Professional Documents
Culture Documents
9.1.1 Pengantar
Tujuan dari penyusunan rencana pembangunan sub bidang drainase
adalah untuk memberikan suatu manual yang dapat memberikan arahan
khususnya bagi Dinas Kimpraswil Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), dan bagi pihak lain yang berkepentingan dalam
pengelolaan/penataan system drainase. Sehingga pada akhirnya dapat
diwujudkan suatu sistem drainase yang terintegrasi dan dengan kualitas
pelayanan yang memadai.
Sistem drainase tidak dapat berdiri sendiri dan selalu berhubungan dengan
sektor infrastruktur lainnya seperti pengembangan daerah, air limbah,
perumahan dan tata bangunan serta jalan kota. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut :
9-1
3. Perencanaan sistem drainase harus dikoordinasikan dengan rencana
pengembangan perumahan, terutama dalam kaitannya dengan
perencanaan sistem jaringan dan kapasitas prasarana.
4. Perencanaan drainase yang menjadi satu kesatuan dengan jaringan
jalan harus disinkronkan dengan sistem jaringan drainase yang sudah
direncanakan oleh istitusi atau lembaga pengelola jaringan drainase.
Sebagai bahan pengantar topik ini adalah uraian berikut. Studi tentang
banjir akan selalu berhubungan dengan debit banjir dan kapasitas pelayanan
system (pembuang), dan pemahaman mengenai daur hidrologi. Dari daur
hidrologi dipahami secara jelas hubungan antara berbagai komponen dari
simpanan air (“water storege”) dan aliran air (“water movement”). Dalam
perjalanannya butiran – butiran air hujan akan mengalami penguapan,
peresapan ke dalam tanah, dan sisanya akan mengalir langsung ke sungai
terdekat. Komponennya dapat disederhanakan menjadi :
H = E + p + Qo
dimana :
H = Hujan
E = Penguapan
9-2
P = Peresapan
Qo = Aliran permukaan menuju sungai
Dari rumus di atas terlihat bahwa debit sungai akibat hujan secara langsung
adalah sebesar Qo, sedangkan p sebagian akan menjadi air tanah (Qt) dan
sebagaian akan menjadi air bawah permukaan (Qi). secara berangsunr –
angsur Qt dan Qi keluar menuju sungai. Ketiga komponen aliran air (Qo, Qi, dan
Qt) akan membentuk suatu kesatuan di sungai yang disebut larian (Runoff)
dari sebuah daerah aliran.
Besarnya resapan akan sangat tergantung pada kondisi lahan atau area
tangkapan hujan. Jika lahan yang ada merupakan kawasan yang baik untuk
peresapan air (hutan atau kawasan “Green Belt”), maka nilai Qo menjadi
kecil sehingga tidak terjadi peningkatan kapasitas secara mendadak dan
dalam kuantitas yang sangat tinggi pada sungai. Tetapi jika area resapan
rusak atau berubah fungsi menjadi area pemukiman, maka nilai Qo menjadi
sangat besar, dan akibatnya akan terjadi luapan atau banjir pada sungai
karena sungai tersebut harus menampung debit yang sangat besar dalam
periode yang singkat.
9-3
9.1.2 Pencapaian Drainase Dalam Rencana Pembangunan Kabupaten/Kota
di Propinsi DIY
Pengembangan jaringan drainase di kabupaten/kota di wilayah
Propinsi DIY sampai saat ini masih difokuskan pada kawasan perkotaan atau
kawasan permukiman dengan kepadatan tinggi.
Jaringan drainase yang ada terutama untuk sistem tersier, sekunder maupun
primer pada umumnya atau sebagain besar masih menjadi satu dengan
sistem jaringan jalan. Selain itu sistem pembuangan air limbah masih
menjadi satu atau belum terpisah dengan sistem pembuangan air hujan.
9-4
panjang saluran drainase masih sangat tinggi, karena aksesibilitas ideal
untuk kawasan rural 1,5 – 2,5 km/km2 dan kawasan urban 10 – 15 km/km2.
9.1.3 Kebijakan, Program dan Kegiatan Drainase Dalam Rencana
Pembangunan Kabupaten/Kota.
Kebijakan dan program untuk komponen drainase yang ada di setiap
kabupaten/kota pada umumnya sudah berwawasan lingkungan, dimana
sistem drainase tidak hanya direncanakan untuk menanggulangi dampak
negatif terhadap semua aspek interaksi masyarakat, tetapi juga
direncanakan untuk mengisi kembali sumber air tanah dalam kerangka
konservasi sumber daya air. Namun implementasi kebijakan dan program
pada kenyataannya terbentur kepada permasalahan keterbatasan dana.
Sehingga kegiatan yang dilakukan pada umumnya masih bersifat ”partial”,
yaitu hanya menangani kasus per kasus dan belum berupa kegiatan yang
menjadi bagian dari ”grand disain” secara keseluruhan.
9-5
Pada dasarnya terdapat 3 (sungai) sungai utama sebagai badan
penerima air akhir di wilayah DIY. Sungai – sungai tersebut membelah
wilayah studi dari sisi utara ke sisi selatan dan bermuara di Samudera
Hindia.
a. Sungai Opak
b. Sungai Progo
c. Sungai Serang
Gambaran umum dari sistem jaringan masing – masing sungai utama adalah
seperti uraian dari sub bab berikut.
A. Sungai Opak
9-6
Sungai Opak menyusuri wilayah studi dari arah timur laut ke
arah barat daya melintasi wilayah Kabupaten Sleman dan
Kabupaten Bantul. Luas DAS sungai Opak dengan anak – anak
sungainya secara keseluruhan ± 1465 Km2, sedangkan area pelayanan
untuk sistem drainase yang terkait dengan wilayah studi ± 1172 Km2.
Panjang alur sungai Opak secara keseluruhan adalah ± 65 Km dengan
lebar rata – rata sungai yang ada di wilayah studi sekitar ..... m.
