You are on page 1of 19

Akuntansi & Perpajakan Untuk Kontrak Bagi Hasil

PAJAK LANJUTAN
Dosen Pembimbing : Dr. Salip,Ak,MSc

OLEH : Jose Rizal (123101034) PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI UNIVERSITAS TRISAKTI 2012
BAB I

Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Minyak dan gas bumi merupakan usaha yang memerlukan teknologi tinggi, padat modal dan berisiko tinggi, oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang benar-benar profesional. Pencarian (exploration) minyak dan gas bumi merupakan kegiatan untunguntungan (gambling), karena meskipun telah dipersiapkan secara cermat dengan biaya yang besar, tidak ada jaminan bahwa kegiatan tersebut akan berakhir dengan penemuan cadangan minyak. Berbeda dengan pencarian atau eksplorasi, kegiatan refinery tidak banyak berbeda dengan kegiatan pengolahan pada industri yang lain. Sedang usaha tanker merupakan bagian khusus dari usaha perkapalan. Sumber daya alam ini tidak terbarukan dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional. Sehubungan dengan sifat dan karakteristik industri ini, maka terdapat beberapa perlakuan akuntansi dan perpajakan yang berbeda dengan industri lainnya. 1.2. Ruang Lingkup Pembahasan Akutansi dan perpajakan pada industri minyak dan gas agak berbeda perlakuannya dibandingkan dengan industri-industri lainnya. Pembahasan pada tulisan ini menyangkut aspek perpajakan dan perlakuan akutansi pada perusahaan migas sesuai dengan PSC dan aturan pajak. 1.3. Pendekatan Pembahasan Pembahasan dalam paper ini menggunakan sumber literatur yang relevan, seperti : Buku Perpajakan, PSAK, Internet (berita dan web pajak), Surat Edaran dan Peraturan (PP, PMK & DJP) yang masih berlaku hingga saat ini. 1.4. Tujuan Pembahasan Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para mahasiswa ataupun pembaca lainnya terhadap akuntansi dan perpajakan dalam industri migas.

1.5. Sistematika Penulisan Bab 1 Pendahuluan dan sistematika penulisan paper. Bab 2 Pembahasan : Pembahasan masalah dengan menggunakan sumber literatur yang relevan. Bab 3 Kesimpulan dan Saran : Berisi tentang intisari pembahasan dari paper dan rekomendasi. : Berisi tentang latar belakang permasalahan, ruang lingkup/pembatasan pembahasan, pendekatan yang digunakan dalam pembahasan, tujuan

Bab 2 Pembahasan 2.1 Akuntansi Untuk Kontrak Bagi Hasil Industri perminyakan meliputi usaha pencarian (ekslorasi), pengembangan, produksi, pengolahan, pengangkutan, dan pemasaran produk hasil industri minya dan gas bumi. Sifat dan karakteristik minyak dan gas bumi berbeda dengan yang lainnya. Proses pencarian minyak dan gas bumi merupakan kegiatan untung-untungan, dengan arti bahwa kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi belum tentu memberikan hasil, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan tersebut sangatlah besar. Hal ini disebabkan tidak ada bahwa lokasi reservoir dimana terkandung cadangan minyak dan gas bumi yang secara komersil memungkinkan untuk diproduksi berada jauh di bawah permukaan bumi. Dengan karakteristik tersebut maka kegiatan pencarian minyak dan gas bumi belum tentuk akan berhasil (sukses mendapatkan cadangan minyak dan gas bumi), walaupun sudah dipersiapkan dengan cermat dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Karakteristik lainnya yang juga sangat unik adalah bahwa minyak dan gas bumi merupakan barang yang tidak dapat diproduksi kembali (unrenewable). Berhubung dengan karakteristik tersebut, maka industri perminyakan memerlukan teknologi tinggi, padat modal, dan sarat dengan risiko, sehingga pengelolaan yang benar-benar profesional harus benar-benar diperhatikan. Dengan karakteristik industri perminyakan ini, maka terdapat beberapa perlakuan akutansi khusus industri minyak dan gas bumi yang berbeda dengan industri lainnya, antara lain : 1. Adanya sifat untung-untungan dari usaha eksplorasi minyak dan gas bumi menimbulkan beberapa alternatif implementasi pengakuan biaya atas cadangan yang tidak mengandung minyak dan gas bumi (kering) atau yang juga disebut dry hole. 2. Timbul pendapat yang mengatakan bahwa pengakuan biaya harus dikaitkan dengan aktivitas sampai ditemukannya cadangan minyak dan gas bumi di suatu negara (sebagai cost center), sehingga semua biaya yang terjadi akan ditangguhkan dan akan dikapitalisasikan sebagai bagian dari cadangan minyak dan gas bumi yang ditemukan di negara tempat pencarian minyak dan gas bumi tersebut. Metode yang mengatur akan perlakuan ini disebut dengan metode Full Cost.

3. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa biaya yang terjadi dalam pencarian minyak dan gas bumi harus dikaitkan dengan hasil dari aktivitas pencarian minyak dan gas bumi pada suatu areal cadangan minyak dan gas bumi (sebagai cost center). Biaya yang terjadi tersebut akan dikapitalisasi bila cadangan tersebut dalam kenyataanya mengandung minyak dan gas bumi (sukses). Apabila kenyataanya adalah sebaliknya, maka biaya yang terjadi akan dibebankan sebagai biaya pada periode tersebut. Metode yang mengatur perlakuan ini disebut dengan metode Succesful Effort. Production Sharing Contract merupakan suatu penggabungan usah (joint venture) antara Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Pertamina dengan perusahaan lainnya untuk mengeksploitasi minyak dan gas bumi yang pada dasarnya menguntungkan kedua belah pihak. Kontrak Bagi hasil (PSC) ini mulai dikenal sejak diberlakukannya Undang-undang nomor 7 tahun 1971. Dalam pasal 12-1 undang-undang ini dinyatakan bahwa dalam melakukan kegiatannya, Pertamina diperkenankan untuk bekerja sama dengan pihak lain dalam bentuk kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract. Dalam kontrak bagi hasil ini, ditetapkan bahwa wewenang berada ditangan pemerintah Republik Indonesia (yang diwakili oleh Pertamina). Peranan kontraktor minyak asing hanyalah sebagai penyandang dana dan melaksanakan kegiatan operasi perminyakan. Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) memuat aturan-aturan yang khusus yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak, terutama pihak yang mendapatkan kontrak tersebut. Perlakuan akutansi yang khusus ini pada umumnya tidak menginduk pada metode succesfull effort maupun metode full cost, walaupun klasifikasi biayanya tetap berdasarkan kedua metode tersebut. Dalam Production Sharing Contract accounting ini, perusahaan tidaklah diwajibkan untuk menerbitkan neraca ataupun laporan keuangan. Akan tetapi, untuk kebutuhan manajemen (intern) terutama untuk masalah pengendalian dan penerapan Responsibility Accounting. Pertimbangan lainnya akan perlunya menyelenggarakan pencatatan bagi perusahaan yang bergerak dengan Production Sharing Contract adalah untuk perhitungan perpajakan. Penyelenggaraan pencatatan yang harus dilakukan adalah yang menyangkut total produksi, total pendapatan, total cost recovery, dan total bagian kedua belah pihak.

Dalam Production Sharing Contract accounting ini, klasifikasi biaya-biayanya tetap dapat mengacu pada kedua metode yang sudah exist (Succesfull effort dan Full Cost), akan tetapi perlakuannya haruslah disesuaikan dengan muatan dalam kontrak yang telah disepakati bersama. 1. Acquisition Cost (Biaya Akuisi) Biaya akusisi meliputi biaya-biaya yang terjadi pada usaha-usaha perolehan properti sampai dengan kontrak dan haknya siap untuk kegiatan/operasi penambangan, termasuk signature bonus dan educational bonus. Dalam Production Sharing Contract accounting, segala macam bonus tidak terjadi apda kegiatan operasional. Dengan demikian, bonus ini tidak dapat dimasukkan dalam cost recovery. 2. Exploration Cost (Biaya Eksplorasi) Biaya-biaya eksplorasi meliputi biaya-biaya untuk melakukan kegiatan dalam rangka memperoleh informasi mengenai ada atau tidaknya kandungan minyak dan gas bumi pada suatu kawasan atau areal yang sedang dieksplorasi. Biayabiaya ini meliputi juga biaya-biaya kegiatan survey topografi, geologi, dan geophisik baik gai para ahlinya/karyawan lainnya maupun biaya-biaya peralatan untuk kegitatan survey tersebut. 3. Development Cost (Biaya Pengembangan) Biaya pengembangan meliputi biaya-biaya yang terjadi untuk mengembangkan sumur pengembangan (development well). Kegiatan tersebut meliputi pencarian minyak dan gas bumi dari cadangan terbukti dengan mempersiapkan fasilitas untuk extractiong (permurnian), treating (pengolahan), gathering (pengumpulan), dan storing (penyimpanan) minyak dan gas bumi. Sama dengan metode succesfull efforet, dalam metode full cost biaya pengembangan ini juga akan dikapitalisasikan untuk dialokasikan pada tahun-tahun pemanfaatannya. 4. Production Cost (Biaya Produksi) Biaya produksi meliputi semua biaya yang dikeluarkan dalam rangka memindahkan/mengangkat minyak dan gas bumi ke permukaan tanah. Dengan demikian biaya produksi meliputi biaya extracting (pemurnian), treating (pengolahan), gathering (pengumpulan), dan storing (penyimpanan) minyak dan

