You are on page 1of 4

HUBUNGAN DENGAN KADAR HOMOSISTEIN PLASMA DENGAN ASAM FOLAT DAN VITAMIN B12 SERUM PADA PENDERITA PJK

DI RSJHK Author : Umar Fauzi Shibly, Senin, 06 Agustus 2007 00:00:00 Bagian Kardiologi FKUI/RSJHK Sejak lebih dari 25 tahun yang lalu muncul bukti-bukti yang menunjang hipotesis bahwa meningkatnya homosistein plasma merupakan fakto resiko aterosklerosis. Berbagai studi kasus kontrol retrospektif, prospektif maupun intervensi telah dilakukan dan membuktikan bahwa hiperhomosisteinemia merupakan faktor resiko independen PJK. Pada satu meta-analisis dari 15 studi, rasio odds untuk PJK pada subyek dengan hipersisteinemia adalah 1,7. Salah satu resiko penting terjadinya hipersisteinemia adalah rendahnya asupan vitamin yang berperan pada metabolisme hemosistein yaitu asam folat, vitamin B12 dan vitamin B6. Telah dilakukan penelitian deskriptif analisis terhadap 70 subyek PJK sebagai kasus dan 36 subyek sebagai kontrol di RSJHK dengan tujuan untuk mengetahui gambaran kadar homosistein plasma pada penderita PJK dan kontrol serta hubungannya dengan asam folat dan vitamin B12 yang diketahui berperan mempengaruhi kadar homosistein plasma. Hasil pemeriksaan homosistein plasma, didapat rerata kadar homosistein plasma pada kelompok kasus maupun kontrol diatas normal (12,2+6,9 dan 13,1+3,6Umol/L) dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok ini. Frekuensi defisiensi vitamin B12 masing-masing didapatkan 30% pada kelompok PJK dan kelompok tanpa PJK. Hal yang sangat menyolok didapatkan pada penelitian ini adalah defisiensi asam folat yang mencapai 82% pada kasus dan 83% pada kelompok kontrol. Korelasi antara homosistein plasma dengan vitamin B12 dan asam folat, didapatkan adanya korelasi negatif lemah yakni masing-masing r=-0,3 (p=0,0004) dan r=-0,25 (p=0,0095). Dari hasil penelitian ini didapat kesimpulan : 1) Pada subyek PJK 61% kadar homosistein plasmanya diatas normal dan 80% pada subyek tanpa PJK. 2) Terdapat korelasi negatif lemah antara homosistein plasma dengan vitamin B12 serum dan asam folat. 3) Hal yang menyolok disini adalah tingginya angka defisiensi asam folat pada kelompok PJK (82%) dan 83% pada kelompok tanpa PJK. 4) Pada penelitian tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam kadar homosistein antara kasus dengan kelompok kontrol. Dipresentasikan 08/1999 di Bagian Kardiologi FKUI/RSJHK

Publication PERJALANAN KLINIS PENDERITA IMA YANG MENDAPAT TROMBOLISIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN RESOLUSI SEGMEN ST Author : Harris Hasan, Senin, 06 Agustus 2007 00:00:00 Bagian Kardiologi FKUI/RSJHK Reperfusi yang adekuat pada terapi trombolisis akan memperbaiki perjalanan klinis penderita. Bila terapi trombolisis gagal, diperlukan tindakan agresif untuk memperbaiki prognosis penderita. Maka mengevaluasi keberhasilan reperfusi pasca trombolisis merupakan faktor penting dalam memperbaiki prognosis penderita IMA. Shah dkk (1993) melaporkan bahwa resolusi segmen ST merupakan pertanda terpercaya bagi tercapainya reperfusi (sensitivitas 100%, spesifitas 69%). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran perjalanan klinis penderita IMA yang mendapat trombolisis di RSJHK dengan menggunakan parameter resolusi segmen ST sebagai keberhasilan reperfusi. Hasil : sejak periode 1 Maret-31 Juli 1997 ditemukan 69 penderita yang memenuhi kriteria inklusi terdiri dari 63 penderita (91,3%) laki-laki dan 6 penderita (8,7%) wanita. Jenis trombolitik yang digunakan adalah TPA 6 penderita dan streptokinase 63 penderita. Dijumpai 52 penderita (75,4%) dengan resolusi segmen ST < 50% dijumpai lebih banyak komplikasi angina dan payah jantung serta meninggal dibandingkan dengan kelompok resolusi segmen ST >50%