Sistem jaringan sungai Opak terdiri dari Sungai Opak dan 13 (tiga
belas) anak sungai. Anak sungai yang bermuara di Sungai Opak adalah
:
9-7
perbatasan antara Kabupaten Gunung Kidul dengan Kabupaten
Bantul. Sungai Oyo bermuara di sungai opak di daerah
Pundong. DAS sungai Oyo seluas ± ….. km2, dengan area
pelayanan sebagian besar di wilayah Kabupaten Gunung Kidul
dan sedikit di wilayah Timur Laut Kabupaten Bantul.
9-8
8. Sungai Kuning 30,50 km
9-9
13. Sungai Bening 12,50 km
Selain sungai – sungai tersebut dalam sistem DAS Opak juga terdapat
Embung Tambakboyo sebagai badan penerima air yang sekarang masih
dalam tahap pembangunan konstruksinya oleh Direktorat Jenderal
Sumber Daya Air.
B. Sungai Progo
Sungai Progo yang menyusuri perbatasan antara Kabupaten
Kulon Progo dengan Kabupaten Bantul merupakan badan penerima air
utama untuk wilayah barat Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman
serta Kabupaten Kulon Progo. Panjang alur sungai di wilayah studi ±
138,00 km merupakan sungai terpanjang di wilayah studi. Area
pelayanan sungai Progo dengan anak – anak sungainya secara
keseluruhan adalah 761,67 Km2.
9 - 10
2. Sungai Konteng 34,00 km
9 - 11
Sungai Putih dengan panjang alur ± 11,00 km bermuara di
Sungai Progo kurang lebih 1,5 km di hilir AWLR Duwet. Luas DAS
sungai Putih ± ….. km2. Areal pelayanannya meliputi wilayah
Sleman dan Tempel.
Sungai Diro dengan panjang alur sungai ± 7,25 km dan luas DAS
± …. Km2, bermuara di sungai Progo di hilir (± 1 km AWLR )
Kalibawang. Area pelayanannya relative kecil hanya sekitar
wilayah Kalibawang.
C. Sungai Serang
Sungai Serang dengan hulu di daerah pengasih, menyusuri
wilayah Kabupaten Kulon Progo dari arah Timur Laut ke arah Barat
Daya dan bermuara di Samodera Hidia di Glagah. Panjang alur sungai
9 - 12
Induk ± 28,00 km dengan luas DAS ± 220,22 km2. Sungai Serang
mempunyai 11 (sebelas) anak sungai dengan areal pelayanan
seluruhnya berada di wilayah Kabupaten Kulon Progo. Anak sungai
dimaksud antara lain adalah :
1. Kabupaten Sleman
9 - 13
Wilayah Kabupaten Sleman sebagian besar dilayani oleh sistem
pembuang utama Sungai Progo dan anak – anak sungainya. Sebagian
wilayah Kabupaten Sleman di bagian timur dan tenggara (Ngaglik,
Kalasan, Depok dan Berbah) yang dilayani oleh sistem pembuang
Sungai Opak. Terdapat 5 daerah aliran sungai (DAS) yang cukup besar,
yakni dari barat ke timur DAS: Progo, Konteng, Bedog, Winongo-Code
dan Opak Hulu. Semua sungai tersebut merupakan sungai perenial,
yaitu suatu kondisi dimana curah hujannya yang tinggi, sementara
sifat tanahnya permeabel dan akifernya tebal, maka aliran dasar
(base flow) pada sungai-sungai tersebut cukup besar yang termasuk
efluent.
9 - 14
Gambar 9 - 2 : Sistem Drainase Utama (sungai) di Kabupaten Sleman
2. Kota Yogyakarta.
9 - 15
Gambar 9 - 3 : Sistem Drainase Utama (Sungai) di Kota Yogyakarta
9 - 16
Yogyakarta, akan menyebabkan Kota Yogyakarta menerima beban
aliran dari sistem pembuang utama dari wilayah Kabupaten Sleman.
3. Kabupaten Bantul
9 - 17
Yogyakarta dan berakhir di Pantai Selatan Bantul, menjadikan
kawasan selatan Bantul rawan banjir. Melihat tata guna lahan dimana
kawasan perkampungan hanya ± 7,24 % dari luas area secara
keseluruhan, maka sistem resapan masih bisa menjadi andalan bagi
sistem drainase makro di Kabupaten Bantul. Meskipun demikian
karena kemiringan lahan yang relatif kecil, kawasan ini memerlukan
sistem pembuang dengan dimensi hidrolis yang optimal.
a. Bagian Utara
Merupakan dataran tinggi/perbukitan Menoreh dengan
ketinggian antara 500 – 1000 meter di atas permukaan air laut,
meliputi Kecamatan Girimulyo, Kokap, Kalibawang dan
Samigaluh. Wilayah ini penggunaan tanah diperuntukkan sebagai
kawasan budidaya konservasi dan merupakan kawasan rawan
bencana tanah longsor.
b. Bagian Tengah
Merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 100 –
500 meter di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan
Nanggulan, Sentolo, Pengasih, dan sebagian Lendah, wilayah
dengan lereng antara 2 – 15%, tergolong berombak dan
bergelombang merupakan peralihan dataran rendah dan
perbukitan.
c. Bagian Selatan
Merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0 – 100 meter di
atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan Temon, Wates,
9 - 18
Panjatan, Galur, dan sebagian Lendah. Berdasarkan kemiringan
lahan, memiliki lereng 0 – 2%, merupakan wilayah pantai
sepanjang 24,9 km, apabila musim penghujan merupakan
kawasan rawan bencana banjir.
9 - 19
5. Kabupaten Gunung Kidul
Secara umum jaringan drainase yang ada berupa saluran alami dan saluran
buatan, baik saluran terbuka atau tertutup, saluran pasangan/beton
maupun saluran galian tanah. Saluran drainase yang ada sebagian besar
menjadi satu dengan saluran drainase jalan.