gas bumi di kilang-kilang perusahaan. Biaya-biaya produksi ini terjadi pada kegiatan operasi perusahaan dan perawatan sumur. 5. Support Facilities (Biaya Peralatan Penunjang) Peraltan penunjang, seperti kendaraan (truk), gudang, fasilitas camp, dan fasilitas penunjang lainnya yang umur ekonomisnya lebih dari satu tahun. Peralatan penunjang ini pada umumnya tidak berhubungan langsung dengan kegiatan pencarian dan produksi minyak dan gas bumi, namun tetap berperan untuk terlaksananya industri minyak dan gas bumi serta panas bumi secara efisien, ekonomis, dan efektif. Dalam Production Sharing Contract accounting adalah perlu untuk memisahkan biaya-biaya yang tangible dengan intagible, khususnya dalam perlakuan terhadap biaya-biaya eksplorasi dan biaya-biaya pengembangan. Biaya-biaya yang bersifat tangible seperti peralatan (tubing,cashing,ellheads, dan lain sebagainya). Sedangkan biaya-biaya yang bersifat intangible dapat berupa gaji, upah, sewa, biaya material. Dalam succesfull effort biaya peralatan tangible terhadap sumur yang sukses akan dikapitalisasikan untuk kemudian dialokasikan sebagaimana telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya. Sebaliknya, apabila sumurnya kering, maka biaya-biaya tersebut akan dibebankan pada saat diketahuinya sumur tersebut kering. Untuk biaya-biaya yang intangible (tidak berwujud) akan dibebankan pada saat terjadinya tanpa memperhatikan apakah sumurnya sukses ataupun kering. Apabila diterapkan metode Full Cost, maka biaya-biaya tersebut akan dikapitalisasikan tanpa perlu mempertimbangkan tangible (berwujud) maupun intagible (tidak berwujud) dan sumur sukses ataupun sumur kering. Dalam hal biaya produksi, baik metode Succesfull effort maupun metode Full cost akan dibebankan pada saat terjadinya, karena biaya ini merupakan biaya operasi perusahaan pada periode yang bersangkutan. Dengan Production Sharing Contract accounting, perlakuan terhadap biaya produksi ini akan berbeda-beda, tergantung pada sifat biaya tersebut. Apaabila biaya tersebut berhubungan dengan konstruksi aset (kilang minyak,

sumur, maupun anjungan), maka akan dikapitalisasikan untuk kemudian dialokasikan sesuai dengan jangka waktu (umur ekonomis) aset tersebut. Sebaliknya, apabila biaya tersebut berhubungan dengan perawatan sumur, yang membutuhkan tangible (berwujud) dan intagible (tak berwujud) items, maka akan diperlakukan sebagai biaya eksplorasi atau biaya pengembangan. Perlakuan Production Sharing Contract, untuk biaya peralatan penunjang adalah denga mengkapitalisasikan biaya-biaya tersebut untuk kemudian dialokasikan pada tahun-tahun pemanfaatannya dalam bentuk penyusutan, Perbandingan antara perlakuan akutansi dalam metode Successful Effort, metode Full cost, dan Production Sharing Contract Accounting Effort dapt digambarkan sebagai berikut : Uraian Biaya Akuisisi Biaya eksplorasi pemboran sumur kering Biaya eksplorasi pemboran sumur sukses - TDC - IDC Biaya pengembangan sumur kering Biaya pengembangan sumur sukses - TDC - IDC Biaya Produksi - Konstruksi asset - Perawatan sumur TDC IDC Peralatan Penunjang
Keterangan : NCR:Non Cost Recovery K: Kapitalisasikan IDC : Intangible Drilling & Development cost TDC: Tangible Drilling & Development Cost B: Bebankan

