighat) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan atau wakilnya (ijab) dan diterima oleh pihak laki-laki atau wakilnya (qabul). 3. Adanya wali dari calon istri 4. Adanya dua orang saksi Apabila salah salah satu rukun itu tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan dianggap tidak pernah ada perkawinan. Dengan demikian apabila keempat rukun itu sudah terpenuhi maka perkawinan yang dilakukan sudah dianggap sah. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas salah satu sistem kawin, yaitu kawin gantung. Kami akan menelaah apakah kawin gantung itu sah dimata hukum maupun didepan agama (Islam).

B. Identifikasi Masalah 1. Bagaimana kesahan dari kawin gantung itu sendiri? 2. Apakah akibat dari kawin gantung yang terjadi di Indonesia?
2

BAB II TINJAUAN TEORITIS

PERKAWINAN MENURUT PERUNDANGAN Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.1 Sahnya perkawinan menurut perundangan diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU no.1 Tahun 1974, yang menyatakan, Perkawinan adalah sah apabila di lakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.2 Selain itu, syarat sahnya perkawinan disebutkan pula dalam pasal 2 ayat (2) yang menyebutkan bahwa perkawinan itu harus dicatatkan pada lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.

PERKAWINAN MENURUT AGAMA (ISLAM)

Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang. Perkawinan dalam bahasa arab adalah nikah yang mempunyai arti luas, akan tetapi dalam Hukum Islam mempumyai arti tertentu. Nikah adalah suatu perjanjian

1 2

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta : Rineka Cipta, 2005, hal. 7 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,

Hukum Agama, Bandung : CV Mandar Maju, 2007, hal. 25 3

untuk mengesahkanhubungan kelamin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk melanjutkan keturunan.3 Dalam ikatan perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian suci antara seorang pria dan seorang wanita, yang mempunyai segi-segi perdata, berlaku beberapa asas, diantaranya adalah (1) kesukarelaan, (2) persetujuan kedua belah pihak, (3) kebebasan memilih, (4) kemitraan suami-isteri, (5) untuk selama-lamanya, dan (6) monogami terbuka (karena darurat).4

PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT Apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkawinan adat. Ini adalah suatu bentuk hidup bersama yang lenggeng lestari antara seorang pria dan wanita yang diakui oleh persekutuan adat dan yang diarahkan pada pembantu dan keluarga. Berkenan dengan adanya hubungan yang tepat dari topik ini, maka menurut Hukum Adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan Perdata tetapi juga merupakan Perikatan Adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan kekeluargaan, dan kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya (Ibadah) maupun hubungan manusui dengan manusia (MuAmalah) dalam pergaulan hidup agar selamat didunia dan selamat di Akhirat.5 Menurut Hukum Adat di Indonesia perkawinan itu dapat berbentuk dan

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan Di

Indonesia, Surabaya : Airlangga University Press, 2006, hal. 27


4

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1998, hal. 139


5

Hilman Hadikusuma, op. cit., hal.8 4

bersistim perkawinan jujur dimana pelamaran dilakukan pihak pria kepada pihak wanita dan setelah perkawinan, isteri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami hal ini biasa dijumpai di (Bantul, Lampung, Bali) kemudian Perkawinan Semanda dimana pelamar dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman istri hal ini bisa dijumpai didaerah (Minangkabau, Semendo Sumatera Selatan) dan perkawinan bebas yaitu di (Jawa, Mencur, Mentas) dimana pelamaran dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan kedua suami istri bebas menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka, menurut kehendak mereka, yang terakhir ini banyak berlaku dikalangan masyarakat keluarga yang telah maju (Modern).

