You are on page 1of 26

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kondisi fisik lingkungan tempat kerja di mana para pekerja beraktivitas sehari-hari mengandung banyak bahaya, langsung maupun tidak langsung, bagi kesehatan dan keselamatan pekerja. Pada kondisi kerja yang aman dan sehat, yaitu kondisi di mana bahaya-bahaya di atas ditangani secara benar, pekerja dapat diharapkan untuk bekerja normal, fisik maupun mentak, sehingga perusahaan akan lebih mudah melaksanakan berbagai rencana peningkatan produktifitas kerja. Sebaliknya, pada tingkat pengelolaan kualitas lingkungan kerja rendah atau asal-asalan, peluang tercapainya tercapainya target-target dalam perencanaan produktivitas kerja secara otomatis juga akan menjadi lebih kecil. Lebih jauh lagi, rendahnya kualitas lingkungan kerja tersebut secara fisik dan mental akan menimbulkan tekanan-tekanan nonproduktif pada pekerja sehingga banyak muncul kejadian yang mengganggu aktivitas pekerja, yang dampaknya akan merugikan pekerja secara individual, kelompok, dan bahkan hingga tingkat perusahaan.

Lingkungan kerja yang nyaman sangat dibutuhkan oleh pekerja untuk dapat bekerja secara optimal dan produktif, oleh karena itu lingkungan kerja harus ditangani dan atau di desain sedemikian sehingga menjadi kondusif terhadap pekerja untuk melaksanakan kegiatan dalam suasana yang aman dan nyaman. Evaluasi lingkungan dilakukan dengan cara pengukuran kondisi tempat kerja dan mengetahui respon pekerja terhadap paparan lingkungan kerja.

Salah satu parameter yang menjadi perhitungan dalam K3 adalah factor kebisingan dan faktor cahaya ( kesilauan ). Dalam lingkunp kerja, kedua faktor tersebut sangat lah penting dalam melakukan pekerjaan seharihari. Kebisingan dan cahaya yang tidak sesuai dengan baku mutu yang di tempat kerja, dapat mempengaruhi kesehatan manusia dan juga menurukan produktifitas hasil produksi
1

Oleh karena itu, dalam praktikum kali ini kami mencoba melakukan pengukuran tingkat kebisingan dan pencahayan pada untuk menentukan tingkat kebisingan dan penerangan pada lokasi kerja.

1.2 Maksud dan Tujuan


Maksud pengukuran a. b. Melakukan pengukuran faktor fisik kebisingan pada lokasi kerja Melakukan pengukuran faktor fisik penerangan (cahaya) pada lokasi kerja

Tujuan pengukuran a. Mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi faktor fisik kebisingan serta dampak dan cara penanggannya b. Mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi faktor fisik penerangan serta dampak dan cara penanggannya

BAB II LANDASAN TEORI


Di dalam perencanaan dan perancangan sistem kerja perlu diperhatikan faktorfaktor yang dapat mempengaruhi kondisi lingkungan kerja seperti, kebisingan, pencahayaan, suhu dan lain-lain. Suatu kondisi lingkungan kerja dikatakan baik apabila dalam kondisi tertentu manusia dapat melaksanakan kegiatannya dengan optimal. Ketidaksesuaian lingkungan kerja dengan manusia yang bekerja pada lingkungan tersebut dapat terlihat dampaknya dalam jangka waktu tertentu.

Faktor lingkungan kerja, alat, dan cara sangat berpengaruh terhadap produktivitas. Dalam usaha mendapatkan produktivitas yang tinggi, maka faktor-faktor tersebut harus serasi terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan manusia pekerja. Secara skemetis alurpikir tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas kerja dapat diilustrasikan pada gambar di bawah ini. Digambarkan bahwa faktor lingkungan kerja sangat berpengaruh terhadap performansi kerja yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produktivitas pekerja.

Dalam suatu lingkungan kerja, manusia mempunyai peranan sentral kerja dimana manusia berperan sebagai perencana dan perancang suatu sistem kerja disamping manusia harus berinteraksi dengan sistem untuk dapat mengendalikan proses yang sedang berlangsung pada sistem kerja secara keseluruhan. Manusia sebagai salah satu komponen dari suatu sistem kerja merupakan bagian yang sangat kompleks dengan berbagai macam sifat, keterbatasan dan kemampuan yang dimilikinya. Namun demikian usaha untuk memahami tingkah laku manusia, khususnya tingkah laku kerja manusia tidak dapat dilakukan hanya dengan memahami kondisi fisik manusia saja. Kelebihan dan keterbatasan kondisi fisik manusia memang merupakan faktor yang harus diperhitungkan, tetapi bukan satu-satunya faktor yang menentukan produktivitas kerja (Wignjosoebroto, Sritomo. 2000).

Lingkungan kerja yang baik dan sesuai dengan kondisi manusia (pekerja) tentu saja akan memberikan pengaruh yang besar terhadap pekerja itu sendiri dan tentu saja terhadap produktivitas kerja yang dihasilkan. Oleh karena itu perancangan lingkungan kerja yang baik dan optimal sangat diperlukan. Berikut ini penjelasan mengenai faktor-faktor fisik lingkungan kerja. Kondisi yang ergonomis, yaitu lingkungan kerja yang memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pekerja. Rasa nyaman sangat penting secara biologis karena akan mempengaruhi kinerja pada organ tubuh manusia ketika sedang bekerja. Penyimpangan dari batas kenyamanan akan menyebabkan perubahan secara fungsional yang pada akhirnya berpengaruh pada fisik maupun mental pekerja.

