You are on page 1of 8

Rezim adalah serangkaian peraturan, baik formal (misalnya, Konstitusi) dan informal (hukum adat, norma-norma budaya atau

sosial, dll) yang mengatur pelaksanaan suatu pemerintahan dan interaksinya dengan ekonomi dan masyarakat. Misalnya, Amerika Serikat mempunyai salah satu rezim tertua yang masih aktif di dunia, yang terbentuk sejak diratifikasinya Konstitusinya pada tahun 1780-an. Secara teoretis, istilah ini tidak mengandung implikasi apapun tentang pemerintahan tertentu yang dirujuknya, dan kebanyakan ilmuwan politik menggunakannya sebagais ebuah istilah yang netral. Namun istilah ini sering digunakan dalam budaya populer dengan pengertian negatif atau menghina,[1] sebagai rujukan kepada pemerintah yang dianggap menindas, tidak demokratis atau tidak sah, sehingga dalam konteks ini, kata tersebut mengandung makna penolakan moral ataupun oposisi politik. Misalnya, kita barangkali tidak akan mendengar kata "sebuah rezim demokratis".

evolusi yang terjadi di Mesir merupakan bentuk akumulasi kekecewaan rakyat yang selama ini tidak puas dan terkekang oleh rezim otoriter Husni Mubarak. "Rakyat Mesir tidak dapat merasakan kesejahteraan secara langsung dibawah rezim Husni Mubarak," demikian yang disampaikan anggota Komisi I DPR Muhammad Najib kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Selasa, 2/1). Rakyat Mesir kata Najib, tidak dapat hidup sejahtera seperti negara tetangga mereka di Jazirah Arab lainnya seperti Qatar, Uni Emirat Arab, bahkan Libya. "Ditambah dengan pendekatan diktator yang dilakukan Husni Mubarok, Pemilu yang tidak jujur serta penuh manipulasi yang juga sangat menyakiti

hati rakyat Mesir," ujarnya. Rakyat Mesir ingin Rezim Mubarak Tumbang

Rakyat Mesir ingin Rezim Mubarak Tumbang i-berita.com , Sedikitnya 48 orang dilaporkan tewas dalam bentrokan antara demonstran dan polisi yang terjadi di sejumlah tempat di kota-kota utama di Mesir, Sabtu (29/1/2011). Walaupun demikian, aksi demonstrasi menuntut Presiden Mesir Hosni Mubarak mundur dari jabatannya terus berlanjut. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Massa yang marah mengeroyok tiga polisi hingga tewas di kota Rafah, dekat Sinai. Di Kairo, polisiyang dibenci masyarakat karena tindak represif terhadap rakyat selama iniditarik dari jalanan dan digantikan tentara Mesir.

Jumlah korban dikhawatirkan akan terus bertambah seiring makin beringasnya massa. Stasiun televisi Al-Jazeera melaporkan, polisi melepaskan tembakan ke arah massa yang berusaha menyerbu Gedung Kementerian Dalam Negeri di Kairo, Sabtu siang. Penjarahan merajalela setelah sekitar 60 persen kantor polisi di Mesir dibakar massa. Bentrokan juga terjadi di kota pelabuhan utama Ismailiya, sebelah timur laut Kairo. Sementara massa di Alexandria menginap di masjid di tengah kota dan bersiap beraksi lagi. Di Kairo, puluhan ribu warga menyerukan Presiden Mesir Hosni Mubarak segera mundur dan pergi dari Mesir. Kami datang ke sini untuk menyerukan, Kami tidak menginginkan kamu sama sekali, kami ingin kau keluar dari negara ini! seru pengacara Mohammed Osama (25), yang turut dalam aksi di Lapangan Tahrir, Kairo.