BAB II ANALISIS DAN PEMBAHASAN MENGENAI KAWIN GANTUNG Kawin gantung menurut kamus bahasa Indonesia adalah perkawinan yg sudah sah, tetapi suami dan istri belum boleh serumah (masih tinggal di rumah masing-masing) atau perkawinan yg belum diresmikan penuh (pengesahannya ditunda setelah dewasa). Menurut Syaifuddin Amsir, kawin gantung antara dua manusia, laki-laki dan perempuan yang masih kecil atau di usia yang setara secara agama (syar'i) dimaksudkan agar saat dewasa tetap pada pasangannya dan tidak berjodoh dengan orang lain, beliau juga menambahkan bahwa kawin gantung belum memiliki akibat hukum sebagaimana nikah pada umumnya kecuali dalam hak waris dan pemberian nafkah, menurut sebagian ulama. Sementara soal bersetubuh bagi keduanya harus menunggu sampai kuat disetubuhi, Ditambahkan, jika di usia dewasa keduanya saling tidak merasa cocok, maka keduanya bisa mengambil jalan bercerai. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia membolehkan kawin gantung dengan syarat terdapat maslahah dan ijab kabul dilakukan wali mujbir serta memenuhi syarat dan rukun nikah. Keputusan membolehkan kawin gantung menjadi hasil sidang komisi Bahsul Masail Diniyah Waqi'yah muktamar NU ke-32, Jumat, 26 Maret. Kawin gantung merupakan pernikahan anak di bawah umur untuk mengikat agar anak tidak berjodoh dengan orang lain bila sudah dewasa. Diperbolehkannya perkawinan ini karena melihat fenomena di beberapa daerah di Indonesia, di mana anak laki-laki yang masih berumur sepuluh tahun dan baru duduk di kelas 4 SD, dikawinkan dengan seorang anak perempuan yang juga masih kecil. Namun perkawinan kedua anak itu tidak didaftarkan ke Kantor urusan Agama (KUA) setempat. Pada kebanyakan kasus kawin gantung, rukun nikah dalam Islam memang sudah terpenuhi. Ijab kabul sudah dilakukan baik oleh penganti kecil itu sendiri maupun oleh walinya. Begitu pula dengan rukun nikah lainnya seperti mahar dan saksi. Selama ini, masih ada pertentangan di antara masyarakat, pemerintah, bahkan ulama mengenai kawin gantung. Perdebatan paling krusial ada sah atau
6

tidaknya kawin gantung menurut hukum Islam, batasan usia perkawinan laki-laki dan perempuan, serta akibat hukum dalam kawin gantung pada pengantin kecil. Meski sempat ada perdebatan kecil, seluruh anggota sidang sepakat bahwa menurut hukum Islam, kawin gantung adalah sah jika terdapat maslahah (sesuatu yang mendatangkan kebaikan) dan ijab kabul dilakukan oleh wali. Namun masalah batasan usia perkawinan menjadi perdebatan yang cukup panjang. Pimpinan sidang dan tim perumus menyatakan bahwa dalam Islam tidak ada batasan usia perkawinan. Namun peserta sidang memiliki pendapat lain. Beberapa di antara mereka menyatakan bahwa ada dalil yang menyebutkan bahwa batas usia perkawinan adalah saat kedua pengantin mencapai usia baligh akan tetapi hal ini bisa bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 1974 yaitu izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan apabila belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat 2) ; umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (pasal 7 ayat 2) ; Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada didalam kekuasaan orang tua (pasal 47 ayat 1) ; anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya, berada dibawah kekuasaan wali (pasal 50 ayat 1), dan UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa seseorang dikatakan dewasa jika usianya (tanpa membedakan jenis kelamin) minimal 18 tahun. Dengan demikian, seseorang yang usianya kurang dari atau di bawah 18 tahun kategorinya masih kanak-kanak. Selain itu, dalam UU Perlindungan Anak juga disebutkan bahwa orangtua harus mencegah terjadinya perkawinan di usia kanakkanak, artinya pernikahan di bawah 18 tahun (Pasal 26). Ini berarti, dalam UU Perlindungan Anak perkawinan baru dibolehkan jika anak sudah berusia minimal 18 tahun, tanpa membedakan jenis kelamin. Namun pada akhirnya sidang tersebut memutuskan bahwa tidak ada batasan usia perkawinan dalam Islam menurut Jumhul Ulama, namun sebaiknya perkawinan ditangguhkan sampai kedua mempelai beranjak baligh. Jadi, kawin gantung diperbolehkan secara hukum Islam tetapi tidak dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, karena berdasarkan UU perkawinan dan UU perlindungan anak terdapat batasan mengenai umur dari pihak yang akan melangsungkan perkawinan, sebenarnya jika hanya sebatas perjanjian berdasarkan kesepakatan keluarga kedua pihak saja maka tidak akan menimbulkan masalah
7