Manusia akan mampu melaksanakan kegiatannya dengan baik dan mencapai hasil yang optimal apabila lingkungan kerjanya mendukung. Kondisi kualitas lingkungan yang baik akan memberikan rasa nyaman dan sehat yang mendukung kinerja dan produktivitas manusia.

Kualitas lingkungan kerja yang baik dan sesuai dengan kondisi manusia sebagai pekerja akan mendukung kinerja dan produktivitas kerja yang dihasilkan. Pengendalian dan penanganan faktor-faktor lingkungan kerja seperti kebisingan, temperatur, getaran dan pencahayaan merupakan suatu masalah yang harus ditangani secara serius dan berkesinambungan. Suara yang bising, temperatur yang panas getaran dan pencahayaan yang kurang di dalam tempat kerja merupakan salah satu sumber yang mengakibatkan tekanan kerja dan penurunan produktivitas kerja (Tarwaka, 2004).

2.1 Kebisingan
Suara di tempat kerja berubah menjadi salah satu bahaya kerja (occupationa hazard) saat keberadaanya dirasakan mengganggu/tidak diinginkan secara: a. fisik (menyakitkan telinga) b. psikis (mengganggu konsentrasi dan kelancaran komunikasi)

Saat situasi tersebut terjadi, status suara berubah menjadi polutan dan identitas suara berubah menjadi kebisingan (noise). Kebisingan (noise) di tempat kerja menjadi bahaya kerja bagi sisitem pennginderaan manusia (occupation hazard), dalam hal ini bagi system pendengaran (hearing loss).

Dalam bahasa K3, National Institute of Occupational Safety & Health (NIOSH) telah mendefinisikan status suara/kondisi kerja dimana suara berubah menjadi polutan secara lebih jelas, yaitu : a. Suara-suara dengan tingkat kebisingan lebih besar dari 104 dBA. b. Kondisi kerja yang mengakibatkan seorang karyawan harus menghadapi tingkat kebisingan lebih besar dari 85 dBA selam lebih dari 8 jam (maksimum 85 dBA as an 8-hr TWA).

Di tempat kerja, kebisingan diklasifikasikan ke dalam 2 jenis golongan besar, yaitu kebisingan tetap (steady noise) dan kebisingan tidak tetap (non-steady noise). Kebisingan tetap (steady noise) dipisahkan lagi menjadi 2 jenis, yaitu : a. Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise) Kebisingan ini berupa nada-nada murni pada frekuensi yang beragam, contohnya suara mesin, suara kipas, dan sebagainya. b. Broad band noise Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise sama-sama digolongkan sebagai kebisingan (steady noise). Perbedaannya adalah broad band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan nada murni). Sementara itu, kebisingan tidak tetap (unsteady noise) dibagi lagi menjadi : a. Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise) Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu b. Intermittent noise Sesuai dengan terjemahannya intermittent noise adalah kebisingan yang terputus-putus dan besranya dapat berubah-ubah, contohnya kebisingan lalu lintas

c. Impulsive noise Kebisingan impulsive dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi (memekakan telinga) dalam waktu relative singkat, misalnya suara ledakkan senjata api dan alat-alat sejenisnya (Benjamin T, 2005).

Kebisingan adalah salah satu polusi yang tidak dikehendaki manusia. Dikatakan tidak dikehendaki karena dalam jangka panjang, bunyi-bunyian tersebut akan dapat mengganggu ketenangan kerja, merusak pendengaran, dan menimbulkan kesalahan komunikasi bahkan kebisingan yang serius dapat mengakibatkan kematian. Semakin lama telinga mendengar kebisingan, makin buruk pula dampak yang diakibatkannya, diantaranya adalah pendengaran dapat semakin berkurang

Seseorang cenderung mengabaikan bising yang dihasilkannya sendiri apabila bising yang ditimbulkan tersebut secara wajar menyertai pekerjaan, seperti bising mesin ketik atau mesin kerja. Sebagai patokan, bising yang hakekatnya mekanik atau elektrik, yang disebabkan kipas angin, transformator, motor, selalu lebih mengganggu daripada bising yang hakekatnya alami (angin, hujan, air terjun dan lain-lain).

Pengukuran kebisingan dilakukan dengan menggunakan sound level meter. Prinsip kerja alat ini adalah dengan mengukur tingkat tekanan bunyi. Tekanan bunyi adalah penyimpangan dalam tekanan atmosfir yang disebabkan oleh getaran partikel udara karena adanya gelombang yang dinyatakan sebagai amplitudo dari fluktuasi tekanan. Jika kita mengukur bunyi dengan satuan Pa ini, maka kita akan memperoleh angka-angka yang sangat besar dan susah digunakan. Skala decibell ini hampir sesuai dengan tanggapan manusia terhadap perubahan kekerasan bunyi, yang secara kasar sebanding dengan logaritma energi bunyi. Ini berarti bahwa energi bunyi yang sebanding dengan 10, 100, dan 1000 akan menghasilkan ditelinga pengaruh yang subyektif sebanding dengan logaritmanya, yaitu masing-masing 1, 2, dan 3. Bila skala logaritma ini dikalikan dengan 10 maka diperoleh skala decibell.

Skala decibell ini menggunakan referensi ambang batas kemampuan dengar 20 mPa. Tingkat tekanan bunyi dari berbagai bunyi yang sering kita jumpai dinyatakan dalam skala Pa dan dB (Sutalaksana, 1979).