PSC Method NCR B K B B K B K K B K

SE Method K B K K B K K K K K K

FC Method K K K K K K K K K K K

Laporan-laporan KPS

Pada Kontrak Production Sharing (KPS), manajemen ada di tangan pemerintah dalam hal ini BPMIGAS. Setiap kali kontraktor mau mengembangkan lapangan dia harus menyerahkan POD (Plan of Development) atau perencanaan pengembangan, WP&B (Work Program and Budget) atau program kerja dan pendanaan serta AFE (Authorization for Expenditure) atau otorisasi pengeluaran supaya pengeluaran bisa dikontrol. Jadi, WP& B dipersiapkan tahunan. Setiap program atau proyek dalam WP & B harus dibuat juga detail pelaksanaanya secara rinci dan biayanya untuk disetujui oleh BPMIGAS, laporan itu disebut AFE. Dalam melakukan pencatatan cost yang actual setiap kontraktor harus membuat laporan FQR (Financial Quarterly Report), berisi biaya-biaya yang telah dikeluarkan dan termasuk ke dalam biaya cost recovery. Cost Recovery Cost recovery merupakan biaya operasi dalam rangka kegiatan operasi perminyakan yang meliputi kegiatan eksplorasi, pengembangan dan eksploitasi minyak dan gas bumi yang dapat dikembalikan dalam rangka kontrak kerja sama. Cost recovery mencakup seluruh biaya, kecuali bonus-bonus dan biaya-biaya lain diluar persetujuan pemerintah. Komposisi cost recovery, disampaikannya meliputi tiga hal yaitu non-capital berupa exploration & development expenses; capital berupa depresiasi atas investasi aset KKKS; serta unrecovered cost berupa pengembalian atas biaya operasi tahun-tahun sebelumnya yang belum dapat diperoleh kembali. Pada kontrak bagi hasil kontraktor berhak menerima pengembalian biaya selama tidak melebihi persentase tertentu dari produksi tahunan pada daerah kontrak. Proporsi ini dikenal sebagai cost oil. Kekurangan yang belum diperoleh di carried forward (bawa ke depan) untuk recovery pada tahun-tahun berikutnya dengan prinsip yang sama cost oil diberi nilai dengan menggunakan harga pasar dari minyak mentah sebelum dibandingkan dengan recoverable cost. Recoverable cost pada suatu tahun tidak mencerminkan apakah usaha tersebut hemat biaya atau tidak. Pada awal produksi, sesudah investasi yang besar, recoverable cost selalu tinggi.

Apabila tidak ada royalty atau FTP (First Tranche Petroleum), bisa saja recoverable cost sama dengan pendapatan. Pada lapangan yang tidak mengeluarkan investasi lagi, dimana produksinya pasti turun, justru recoverable cost rendah karena dia hanya mengeluarkan biaya operasi. Royalty (awalnya berasal dari upeti kepada royal family atau keluarga kerajaan) adalah presentase dari pendapatan yang dibayarkan kepada pemerintah. Sedangkan FTP adalah royalty yang di share (bagi) antara pemerintah dan kontraktor. Dengan royalty dan FTP pemerintah mendapat jaminan pendapatan sejak awal produksi. Untuk mengetahui suatu pengelolaan suatu daerah kontrak migas efisen atau tidak, tidak bisa diketahui dari recoverable cost tahunan. Untuk itu diperlukan POD (Plan of Development) atau paling tidak recoverable cost jangka panjang. Kondisi geografi dan geologi serta komposisi fluida reservoir yang berbeda menyebabkan lapangan yang satu bisa lebih mahal biayanya dari yang lain. Optimasi pengembangan, yaitu memaksimalkan pendapatan atau meminimumkan biaya, berdasarkan kondisi yang ada dilakukan dengan pengelolaan reservoir, teknologi dan perusahaan yang terbaik. Pengelolaan lapangan tua, lapangan marginal dan harga minyak yang tinggi menyebabkan biaya per barel lebih tinggi. Biaya produksi migas jangan hanya diperhitungkan terhadap produksi minyak saja, tetapi terhadap produksi minyak dan gas. Indikator yang perlu dilihat secara lebih komprehenship adalah R/C (Revenue to recoverable cost ratio) karena disitu diperhitungkan revenue (harga kali produksi) dan recoverable cost. Pemerintah menetapkan 24 jenis biaya operasi minyak dan gas yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan atau "cost recovery." Ketetapan tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang salinannya diperoleh di Jakarta, Rabu. Sesuai Pasal 13 PP yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 20 Desember 2010 tersebut, ke-24 jenis biaya itu pertama adalah biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari pekerja, pengurus, pemegang "participating interest," dan pemegang saham.