yang berhubungan dengan hukum di Indonesia tetapi apabila dilangsungkan perkawinan maka perkawinan gantung tersebut dianggap batal demi hukum. Pertanyaan lain yang menjadi bahasan adalah akibat hukum dalam kawin gantung. Akibat hukum dari terjadinya suatu akad perkawinan yang sah menurut Hukum Islam adalah sebagai berikut6 : 1. Kehalalan bersenang-senang dan perhubngan kelamin antara suami dan isteri. 2. Tetapnya keharaman kawin karena persemendaan. 3. Menjadi tetapnya hak mahar bagi isteri yang wajib atas suami. 4. Timbulnya kewajiban pada suami terhadap isteri baik bersifat materiil maupun immateriil disamping timbulnya hak pada suami yang wajib ditunaikan oleh isteri. 5. Timbulnya kewajiban isteri terhadap suami, disamping timbulnya hak isteri yang harus ditunaikan oleh suami. 6. Tetapnya nasab anak bagi suami karena akad perkawinan yang sah. 7. Dengan terjadinya akad perkawinan yang sah maka syarat dan janji tetap berlaku dan wajib ditepati oleh keduanya serta mengikat keduanya. 8. Timbulnya keharaman bagi isteri untuk kawin dengan laki-laki lain. 9. Menjadi tetapnya hak mewaris diantara keduanya. Dalam perkawinan pada umumnya akibat hukum seperti kewajiban suami menafkahi, kewajiban istri taat kepada suami, halalnya bersetubuh, dan hak waris ketika salah satunya meninggal jelas berlaku. Namun untuk kawin gantung, usia dini dari para mempelai jelas menjadi pertimbangan tersendiri dan faktor inilah yang menjadi permasalahan karena berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia pihak yang akan melakukan kawin gantung dianggap belum cakap untuk melangsungkan perkawinan dan tidak terpenuhinya syarat-syarat dalam perkawinan.

Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta : Binacipta, 1976, hal. 53 8

BAB IV KESIMPULAN

1. Kawin gantung diperbolehkan secara hukum Islam tetapi tidak dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, karena berdasarkan UU perkawinan dan UU perlindungan anak terdapat batasan mengenai umur dari pihak yang akan melangsungkan perkawinan, sebenarnya jika hanya sebatas perjanjian berdasarkan kesepakatan keluarga kedua pihak saja maka tidak akan menimbulkan masalah yang berhubungan dengan hukum di Indonesia tetapi apabila dilangsungkan perkawinan maka perkawinan gantung tersebut dianggap batal demi hukum. 2. Dalam perkawinan pada umumnya akibat hukum seperti kewajiban suami menafkahi, kewajiban istri taat kepada suami, halalnya bersetubuh, dan hak waris ketika salah satunya meninggal jelas berlaku. Namun untuk kawin gantung, usia dini dari para mempelai jelas menjadi pertimbangan tersendiri dan faktor inilah yang menjadi permasalahan karena berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia pihak yang akan melakukan kawin gantung dianggap belum cakap untuk melangsungkan perkawinan dan tidak terpenuhinya syarat-syarat dalam perkawinan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1998 Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung : CV Mandar Maju, 2007 Hamid, Zahri, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta : Binacipta, 1976 Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan Di Indonesia, Surabaya : Airlangga University Press, 2006 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta : Rineka Cipta, 2005

10

DISKUSI

1. Lalu apakah sah kawin gantung itu sendiri? Apakah dasar hukumnya dalam Hukum Islam? JAWAB : Seperti yang telah kami paparkan sebelumnya, kawin gantung diperbolehkan secara hukum Islam tetapi tidak dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, karena berdasarkan UU perkawinan dan UU perlindungan anak terdapat batasan mengenai umur dari pihak yang akan melangsungkan perkawinan, sebenarnya jika hanya sebatas perjanjian berdasarkan

kesepakatan keluarga kedua pihak saja maka tidak akan menimbulkan masalah yang berhubungan dengan hukum di Indonesia tetapi apabila dilangsungkan perkawinan maka perkawinan gantung tersebut dianggap batal demi hukum. Dasar Hukumnya dalam Hukum Islam adalah Hadist.

2. Apabila salah satu pihak meninggal dunia, apakah pihak yang ditinggalkan akan mendapatkan warisan? JAWAB : Tidak. Karena kawin gantung ini terjadi antara dua orang yang masih dibawah umur, maka perkawinan ini tentu saja tidak bisa disamakan dengan perkawinan pada umumnya. Dalam perkawinan pada umumnya akibat hukum seperti kewajiban suami menafkahi, kewajiban istri taat kepada suami, halalnya bersetubuh, dan hak waris ketika salah satunya meninggal jelas berlaku. Namun untuk kawin gantung, usia dini dari para mempelai jelas menjadi pertimbangan tersendiri. Anak yang melakukan perkawinan gantung, pria atau wanita, setelah dinyatakan sah melakukan perkawinan gantung, akan langsung dikembalikan kepada pihak orang tua dan kembali menjadi tanggungan orang tua. Artinya, pihak suami maupun pihak istri belum mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana suami-istri yang sebenarnya sebelum mereka menginjak umur yang semestinya.

11

You might also like