2.2 Sumber Kebisingan


Hal-hal yang terkait dengan kebisingan mengenai sumber bising, pengukuran, dan pengaruhnya, serta pengendalian kebisingan dapat dijelaskan sebagai berikut: Sumber-sumber bising, Sumber bising dalam pengendalian kebisingan lingkungan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: a. Bising interior, Bising yang berasal dari manusia, alat-alat rumah tangga atau mesinmesin gedung yang antara lain disebabkan oleh radio, televisi, alatalat musik, dan juga bising yang ditimbulkan oleh mesin-mesin yang ada digedung tersebut seperti kipas angin, motor kompresor pendingin, pencuci piring dan lain-lain. b. Bising eksterior, Bising yang dihasilkan oleh kendaraan transportasi darat, laut, maupun udara, dan alat-alat konstruksi. Dalam dunia industri jenisjenis bising yang sering dijumpai antara lain meliputi:

Bising kontinu dengan jangkauan frekuensi yang luas. Misalkan suara yang ditimbulkan oleh mesin bubut, mesin frais, kipas angin, dan lain-lain.

Bising kontinu dengan jangkauan frekuensi yang sempit. Misalkan bising yang dihasilkan oleh suara mesin gergaji, katup gas, dan lain-lain.

Bising terputus-putus (intermittent). Misal suara lalu lintas, suara kapal terbang.

Bising impulsive seperti pukulan palu, tembakan pistol, dan lainlain.

Sifat suatu kebisingan ditentukan oleh intensitas suara, frekuensi suara, dan waktu terjadinya kebisingan. ketiga faktor diatas juga dapat menentukan tingkat gangguan terhadap pendengaran manusia. Kebisingan yang

mempunyai frekuensi tinggi lebih berbahaya daripada kebisingan dengan frekuensi lebih rendah. Dan semakin lama terjadinya kebisingan disuatu tempat, semakin besar akibat yang ditimbulkannya. Disamping itu juga terdapat faktor lain yang perlu diperhatikan dalam melakukan studi tentang kebisingan, faktor tersebut berupa bentuk kebisingan yang dihasilkan, berbentuk tetap atau terus-menerus (steady) atau tidak tetap (intermittent).

Kerusakan pendengaran manusia terjadi karena pengaruh kumulatif exposure dari suara diatas intensitas maksimal dalam jangka waktu lebih lama dari waktu yang diijinkan untuk tingkat kebisingan yang bersangkutan (Nurmianto, 1995).

Di tempat kerja, disadari maupun tidak, cukup banyak fakta yang menunjukkan bahwa perusahaan beserta aktivitas-aktivitasnya ikut

menciptakan dan menambah keparahan tingkat kebisingan di tempat kerja, misalnya : a. b. Mengoperasikan mesin-mesin produksi ribut yang sudah cukup tua. Terlalu sering mengoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja cukup tinggi dalam periode operasi cukup panjang. c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi alakadarnya, misalnya mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami kerusakan parah. d. Melakukan modifikasi/perubahan/penggantian secara parsial pada

komponen-komponen mesin produksi tanpa mengindahkan kaidahkaidah keteknikkan yang benar, termasuk menggunakan komponenkomponen mesin tiruan. e. Pemasangan dan peletakkan komponen-komponen secara tidak tepat (terbalik/tidak rapat/longgar), terutama pada bagian penghubung antara modul mesin (bad connection).

f.

Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya misalnya penggunaan palu (hammer)/alat pemukul sebagai alat pembengkok benda-benda metal atau alat bantu pembuka baut.

Aktivitas di tempat kerja yang membuat pekerja harus berhadapan dengan kebisingan memiliki intensitas cukup besar misalnya, berada dalam high noise areas dapat mengakibatkan gangguan atau kerusakan pendengaran pada pekerja. Gangguan pendengaran secara permanen dapat juga disebabkan karena pekerja terlalu sering dalam periode waktu yang cukup lama di dalam situasi kerja yang bising, walaupun mungkin intensitasnya tidak terlalu besar (Benjamin T, 2005).

2.3 Tingkat Kebisingan


Tingkat kebisingan, terjemahan bebas dari noise level atau sound level, merupakan fungsi dari amplitude gelombang suara dan dinyatakan dalam satuan decibel (dB).

Dari sisi formulasi matematis. Setidak-tidaknya ada tiga cara berbeda yang sering digunakan orang untuk mendefinsikan tingkat kebisingan, yaitu SIL, PWL, dan SPL a. SIL (Sound Intensity Level). SIL adalah perhitungan nilai logaritma dari perbandingan antara intensitas suara (sound intensity) di sebuah tempat yang diukur terhadap batas intensitas pendengaran telinga manusia pada frekuensi 1000 Hz (thres hold of hearing). Threshold of hearing pada kondisi ini adalah sebesar 10-12 watt/m2. Secara internasional, pada intensitas sebesar 10-12 watt/m2,

tingkat kebisingan dengan menggunakan intensitas suara lebih sering digunakn untuk menghitung tingkat kebisingan di dua tempat yang berbeda jaraknya dari sumber suara. Tingkat kebisingan dengan menggunakan intensitas suara sebagai acuan perhitungan disebut Sound Intensity Level atau SIL atau LI. LI(dB)=10 1og10 I/I0