(p=0,05). Dijumpai hubungan statistik yang sangat bermakna (p<0,01) antara resolusi ST <50% dengan gambaran perjalanan klinis penderita yakni untuk terjadinya angina progresif, gagal jantung dan meninggal. Dijumpai hubungan statistik bermakna antara resolusi segmen ST < 50% dengan timbulnya komplikasi selama perawatan di RS. Hasil korelasi dan regresi menunjukkan hubungan bermakna antara resolusi segmen ST >50% dengan fraksi ejeksi (r=0,68). Kesimpulan : Perjalanan klinis penderita IMA dengan resolusi atau pengurangan segmen ST >50% lebih baik dari kelompok dengan ST <50% pada menit ke 90 pemberian trombolisis. Dipresentasikan 07/1998 di Bagian Kardiologi FKUI/RSJHK PERANAN LIPOPROTEIN (a) PADA PJK Author : Linda Lison, Senin, 06 Agustus 2007 00:00:00 Bagian Kardiologi FKUI/RSJHK Lipoprotein (a) atau Lp (a) telah terbukti mempunyai hubungan dengan mortalitas dan morbiditas PJK pada populasi kulit putih danorang Jepang, namun tidak ada hubungannya dengan PJK pada populasi kulit hitam. Peranan Lp(a) pada PJK dalam populasi di Indonesia belum diketahui dengan pasti. Dilakukan penelitian peranan Lp(a) terhadap 100 penderita (kelompok kasus) dengan riwayat PJK dengan bukti adanya penyempitan >70% pada salah satu atau lebih pembuluh darah koroner serta terhadap kontrol dengan sampel 100 orang yang mempunyai pembuluh koroner normal dan atau hasil uji latih jantung beban negatif iskemi. Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok dalam hal faktor resiko berupa : riwayat keluarga PJK, perokok, hipertensi, kegemukan, kurangnya aktivitas sehari-hari, HDL kolesterol dan trigliserida. Usia rata-rata adalah 51,7+5,6 tahun pada kelompok kasus dan 49,56+6,7 tahun pada kelompok kontrol (p=0,13). Total kolesterol rata-rata 225,6+41 mg/dl pada kelompok kasus dan 206,2+32,2 mg/dl pada kelompok kasus dan 10,9+14,7 mg/dl pada kelompok kontrol (p=0,000). Secara univariat kadar koleterol total, kadar LDL kolesterol dan kadar Lp(a) berbeda bermakna antara kedua kelompok ini (p=0,000), dan dengan analisis multivariat didapatkan bahwa Lp(a) merupakan faktor resiko independen untuk terjadi PJK dengan odd ratio 2 kali (95% interval kepercayaan 1-4, 1), dan odd ratio meningkat menjadi 2,2 bila disertai pula dengan kadar LDL kolesterol yang tinggi (95% interval kepercayaan 1,2-3,8). Kesimpulan : Lp(a) mempunyai peranan penting sebagai faktor resiko independen. Bila peningkatan Lp(a) disertai peningkatan LDL kolesterol maka sebagai faktor resiko PJK akan meningkat pula. Dipresentasikan 08/1998 di Bagian Kardiologi FKUI/RSJHK

Publication PRAKIRAAN TEKANAN DIASTOLIK AKHIR VENTRIKEL KIRI SECARA EKOKARDIOGRAFIS PADA PENDERITA PENYAKIT JANTUNG KORONER Author : Anna Ulfah Rahajoe, Senin, 06 Agustus 2007 00:00:00 Bagian Kardiologi FKUI/RSJHK Untuk mengetahui apakah ekokardiografi mampu membuat prakiraan Tekanan Diastolik Akhir Ventrikel Kiri (TDAVK), maka telah dilakukan penelitian secara prospektif terhadap 54 penderita PJK. Penderita-penderita tersebut dipilih secara acak dari 123 penderita yang menjalani pemeriksaan angiografi koroner dan kateterisasi jantung di RSJHK, 4 penderita dikeluarkan dari penelitian karena rekaman ekokardiogram katup aorta atau mitral tidak jelas. Umur rata-rata adalah 51,2+/-5,8 tahun (berkisar 39-72 tahun), kesemuanya pria normotensi. Penderitapenderita tersebut dalam irama sinus, tanpa aritmia mayor, LBBB atau blok AV dan juga tidak