Massa mengacuhkan langkah pembubaran kabinet dan janji reformasi, yang diumumkan Mubarak melalui televisi nasional, Sabtu selepas tengah malam. Mubarak berjanji segera membentuk pemerintahan baru, tetapi menegaskan tak akan mundur dari kursi presiden yang sudah ia duduki 30 tahun. Rakyat Mesir menunggu- nunggu apakah Mubarak akan menunjuk kembali Menteri Dalam Negeri Habib Al-Adly, pejabat yang membawahi kepolisian dan orang paling dibenci rakyat Mesir. Meski demikian, sebagian besar rakyat menganggap pernyataan dan janji Mubarak sudah terlambat dan menuntut presiden berusia 82 tahun itu segera lengser. Presiden Mubarak tidak memahami pesan yang disampaikan rakyat Mesir. Pidatonya sangat mengecewakan. Protes akan terus berlanjut sampai rezim Mubarak tumbang, tandas pemimpin oposisi Mesir, Mohamed ElBaradei, kepada stasiun televisi France24. ElBaradei mengaku siap memimpin pemerintahan transisi jika diminta dan akan ikut aksi demonstrasi untuk memaksa Mubarak turun. Kelompok oposisi yang dilarang pemerintah, Persaudaraan Muslim (Moslem Brotherhood), Sabtu, menyerukan agar transisi kekuasaan berjalan secara damai dengan pembentukan kabinet peralihan. Sebanyak 50 tokoh pemimpin Persaudaraan Muslim termasuk dalam 350 orang yang ditangkap aparat pemerintah Mesir, Jumat. Hari Sabtu, sebagian jaringan telepon seluler mulai aktif kembali, tetapi jaringan internet masih diputus pemerintah. Reaksi dunia Presiden AS Barack Obama mendesak pihak berwenang di Mesir tidak melanjutkan menggunakan kekerasan untuk menghadapi para demonstran. Pesan Obama itu disampaikan saat ia menelepon Mubarak secara pribadi selama 30 menit. Obama mendesak Mubarak mengambil langkah konkret menuju reformasi politik di Mesir dan agar Mubarak mengubah momen kegentingan menjadi momen pengharapan. Washington juga mengancam akan meninjau ulang bantuan bernilai miliaran dollar AS yang selama ini diberikan kepada Mesir apabila aparat keamanan negara itu bertindak kelewat batas terhadap para demonstran. Mesir adalah salah satu sekutu utama AS di Timur Tengah dan salah satu penerima bantuan AS terbesar di dunia. Tiap tahun, AS menyuplai bantuan 1,3 miliar dollar AS khusus di sektor pertahanan saja. Senator John Kerry, Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS, di sela-sela pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, juga menyatakan, Presiden Mubarak harus mengambil langkah yang akan dianggap berarti bagi rakyat Mesir. Membubarkan pemerintahan saja tidak bermakna apa pun. Menurut saya, dia harus berbicara mengenai berbagai masalah yang benar-benar dirasakan rakyat, tutur Kerry.