b. PWL (Sound Power Level) Perhitungan nilai logaritma dari perbandingan antara daya suara (sound power) di sebuah tempat/sumber suara yang diukur (W) terhadap daya suara acuan pada frekuensi 1000Hz (threshold of hearing). Threshold of hearing (W0) pada kondisi ini adalah sebesar 10-12 watt. Tingkat kebisingan dengan menggunakan daya suara sebagai acuan perhitungan disebut Sound Power Level atau PWL atau LW. PWL = LW (dB) = 10 log10 W/W0 atau PWL = LW(dB) = 120+10log10 W c. SPL (Sound Pressure Level) Perhitungan nilai logaritma dari perbandingan antara tekanan suara (sound pressure) di sebuah tempat yang diukur terhadap tekanan suara acuan pada frekuensi 1000Hz (threshold of hearing). Threshold of hearing pada kondisi ini adalah sebesar 2x10-5Pa. Tingkat kebisingan dengan menggunakan tekanan suara sebagai acuan perhitungan disebut Sound Pressure Level atau SPL atau LP. SPl = LP (dB) = 20 log10 P/PO atau SPL = LP (dB) = 94+20log10 P Di tempat terbuka (open space), dari sumbernya, gelombang suara menyebar ke segala arah dengan area penyebaran berbentuk bola. Jumlah daya suara (W) per satuan luas area penyebaran gelombang (A) disebut intentitas suara (I). Intentitas suara di tiap titik penyebaran sangat ditentukan oleh luas area kulit bola di mana titik tersebut berada. Intentitas suara (I) di sebuah titik berbanding terbalik dengan kuadrat jarak (r2) antara titik tersebut dengan sumber suara.

2.4 Pengukuran Kebisingan


Sumber kebisingan di perusahaan biasanya berasal dari mesin-mesin untuk proses produksi dan alat-alat lain yang dipakai untuk melakukan pekerjaan. Sumber-sumber tersebut harus diidentifikasi dan dinilai kehadirannya agar

10

dapat dipantau sedini mungkin dalam upaya mencegah dan mengendalikan pengaruh paparan kebisingan terhadap pekerja yang terpapar. Dengan demikian penilaian tingkat intensitas kebisingan di perusahaan secara umum dimaksudkan untuk beberapa tujuan, yaitu: a. Memperoleh data intensitas kebisingan pada sumber suara. b. Memperoleh data intensitas kebisingan pada penerima suara (pekerja dan masyarakat sekitar perusahaan). c. Menilai efektivitas sarana pengendalian kebisingan yang telah ada dan merencanakan langkah pengendalian lain yang lebih efektif. d. Mengurangi tingkat intensitas kebisingan baik pada sumber suara maupun pada penerima suara sampai batas diperkenankan. e. Membantu memilih alat pelindung dari kebisingan yang tepat sesuai dengan jenis kebisingannya.

Setelah intensitas dinilai dan dianalisis, selanjutnya hasil yang diperoleh harus dibandingkan dengan standar yang ditetapkan dengan tujuan untuk mengetahui apakah intensitas kebisingan yang diterima oleh pekerja sudah melampaui Nilai Ambang Batas (NAB) yang diperkenankan atau belum. Dengan demikian akan dapat segera dilakukan upaya pengendalian untuk mengurangi dampak pemaparan terhadap kebisingan. NAB kebisingan di tempat kerja berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 51/MEN/1999 yang merupakan pembaharuan dari Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 01/MEN/1978, dan Keputusan Menteri Kesehatan No: 405/Menkes/SK/XI/2002 besarnya rata-rata 85 dB-A untuk batas waktu kerja terus-menerus tidak lebih dari 8 jam atau 40 jam seminggu. Selanjutnya apabila tenaga kerja menerima pemaparan kebisingan lebih dari ketetapan tersebut, maka harus dilakukan pengurangan waktu pemaparan (Sutalaksana, 1979). Telinga manusia sama sekali tidak dapat dijadikan refrensi tingkat kebisingan yang terdapat pada sebuah tempat. Berdasarkan hasil percobaan, pada saat intensitas kebisingan sesungguhnya berkurang 2dB dari tingkat

11

kebisingan awal, pengurangan kebisingan yang dirasakan oleh telinga manusia adalah sekitar 15%, sedangkan pada saat pengurangan (aktual) sebesar 20% maka kebisingan yang dirasakan akan berkurang sebesar 81%. Untuk mendapatkan hasil pengukuran tingkat kebisingan yang akurat, diperlukan alat-alat khusus.

Dua perangkat keras yang popular digunakan untuk menganalisis tingkat kebisingan pada berbagai jenis industri, lalu lintas, dan ilmiah adalah Sound Level Meter (SLM) dan noise dosimeter. Umumnya, kedua alat tersebut berukuran kecil (alat genggam) dan menggunakan baterai sebagai sumber daya listrik. Pengukuran tingkat kebisingan (noise level) menggunakan SLM bersifat real time.

Dua spesifikasi penting yang harus diperhatikan saat hendak membeli atau mengoperasikan SLM dan noise dosimeter adalah: a. Rentang frekuensi (frequency range) Rentang frekuensi adalah batas-batas frekuensi (pitch) di mana SLM atau noise dosimeter memiliki sensitivitas yang stabil saat dilakukan pengukuran, disebut juga tentang frekuensi operasional octave band frequency filter). b. Rentang level suara (sound level range) Mirip dengan rentang frekunsi, rentang level suara merupakan batas tekanan suara minimum dan maksimum yang dapat dikenali oleh kedua alat tersebut (Benjamin T, 2005). (misalnya 1/3

2.5 Sound Level Meter dan Nois Dosimeter


Komponen dasar sebuah SLM adalah sebuah microphone, penguat suara (amplifier) dengan pengatur frekuensi, dan sebuah layar indikator. Sesuai namanya, fungsi dasar minimum yang harus ada pada sebuah sound level meter adalah sebagai alat pengukur tingkat suara (dB). Fungsi-fungsi tambahan lain cukup bervariasi, seperti fungsi pengukuran TWA (Time Weigted Average) secara otomatis dan pengukuran dosis kebisingan.