ada kelainan pada katup-katupnya. Dari pemeriksaan kateterisasi jantung diperoleh data (TDAVK) sebesar 15+/-7 mmHg (berkisar 4-35 mmHg). Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan 3 hari sebelum atau sesudah pemeriksaan kateterisasi jantung. Dibuat rekaman M-mode ekokardiografi dari katup mitral dan aorta secara beruntun, serta perekaman elektrokardiografi secara simultan. Diperoleh data interval Q-MVC sebesar 60+/-19 m/detik, dan interval AVC-E sebesar 0,55+/-0,26. Interval Q-MVC mempunyai korelasi positif bermakna terhadap TDAVK (p<0,005), sedang interval AVC-E mempunyai korelasi negatif bermakna terhadap TDAVK (p<0,001). Tapi nilai korelasi masing-masing interval tersebut terhadap TDAVK tidak terlalu tinggi (r=0,38 untuk interval Q-MVC, dan r=0,69 untuk interval AVC-E). Sedang rasio Q-MVC terhadap AVC-E mempunyai korelasi positif yang sangat kuat dengan TDAVK (r=0,92), dengan kekeliruan baku dari estimasi ditambah atau dikurangi 3 mmHg. Rumus yang dianjurkan ialah : TDAVK (mmHg) = 25,5 (Q-MVC)/(AVC-E) + 0,5. Jadi, dapat disimpulkan bahwa rasio QMVC terhadap rumus diatas, kita dapat membuat prakiraan TDAVK secara ekokardiografis Mmode pada penderita PJK. Dipresentasikan 01/1919 di Bagian Kardiologi FKUI/RSJHK RESISTENSI INSULIN DAN PENYAKIT JANTUNG KORONER DI RS JANTUNG HARAPAN KITA Author : Rachmat Setiarsa, Otte J. Rachman, Fadilah Supari Senin, 06 Agustus 2007 00:00:00 Bagian Kardiologi FKUI/RSJHK Resistensi insulin adalah suatu keadaan dimana ambilan glukosa yang distimulasi oleh insulin di berbagai jaringan seperti liver, jaringan lemak, otot skeletal, dll berkurang sehingga mengakibatkan kadar glukosa dalam darah meningkat. Kadar glukosa yang tinggi dalam waktu lama dapat menyebabkan disfungsi endotel dan akhirnya dapat mempercepat proses aterosklerotik. Telah lama diketahui bahwa aterosklerotik dapat menyebabkan PJK dan dari beberapa penelitian sebelumnya membuktikan bahwa resistensi insulin mempunyai hubungan dengan PJK, namun ada beberapa penelitian lain yang membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara resistensi insulin dengan PJK. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui apakah resistensi insulin merupakan faktor resiko independen PJK. Dilakukan penelitian studi kasus kontrol tidak berpasangan di RSJHK mulai April-Juni 2001. Subyek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok PJK dan non PJK berdasarkan hasil angografi koroner. Data yang dikumpulkan adalah faktor resiko tradisional dan resistensi insulin yang tercermin sebagai indeks resistensi insulin puasa (IRIP). Analisis hubungan antara faktor resiko dan PJK dilakukan dengan uji t test (distribusi normal) dan uji Mann-Whitney (distribusi tidak norma). Untuk mencari faktor resiko independen dilakukan analisis multivariat (regresi logistik). Hasil penelitian didapatkan bahwa resistensi insulin (IRIP>1) (RO=5,67; IK 95%=1,13 - 28,44; p=0,022), tekanan darah diastolik > 90 mmHg (RO=6,22; IK 95%=1,59 - 24,31; P=0,005), GD 2 jam post prandial > 200 mg/dl (Ro=11,67; IK 95%=1,39 = 97,79; p=0,006) dan kadar HDL < 40 mg/dl (RO=3,18; IK 95%=1,21 - 8,39; P=0,018) merupakan faktor resiko PJK, tetapi pada multivariat analisis ternyata resistensi insulin bukan merupakan faktor resiko independen PJK. Dari hasil penelitian tersebut maka disimpulkan bahwa resistensi insulin bukan merupakan faktor resiko independen PJK tetapi merupakan faktor resiko PJK bila bersama-sama dengan tekanan darah diastolik > 90 mmHg, GD 2 jam pp > 200 mg/dl, dan kadar HDL < 40 mg/dl. Dipresentasikan 01/2002 di Bagian Kardiologi FKUI/RSJHK

You might also like