Pernyataan senada juga disampaikan Menteri Luar Negeri Inggris William Hague, Sabtu. Ia mendesak Mubarak menaruh perhatian serius terhadap tuntutan rakyat Mesir. Sebelumnya, Perdana Menteri Inggris David Cameron, yang juga sedang menghadiri Forum Ekonomi Dunia di Davos, mengatakan, Mesir membutuhkan reformasi. Dia harus memanfaatkan momen ini untuk membuat reformasi yang nyata, dan mendasarkan reformasi itu pada nilai-nilai universal yang menjadi hak setiap warga negara di dunia ini, ujar Hague. Meski demikian, tak semua pemimpin dunia mendukung pengunduran diri Mubarak. Raja Abdullah dari Arab Saudi mendukung Presiden Mubarak dan menyayangkan pihak-pihak yang telah mengganggu stabilitas dan keamanan Mesir. Sabtu pagi, Raja Abdullah menelepon Mubarak dari Maroko, tempat ia baru saja menjalani operasi tulang belakang. Menurut kantor berita SPA, Raja Abdullah mengecam para pengacau yang telah mengganggu keamanan dan stabilitas Mesir dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi. Israel, yang berbatasan langsung dengan Mesir dan menjalin hubungan baik dengan pemerintahan Mubarak selama ini, juga khawatir apabila terjadi perubahan rezim di Mesir, karena itu berarti Israel akan kehilangan satu teman lagi di Timur Tengah dan harus memikirkan strategi baru serta bernegosiasi ulang dengan penguasa Mesir yang baru. Tulisan Ahmad Syafii Maarif (ASM), Revolusi Tahrir dan Demokrasi di rubrik Resonansi (Republika, 22/02), menarik untuk dikaji sekaligus dikritisi. Apa yang terjadi di Timur Tengah saat ini merupakan hal yang natural. Pemerintah diktator yang bertindak represif dan gagal menyejahterakan rakyatnya, sekuat apa pun akan tumbang. Dalam kondisi seperti ini, yang penting bagi rakyat adalah turunnya penguasa diktator. Artinya, bisa jadi rakyat tidak begitu peduli apakah itu demokrasi atau tidak! Justru, di sinilah titik rawan dari pergolakan di Timur Tengah. Perubahan tanpa visi yang jelas tentang sistem masa depan, bisa dibajak oleh siapa saja, termasuk rezim lama yang berganti wajah menjadi pendukung rakyat dan terkesan reformis. Di Mesir, kecenderungan seperti ini yang tampaknya kini terjadi. Dewan tertinggi Angkatan Bersenjata, yang sekarang memegang kekuasaan transisi, diisi oleh perwira tinggi atau mantan perwira loyalis Mubarak yang pro-Amerika dan Israel, seperti Umar Suleiman dan Tantawi. Termasuk, rawan dibajak kepentingan asing. Perubahan sebatas rezim menjadi cara untuk revitalisasi dominasi negara besar dengan mengangkat rezim baru yang tetap dalam kontrol mereka. Amerika yang selama 30 tahun mendukung rezim Mubarak yang diktator, berubah arah seakan-akan menjadi pembela rakyat Mesir. Padahal, pada awal masa pergolakan, Amerika masih memuji Mubarak, bahkan Joe Biden, wapres AS, menyatakan Mubarak bukanlah diktator.

Karena itu, Hizbut Tahrir dalam seruannya mengingatkan masyarakat Mesir dan Timur Tengah bahwa seharusnya yang dituntut bukanlah sebatas perubahan rezim, melainkan juga sistem. Dalam hal ini, sistem demokrasi sekuler bukanlah pilihan satu-satunya. Terdapat persoalan perbedaan value dari segi sumber kedaulatan hukum yang tertinggi antara Islam dan demokrasi. Di samping itu, demokrasi sering kali digunakan menjadi alat politik yang efektif mempertahankan kepentingan rezim lama yang berganti wajah dan negaranegara imperialis. Adapun tentang jaminan hak-hak warga, kebolehan berpendapat, pemilihan oleh rakyat, transparansi, persamaan di depan hukum, bukanlah monopoli sistem demokrasi seperti yang diklaim ASM. Islam menegaskan bahwa kedaulatan, dalam pengertian sumber hukum, ada di tangan hukum syariah (as-siyadah lil syari). Namun, kekuasaan ada di tangan rakyat (as-sulthan lil ummah), dalam pengertian rakyat atau wakilnyalah yang berhak memilih khalifah (nizhamul hukmi fi al Islam, Syekh Taqiyuddin anNabhani). Khalifah bukanlah sistem warisan seperti monarki. Hal itu tecermin dari pemilihan Khalifah Abu Bakar RA yang dibaiat oleh ahlul halli wal aqdi, yang merupakan representasi masyarakat Islam. Mengkoreksi khalifah atau kepala negara, bukan saja sah dalam Islam, bahkan wajib. Hal ini karena Khalifah bukanlah sumber kedaulatan hukum seperti dalam sistem monarki. Khalifah adalah manusia biasa yang mungkin saja keliru. Dalam hadisnya Rasulullah SAW menyebut afdhalul jihad (sebaik-baik jihad) dan sayyidusy syuhada adalah siapa pun yang mengoreksi pemimpin yang zalim kemudian dia terbunuh. Ketaatan kepada khalifah juga bukanlah mutlak, tapi ada batasnya. Rasulullah menyatakan, Tiada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah SWT. Karena itu, dalam sistem khilafah, keberadaan individu, partai, atau kelompok yang berfungsi untuk melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa dijamin oleh negara. Tentu saja, sepanjang sejarah khilafah tidak semuanya lurus. Khalifah adalah manusia yang juga bisa menyimpang dari Islam. Namun, penyimpangan perilaku khalifah dari hukum syariah, bukan karena kesalahan sistem khilafahnya. Karena itu, kalau ada khalifah yang terbunuh, yang salah bukan sistem khilafahnya, tapi tindakan pembunuhan itulah yang menyimpang dari hukum syariah. Dalam sejarah sistem demokrasi Amerika Serikat, empat presidennya (Abraham Lincoln, James Abram Garfield, William McKinley, dan John F Kennedy) semuanya tewas terbunuh. Sejarah demokrasi AS juga mengalami perang saudara.Total korban tewas di pihak utara (Union) 360 ribu orang, yang terluka 275.200 orang. Di pihak konfederasi total korban tewas 260 ribu orang dan lebih dari 137 ribu orang terluka. Namun, pengusung demokrasi tidak pernah menyalahkan sistem demokrasi karena adanya pembunuhan terhadap presidennya atau perang saudara tersebut.