Kedua, pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali biaya penutupan dan pemulihan tambang yang disimpan pada rekening bersama Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan kontraktor dalam rekening bank umum Pemerintah Indonesia yang berada di Indonesia. Ketiga, harta yang dihibahkan. Keempat sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta tagihan atau denda yang timbul akibat kesalahan kontraktor karena kesengajaan atau kealpaan. Kelima, biaya penyusutan atas barang dan peralatan yang digunakan yang bukan milik negara. Sementara keenam, insentif, pembayaran iuran pensiun, dan premi asuransi untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari tenaga kerja asing, pengurus, dan pemegang saham. Ketujuh, biaya tenaga kerja asing yang tidak memenuhi prosedur rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) atau tidak memiliki izin kerja tenaga asing (IKTA). Kedelapan, biaya konsultan hukum yang tidak terkait langsung dengan operasi perminyakan dalam rangka kontrak kerja sama. Kesembilan, biaya konsultan pajak. Kesepuluh, biaya pemasaran minyak dan/atau gas bumi bagian kontraktor, kecuali biaya pemasaran gas bumi yang telah disetujui Kepala BP Migas. Kesebelas, biaya representasi, termasuk biaya jamuan dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan daftar nominatif penerima manfaat dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) penerima manfaat; Ke-12, biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat pada masa eksploitasi. Ke-13, biaya pelatihan teknis untuk tenaga kerja asing.

Ke-14, biaya terkait merger, akuisisi, atau biaya pengalihan "participating interest." Ke-15, biaya bunga atas pinjaman. Ke-16, pajak penghasilan karyawan yang ditanggung kontraktor maupun dibayarkan sebagai tunjangan pajak dan pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan pihak ketiga yang ditanggung kontraktor atau di-"gross up." Ke-17, pengadaan barang dan jasa serta kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kaidah keteknikan yang baik, atau yang melampaui nilai persetujuan otorisasi pengeluaran di atas 10 persen dari nilai otorisasi pengeluaran. Ke-18 adalah surplus material yang berlebihan akibat kesalahan perencanaan dan pembelian. Ke-19, nilai buku dan biaya pengoperasian aset yang telah digunakan yang tidak dapat beroperasi lagi akibat kelalaian kontraktor. Ke-20 adalah transaksi yang merugikan negara, tidak melalui proses tender sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali dalam hal tertentu atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ke-21 adalah bonus yang dibayarkan kepada pemerintah. Ke-22 merupakan biaya yang terjadi sebelum penandatanganan kontrak. Ke-23, insentif "interest recovery," dan terakhir adalah biaya audit komersial Pembagian Pendapatan Ditengah-tengah kebutuhan energy yang sangat besar pada saat ini, membuat negaranegara yang memiliki sumber daya mineral banyak berusaha menarik investor untuk melakukan investasi di negaranya masing-masing. Yang jadi permasalahan pada PSC di Indonesia adalah, bagaimana produksi migas yang tahun demi tahun mengalami penurunan

tetapi cost recovery yang ditangguh pemerintah malah mengalami peningkatan. Beberapa ahli menyatakan permasalahannya adalah pada gaji expatriate yang berkali-kali lipat lebih tinggi dibanding dengan gaji karyawan local. Ada yang berpendapat tidak adanya penghematan oleh KPS dalam melakukan pengembangan dan pengeboran minyak dan gas. Sebagian lagi berpendapat adanya kelemahan dalam pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap KPS-KPS. Untuk itu berbagai penelitian dilakukan dan juga perbandingan dengan PSC-PSC di Negara lain. Di satu sisi diakui PSC di Indonesia memiliki kelemahan. Masalah relinguishment juga disebut sebagai suatu kelemahan. Untuk itu BP Migas sedang mendalami hal-hal yang menuntut perubahan dalam PSC di Indonesia. Berikut adalah bagan pembagian pendapatan antara Kontraktor dan pemerintah Indonesia:

