You are on page 1of 7

Debt Service Ratio (DSR) Debt Service Ratio (DSR) adalah jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok

utang luar negeri jangka panjang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor. Jika DRS semakin besar, maka beban utang luar negeri semakin berat dan serius. Namun, makna dari besarnya angka DSR ini tidak mutlak demikian, sebab ada negara yang DSR-nya 40%, tetapi relatif tidak menemui kesulitan dalam perekonomian nasionalnya. Sebaliknya, bisa terjadi suatu negara dengan DSR yang hanya sebesar kurang dari 10% menghadapi kesulitan yang cukup serius dalam perekonomiannya. Selama ada keyakinan dari negara kreditur (investor) bahwa telah terjadi perkembangan ekonomi yang baik di negara debiturnya, maka pembayaran kembali pinjaman diprediksikan akan dapat diselesaikan dengan baik oleh negara debitur. Rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB terus menurun. Pada 1998 tercatat sebesar 150 persen, kemudian menurun menjadi 46,5 persen pada 2005 dan terus menurun lagi sampai tahun 2008 menjadi 30,1 persen, walaupun sempat mengalami sedikit kenaikan pada tahun 2009 menjadi 31,8 persen, namun pada akhir tahun 2010 kembali mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi 28,7 persen. Nilai rasio utang pemerintah terhadap PDB yang moderat merupakan cerminan dari kebijakan fiskal yang efisien dan berhati-hati. Rasio utang terhadap ekspor juga mengalami penurunan secara signifikan dari 124,3 persen pada 2005 menjadi 93,5 persen pada tahun 2008 persen pada 2008 dan kemudian naik lagi pada tahun 2009 menjadi 121,4 persen lalu pada tahun 2010 turun menjadi 112,6 persen. Pada periode yang sama, Debt Service Ratio Indonesia terlihat berfluktuasi. Pada 2005 Debt Service Ratio mencatat angka 17,3 persen, kemudian pada tahun berikutnya naik menjadi 25 persen, kemudian mengalami penurunan menjadi 18,1 persen pada tahun 2008. Kemudian naik lagi pada tahun berikutnya menjadi 23,1 persen dan pada akhir periode tahun 2010 angkanya menjadi 20,6 persen

Sumber: http://id.shvoong.com/exact-sciences/agronomy-agriculture/2274568-debt-service-ratiodsr/#ixzz1vWjeAqYb

Abstrak Dalam menjalankan pemerintahan, setiap Negara membutuhkan dana yang besar yang bakal digunakan untuk tujuan kemakmuran rakyatnya. Dana tersebut pada umumnya didapat dari pendapatan Negara yang dihasilkan dari berbagai macam sumber. Seperti dari ekspor barang dan jasa, pajak, serta sumber lain yang dapat dihasilkan. Namun tidak semua Negara dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan Negara dari pendapatannya. Terutama pada Negara- Negara berkembang (termasuk Indonesia), mereka harus memutar otak untuk mencukupi deficit anggaran. Salah satu cara guana memenuhi deficit anggaran adalah dengan melekukan pinjaman atau utang baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

1. Pendahuluan Pembangunan suatu bangsa sangat diperlukan untuk mencapai kemakmuran rakyat. Yang mana kemakmuran rakyat merupakan tujuan utama dari sebuah bangsa. Kemakmuran tersebut tidak serta merta tercapai hanya dengan obrolan warung kopi saja, namun dilakukannya bermacam tindakan yang nyata. Tindakan tersebut dapat berupa menyelenggarakan pembangunan di bidang sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, kesehatan, perekonomian, dan sector lainnya.

Hal di atas sering kali terbentur dengan kurangnya anggaran yang di dapat untuk membiayai pembangunan. Untuk itu, Negara mengambil kebijakan hutang kepada pihak lain walaupun ini merupakan solusi jangka pendek. Namun jika hutang tersebut dapat dikelola dengan baik, maka akan berdampak positif pada perekonomian suatu Negara secara keseluruhan. dari dulu, masalah hutang luar negeri sudah menjadi perdebatan klasik, baik secata teoritis maupun praktis. Tercatat dalam sejarah dunia teleh terjadi krisis hutang yang hebat, antara lain tahun 1930-an, 1980-an, 1990-an, hingga sekarang ini yang melanda amerika dan Yunani di Eropa. Indonesia sendiri, pembiayaan pembangunan tidak dapat spenuhnya terpenuhi dari APBN semata. Namun, sebagian pembiayaan pembangunan terpenuhi dari dana pinjaman yang jumlahnya tidak sedikit. Menurut berbagai ahli perekonomian dunia, terjadi perdebatan mengenai utang luar negeri. Ada yang menanggapi positif, yaitu, utang luar negeri dianggap sebagai stimulus yang merangsang pertumbuhan ekonomi. Selain itu, tidak sedikit pula yang menentang utang luar negeri. Hal tersebut dikarenakan kekhawatiran bahwa utang hanya merupakan solusi jangka pendek, dan bila dilakukan terus menerus dapat menjadikan sifat aditif pada perekonomian suatu Negara.