Mengangkat sebagian sejarah khilafah yang gelap, tetapi menutup-nutupi sejarah panjang kejayaan khilafah adalah cara pandang yang tidak objektif dan juga ahistoris. Apalagi, bila menyatakan sistem khilafah membelenggu pemikiran umat tanpa disertai bukti-bukti. Bukankah justru dalam sistem khilafah banyak bermunculan para ulama dan cendekiawan Muslim terkemuka dengan karyanya yang gemilang? Seperti Imam Syafii, al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan banyak lagi lainnya. Perpustakaan Khalifah al-Hakim di Kairo menyediakan 1,6 juta volume buku. Mengenai hal ini, Bloom and Blair menyatakan, Rata-rata tingkat kemampuan literasi (kemampuan melek huruf, membaca, dan menulis) dunia Islam di abad pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa. Karya tulis ditemukan di setiap tempat dalam peradaban ini. (Islam: A Thousand Years of Faith and Power). Keemasan khilafah ditulis secara jujur oleh sejarawan dunia seperti Will Durant dalam Story of Civilization. Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Pertanyaannya, bagaimana mungkin karya-karya cemerlang ini lahir dari sistem khilafah yang dituduhkan oleh ASM sebagai sistem yang membelenggu pemikiran? Termasuk, terlampau tergesa-gesa menyimpulkan sistem diktator negeri-negeri Arab saat itu merupakan warisan Dinasti Umayyah. Mengingat rezim diktator itulah yang selama ini justru paling gencar memberangus aktivis Islam yang ingin menegakkan khilafah dan syariah Islam. Di samping ada yang mengadopsi monarki absolut, rezim diktator di Arab justru merupakan negara-negara sekuler, menganut sistem republik, demokrasi atau sosialisme seperti Mesir, Tunisia, dan Libya. Bagaimana sistem ini dikatakan mewarisi sistem khilafah? Terakhir, kalau jujur, kita seharusnya juga tidak menutup-nutupi fakta bahwa negara Barat yang mengklaim paling demokratislah yang selama ini mendukung rezim-rezim brutal di Timur Tengah. Sesuatu yang membuat kita semakin meragukan benarkah sistem demokrasi akan membawa keadilan? Jadi, siapa sebenarnya yang tidak objektif? Sumber : http://koran.republika.co.id/koran/24 Republika, Selasa, 22 Februari 2011

Revolusi Tahrir dan Demokrasi


Oleh Ahmad Syafii Maarif Salah satu tuntutan utama Revolusi Tahrir di Mesir ialah ditegakkannya prinsipprinsip demokrasi. Salah satunya adalah hak kebebasan mengeluarkan pendapat