12

Sensitivitas telinga manusia terhadap frekuensi suara sangat terbatas dan jelas hal ini sangat memengaruhi pengenalan manusia terhadap potensi bahay kebisingan di tempat kerja. Untuk mengatasi hal ini, sebuah sound level meter dilengkapi dengan tombol pengatur sekala pembobotan seperti A, B, C, dan D. Masing-masing skala berisi penentuan perbandingan ketiga skala pembobotan tersebut (lihat lampiran) didasarkan pada hasil-hasil empiris.

Skala A, contohnya, adalah rentang skala pembobotan yang melingkupi frekuensi suara rendah dan frekuensi suara tinggi yang masih dapat diterima oleh telinga manusia normal, dan biasa digunakan untuk menganalisis pengaruh kebisingan di tempat kerja (occupational noise). Sementara itu, skala B, C, dan D digunakan untuk keperluan-keperluan khusus, misalnya pengukuran kebisingan yang dihasilkan oleh pesawat terbang bermesin jet.

Tingkat kebisingan di sebuah tempat umumnya berubah-ubah, jarang sekali dijumpai dalam keadaan konstan. Sudah barang tentu kondisi ini sangat memengaruhi keakurasian SLM dalam merekam kebisingan yang sedang terjadi. Untuk mengatasi hal ini, sebuah sound level meter umumnya dilengkapi dengan beberapa tombol respaonse level yaitu SLOW (response rate sebesar 1 milliseconds), dan FAST (0,125 milliseconds), PEAK (50 milliseconds), dan IMPULSE dengan rentang pengukuran tingkat kebisingan antara 35-130 db(A) (Benjamin T, 2005).

2.6 Pengaruh Kebisingan


Pengaruh pemaparan kebisingan secara umum dapat dikategorikan menjadi dua berdasarkan tinggi rendahnya intensitas kebisingan dan lamanya waktu pemaparan. Pertama, pengaruh pemaparan kebisingan intensias tinggi (diatas NAB) dan kedua, pengaruh pemaparan kebisingan intensitas rendah (di bawah NAB), yaitu: a. Pengaruh kebisingan intensitas tinggi, sebagai berikut:

Pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi adalah terjadinya kerusakan pada indera pendengaran yang dapat menyebabkan

13

penurunan daya dengar baik yang bersifat sementara maupun bersifat permanen atau ketulian.

Pengaruh kebisingan akan sangat terasa apabila jenis kebisingannya terputus-putus dan sumber kebisingannya tidak diketahui.

Secara

fisiologis,

kebisingan

dengan

intensitas

tinggi

dapat

menyebabkan gangguan kesehatan seperti: meningkatnya tekanan darah dan tekanan jantung, resiko serangan jantung meningkat, dan gangguan pencernaan.

Reaksi masyarakat, apabila kebisingan dari suatu proses produksi demikian hebatnya sehingga masyarakat sekitarnya menuntut agar kegiatan tersebut dihentikan.

b. Pengaruh kebisingan intensitas tingkat rendah, Tingkat intensitas kebisingan rendah banyak ditemukan di lingkungan kerja seperti perkantoran, ruang administrasi perusahaan, dan lain-lain. Intensitas kebisingan yang masih dibawah NAB tersebut secara fisiologis tidak menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian,

kehadirannya sering dapat menyebabkan penurunan performansi kerja, sebagai salah satu penyebab stres dan gangguan kesehatan lainnya. Stres yang disebabkan karena pemaparan kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dini, kegelisahan dan depresi. Secara spesifik stres karena kebisingan dapat menyebabkan dampak, yaitu:

Stres menuju keadaan cepat marah, sakit kepala, dan gangguan tidur. Gangguan reaksi psikomotor Kehilangan konsentrasi. Penurunan performansi kerja yang dapat menimbulkan kehilangan efisiensi dan produktivitas kerja.

2.7 Penerangan (Cahaya)


Pencahayaan didefinisikan sebagai jumlah cahaya yang jatuh pada permukaan. Satuannya adalah lux (1 lm/m2), dimana lm adalah lumens atau lux cahaya. Salah satu faktor penting dari lingkkungan kerja yang dapat memberikan kepuasan dan produktivitas adalah adanya penerangan yang

14

baik. Penerangan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan pekerja dapat melihat obyek-obyek yang dikerjakan secara jelas, cepat dan tanpa upaya-upaya yang tidak perlu.

Penerangan yang cukup dan diatur dengan baik juga akan membantu menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan menyenangkan sehingga dapat memelihara kegairahan kerja. Telah kita ketahui hampir semua pelaksanaan pekerjaan melibatkan fungsi mata, dimana sering kita temui jenis pekerjaan yang memerlukan tingkat penerangan tertentu agar tenaga kerja dapat dengan jelas mengamati obyek yang sedang dikerjakan. Intensitas penerangan yang sesuai dengan jenis pekerjaannnya jelas akan dapat meningkatkan produktivitas kerja. Sanders dan McCormick (1987)

menyimpulkan dari hasil penelitian pada 15 perusahaan, dimana seluruh perusahaan yang diteliti menunjukkan kenaikkan hasil kerja antara 4-35%. Selanjutnya Armstrong (1992) menyatakan bahwa intensitas penerangan yang kurang dapat menyebabkan gangguna visibilitas dan eyestrain. Sebaliknya intensitas penerangan yang berlebihan juga dapat menyebabkan glare, reflections, excessive shadows, visibility dan eyestrain. Semakin halus pekerjaan dan mnyangkut inspeksi serta pengendalian kualitas, atau halus detailnya dan kurang kontras, makin tinggi illuminasi yang diperluka, yaitu antara 500 lux sampai dengan 100 lux (Sumamur, 1996).