9 - 20
• Genangan yang terjadi kebanyakan disebabkan oleh kapasitas saluran
kurang, dan kurangnya tali air, terutama disepanjang saluran yang
ada di sisi jalan;
• Selain itu juga disebabkan oleh kurangnya perawatan, sehingga
banyak gorong – gorong dan tali air yang tersumbat.
• Sistem saluran yang ada belum ter-integrasi secara baik, terutama
dalam rumusan kapasitas saluran terhadap area yang dilayani,
sehingga ada saluran yang melayani area terlalu luas.
• Masalah kemiringan dasar saluran juga memerlukan penanganan.
Perubahan kemiringan tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya
sedimentasi.
• Kerusakan – kerusakan pada saluran dan gorong – gorong juga menjadi
salah satu penyebab yang menimbulkan genangan.
• Sedimentasi dan timbunan sampah merupakan masalah yang ditemui
di lapangan.
• Inlet saluran tidak berfungsi dengan baik, sehingga limpasan air
permukaan tidak dapat masuk dengan lancar ke saluran yang ada.
• Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga dan
merawat kebersihan saluran.
PANJANG SAL.
LUAS WILAYAH
NO KABUPATEN/KOTA EKSISTING KET.
(KM) (KM2)
1 KAB. SLEMAN 298.47 574.82
2 KOTA YOGYAKARTA 250.96 32.50
3 KAB. BANTUL 236.92 506.85
4 KAB. KULON PROGO* 586.27
5 KAB. GUNUNG KIDUL 34.84 1,485.36
KETERANGAN :
Data untuk Kabupaten Kulon Progo tidak tersedia dan untuk Kabupaten Gunung Kidul data
tercatat di atas adalah khusus untuk Kota Wonosari
9 - 21
1,485.36
1,600.00
1,400.00
1,200.00
1,000.00
586.27
574.82
800.00
506.85
600.00
298.47
250.96
236.92
400.00
34.84
32.50
200.00
0.00
0.00
KAB. SLEMAN KOTA KAB. BANTUL KAB. KULON KAB. GUNUNG
YOGYAKARTA PROGO* KIDUL
A. Kabupaten Sleman
Dari data yang ada pada Sistem Informasi Basis Data Drainase
(SIBD) – Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) – Departemen
Pekerjaan Umum panjang drainase mikro di wilayah Kabupaten
Sleman sepanjang ± 298,47 km, yang terdiri dari saluran primer
sepanjang ± 156,21 km dan saluran sekunder ± 142,26 km. Type
konstruksi saluran yang ada berupa saluran pasangan batu (terbuka
dan tertutup) serta saluran yang masih berupa galian tanah. Dimensi
saluran yang ada lebar bawah antara 35 – 120 cm, lebar atas antara
40 – 150 cm, serta kedalaman (H) antara 60 – 150 cm. Gambaran
selengkapnya mengenai jaringan drainase yang ada di Kabupaten
Sleman dapat dilihat pada Gambar 9 - 7 dan Lampiran 1.
9 - 22
Dengan luas wilayah Kabupaten Sleman ± 574,82 km2 , maka nilai
aksesibilitas wilayah terhadap system drainase mikro ± 0,52 km/km 2.
Angka ini masih di bawah angka ideal yang besarnya sekitar 1,5 – 2,5
km/km2 untuk kawasan rural. Secara umum dapat kita katakan bahwa
Kabupaten Sleman masih membutuhkan penambahan saluran drainase
mikro sepanjang ± 500 – 800 km, baik yang berupa sistem tersier,
sekunder maupun primer.
Secara umum jaringan drainase yang ada berupa saluran alami dan
saluran buatan, baik saluran terbuka atau tertutup, saluran
pasangan/beton maupun saluran galian tanah. Saluran drainase yang
ada sebagian besar menjadi satu dengan saluran drainase jalan.
9 - 23
Gambar 9 - 7 : Jaringan Drainase Eksisting di Kabupaten Sleman
B. Kota Yogyakarta
Dari berbagai sumber data seperti ; data yang ada pada Sistem
Informasi Basis Data Drainase (SIBD) – Direktorat Jenderal Cipta Karya
(DJCK) – Departemen Pekerjaan Umum, data dari Dinas Kimpraswil
Kota Yogyakarta dan ditambah dengan data realisasi pelaksanaan
komponen drainase untuk program NUSSP tahun 2005 dan 2006, total
panjang drainase mikro di wilayah Kota Yogyakarta sepanjang ±
250.96 km, yang terdiri dari saluran primer sepanjang ± 56.56 km dan
saluran sekunder ± 194,40 km. Type konstruksi saluran yang ada
berupa saluran terbuka (38,55%), saluran tertutup(60,08%) dan
9 - 24
sisanya berupa gorong – gorong (1,37%). Dimensi saluran yang ada
lebar bawah antara 40 – 120 cm, lebar atas antara 40 – 200 cm, serta
kedalaman (H) antara 60 – 200 cm. Gambaran selengkapnya mengenai
jaringan drainase yang ada di Kota Yogyakarta dapat dilihat pada
Gambar 9 - 8 dan Lampiran 2.
Kondisi saluran yang ada 47,17 km (19 %) rusak dan sisanya 203.79 km
(81 %) baik. Dengan luas wilayah Kota Yogyakarta ± 32,50 km2 , maka
nilai aksesibilitas wilayah terhadap system drainase mikro ± 7,72
km/km2. Angka ini sudah di atas angka ideal yang besarnya sekitar 1,5
– 2,5 km/km2 untuk kawasan rural tetapi masih di bawah angka ideal
untuk kawasan urban yaitu : 10 – 15 km/km 2. Dengan demikian
berdasarkan kondisi permasalahan yang ada masih diperlukan
9 - 25
pembangunan saluran drainase baru dan perbaikan sistem yang ada
untuk mengatasi permasalahan – permasalahan yang terjadi.