yang dijamin negara. Ini adalah sesuatu yang hilang selama puluhan tahun. Kelompok Ikhwan yang dilarang selama ini, tetapi tetap hidup dan bergerak secara diam-diam dengan organisasi yang rapi, juga menginginkan tegaknya demokrasi di Mesir. Dengan demikian, sistem demokrasi sudah menjadi kehendak sebagian besar rakyat Mesir, kecuali faksi minoritas HI (Hizbut Tahrir), yang menganggapnya sebagai sistem kafir yang harus ditentang karena berlawanan dengan sistem khilafah yang mereka anut dan perjuangkan. Orang boleh saja berdebat tentang demokrasi dalam kaitannya dengan Islam, tetapi dengan segala kelemahan sistem ini, seorang warga negara tidak mungkin terjamin hak-haknya secara penuh, kecuali dalam kultur demokrasi. Siapa mengira sebelumnya bahwa pada awal dasawarsa kedua abad ke-21, bumi Afrika Utara digoncang oleh demonstrasi lautan manusia dengan tujuan tunggal: mengakhiri sistem otoritarian yang membelenggu kebebasan warga. Dimulai dari Tunisia, melebar ke Mesir, kemudian entah ke mana lagi. Sistem demokrasi sedang menjadi tuntutan publik untuk dilaksanakan. Perkara masih ada umat Islam yang menentang sistem ini, saya rasa tak perlu terlalu dihiraukan, sebab pada saatnya mata mereka akan terbelalak jika mengamati secara cerdas bahwa dunia Islam selama sekian ratus tahun, hanya melahirkan penguasa-penguasa yang memonopoli kemerdekaan. Sedangkan yang tersisa bagi rakyat adalah kewajiban tunggal: taat. Maka itu, tidaklah mengherankan kemudian mengapa bangsa-bangsa Muslim pasca penjajahan berada di persimpangan jalan dalam menentukan sistem politik yang harus dipilih. Negeri-negeri Arab pada umumnya tetap melestarikan sistem dinasti, warisan imperium Umayyah sejak abad ke-7 yang lalu. Indonesia, Malaysia, dan Pakistan, secara formal memilih sistem demokrasi, terlepas dari kualitasnya. Mesir, sekalipun berbentuk republik, secara de facto tidak ada bedanya dengan kerajaan. Sekiranya Revolusi Tahrir tidak berlaku, Husni Mubarak berharap akan digantikan oleh anaknya Gamal (Jamal) Mubarak. Syahwat dinasti ini hanya bisa dihalau oleh sebuah revolusi rakyat dengan segala korban yang ditinggalkannya. Untuk Mesir, lebih dari 300 pengunjuk rasa telah terbunuh. Mubarak, yang sekutu Barat, dengan berbagai cara telah berupaya untuk tetap bertahan. Tetapi, rakyat Mesir terlalu muak dengan apa yang terjadi selama berada di bawah kekuasaannya. Di samping memerintah dengan hukum besi, korupsi juga marak di manamana. Akibatnya, sekitar 40 persen rakyat Mesir yang berjumlah 83 juta tetap hidup dalam kemiskinan. Siapa yang tahan hidup dalam realitas yang serbapahit dan terbelenggu ini. Islam yang autentik memberikan kemerdekaan penuh kepada manusia. Tetapi, realitas di berbagai negeri Muslim, kemerdekaan itu pulalah yang dipasung, tidak jarang dengan fatwa ulama.

Saya menyarankan, agar perdebatan tentang demokrasi di dunia Islam lebih baik dihentikan. Kita cobakan dulu sistem itu yang disesuaikan dengan doktrin syura (musyawarah) seperti yang diajarkan Alquran. Siapa tahu, sistem ini akan lebih baik dibandingkan apa yang berlaku selama sekian ratus tahun dalam format kerajaan, khilafah, atau sejenisnya, yang ternyata telah membelenggu pemikiran kreatif umat dengan segala akibat buruknya. Perlawanan rakyat Tunisia dan Mesir terhadap bentuk sistem politik yang membelenggu, patut dijadikan pelajaran bagi mereka yang masih ragu terhadap demokrasi. Tentu, demokrasi yang kita inginkan adalah demokrasi yang bertujuan untuk menegakkan keadilan, demi terwujudnya kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Jika demokrasi hanya sebagai seremoni dan prosedur via pemilihan umum, sementara substansinya dilupakan, cita-cita bagi tegaknya keadilan akan sia-sia. Kita sungguh berharap pengorbanan rakyat Tunisia dan Mesir agar terbebas dari cengkeraman autoritarianisme, tidak dipermainkan oleh penguasa baru yang berlawanan dengan cita-cita mulia rakyat kedua bangsa Muslim itu. Sumber : http://republika.co.id:8080/koran/0/129651/Revolusi_Tahrir_dan_Demokrasi

You might also like