1. Ketergantungan Hutang Luar Negeri Untuk Membiayai Pembangunan Nasional. Seperti yang telah dipaparkan diatas, tidak semua Negara mampu membiayai pembangunan Negara-nya hanya dari pendapatan nasionalnya semata. Pada umumnya, Negara- Negara berkembang sangat tergantung pada pinjaman luar negeri guna membiayai pembangunan nasional-nya. sehingga dalam jangka panjang, ketergantungan ini akan menjadi bom waktu yang justru akan menghancurkan perekonomian Negara tersebut. Hal tersebut merujuk pada tahun 1980-an yang mana pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Susan George, menunjukan bahwa aliran modal yang mengucur dari Negara maju yang umumnya Negara kreditur tidak diimbangi oleh aliran dana yang mengalir dari Negara berkembang ke Negara maju. Namun, hutang luar negeri tidak hanya dimonopoli oleh Negara- Negara berkembang. Sebaliknya, Negara- Negara maju pun menjadi Negara dengan hutang terbanyak. Abel berikut memaparkan Negara- Negara dengan hutang terbanyak:

Tabel 1 Negara- Negara dengan Hutang Terbanyak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 29 30 Negara World United States United Kingdom Germany France Italy Netherland Spain Ireland Japan Switzerland India Indonesia Jumlah Hutang
$ 53,970,000,000,000 $ 12,250,000,000,000 $ 10,450,000,000,000 $ 4,489,000,000,000 $ 4,396,000,000,000 $ 2,345,000,000,000 $ 2,277,000,000,000 $ 2,047,000,000,000 $ 1,841,000,000,000

$ 1,492,000,000,000 $ 1,340,000,000,000 $ 148,100,000,000 $ 140,700,000,000

Sumber: Central Intelegen Agency, Diolah

Pada dasarnya, semua Negara sah- sah saja berhutang, asal memperhatikan berbagai indicator sejauh mana hutang membebani negaranya atau tidak:

DSR (DEBT SERVICE RATIO) Yaitu Perbandingan Antara Pembayaran Bunga Dan Cicilan Pokok Terhadap Penerimaan Ekspor (20%) DGNP (DEBT TO GNP RATIO) yaitu persentase utang terhadap GNP (40%) DER (DEBT EXPORT RATIO) yaitu ratio utang LN terhadap expor (200%)

Yang mana dari setiap indicator tersebut memiliki batas aman dalam berhutang. Dengan kata lain, indicator- indicator tersebut berfungsi sebagai early warning perekonomian suatu Negara. Dari tahun ke tahun, perekonomian Indonesia bergantung pada sector utang luar negeri, pada tebel berikut ini memaparkan mengenai posisi utang luar negeri Indonesia menurut sector ekonomi. Posisi Utang Luar Negeri Indonesia Menurut Sektor Ekonomi 2004 3,596 2005 2,807 2006 3,464 2007 4,720 2008 5,286

Pertanian, peternakan, kehutanan, & perikanan Pertambangan 5.782 dan penggalian Industrri 27,524 pengolahan Listrik, gas, dan 12,933 air bersih Bangunan 12,247 Perdagangan, 2,41 hotel, dan retoran Pengangkutan 4,854 & komunikasi Keuangan, 31,152 persewaan, & jasa keuangan Jasa- jasa 19,789 Sector lain 20,754

2.5

2.1

2.6

3,3

3.4

4.1 19.5 9,2 9,2 1,9

4,777

3.6

5,713

4,3

6,838

4,8

8,813

5.7

20,584 15,3 20,776 15,7 20,632 14,6 22,801 14,7 13,204 9,8 13,204 8,1 2,639 2,0 13,129 9,9 10,497 7,9 3,089 2,3 13,771 9,8 10,287 73 3,021 2,1 14,050 9,1 11,354 7,3 4,096 2,6