Secara umum jaringan drainase yang ada berupa saluran alami dan
saluran buatan, baik saluran terbuka atau tertutup, saluran
pasangan/beton maupun saluran galian tanah. Saluran drainase yang
ada sebagian besar menjadi satu dengan saluran drainase jalan.
Sebagai suatu kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan tata
guna lahan yang didominasi oleh kawasan tertutup, serta aktifitas
perdagangan yang sangat dinamis, maka Kota Yogyakarta menghadapi
permasalahan yang cukup spesifik menyangkut kesadaran masyarakat
untuk ikut menjaga kebersihan saluran drainase yang ada, dan juga
diperlukan kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam pembuatan sumur peresapan.
9 - 26
C. Kabupaten Bantul
Dari data yang ada pada Sistem Informasi Basis Data Drainase
(SIBD) – Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) – Departemen
Pekerjaan Umum panjang drainase mikro di wilayah Kabupaten Bantul
sepanjang ± 236,92 km, yang terdiri dari saluran primer sepanjang ±
87,25 km dan saluran sekunder ± 139,67 km. Type konstruksi saluran
yang ada berupa saluran pasangan batu (terbuka dan tertutup),
saluran beton serta saluran yang masih berupa galian tanah. Dimensi
saluran yang ada lebar bawah antara 35 – 120 cm, lebar atas antara
40 – 150 cm, serta kedalaman (H) antara 60 – 150 cm. Gambaran
selengkapnya mengenai jaringan drainase yang ada di Kabupaten
Bantul dapat dilihat pada Gambar 9 - 9 dan Lampiran 3.
Secara umum jaringan drainase yang ada berupa saluran alami dan
saluran buatan, baik saluran terbuka atau tertutup, saluran
pasangan/beton maupun saluran galian tanah. Saluran drainase yang
ada sebagian besar menjadi satu dengan saluran drainase jalan.
9 - 27
Gambar 9 - 9 : Jaringan Drainase Eksisting di Kabupaten Bantul
9 - 28
Type konstruksi saluran yang ada berupa saluran pasangan batu.
Dimensi saluran yang ada lebar bawah antara 35 – 120 cm, lebar atas
antara 40 – 250 cm, serta kedalaman (H) antara 40 – 600 cm.
Gambaran selengkapnya mengenai jaringan drainase yang ada di
Kabupaten Bantul dapat dilihat pada Gambar 9 - 10 dan Lampiran 4.
9 - 29
dalam saluran drainase, sehingga kotoran yang dibawa aliran air
saluran akan menumpuk pada saluran yang lebih rendah dan
menjadikan sedimentasi sampah sepanjang saluran.
Dengan luas wilayah Kabupaten Kulon Progo ± 586,27 km2 , maka nilai
aksesibilitas wilayah terhadap system drainase mikro sangat kecil dan
jauh dari angka ideal. Secara jelas dapat dikatakan bahwa Kabupaten
Kulon Progo masih memerlukan pembangunan jaringan drainase mikro
yang sangat besar.
9 - 30
E. Kabupaten Gunung Kidul
9 - 31
saluran buatan, baik saluran terbuka atau tertutup, saluran
pasangan/beton maupun saluran galian tanah. Saluran drainase yang
ada sebagian besar menjadi satu dengan saluran drainase jalan.
9 - 32
9.2.2 Kelembagaan
Institusi yang bertanggung jawab pada sektor drainase adalah Sub
Seksi Penyehatan Lingkungan pada Seksi Cipta Karya di Dinas Kimpraswil
Kabupaten/Kota. Sub seksi ini mempunyai tugas melaksanakan perencanaan,
pengawasan, pengendalian, penyuluhan, bantuan teknik, pelaksanaan
pengelolaan kegiatan pembangunan, pemeliharaan, dan pemanfaatan sarana
dan prasarana di bidang teknik penyehatan yang meliputi aspek – aspek air
buangan, kebersihan dan pertamanan.
9 - 33
Sumber pendanaan pembangunan sub bidang drainase berasal dari
APBD Kabupaten/Kota, APBD Propinsi dan APBN. Khusus untuk Kota
Yogyakarta pada Tahun 2005 s/d 2007 mendapat Loan ADB No. 2072 – INO
melalui Program Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP)
dengan porsi 90 % (ADB) dan 10 % (APBD). Dana loan ini merupakan pinjaman
Pemerintah Pusat yang dihibahkan ke Pemerintah Kota Yogyakarta.
9.3.1 Umum
Pada prinsipnya ini merupakan bagian awal dari proses pendefinisian
masalah yang menjadi bagian awal dari proses perencanaan system secara
keseluruhan. Indikasi permasalahan merupakan hasil analisis detail
berdasarkan data – data hasil survai. Karena terbatasnya data – data
drainase yang bersifat data teknis detail, maka Inventarisasi permasalahan
sebagai hasil analisis pada tahap ini lebih merupakan permasalahan yang
bersifat umum atas dasar masukan dari berbagai sumber. Meskipun demikian
konsultan tetap berupaya melakukan pendalaman melalui analisis – analisis
yang relevan sehingga didapatkan gambaran permasalahan yang sebenarnya.
9 - 34
9.3.2 Genangan
Genangan dengan parameter luas genangan, tinggi genangan, dan
lamanya genangan merupakan permasalahan utama yang menjadi fokus
perhatian studi. Terjadinya genangan pada beberapa lokasi di wilayah studi
secara pasti akan menimbulkan permasalahan berkelanjutan pada system
interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan aspek interkasi masyarakat lainnya.
