You are on page 1of 12

Laporan Hasil Praktikum Kelompok D-2

MORFIN
I. Pendahuluan Dalam blok neuroscience, untuk ilmu farmakologi mahasiswa akan belajar mengenai obat-obat yang akan dipakai untuk penyakit syaraf dan jiwa, serta penyalahgunaan obat (drug abuse). Masalah drug abuse merupakan masalah besa bagi generasi usia remaja dan kematian akibat over dosis (OD) kian bertambah tiap tahun. Untuk itulah dipilih praktikum mengenai morfin yang metodenya telah dikenal melalui praktikum selama ini. Dalam praktikum ini digunakan kelinci sebagai hewan coba yang memperlihatkan efek depresi nafas yang dapat timbul pada kelebihan dosis morfin (OD), serta pemberian antidotum yang dapat segera mengatasi depresi nafas tersebut. Juga akan diperlihatkan efek morfin yang berlainan pada berbagai spesies (species difference), antara lain kucing, tikus, dan mencit. Sebelum melaksanakan prakikum ini mahasiswa harus menguasai teori tentang morfin, reseptornya, efek farmakologisnya, indikasinya, sifat agonis, agonis partial dan antagonis murni. II. Tujuan a. melihat efek morfin, terutama depresi nafas, miosis dan gejala lain yang terjadi pada OD pada manusia yang diperlihatkan kepada kelinci b. memperlihatkan efek species difference akibat morfin kepada berbagai macam hewan coba c. memperlihatkan efek antidotum pada keracunan/over dosis morfin d. melatih mahasiswa menghitung dosis yang tepat yang akan diberi pada masing-masing hewan coba dan memberi suntikan yang tepat sesuai petunjuk. III. Persiapan 1. hewan coba : kelinci, tikus putih, mencit dan kucing. 2. Obat-obat : larutan Morfin 4%, kafein benzoate 4%, dan larutan nalokson. 3. Alat-alat : timbangan hewan coba, baskom plastik, penggaris, semprit, dan kandang hewan.

4. Dosis larutan morfin 4% yang akan diberikan pada hewan coba : kucing : 20mg/kgbb kelinci : 0,5ml/kgbb tikus : 40-60mg/kgbb mencit : 40mg/kgbb

*nalokson : pada kelinci 0,01 mg/kgbb = 0,2 ml 5. Cara penghitungan dosis yang akan di suntikan : 6. Misalnya : Bb tikus 200 gr 200/1000 x 60 mg = 12 mg 7. Larutan 1 ml jadi 12 mg/40 mg x 1ml = 0,3 ml IV. Cara Kerja Kelinci 1. Ambilah seekor kelinci, perlakukan hewan coba dengan baik dan tidak kasar 2. Timbanglah kelinci anda dengan timbangan hewan coba dengan akurat dan catat 3. Lakukan observasi parameter dasar : sikap kelinci, refleks otot, diameter pupil kanan dan kiri, hitung frekuensi pernafasan dan denyut jantung, kelakuan kelinci. Sikap kelinci: biasanya lincah, jalan-jalan di meja. Refleks otot: tariklah tungkai kaki depanya, normal biasanya ada tahanan. Diameter pupil diukur dalam kondisi cahaya yang konstan. Frekuensi nafas dihitung dengan meraba dada kelinci atau dengan menghitung kembang-kempisnya cuping hidungnya. Karena frekuensi nafas kelinci cepat maka hitunglah menit, kemudian dikalikan 4. Denyut jantung dihitung dengan meraba bagian dada bawah tubuh kelinci dalam semenit. 4. Setelah seluruh parameter dasar selesai, hitunglah berapa ml, larutan morfin yang akan disuntikan pada kelinci dengan cara penghitungan. 5. Mintalah pada instruktur larutan morfin 4% yang akan disuntikan, dalam semprit yang telah disediakan. 6. Lakukan tindakan asepsis, dengan menggosok tempat suntikan dengan larutan alcohol 70%.
2