34 22,1

5,654

42

5,641

43

6,159

4,4

6,864

4,4

35,843 26,6 33,816 25,5 41,094 29,1 47,040 30,3

14,0 14,7

13,491 10,0 13,95 10,5 14,197 10,1 15,581 10,0 24,620 18,3 22,531 17,0 20,461 14,5 19,194 12,4

Dari table diatas terlihat jelas bahwa sector perekonomian yang paling besar mendongkrak jumlah utang luar negeri ada pada sector keuangan, persewaan, dan jasa keuangan. Sedangkan

sector yang memiliki pengaruh utang luar negeri paling sedikit ada pada sector perdagangan, perhotelan dan restoran. 1. Resiko Hutang yang Dihadapi Indonesia Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, beliau memiliki tekad yang bulat dalam menjalankan roda pemerintahannya berprinsip berdikari (berdiri di kaki sendiri). Yang mana tekad tersebut merupakan cara membangun kepercayaan diri bangsa Indonesia yang baru saja lahir sebagai Negara berdaulat. Terlepas dari berhasil atau tidaknya konsep tersebut, soekarno telah menanamkan sikap tegar agar bangsa Indonesia harus mampu membangun bangsanya tanpa ada campur tangan asing. Namun setelah jatuhnya orde lama dan digantikan engan orde baru dengan Mayjen Soeharto sebagai presiden, konsep yang dibangun Soekarno diubah drastis. Perekonomian pada masa orde baru dibangun dengan hutang. Memang tidak sedikit prestasi yang telah dicapai oleh pemerintahan Orba, seperti pembangunan, swasembada pangan, serta pertumbuhan yang selalu positif dalam angka 7% setiap tahunnya. Sayangnya, pertumbuhan yang tinggi tersebut tidak diikuti oleh pertumbuhan perkapita yang tinggi pula. Pada dasarnya, pemerintahan soeharto menganggap hutang luar negeri sebagai injeksi terhadap perekonomian. Maksudnya adalah, pinjaman yang didapat dipakai sebagai penutup deficit anggaran pada APBD serta menutup deficit neraca pembayaran. Pada intinya adalah, pinjaman luar negeri merupakan solusi jangka pendek yang apabila dilakukan dalam jangka panjang akan mengakibatkan ketergantungan (adiktif). Terbukti sejak dimulainya orde baru hingga sekarang ini, APBN di sokong oleh dana segar dari hasil ber-hutang dari luar negeri. Table II menjelaskan tentang psisi utang luar negeri Indonesia pada masa orde baru. Tabel II Pinjaman Pemerintah Dan Penerimaan APBN ( dalam milyar rupiah ) Tahun Pinjaman Program Pinjjaman Proyek Total Pinjaman % Total Pinjaman Terhadap (terealisasi) Penerimaan APBN 215.130 28,97% 126.661 99.530 11,36% 11,96% Penerimaan APBN

1998/1999 1997/1998 1997/1996

36.403 0 0

25.917 14.386 11.900

62.320 14.386 11.900

1995/1996 1994/1995 1993/1994 1992/1993 1991/1992 1990/1991 1989/1990 1988/1989 1987/1988 1986/1987 1985/1986 1984/1985

0 0 517 517 1.563 1.397 1.077 2.041 728 1957 1.957 69

9.009 9.838 10.752 10.581 8.590 8.508 8.422 7.950 5.430 3.794 3.503 3.409

9.009 9.838 11.269 11.098 10.153 9.905 9.429 9.991 6.158 5751 3.572 3.478

82.023 76.256 66.866 59.961 51.994 49.451 38.169 32.995 26.961 21.892 22.825 19.384

10.98% 12,90% 16,85% 16,85% 18,51% 19,53% 20,03% 24,70% 30,28% 22,84% 26,27% 15,65%