9 - 35
Sepanjang Kali Belik RW Sungai tidak mampu
11 2.30 1 Jam
X, RW XV menampung
Pertigaan SD Giwangan Tersumbatnya Saluran Air
12 1.39 5 jam 10 cm
RT 11 RW IV Irigasi
SAH tidak dapat
Jl. Tegalturi, Depan
13 1.27 6 jam 10 cm menampung dan
Pamel 5
tersumbatnya saluran
Malangan RT 37, RW 13
SAH tidak mampu
14 Depan SD Mendungan I 0.34 2 jam 25 cm
menampung
dan II
RW XIV, Perempatan
Selama SAH tidak mampu
15 Wirosaban ke Timur Jl. 1.20 30 cm
Hujan menampung
Sorogenen
SAH tidak mampu
16 Jl. Mantrigawen Lor 0.56 2 jam 20 cm
menampung
Gang Suryometaraman
17 0.35 2 jam 7 cm Rendahnya Posisi gang
RT 53, RW 14
Jl. Sawojajar, RT 53,
18 0.44 7 jam 20 cm Kurang berfungsinya SAH
RW 14
RT 03, RW 01 Barat
Saluran air tidak
19 jalan Golo sekitar balai 0.67 2 jam 25 cm
berfungsi
RW
Jl. Kebun Raya
Belum ada selokan di
20 Gembiroloka RT 19, 20 4.75 1 Jam 10 cm
timur jalan
RW 6
Dasar selokan pada posisi
Kendalisodo RW 13
21 0.77 1 Jam 20 cm barat jalan sama dengan
Pilahan
utara jalan
Adanya sampah yang
22 Jl. Andong depan SMKK 1.83 2 jam 25 cm
menyumbat
Selama
26 RT 38, RW 8 0.84 20 cm Luapan Kali Belik
Hujan
Selama Luapan saluran irigasi,
27 Sepanjang jalan Batikan 1.47 10 cm
Hujan saluran terlalu dangkal
Selama Tersumbatnya saluran air
28 RT 46, RW XI 0.87 5 cm
Hujan di Tuntungan
Selokan kurang besar,
RT 22, RW V Jl. Patehan 30 - 40
29 1.31 2 jam usuk pembuatan selokan
Kidul - Patehan Wetan cm
pada sisi selatan jalan
Kemandungan RT 9 RW
30 1.35 10 jam 10 cm Selokan tidak berfungsi
II
2-3 20 - 50
31 RT 39. 40 RW X 0.66
jam cm
SAH tidak mampu
32 Jl. Ngasem 1.02 45 menit 30 cm
menampung
Selama
33 Jl. Kusbini RW XII 2.02 30 cm SAH lebih tinggi dari jalan
Hujan
34 RT 29, 30, 33 RW IX 2.81 3-4 25 - 30 Wilayah rendah, saluran
jam cm mengecil, buangan dari
9 - 36
Jl. Munggur, Bimokurdo
9 - 37
SAH tidak lancar,
58 RW XI RT 48 1.23 2 jam 2 jam
tersumbat
Halaman Kantor 1.5 Halaman rendah perlu
59 1.54 1.5 jam
Kecamatan jam sumur peresapan
25 - 30 Pembuangan air hujan
60 RW 1,2,13,15 1.33 15 cm
menit kurang lancar
Selama SAH tidak mampu
61 RT 89, 90, 91, RW 25 2.47
Hujan menampung
2-3 23 - 30
63 RT 10 RW 03 1.34 Meluapnya kali Belik
jam cm
Saluran air yang akan
1-2 20 - 30
64 RT 26 RW 6 0.00 menuju Jl. Sultan agung
jam cm
tersumbat/ tertutup kios
RT 20, RW VII Jl. Kyai 1-2 10 - 15 SAH tidak mampu
65 7.60
Mojo Jembatan Winong jam cm menampung
Jl. Pakuncen (Batas RW 3-4 Lubang buangan air
66 1.24 40 cm
02, dan RW 04) jam kurang besar
Jl. Wiratama Bts
Luapan air dari Kelurahan
67 Kelurahan Pakuncen 3.85 2 jam 50 cm
Tegalrejo
dan Kel. Tegal Mulyo
68 RT 45, RW XV Jl. Dagen 0.00 1 Jam 30 cm Kurang SPAH
72 RE VI RT 3 3.18 1 jam 10 cm
9 - 38
SAH tidak mampu
83 Jl. Prof. Yohanes 2.05 15 menit 20 cm
menampung
Jl. Jend. Sudirman - SAH tidak mampu
84 0.00 20 cm
Jembatan Gondolayu menampung
30 SAH tidak mampu
85 Jl. Kartini Selatan 0.00 30 menit
menit menampung
30 - 40 SAH tidak mampu
86 Jl. Cik Ditiro 0.00 30 menit
cm menampung
Jl. Sarjito Timur SAH tidak mampu
87 19.03 15 menit 30 cm
Jembatan menampung
RW 01, RT 01 Kel.
88 0.00 10 cm Pengaspalan kurang rata
Ngupasan
9 - 39
Luapan Sungai Kepek
karena kapasitas sungai
1 Kawasan PLN kecil, saluran dan
gorong2 di lingkungan
PLN tersumbat
Luapan akibat
Kawasan Sungai Besole
2 pendangkalan Sungai
(Baleharjo)
besole
Dimensi saluran kurang,
dan elevasi permukiman
3 Dusun Gadungsari
lebih rendah dari elevasi
dasar saluran drainase
4 Jl. Surmawi (Wonosari) Daerah ledokan/cekungan
Luapan dari saluran
drainase akibat kurang
5 Jl. Satria (Wonosari)
pemeliharaan/banyak
sedimen
6 Jl. Veteran (Wonosari) Daerah ledokan/cekungan
Posisi inlet terlalu tinggi,
Jl. Sugiyopranoto sehingga air permukaan
7
(Baleharjo) tidak bisa masuk ke
saluran
Dimensi gorong2 kurang
8 Jl. Kol. Sugiyono
besar
Sumber : Sistem Informasi Basis Data Drainase dan Peta Banjir DIY & Laporan Akhir YUIMS
9 - 40
Gambar 9 - 12 : Lokasi Genangan di Kota Yogyakarta
9 - 41
Gambar 9 - 13 : Lokasi Genangan di Kab. Kulon Progo dan Kab. Bantul
9 - 42
dibuang ke sungai, dan jika terjadi kebocoran pada tanggul sungai dapat
menyebabkan genangan pada areal yang sangat luas.