7. Suntikan larutan morfin 4% yang sesuai dengan perhitungan untuk kelinci anda secara subkutan di daerah subscapula. Pastikan seluruh cairan morfin tadi masuk ke dalam tubuh kelinci dan tidak ada yang tercecer keluar. 8. 9. Biarkan kelinci tetap diatas meja laboratorium, dan lakukan observasi Bila frekuensi pernafasan telah 20x/menit, laporkan pada instruktur, dan seluruh parameter tiap 5 menit. mintalah larutan kafein benzoat 0,5 ml, dan suntikan secara subkutan pada daerah. 10. Bila frekuensi pernafasan tetap turun sampai kurang dari 15x/menit, laporkan pada instruktur agar segera disuntikan nalorfin 0,2 ml pada vena marginalis kelinci. 11. Perhatikan pada saat terjadi over dosis pada kelinci yang ditandai dengan: depresi pernafasan, miosis dan sikap kelinci menjadi lemas, tonus otot sangat menurun, maka beberapa detik setelah penyuntikan nalorfin, maka kelinci akan pulih seperti semula: aktif, tonus otot baik, frekuensi nafas normal. Tikus 1. 2. 3. 4. 5. Ambilah dan timbanglah berat badan tikus putih, dan taruh dalam Hitunglah dosis larutan morfin 4% yang akan diberikan sesuai berat Laporkan hasil perhitungan dosis anda pada instruktur dan ambil larutan Lakukan tindakan asepsis pada tempat suntikan. Peganglah kuduk tikus dengan hati-hati, suntikan larutan morfin 4% baskom plastik. badan tikus dengan menggunakan rumus perhitungan diatas. morfin 4% dalam semprit dengan jumlah yang tepat.

secara subkutan di daerah interskapula. Lakukan dengan baik sehingga seluruh larutan dalam semprit masuk ke dalam tubuh tikus dan tidak tercecer keluar. 6. Biarkan tikus tetap dalam baskom plastik dan lakukan observasi sampai timbul sikap katatonik, tikus akan tetap bertahan pada sikap yang diberikan oleh anda, misalnya sikap duduk. Sikap katatonik disebabkan karena kekakuan otot tubuh tikus.

Mencit 1. Ambilah dan timbanglah seekor mencit dengan menggunakan timbangan surat. 2. 3. 4. Hitung dosis larutan morfin 4% seperti rumus diatas. Laporkan perhitungan dosis anda pada instruktor dan mintalah larutan morfin 4% sebanyak dosis yang harus diberikan. Lakukan asepsis pada daerah yang akan disuntikan. subkutan di daerah interskapula. Lakukan dengan baik sehingga seluruh larutan dalam semprit masuk ke dalam tubuh mencit dan tidak tercecer keluar. 6. Letakkan mencit dalam baskom plastik dan lakukan observasi sampai timbul efek rangsangan otot diafragma pelvis dan sfingter ani, yang terlihat sebagai efek Straub, yaitu ekor mencit menjadi tegang dan terangkat membentuk huruf S atau lurus ke atas. 5. Peganglah kuduk mencit dengan halus, suntikan larutan morfin 4% secara

Kucing 1. 2. 3. 4. 5. 6. Hanya dilakukan dalam bentuk demonstrasi Ambil dan timbang kucing Hitung larutan morfin yang harus diberikan Lakukan tindakan asepsis pada daerah yang akan disuntik Suntikan larutan morfin 4% sesuai perhitungan dosis, secara subkutan Masukan kucing ke dalam kandang dan lakukan observaasi, sampai

pada daerah interskapula terjadi efek eksitasi dimana kucing akan terlihat liar, pupilnya midriasis, keluar saliva, gelisah.