Dari data di atas terlihatt jjelas bahwa sebagian sumber APBN bergantung pada utang luar negeri. Memang dari tahun ke tahun perbandingan antara prosentase utang luar negeri dengan APBN fluktuatif, akan tetapi, prosentase-nya bias dibilang tidak sedikit. Selalu berada pada posisi dua digit. Dan paling banyak berada pada tahun anggaran 1987-1988. Sedangkan selain resiko rasio utang dengan GDP Indonesia, masalah utang luar negeri juga memiliki resiko yang diakibatkan oleh kurs valuta asing yang fluktuatif. Kurs dapat diidentifikasi dengan dua cara, yaitu cara amerika (cara langsung) dan cara eropa (cara tidak langsung). Pada cara amerika, kuurs valuta asing diitung dari harga mata uang domestic. Cara ini juga sering dipakai dalam literature yang membahas tentang kurs valuta asing. Sedangkan kurs mata uang eropa dapat diartikan harga satu unit uang domestic dalam mata uang asing. Sejak Indonesia menganut sistem nilai tukar bebas atau free floating, posisi kurs utang luar negeri Indonesia tidak menentu. Karena setiap naiknya nilai tukar dolar jika utang luar negeri tersebut menggunakan standar dolar- terhadap rupiah, maka utang luar negeri Indonesia pun ikut membengkak. Sebagai contoh, utang Indonesia saat ini adalah Rp. 140.700.000.000.000 (seribu enam ratus triliyun rupiah), jika kita umpamakan nilai tukar rupiah terhadap dolar adalah Rp.

9.500,-. Maka apabila mata dolar menguat sebesar Rp.100,- menjadi Rp.9.600,- utang Indonesia membengkak kurang lebih Rp. 40.000.000.000,-. Begitupun sebaliknya, jika nilai tukar rupiah menguat meka nilai utang Indonesia akan menurun sebesar menguatnya kurs rupiah terhadap valuta asing. Hal di atas terbukti pada krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 yang semula kurs dolar terhadap Rupiah ada pada kisaran Rp. 2.200-an. Dampak dari jatuhnya kurs mata uang regional di asean yang diawali dari bath Thailand yang akhirnya merambat keindonesia sehingga rupiah jatuh di posisi Rp. 14.000 per dolar AS. Menyebabkan nilai utang luar negeri Indonesia membengkak berkali- kali lipat. Menurut Maurin Sitorus, pergerakan kurs mata uang dapat mempengaruhi utang dikarenakan tiga factor dibawah ini: (1) struktur dari utang luar negeri tersebut, (2) struktur penerimaan ekspor, serta (3) fluktuasi mata uang utama dunia. selain resiko yang bersifat ekonomis, utang luar negeri dapat berdampak pada kebijakan politik luar negeri suatu Negara debitur. Misalnya saja pada waktu krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1997 memaksa Indonesia harus berhutang kepada IMF ang disebut- sebut sebagai lembaga keuangan bentukan amerika. Syarat yang diberikan IMF kepada Indonesia agar dapat mendapat kucuran dana segar adalah merelakan rakyat timor timur melakukan referendum guna menentukan nasib untuk tetap bergabung dengan NKRI ata melepaskan diri dari pangkuan ibu pertiwi. Tentu syarat tersebut sangat menyakitkan untuk rakyat Indonesia. Namun ini merupakan konsekwensi yang harus dilakukan demi menghindari kehancuran perekonomian Negara pada waktu itu. 1. Kesimpulan Anggaran yang dialokasikan untuk keperluan pembangunan di suatu Negara didapat tidak hanya dari pendapatan Negara saja. Melainkan dari utang luar negeri yyang diberikan oleh Negara atau lembaga internasional yang bergerak di bidang finansial seperti CGI, ADB, Bank Dunia, IMF, dan lain sebagainya. Sebenarnya, setiap Negara sah sah saja meminjam dana dari luar negeri sebanyak- banyaknya. Asalkan memperhatikan indicator yang menjadi early warning seperti: DSR (DEBT SERVICE RATIO), DGNP (DEBT TO GNP RATIO), dan DER (DEBT EXPORT RATIO). Sejak era orde baru, Indonesia menjadi Negara yang perekonomiannya bergantung pada utang luar negeri.. walaupun pertumbuhan nasional kita tinggi pada masa itu, namun tidak diimbanginya pendapatan per kapita menyebabkan ekonomi Indonesia sangat lemah. Resiko yang dihadapi Negara jika terlalu banyak akan menyebabkan ekonomi Negara tersebut kolaps. Namun apabila dapat dikelola dengan baik akan menjadi stimulus yang merangsang geliat ekonomi di Negara bersangkutan.

You might also like