Sistem pembuang yang ada belum dibagi menurut system pembagian
block plan yang ideal, sehingga ada sungai yang melayani area terlalu
besar, dan akibatnya kapasitas sungai tidak mampun menampung debit
yang terjadi.
Luapan dari system pembuang yang ada sebagai akibat pendangkalan,
penyempitan dan penyumbatan oleh sampah;
Luapan akibat gorong – gorong, sypon, dan pintu pengatur tersumbat
atau tidak berfungsi;
Inlet saluran tidak tepat posisinya, terlalu tinggi dan sering tersumbat
oleh pasir/tanah dan sampah sehingga limpasan air hujan tidak
bisa/kurang lancar masuk ke sistem saluran drainase yang ada.
Luapan akibat penggunaan bantaran sungai untuk kepentingan yang tidak
semestinya;
Akibat aliran permukaan (“debit run off”) pada saat hujan yang tidak
bisa segera dibuang atau dialirkan ke sungai atau system pembuang yang
ada, karena pada saat bersamaan sungai yang ada sudah penuh sehingga
tidak mampu menampung tambahan debit dari aliran permukaan;
Berkurangnya luas areal resapan akibat perubahan penggunanaan lahan
(untuk permukiman, dan lain sebagainya);
Kondisi fisik jaringan drainase yang ada sudah kurang memadai, sehingga
sering terjadi kebocoran dan luapan pada tanggul saluran;
Tidak terdapatnya system (jaringan) drainase yang memadai pada
kawasan atau lokasi rawan banjir, sehingga debit akibat aliran
permukaan tidak bisa dibuang/dialirkan secara cepat.
9 - 43
Khusus untuk Kota Yogyakarta data genangan yang menjadi prioritas adalah
genangan di 11 (sebelas) lokasi seperti terlihat pada Gambar 9 - 14.
9 - 44
Gambar 9 - 15 : Genangan yang terjadidi Jalan Colombo selasa 30/10/2007 (Sumber
Kompas 01/11/2007)
9 - 45
Gambar 9 - 17 : Genangan yang terjadi di Kelurahan Tahunan
9 - 46
Gambar 9 - 20 : Lokasi Genangan di Pakuncen
9 - 47
Gambar 9 - 22 : Titik – Titik Genangan Akibat Hujan 12/11/2007 (Kompas 13/11/2007)
Dalam kaitan dengan topik ini, maka permasalahan yang terkait dengan
kebijakan pembangunan antar kawasan antara lain adalah :
9 - 48
Belum adanya kebijakan yang terpadu antar wilayah kota dan kabupaten
di propinsi DIY untuk pengendalian kawasan resapan di daerah hulu
sungai.
Belum adanya peraturan untuk pengendalikan luas lahan terbuka sebagai
daerah resapan air.
Belum adanya koordinasi dari para pelaku pengelolaan dari setiap
komponen infrastruktur dalam perencanaan maupun pembangunannya.
9 - 49
dipatuhi oleh berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan pembangunan di
Wilayah Studi.
Rasio KDB ditetapkan oleh Dinas Tata Kota dengan mengacu pada
kondisi dan peruntukan lahan pada lahan yang akan didirikan bangunan.
Dengan demikian, rasio KDB merupakan batas maksimum yang
diperbolehkan oleh Dinas Tata Kota untuk mendirikan bangunan pada suatu
wilayah.
9 - 50
normal, sehingga kawasan atau area perumahan tersebut menjadi kawasan
yang rawan banjir.
9 - 51
telah dibangun tanggul banjir kecuali untuk lokasi Pundong kea rah
Kedungmiri.
9 - 52
pemeliharaan tersebut dilakukan secara partial tidak secara menyeluruh.
Akibat dari tidak teraturnya pemeliharaan yang dilakukan, maka :
9 - 53
memerlukan pemeliharaan seminimum mungkin. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam penentuan pola aliran adalah :
9 - 54
instalasi pompa. Untuk menekan besarnya kapasitas pompa yang
dibutuhkan, sistem polder ini bisa dikombinasikan dengn pemakaian
pintu-pintu klep.
9.4.2. Sudetan
Salah satu cara dalam hal pembenahan pola aliran adalah dibuatnya
saluran sudetan dari satu sungai yang mempunyai kapasitas aliran terbatas
menuju sungai lain yang masih mampu menampung debit banjir tambahan
dari daerah aliran sungai (DAS) lain. Mengingat aspek teknis mengenai
saluran sudetan ini sangat luas maka dalam hal ini perlu dilakukan studi
khusus. Konsep dasar perencanaan saluran sudetan adalah :
9 - 55
masih tergolong aman banjir menjadi daerah yang rawan banjir. Untuk
mengatasi masalah tersebut perlu diadakan normalisasi sungai-sungai dan
saluran-saluran drainase. Normalisasi yang perlu dilakukan bergantung pada
kondisi masing-masing sungai/jalur drainase.
Hal ini akan mengarah diperkuatnya segi legalitas yang menyangkut pada
pengadaan lahan, seperti misalnya perundangan garis sempadan sungai atau
9 - 56
saluran, yang ditentukan menurut besarnya saluran atau sungai tersebut.
Jika daerah aliran sungai tersebut memiliki kapasitas besar, maka lahan
sempadan yang harus dicadangkan di tepi kanan dan kiri juga lebih besar
daripada sungai kecil. Dengan demikian akan dapat dijamin adanya
kemungkinan perluasan sistem saluran drainase di kemudian hari bilamana
debit bertambah seiring dengan pertambahan kawasan terbangun
perkotaan. Besarnya penetapan garis sempadan sungai dapat dilihat pada
Tabel 9.4.