2.2 Aspek Perpajakan Berdasarkan Undang-undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No 10Tahun 2000, Pasal 33 (3) disebutkan Penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang pertambangan migas sehubungan dengan kontrak bagi hasil, dikenakan pajak berdasarkan Ordonansi PPs 1925 dan PBDR 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya. Dan dalam Undang-undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No 10 Tahun 2000, Pasal 33 A ayat (4) UU Pajak Penghasilan 1994 disebutkan bahwa Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang

pertambangan migas berdasarkan kontrak bagi hasil yang masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak dimaksud. Maka, ketentuan dalam kontrak Production Sharing Contract merupakan lex specialis untuk memberikan kepastian hukum dan usaha bagi Kontraktor di bidang hulu Migas. Terdapat berbagai instrumen perpajakan atas kontrak bagi hasil. Seperti Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan dan Pajak Lain-lain. Aspek Pajak Penghasilan dalam Kontrak Bagi Hasil meliput Pajak Penghasilan Badan dan withholding tax seperti PPh Pasal 21, 22, 23, dan 26. Kontraktor Production Sharing harus membayar PPh Badan dan pajak final atas laba setelah pajak (Branch Profit Tax). Sebagaiman yang tercantum dalam kontrak . Contractor severally be subject to and pay to the Government of the Republic of Indonesia the income tax including the final tax on profits after tax deduction imposed on it Kontraktor Production Sharing wajib mematuhi persyaratan dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, terutama yang berkaitan dengan memasukkan Sura Pemberitahuan Pajak Terutang (SPT), menghitung dan menyetor pajak, membuat dan menyimpan pembukuan/catatan . Semenjak diberlakukannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, Kontrak bagi Hasil yang ditandatangani setelah 1 Jan 1995 tarif yang dikenakan kepada Kontraktor Production Sharing adalah atasPajak Penghasilan terutang sebesar 30% dan Branch Profit Tax sebesar 20% atau efektifnya adalah 44% . Tapi semenjak diterbitkannya Surat Menteri Keuangan Nomor: S-443a/MK.012/1982 Tentang interpretasi dari Kepmen 267/KMK.012/1978, sejak 1978, Kontrantor Production Sharing membayar sendiri PPh terutang. Hal ini dikenal sebagai Uniformity Principle di mana biaya-biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak harus diartikan sama dengan biaya yang dihitung berdasarkan Kontrak PSC. Dengan demikian cost of oil harus sama dengan cost of tax, atau biaya-biaya operasi yang boleh dibebankan (cost recoverable) menurut kontrak PSC harus sama dengan biaya-biaya yang boleh dibebankan menurut UU PPh (tax deductible). Dan diperkuat dengan Surat

Edaran Bersama Ditjen Pajak dan Ditjen Moneter No SE-75/PJ/1990. Ketentuan mengenai pemotongan dan pemungutan untuk Kontraktor KBH secara umum mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku. Dalam hal ini terkait dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 21, 23 dan 26 diberlakukan sesuai ketentuang perundangan yang berlaku. Mengingat asset-asset yg diimpor KPS merupakan milik Pemerintah, maka atas impor tsb tidak dipungut PPh Pasal 22 (SE-34/PJ.24/1985) Dalam Kontrak production sharing contract terdapat Klausul Pajak yang menyebutkan Pemerintah Indonesia menanggung dan membebaskan pajak lainnya selain pajak penghasilan yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea masuk, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan lain-lain. Pertamina, except with respect to Contractors obligation to pay the income tax and the final tax on profits after tax deduction, ASSUME and DISCHARGE all other Indonesian taxes of Contractor including value added tax, transfer tax, import and export duties on materials, equipment and supplies brought into Indonesia by Contractor , its contractors and subcontractors exactions in respect of property, capital, net worth, operations, remittances or transactions including any tax or levy on or in connection with operations performed hereunder by Contractor. Pajak Pertambahan Nilai dan Bea Masuk Disebabkan Crude Oil (minyak mentah) adalah bukan merupakan Barang Kena Pajak (BKP), maka Kontraktor Production Sharing bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Masukan yang harus dibayar oleh Kontraktor Production Sharing akan dikembalikan (direimburse) oleh Pertamina / BP Migas. Hal ini memiliki dasar Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 64/Pmk.02/2005 Tentang Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Perolehan Barang Kena Pajak Dan Atau Jasa Kena Pajak Yang Digunakan Oleh Badan Usaha Atau Bentuk Usaha Tetap Dalam Pengusahaan Minyak Dan Gas Bumi. Demikian juga halnya dengan impor barang modal oleh Kontraktor Production Sharing tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor. Mengingat barang modal tsb