V. Pembahasan Morfin Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain dan papaverin. Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah dikeringkan. Alkaloid secara kimia

dibagi dalam dua golongan : Golongan fenantren : morfin dan kodein Golongan benzilisokinolin : noskapin dan papaverin Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor . Selain itu morfin juga mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor dan . Efek morfin pada SSP berupa analgesia dan narkosis. Morfin dosisi kecil (5-10mg) menimbulkan euforia pada psien yang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya pada orang normal pada dosis yang sama menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir, atau takut disertai mual dan muntah. Morfin juga menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang, badan terasa panas, muka gatal, mulut terasa kering. Dosis terapi (15-20mg) morfin akan menyebabkan orang tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, nafas lambat dan miosis. Efek-efek dari morfin : Analgesia Efek analgesia yang ditimbulkan dari opioid akibat kerja opioid pada reseptor . Reseptor dan dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal. Eksitasi Morfin dan opioid sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat mengubah eksitasi morfin adalah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi refleks (reflex excitatoty level) SSP. Pada wanita mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang mendahului depresi tetapi depresi dan delirium jarang timbul. Pada beberapa spesie efek eksitasi morfin jauh lebih jelas misalnya pada kucing dapat menimbulkan mania, midriasis, hipersalivasi dan hipertermia, konvulsi tonik, dan klonik yang dapat menimbulkan kematian. Miosis Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor dan menyebabkan miosis. Miosis disebabkan oleh perangsangan pada segmen

otonom inti saraf okulomotor. Miosis dapat dilawan oleh atropin dan skolopamin. Pada intoksikasi morfin, pin point pupil merupakan gejala yang khas. Morfin dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan intraokuler, baik pada orang normal maupun pasien glaucoma. Depresi napas Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan efek langsung terhadap pusat napas di batang otak. Pada dosis kecil sudah langsung menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Mual dan muntah Efek emetik morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postrema medulla oblongata, bukan di stimulasi pusat emetic sendiri. Efek mual dan muntah akibat morfin diperkuat oleh stimulasi vestibuler, sebaliknya analgetik opioid sintetik meningkatkan sensitivitas vestibuler. SALURAN CERNA Lambung Morfin menghambat sekresi HCI, tetapi efek ini lemah. Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat. Perlambatan ini disebabkan juga oleh peninggian tonus duodenum. Pemotongan saraf ekstrinsik lambung tidak mempengaruhi efek terhadap lambung ini. Pada manusia peninggian tonus otot polos lambung oleh morfin sedikit diperkecil oleh atropin. Usus Halus Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaar makanan di usus halus. Pada manusia, morfin mengurangi kontraksi propulsif, meninggikan tonus dan spasme periodik usus halus. Efek morfin ini lebih jelas terlihat pada duodenum. Penerusan isi usus yang lambat disertai sempurnanya absorps air menyebabkan isi usus menjadi lebih pada: Tonus valvula ileosekalis juga meninggi. Atropin dosis besar tidak lengkap melawan

efek morfin ini. Usus besar Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus jan meyebabkan spasme usus besar; akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi ebih keras. Daya persepsi korteks telah dipengaruhi morfin sehingga pasien tidak merasakan kebutuhan untuk defekasi. Walaupun tidak lengkap efek morfin pada kolon dapat diantagonis oleh stropin. Efek konstipasi kodein lebih lemah daripada morfin. Pecandu opioid terus menerus menderita periode konstipasi dan diare secara bergantian. Duktus Koledokus Dosis terapi morfin, kodein: nidromorfinon dan metilhidromorfinon menimbulkan peninggian tekanan dalam duktus koledokus; zan efek ini dapat menetap selama 2 jam atau ebih. Keadaan ini sering disertai perasaan tidak enak di epigastrium sampai gejala kolik berat. Menghilangnya nyeri setelah pemberian morfin cada pasien kolik empedu disebabkan oleh efek sentral morfin, namun pada beberapa pasien justru mengalami eksaserbasi nyeri. Pada pemeriksaan radiografis terlihat konstriksi sfingter Oddi. Atropin menghilangkan sebagian spasme ini. Pemberian nalorfin, amilniltrit secara inhalasi, nitrogliserin sublingual dan aminofilin IV akan meniadakan spasme saluran empedu oleh morfin. SISTEM KARDIOVASKULAR Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah akibat efek depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Hal ini terbukti dengan dilakukannya napas buatan atau jengan memberikan oksigen; tekanan darah naik meskipun depresi medula oblongata masih berlangsung. Morfin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi terhadap perubahan sikap. Pasien mungkin mengalami hipotensi ortostatik dan dapat jatuh pingsan, terutama akibat vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan efek langsung terhadap pembuluh darah kecil. Morfin dan opioid lain melepaskan histamin yang merupakan faktor penting dalam timbulnya hipotensi.