9 - 57
Tabel 9.4 : Garis Sempadan Sungai
No. Jenis Lebar Keterangan
Sempadan
(m)
A PASANG SURUT
1. Situ / Danau 50 Dari batas muka air tertinggi.
2. Sungai besar pasang surut 100 Dari tepi sungai atau pasang tertinggi
dan berfungsi sebagai jalur hijau.
3. Sungai kecil pasang surut 50 Dari tepi sungai atau pasang tertinggi
dan berfungsi sebagai jalur hijau.
9 - 58
adanya tandon – tandon air, maka debit air yang mengalir ke badan
penerima air akhir (sungai) dapat dikurangi sebesar kapasitas embung atau
tandon air tersebut. Untuk lebih jelasnya, contoh tandon air tersebut dapat
dilihat pada Gambar 9 - 23.
9 - 59
Tersedia badan/lembaga yang khusus menangani masalah tersebut
Adanya peraturan yang mendukung
Penyediaan dana yang memadai
Melibatkan peran serta masyarakat
9 - 60
Banyak upaya yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah
erosi lahan ini di antaranya dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu
upaya penanggulangn secara fisik dan upaya penanggulangan secara non-
fisik.
9 - 61
Dalam rangka pengelolaan kawasan lindung agar dapat
dipertahankan baik dari segi keberadaan maupun fungsinya, perlu
diterapkan strategi berikut :
Salah satu strategi atau cara pengendalian air yang baik untuk mengatasi
banjir atau kekeringan adalah dengan cara meningkatkan kemampuan tanah
meresapkan air hujan, yaitu dengan pembuatan sumur resapan terutama
pada kawasan pemukiman.
9 - 62
sebagai penyebab banjir. Dengan demikian, semakin banyak air yang
mengalir ke dalam tanah berarti akan banyak tersimpan air tanah di bawah
permukaan bumi. Air tersebut dapat dimanfaatkan kembali melalui sumur-
sumur atau mata air yang dapat dieksplorasi setiap saat.
Dengan adanya sumur resapan maka jumlah aliran permukaan akan menurun
sehingga terkumpulnya air permukaan yang berlebihan di suatu tempat
dapat dihindari. Dengan demikian, bahaya banjir dapat dikurangi pula. Di
sisi lain, menurunnya aliran permukaan juga akan menurunkan tingkat erosi
tanah.
Untuk lebih jelasnya, prinsip kerja dari sumur resapan dapat dilihat pada
Gambar 9 - 24.
Dari uraian diatas, tampak bahwa sumur resapan memiliki beberapa fungsi
yang positif bagi lingkungan. Adapun fungsi dari sumur resapan, antara lain :
• Pengendali banjir
• Konservasi tanah
• Menekan laju erosi
9 - 63
• Dapat dimanfaatkan sebagai penambah estetika lingkungan apabila
sumur resapan tersebut dipadukan dengan pertamanan atau hutan
kota
Dari segi debit, volume air limbah tersebut relatif sangat kecil bila
dibandingkan dengan volume limpasan air hujan. Namun mengingat
pengaruh pencemaran air limbah terhadap kualitas air sungai sangat besar,
maka perlu dilakukan upaya pengolahan terhadap air limbah sebelum air
tersebut masuk kedalam saluran drainase.
9 - 64
• Adanya fasilitasi/penyuluhan dari pemerintah mengenai sistem
pengolahan air limbah
• Adanya kesadaran masyarakat mengenai arti kebersihan lingkungan
hidup
9 - 65
Berdasarkan faktor tersebut di atas akan ditentukan sistem jaringan
drainase mulai dari saluran induk, sekunder dan seterusnya.
9 - 66
konsentrasi) dan td (waktu pengaliran), dan artinya menambah waktu
pengeringan.
9 - 67
Demikian juga wilayah kabupaten lainnya, sistem jaringannya harus
dibuat menurut sungai utama yang ada sebagaimana telah dijelaskan
pada Sub Bab 9.2.2 mengenai drainase makro.
• Setiap sistem jaringan harus dibuatkan suatu skema jaringan, yang
memuat Nama Sub DAS, Luas Sub DAS, Hujan Rencana di Sub DAS,
Kemiringan Alur Sungai, Panjang Alur Sungai. Sebagai Contoh seperti
terlihat pada Gambar 9 – 26.
9 - 68
Kontrol Sistem
Kuarter
Kontrol
Sistem
Tersier
Kontrol
Sistem
Sekunder
Kontrol
Sistem
Sistem Drainase Utama
Primer
sebagai kolektor dari
keseluruhan sistem
Jaringan Tersier
sebagai kolektor
dari kuarter
Jaringan primer
sebagai kolektor
dari sekunder
Jaringan kuarter
dari pemukiman
Jaringan sekunder
sebagai kolektor dari
tersier
9 - 69
CP 1
CLL 1
8.8 38.23 CP 2
5,000 0.6
CTJ 1
CP 3 10.4 46.28
5,000 0.6
CLL 2
6.3 59.43 CP 4 CP 41 CP 42 CP 43 CP 44 CP 45 CP 46
Anak Sungai
1,250 0.6
CLR 2 CLR 4 CLR 6
Sungai
9 - 70
9.5.2 Rumusan Kebutuhan Sarana/Prasarana Drainase
Rumusan kebutuhan parasarana drainase dalam sistem makro dan mikro
seharusnya didasarkan pada analisis detail mengenai kapasitas badan penerima
air utama (sungai) dan penataan sistem penyaluran air hujan yang meliputi
rencana jaringan dan pembagian daerah pelayanan. Rumusan kebutuhan
dengan metode tersebut membutuhkan studi khusus yang diluar ruang lingkup
dari studi ini.