Tenaga kerja disamping harus dengan jelas dapat melihat obyek-obyek yang sedang dikerjakan juga harus dapat melihat dengan jelas pula benda atau alat dan tempat disekitarnya yang mungkin mengakibatkan kecelakaan. Maka penerangan umum harus memadai. Dalam suatu pabrik dimana terdapat banyak mesin dan proses pekerjaan yang berbahaya maka penerangan harus didesain sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi kecelakaan kerja. Pekerjaan yang berbahaya harus dapat diamati dengan jelas dan cepat, karena banyak kecelakaan terjadi akibat penerangan kurang memadai.

15

Secara umum jenis penerangan atau pencahayaan dibedakan menjadi dua yaitu penerangan buatan (penerangan artifisial) dan penerangan alamiah (dan sinar matahari). Untuk mengurangi pemborosan energi disarankan untuk mengunakan penerangan alamiah, akan tetapi setiap tempat kerja harus pula disediakan penerangan buatan yang memadai. Hal mi untuk menanggulangi jika dalam keadaan mendung atau kerja di malam hari. Perlu diingat bahwa penggunaan penerangan buatan harus selalu diadakan perawatan yang baik oleh karena lampu yang kotor akan menurunkan intensitas penerangan sampai dengan 30%. Tingkat penerangan pada-tiap tiap pekerjaan berbeda tergantung sifat dan jenis pekerjaannya. Sebagai contoh gudang memerlukan intensitas penerangan yang lebih rendah dan tempat kerja administrasi, dimana diperlukan ketelitian yang lebih tinggi (Tarwaka, 2004).

Menurut Grandjean (1993) penerangan yang tidak didesain dengan baik akan menimbulkan gangguan atau kelelahan penglihatan selama kerja. Pengaruh dan penerangan yang kurang memenuhi syarat akan mengakibatkan dampak, yaitu: 1. Kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan effisiensi kerja. 2. Kelelahan mental. 3. Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata. 4. Kerusakan indra mata dan lain-lain.

Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara kepada penurunan performansi kerja, sebagai berikut: 1. Kehilangan produktivitas 2. Kualitas kerja rendah 3. Banyak terjadi kesalahan 4. Kecelakan kerja meningkat

Intensitas penerangan yang dibutuhkan di masing-masing tempat kerja ditentukan dan jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan. Semakin tinggi tingkat ketelitian suatu pekerjaan, maka akan semakin besar kebutuhan

16

intensitas penerangan yang diperlukan, demikian pula sebaliknya. Standar penerangan di Indonesia telah ditetapkan seperti tersebut dalam Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No. 7 Tahun 1964, Tentang syarat-syarat kesehatan, kebersihan dan penerangan di tempat kerja. Standar penerangan yang ditetapkan untuk di Indonesia tersebut secara garis besar hampir sama dengan standar internasional. Sebagai contoh di Australia menggunakan standar AS 1680 untuk Interior Lighting yang mengatur intensitas penerangan sesuai dengan jenis dan sifat pekerjaannya. Secara ringkas intensitas penerangan yang dimaksud dapat dijelaskan, sebagai berikut: 1. Penerangan untuk halaman dan jalan-jalan di lingkungan perusahaan harus mempunyai intensitas penerangan paling sedikit 20 lux. 2. Penerangan untuk pekerjaan-pekerjaan yang hanya membedakan barang kasar dan besar paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 50 lux. 3. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan yang membedakan barang-barang kecil secara sepintas paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 100 lux. 4. Penerangan untuk pekerjaan yang membeda-bedakan barang kecil agak teliti paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 200 luks. 5. Penerangan untuk pekerjaan yang membedakan dengan teliti dan barangbarang yang kecil dan halus, paling sedikit mempunyai intensitas penerangan 300 lux. 6. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda-bedakan barang halus dengan kontras yang sedang dalam waktu yang lama, harus mempunyai intensitas penerangan paling sedikit 500 1000 lux. 7. Penerangan yang cukup untuk pekerjaan membeda-bedakan barang yang sangat halus dengan kontras yang kurang dan dalam waktu yang lama, harus mempunyai intensitas penerangan paling sedikit 2000 lux.

17

Tabel Intensitas cahaya di ruang kerja Tingkat Jenis Kegiatan Pencahayaan Minimal (lux) Pekerjaan kasar dan tidak terus-menerus Pekerjaan kasar dan terus-menerus Ruang 100 penyimpanan dan yang Keterangan

peralatan atau instalasi

memerlukan pekerjaan kontinyu 200 Pekerjaan dengan mesin dan perakitan kasar Ruang administrasi, ruang

Pekerjaan rutin

300

kontrol, pekerjaan mesin dan perakitan Pembuatan gambar atau bekerja

Pekerjaan halus

agak

500

dengan pemeriksaan dengan mesin Pemilihan

mesin atau

kantor, pekerjaan

warna,

pemrosesan

Pekerjaan halus

1000

tekstil, pekerjaan mesin halus dan perakitan halus

Pekerjaan halus

sangat

1500

Mengukir

dengan

tangan,

tidak menimbulkan pemeriksaan pekerjaan mesin, bayangan 3000 dan perakitan yang sangat halus Pemeriksaan pekerjaan, perakitan

Pekerjaan terinci

tidakmenimbulkan sangat halus bayangan

Uraian tentang lingkungan kerja fisik tersebut dapat dipertegas bahwa dengan pengendalian faktor-faktor yang berbahaya di lingkungan kerja diharapkan akan tercipta lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan produktif bagi tenaga kerja. Hal tersebut dimaksudkan untuk menurunkan angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja sehingga akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja (Sumamur, 1996).
18

BAB III METODE KERJA


3.1 Waktu dan Tempat Praktikum Kesehatan dan Keselamatan Kerja dilaksanakan pada hari Sabtu, 19 November 2011 dari pukul 11.00 WITA. Lokasi penelitian berada di bengkel motor Jl. Pramuka.