adalah milik Pemerintah (Pasal 15d UU 8/1971). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 97/Pmk.010/2006 Tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi, bahwa atas barang modal yang diimpor oleh Kontraktor Production Sharing dikenakan tarif Bea Masuk sebesar 0% (nol per serartus). PBB dan Pajak / Retribusi Daerah Sama halnya dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), maka Kontraktor Production Sharing tidak akan dibebani dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan sebagainya. Pertamina atau BP Migas akan membayar pajak-pajak tersebut yang diambil dari bagian pemerintah (Government share) sesuai dengan tagihan yang diterima oleh Kontraktor Production Sharing. Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang usaha hulu minyak dan/atau gas bumi adalah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ./2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya, dan perubahannya. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dilampiri dengan keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Financial Quarterly Report untuk periode terakhir Tahun Pajak yang bersangkutan dan Bukti penyetoran Pajak Penghasilan. Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang usaha hulu minyak dan/atau gas bumi wajib mengisi Lampiran Khusus Penghitungan Pajak Penghasilan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas, Lampiran Khusus Rincian Biaya dalam rangka Kontrak Kerja Sama Migas, dan Lampiran Khusus Daftar Penyusutan dalam Rangka Kontrak Kerja Sama Migas. Bentuk Lampiran Khusus serta petunjuk pengisiannya adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Bab 3 Kesimpulan dan Saran 3.1. Kesimpulan PSC di Indonesia memang dinilai tidak luwes. Kita harus menerima kenyataan dilematis bahwa di satu sisi kita masih sangat tergantung pada sumber daya asing dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya migas, dan di sisi lain kita memang belum mampu mandiri dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam kegiatan usaha hulu migas. Sehingga bagaimanapun kita harus tetap bersikap sebagai tuan rumah yang

ramah bagi investor asing. Apalagi kegiatan usaha hulu migas kita terus dikejar-kejar target APBN di tengah-tengah level produksi yang belum mampu mencapai target dan jumlah cadangan terbukti yang kian menipis. Untungnya, dari sisi finansial, kemungkinan target pendapatan dapat dicapai karena terbantu oleh indeks ICP yang dalam periode Januari-Oktober 2011 rata-rata US$ 111,49 per barel (www.esdm.go.id) di atas asumsi ICP dalam APBN-P 2011 yang dipatok US$ 95 per barel. Berbagai wacana perubahan termin PSC tersebut di atas tentunya sangat mungkin dapat diberlakukan terhadap kontrak-kontrak baru baik terhadap wilayah kerja baru atau wilayah kerja yang sudah habis masa kontraknya. Terhadap kontrak yang sudah berjalan (existing) harus esktra hati-hati sebab menyangkut contract sanctity dan reputasi Indonesia di dunia internasional. Langkah radikal yang dilakukan negara-negara Amerika Latin dalam menasionalisasi pengelolaan migasnya belum tentu cocok dan belum tentu benar jika dilakukan di Indonesia. 3.2. Saran Begitu strategisnya migas bagi kepentingan nasional, begitu banyaknya pemangku kepentingan, begitu banyaknya faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi, begitu banyaknya tantangan dan kendala, serta last but not least begitu banyaknya yang memiliki kepentingan politik-ekonomi, maka usaha untuk memperbaiki tata kelola migas memerlukan kajian yang mendalam, komprehensif, dan pendekatan yang holistic.

You might also like