9 - 70
pembiayaan dalam kurun waktu 5 tahun ke depan, yaitu dari tahun 2008 s/d
2012.
9 - 71
9.5.3.2 Pengembangan Program dan Perencanaan Pembangunan Sistem
Drainase
Pengembangan program dan perencanaan pembangunan sistem
drainase dengan target tersusunnya dokumen Master Plan Sistem Drainase dan
dokumen – dokumen derivatnya seperti : dokumen studi kelayakan, dan
dokumen perencanaan yang dapat dipakai sebagai acuan dalam implementasi
program di bidang drainase di setiap kabupaten/kota.
9 - 72
2. Pengembangan jaringan drainase, sistem polder/kolam
penampung/retensi serta prasarana pendukung/pelengkapnya
untuk meningkatkan pelayanan sarana drainase dan melindungi
kawasan permukiman dan kawasan strategis dari resiko
genangan.
3. Menjaga, mengembalikan dan meningkatkan fungsi prasarana
dan drainase yang ada, serta untuk menciptakan sistem
jaringan drainase wilayah yang terpadu dengan kapasitas yang
cukup.
9 - 73
Pola pengelolaan dilaksanakan oleh Seksi yang mengelola bidang
drainase pada Dinas terkait dan bekerjasama dengan lembaga swasta dan
masyarakat. Penanganan program dilakukan melalui kegiatan – kegiatan :
Usulan pembiayaan untuk setiap kegiatan yang merupakan derivat dari setiap
program bagi masing – masing kabupaten / kota disajikan pada Tabel 9.6 s/d
9.10.
9 - 74
HALAMAN 9-75 S/D 9 – 79 UNTUK TABEL EXCEL (TABEL
9.6 S/D 9.10)
9 - 75
9.5.4 Rencana Implementasi Program
9.5.4.1 Umum
Rencana implementasi program adalah suatu rencana pelaksanaan
yang disusun untuk memberikan gambaran mengenai rencana pelaksanaan
pembangunan, tahapan pelaksanaan serta rencana pembiayaan.
Dari usulan sistem drainase yang telah dibahas pada sub bab 9.5.1 sistem
drainase di setiap kabupaten/kota akan dibagi menurut sistem sungai
utamanya. Dengan demikian konsep analisis skala prioritas yang diajukan dalam
studi ini adalah :
9 - 80
• Skala prioritas sistem jaringan.
• Dampak sosial
• Luas genangan
• Tinggi genangan
• Lamanya genangan
9 - 81
Jika kondisi paling jelek diberi skor/nilai 4 dan kondisi paling baik 1, maka
jumlah skor 7 x 4 = 28 adalah nilai yang paling maksimum (prioritas paling
tinggi) dan 7 adalah yang paling minimum (prioritas paling rendah).
I KONDISI JARINGAN
1 Kondisi Jaringan Primer Rusak Berat 4
Rusak 3
Sedang 2
Baik 1
2 Kondisi Jaringan Sekunder Rusak Berat 4
Rusak 3
Sedang 2
Baik 1
3 Kondisi Jaringan Tersier Rusak Berat 4
Rusak 3
Sedang 2
Baik 1
II DAMPAK GENANGAN
4 Dampak Sosial
1 Permukiman padat 4
2 Permukiman kurang padat 3
3 Kawasan Industri, perkantoran 2
4 Sawah / ladang 1
5 Luas Daerah Genangan
1 Sangat Luas > 30 Ha 4
2 Luas 20 - 30 Ha 3
3 Sedang 10 - 20 Ha 2
4 Sedikit < 10 Ha 1
6 Tinggi Genangan
1 Sangat Tinggi > 1.5 m 4
2 Tinggi 1 - 1.5 m 3
3 Sedang 0.5 - 1 m 2
4 Rendah < 0.5 m 1
7 Lamanya Genangan
1 Sangat Lama > 12 jam 4
2 Lama 8 - 12 jam 3
3 Sedang 4 - 8 jam 2
4 Rendah < 4 jam 1
9 - 82
B. Skala Prioritas Sub Sistem Jaringan
9 - 83
Tabel 9.12 : Parameter untuk Analisis Prioritas Sub Sistem Jaringan
I KONDISI JARINGAN
1 Fungsi Saluran Primer 4
Sekunder 3
Tersier 2
Kuarter 1
2 Kondisi Jaringan Rusak Berat 4
Rusak 3
Sedang 2
Baik 1
II DAMPAK GENANGAN
3 Dampak Sosial
1 Permukiman padat 4
2 Permukiman kurang padat 3
3 Kawasan Industri, perkantoran 2
4 Sawah / ladang 1
4 Luas Daerah Genangan
1 Sangat Luas > 30 Ha 4
2 Luas 20 - 30 Ha 3
3 Sedang 10 - 20 Ha 2
4 Sedikit < 10 Ha 1
5 Tinggi Genangan
1 Sangat Tinggi > 1.5 m 4
2 Tinggi 1 - 1.5 m 3
3 Sedang 0.5 - 1 m 2
4 Rendah < 0.5 m 1
6 Lamanya Genangan
1 Sangat Lama > 12 jam 4
2 Lama 8 - 12 jam 3
3 Sedang 4 - 8 jam 2
4 Rendah < 4 jam 1
9 - 84
ketersediaan lahan, dan berbagai faktor lainnya, maka program penanganan
tersebut akan dibagi-bagi dalam beberapa tahapan pelaksanaan.
9 - 85
2. Program jangka menengah (program 5 tahun)
Penanganan jangka menengah adalah kegiatan penanganan yang
bersifat strategis, dimana penanganan merupakan langkah awal dari
program penanganan jangka panjang. Dalam program jangka
menengah, penanganan yang direncanakan adalah sesuai dengan
kebutuhan pengembangan sistem drainase di wilayah Wilayah studi,
dengan demikian akan diperlukan biaya yang relatif mahal.
9 - 86