3.2 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat - Sound Level Meter - Light Meter (Model LX-101A) Merk Lutron - Kamera (dokumentasi) - Stopwatch 3.1.2 Bahan - Batrai type 6F22 9V - Alat tulis

3.2 Langkah Kerja 3.2.1 Kebisingan - Dipasang batrai pada alat Sound Level Meter - Dinyalakan dengan menekan tombol on/off - Didekatkan pada sumber bunyi kemudian di catat setiap 5 detik sekali selama 10 menit. 3.2.2 Pencahayaan - Disiapkan alat Light Meter - Dinyalakan dan diarahkan pada sumber cahaya - Ditunggu hingga 5 detik kemudian difoto dan dicatat

19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Hasil Pengamatan Kebisingan

Hasil pengamatan kebisingan menggunakan Sound Level Meter Waktu 00.05 00.10 00.15 00.20 00.25 00.30 00.35 00.40 00.45 00.50 00.55 01.00 01.05 01.10 01.15 01.20 01.25 01.30 01.35 01.40 01.45 01.50 01.55 02.00 Ukuran 77 79 71 72 72 74 74 76 75 75 73 77 73 71 75 78 75 68 70 75 76 69 68 80 Waktu 02.35 02.40 02.45 02.50 02.55 03.00 03.05 03.10 03.15 03.20 03.25 03.30 03.35 03.40 03.45 03.50 03.55 04.00 04.05 04.10 04.15 04.20 04.25 04.30 Ukuran 72 72 75 73 75 82 75 71 70 66 70 71 71 74 65 67 83 72 70 71 74 73 71 70 Waktu 05.05 05.10 05.15 05.20 05.25 05.30 05.35 05.40 05.45 05.50 05.55 06.00 06.05 06.10 06.15 06.20 06.25 06.30 06.35 06.40 06.45 06.50 06.55 07.00 Ukuran 75 75 74 67 68 71 74 70 68 68 72 67 70 76 74 72 73 79,2 71,1 73 74 72 71 74 Waktu 07.35 07.40 07.45 07.50 07.55 08.00 08.05 08.10 08.15 08.20 08.25 08.30 08.35 08.40 08.45 08.50 08.55 09.00 09.05 09.10 09.15 09.20 09.25 09.30 Ukuran 74 74 73 74 81 80 76 82 70 69 77 80 86 85 77 72 71 71 66 72 79 74 66 75

20

02.05 02.10 02.15 02.20 02.25 02.30

70 73 69 74 70 74

04.35 04.40 04.45 04.50 04.55 05.00

72 70 71 83 87 81

07.05 07.10 07.15 07.20 07.25 07.30

77 65 75 73 71 79

09.35 09.40 09.45 09.50 09.55 10.00

68 76 70 84 72 73

Data yang diperoleh dikelompok berdasarkan nilai yang sama No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Lk 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 nk 2 3 3 6 3 14 11 13 12 14 11 5 5 1 4 3 2 3 1 1 1 1

21

23 Total

87

1 120

Kemudian dimasukkan ke persamaan Lif = 10 log Lif = 10 log nk 10 0,1.Lk (14 . 10 0,1 . 70 + 11 . 100,1 . 71 + 13 . 100,1 .72 + 12 . 100,1 .73

+ 14 . 100,1 . 74 + 11 . 100,1 .75 + 5 . 100,1 . 76 + 5 . 100,1 . 77 + 1 . 100,1 . 78 + 4 . 100,1 . 79 + 3 . 100,1 . 80 + 2 . 100,1 .81 + 3 . 100,1 . 82 + 1 . 100,1 . 86 + 1 . 100,1 .87 + 1 . 100,1 . 83 + 1 . 100,1 . 85 + 1 . 100,1 .84 + 6 . 100,1 .68 + 3 . 100,1 . 69 + 3 . 100,1 .66 + 2 . 100,1 .65 + 3 . 100,1 .67 = 66,2 Jadi, tingkat kebisingannya adalah 66,2 dB(A)

4.1.2 Hasil Pengamatan Cahaya Hasil Pengukuran Pencahayaan dengan Light Meter pada lokasi adalah 1.949 Lux yang dilaksanakan pada pukul 11.00 WITA, untuk mewakili pukul 09.00-11.00 WITA.

4.2 Pembahasan Pada praktikum Laboratorium Lingkungan yang berkaitan dengan K3 ini, kami melakukan pengukuran tingkat kebisingan dan penerangan di area bengkel jl. pramuka dan dilakukan pada tanggal 11 November 2011 pukul 11.00 wita.

22

Berdasarkan hasil pengukuran dan melui perhitungan diperoleh data hasil pengukuran sebagai berikut Tingkat Kebisingan adalah 66,2 dB(A) dan Tingkat Penerangan adalah 305 lux.

Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Tingkat kebisingan adalah ukuran bunyi yang dinyatakan dalam satuan decibel (dB).