Efek morfin terhadap miokard manusia tidak berarti; frekuensi jantung tidak dipengaruhi atau hanya menurun sedikit, sedangkan efek terhadap curah jantung tidak konstan. Gambaran elektrokardiogram tidak berubah. Morfin dan opioid lain harus digunakan dengan hati-hati pada keadaan hipovolemia karena mudah timbul hipotensi. Penggunaan opioid bersama derivat fenotiazin menyebabkan depresi napas dan hipotensi yang lebih besar. Morfin harus digunakan dengan sangat hati-hati pada pasien cor-pulmonale, sebab dapat menyebabkan kematian. OTOT POLOS LAIN Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta kontraksi ureter dan kandung kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan pemberian 0,6 mg atropin subkutan. Hilangnya rasa nyeri pada kolik ginjal disebabkan oleh efek analgetik morfin. Peninggian tonus otot detrusor menimbulkan rasa ingin miksi, tetapi karena sfingter juga berkontraksi maka miksi sukar. Morfin dapat menimbulkan bronkokonstriksi, tetapi pada dosis terapi efek ini jarang timbul. Morfin memperlambat berlangsungnya partus. Pada uterus aterm morfin menyebabkan interval antar-kontraksi lebih besar dan netralisasi efek oksitosin. Morfin merendahkan tonus uterus pada masa haid dan menyebabkan uterus lebih tahan terhadap regangan. Mungkin atas dasar ini morfin mengurangi nyeri dismenore. KULIT Dalam dosis terapi, morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area (muka, leher, dan dada bagian atas). Keadaan tersebut mungkin sebagian disebabkan oleh terjadinya penglepasan histamin oleh morfin dan seringkali disertai dengan kulit yang berkeringat. Pruritus kadang-kadang dapat terjadi mungkin akibat penglepasan histamin atau pengaruh langsung morfin pada saraf. METABOLISME Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi oleh morfin. Hiperglikemia timbul tidak tetap akibat penglepasan adrenelin yang menyebabkan gliko-genolisis. Setelah pemberian
8

morfin volume urin berkurang, disebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan penglepasan Farmakokinetik Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorpsi morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan, absorpsi berbagai alkaloid opioid berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Morfin dapat melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi ditemukan dalam empedu. Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung. Indikasi Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai: 1) infark miokard; 2) neoplasma; 3) kolik renal atau kolik empedu; 4) oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner; 5) perikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontan, dan 6) nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah. Sebagai medikasi praanestesik, morfin sebaiknya hanya diberikan pada pasien yang sedang menderita nyeri. Bila tidak ada nyeri dan obat praanestesik hanya dimaksudkan untuk menimbulkan ketenangan atau tidur, lebih baik digunakan penobarbital atau diazepam. Efek Samping Idiosinkrasi dan alergi. Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita

berdasarkan idiosinkrasi. Bentuk idiosinkrasi lain adalah timbulnya eksitasi dengan tremor, dan jarang-jarang delirium; lebih jarang lagi konvulsi dan insomnia. Berdasarkan reaksi alergi dapat menimbulkan gejala seperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus, dan bersin. Intoksikasi akut Intoksikasi akut morfin biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau pada overdosis. Penderita tidur atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi napas lamabt. Penderita sianotik, kulit muka merah tidak merata dan agak kebiruan. Tekanan darah akan menurun sampai terjadi syok bila napas memburuk, dan ini dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil sangat kecil (pin point pupil), kemudian midriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan urine sangat berkurang karena terjadi pelepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibula dalam keadaan relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Kematian biasanya disebabkan oleh depresi napas. VI. Hasil Pengamatan a. Tikus Berat Badan: 200 gr Dosis Morfin: 40-60 mg/kgBB Dosis yang dibutuhkan Yang akan di suntik Hasil Pengamatan: Setelah 10 menit di suntik, timbul sikap katatonik pada tubuh tikus. Tikus kelihatan diam dengan posisi yang tetap seperti setelah di suntik. Sikap katatonik disebabkan karena kekakuan otot tubuh tikus. b. Mencit Dosis larutan morfin 4%: 40 mg/kgBB Berat Badan Mencit = 25 gram 25/1000 x 40 mg = 1 mg Yang harus disuntikan = 1/40 x 1 ml = 0,025 ml : BB tikus = X gram 200 gr/1000 kg x 40 mg/kgBB = 8 : Larutan 40 % = 4 mg/100ml 8/40 x 1ml = 0,2 ml

10

Setelah disuntikan larutan morfin 4% terlihat efek Straub pada mencit, yaitu ekor mencit menjadi tegang dan terangkat membentuk huruf S atau lurus ke atas. Hal ini terjadi karena efek rangsangan otot diafragma pelvis dan spingter ani. Pembahasan Morfin menimbulkan peninggian tonus otot, amplitudo serta kontraksi ureter dan kandung kemih. Peninggian tonus otot destrusor menimbulkan rasa ingin miksi, tetapi karena sfinger juga berkontraksi maka miksi sukar, oleh karena itu ekor mencit menjadi tegang dan terangkat membentuk huruf S atau lurus ke atas. c. Kucing Pada demonstrasi kucing yang disuntikkan morfin akan menunjukkan gejala eksitasi, agresif, hipersalivasi, pupil yang midriasis, dan gelisah. Selain itu, kucing juga dapat mengalami mania, hipertermia, konvulsi tonik dan klonik yang mengakibatkan kematian. d. Kelinci Waktu (menit) 5 10 15 20 Sikap kelinci Refleks Otot Tonus otot baik Tonus otot berkurang Tonus otot melemah Tonus otot lemah Diameter Pupil (cm) Kanan Kiri 1 1 0,9 0,6 0,6 0,9 0,6 0,6 Frekuensi Napas (x/menit) 106 76 52 34 Denyut Jantung (x/menit) 104 110 118 126

Lincah, aktif bergerak Kelincahan berkurang Diam, kaku Diam, kaku

Setelah frekuensi napas di bawah 30 x/menit, kelinci diberikan kafein benzoat 0,5ml secara subkutan pada daerah subskapula. Bila frekuensi napas masih tetap menurun hingga kurang dari 15 x/menit, maka berikan suntikan nalorfin 0,2ml pada vena marginalis kelinci. Setelah penyuntikan nalorfin, kelinci tampak pulih seperti semula, aktif bergerak, tonus otot membaik, dan frekuensi napas kembali normal.

11

DAFTAR PUSTAKA 1. Kurnia Yasavati,et all. Morfin. Buku Panduan Tatalaksana Praktikum Farmakologi. Jakarta: Bagian Farmakologi FK UKRIDA; 2011. h. 34-41. 2. Syarif Amir, et all. Analgesik Opioid. In: Hedi R Dewoto, ed. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi Dan Terapeutik FK UI; 2007. h.210-29

12

You might also like