Pada praktikum kali ini pengukuran dilakukan di salah satu bengkel di Jl. Pramuka. Pertama, disipkan alat dan bahan yang diperlukan untuk pengukuran. Setelah itu dinyalakan dan dilakukan pengukuran. Pada pengukuran kebisingan dilakukan dengan alat Sound Level Meter. Nilai tingkat sinambung setara (equivalent Continous noise level) Leg selama 10 menit dengan sampling rate tiap 5 detik adalah 120 data.

Dari 120 data tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan data yang sama dan selanjutnya dimasukan kedalam persamaan Lif = 10 log 10 0,1.Lk , sehingga diperoleh nilai 66,2 dB (A). nk

Pengukuran yang kami lakukan pada tenggang waktu L2, dimana data pengukurannya mewakili pukul 09.0011.00 WITA. Nilai yang di dapat pada pengukuran tersebut adalah yang telah tertulis di hasil pengamatan, dan nilai tingkat kebisingannya adalah 66,2 dB (A). Hal ini tidak melampaui baku mutu yang ada yaitu 70 dB. Penyebab hal ini adalah karena bengkel terletak di bahu jalan yang lalu lintasnya cukup padat sehingga mempengaruhi kualitas kebisingan.

Dampak yang dihasilkan dari tingkat kebisingan dalam waktu terusmenerus bagi para pekerja antara lain adalah masalah psikis atau kehilangan konsentrasi dan penurunan performansi kerja yang dapat menimbulkan kehilangan efisiensi serta produktivitas kerja tetapi tidak mengganggu sistem pendengaran. Untuk menangani hal ini ialah cukup beristirahat dan menjauh dari sumber suara selama beberapa saat.

23

Pengukuran tingkat penerangan (cahaya) dilakukan dengan menggunakan alat Light meter. Pengukuran dilakukan dengan cara mengarahkan Light meter kearah datangnya,sumber cahaya.

Pada Bengkel Jl. Pramuka, cahaya berasal dari beberapa sumber, yaitu dari sinar matahari dan lampu. Berdasarkan baku intensitas cahaya di luar ruangan, jenis kegiatan yang terdapat pada luar ruangan berupa pekerjaan amat halus dengan tingkat pencahayaan minimal 1500 lux, sedangkan berdasarkan hasil pengukuran kami, tingkat pencahayaan pada luar ruangan (bengkel) tersebut adalah 1.949 lux. Ini disebabkan oleh kesalahan dalam pengambilan sumber cahaya yang mana kami meletakkan alat tepat pada sinar matahari, sehingga didapatkan pengukuran yang jauh melebihi standar baku mutu. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa penerangan di Bengkel Jl. Pramuka tidak memenuhi standar baku.

Cahaya yang menyilaukan ini akan mengganggu (disability glare) dan tidak menyenangkan (disamfort glare) bagi kegiatan visual, serta dapat

meningkatkan kelelahan dan menyebabkan sakit kepala. Hal ini dapat ditangangi dengan cara mengurangi sumber cahaya dan menggunakan APD seperti pelindung mata.

Tabel perbandingan hasil pengukuran dengan standar yang telah ditetapkan. Tingkat kebisingan pada perdagangan dan jasa Standar yang telah ditentukan Hasil pengukuran 66.2 dB(A) 1.949 lux 70 dB(A) Intensitas penerangan pada pekerjaan halus 1.500 lux

24

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
a. Dari pengukuran yang dilakukan, diperoleh data bahwa tingkat kebisingan di ruang Akademik Fakultas Teknik Univ. Mulawarman adalah diatas baku standar yang telah ditetapkan, yakni 61,37 dB(A). Hal ini akan berdampak pada berkurangnya konsentrasi pekerja dan menurunnya produktivitas kerja. Penanganan yang dapat dilakukan antara lain adalah menciptakan kondisi yang kondusif di dalam dan sekitar ruangan tersebut. b. Dari pengukuran yang dilakukan, diperoleh data bahwa intensitas penerangan di ruang Akademik Fakultas Teknik Univ. Mulawarman adalah sesuai standar baku intensitas cahaya di ruanga kerja, yakni 305 lux. Hal ini sangat baik untuk menunjang aktivitas kerjaan di ruang tersebut.

5.2 Saran a. Pengukuran tingkat kebisingan sebaiknya dilakukan lebih dari sekali, untuk membandingkan tingkat kebisingan pada lokasi yang sama dan waktu yang berbeda sesuai dengan nilai tingkat kesinambungan yang telah ditetapkan.. b. Dalam pengukuran cahaya, pengambilan data sebaiknya dilakukan dengan variasi waktu yang berbeda agar dapat diketahui hubungan antaranya dengan baik.

25

DAFTAR PUSTAKA
Benjamin, Sihar. 2005. Kebisingan di Tempat Kerja (Occuptional Noise). Yogyakarta : ANDI

Nurmianto, Eko. 1995. Ergonomi : Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya : Penerbit Guna Widya. Sumamur. 1996. Hyperkes Kesehatan Kerja Dan Ergonomi. Jakarta: Muara Agung Dharma Bhakti.

Sutalaksana dkk. 1979. Teknik Tata Cara Kerja. Jurusan Teknik Industri, Bandung : ITB.

Tarwaka dkk. 2004. Ergonomi untuk keselamatan Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta : UNIBA PRESS.

Wignjosoebroto, Sritomo. 2000. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu : Teknik Analisis untuk Peningkatan Produktivitas Kerja. Surabaya : Penerbit Guna Widya.

26

You might also like